Kerudung Biruku
Aku janji,
Tak akan membiarkanmu
Terenggut dariku
Kelak, jika ibu berpesan padaku,
“Jaga dirimu.”
Cukuplah engkau dan Allah
Sebagai penjagaku
(kutipan salah satu puisi saya, 2009)
Selembar kain penutup kepala ternyata membawa big issues dalam kehidupan seorang perempuan, khususnya muslimah.
“Baju muslimnya dipakai dong, Nak. Masa mau silaturahmi ke tetangga pakaiannya kayak gitu!” Ucap Mommy kesal kepadaku.
“Ogah
ah! Bajunya norak, aku enggak suka. Pas pondok Ramadhan di sekolah
kemarin kan udah pake yang itu. Masa lebaran mau dipake lagi?! Mommy
sih, nggak beliin aku baju baru. Gaun kek, atau apalah yang pantes buat
aku. Pokoknya aku nggak mau silaturahmi kalau disuruh pake baju yang
itu. Aku mau pulang, ganti baju.”
“Mana yang mau kamu pake?”
“Yang ini nih!” ucapku sambil menunjuk sebuah gaun merah you can see kesayanganku.
Mommy mendesah sambil geleng-geleng kepala.
“Ah, ya sudahlah! Terserah!” Mommy akhirnya mengalah.
Itulah
diriku kira-kira duabelas tahun lalu. Masih kecil. Masih terlalu imut
dan polos. Masih mengenyam pendidikan di bangku Madrasah Ibtidaiyah.
Kini aku geli, malu dengan diriku yang begitu norak saat itu. Bayangkan,
tidak sepatutnya memakai pakaian seperti itu di saat kita harus
bertamu. Tapi, aku percaya bahwa orang-orang tua maklum adanya dengan
aku yang masih kecil.
Kendati bersekolah di sebuah sekolah Islam
yang cukup unggulan di daerahku, tapi aku tak mau sekalipun memakai
jilbab. Memang, sekolahku tak menganjurkan siswinya memakai jilbab.
Seragam kami seperti seragam SD pada umumnya, hanya berbeda warna. Warna
kebangsaan MI adalah putih-hijau untuk Senin-Selasa, dan putih-biru
untuk Rabu-Kamis. Jika ada yang memakai jilbab, itu pun bisa dihitung
dengan jari. Dengan kata lain, memakai jilbab hanyalah sebuah sunnah.
Mungkin,
bawaan dari kultur MI-ku itulah aku jadi tak suka memakai busana
muslim. Gerah. Apalagi, sebuah suara di dalam hati membisikiku bahwa aku
jadi kurang cantik kalau harus dijilbabi. Jadi, say no to wear a veil!
Ah
ya, jika teringat masa awal-awal memakai jilbab dulu, diri ini sering
dilanda rasa geli, entah malu, entah ingin meracau betapa jahiliyah-nya
aku dulu. Aku terbilang terlambat menutup aurat, yaitu setelah tiga
tahun aku dinobatkan menjadi muslimah baligh. Kelas satu SMA. Mulai ke
sekolah memakai seragam serba panjang, kalau dolan juga—meski
cara menutup auratku masih sederhana. Jilbab diikat di leher, pakai
celana, bajunya masih ketat, nggak pernah pakai kaos kaki. Terkadang,
keluar rumah seadanya, tanpa jilbab, gara-gara males ganti baju,
beladiri sepekan sekali bercampur dengan laki-laki. Meski statusku
ketika itu sudah anak rohis, sudah tahu pula perintah Allah untuk kaum
wanita. Ah, kalian tentu juga sudah hapal, Al-Ahzab:59. (tak perlu
kutulis di sini kan? Kalau lupa, cari sendiri di Al-Quran noh!)
Dunia
SMA memberikan kesan yang berbeda untukku. Teman-temanku sesama
jilbaber banyak—meski model jilbab mereka beda-beda. Tak seperti jaman
SMP dulu, seangkatanku yang pakai jilbab cuma dua orang. Aku tahu,
mereka juga seperti aku, sedang berproses. Berjilbab tidak serta-merta
membuat semua jiwa-raga menjadi seputih malaikat. Dan proses itu
tidaklah seinstan membikin mie instan. Kemudian, banyak teman-temanku
yang semula tidak berjilbab, rela membuat seragam sekolah baru: seragam
muslimah. Hidayah itu memang milik-Nya. Meski aku lebih dulu berjilbab,
bukan berarti aku lebih baik dari mereka. Core-nya terletak
pada konsistensi—bagaimana mempertahankan hidayah yang sudah jatuh itu
supaya tidak lari. Memang susah. Susaaaaahhh. Karena syetan nggak akan
tinggal diam, sodari-sodari! Pun aku yang ketika itu masih tertatih
mengistiqamahkan diri. Aku mulai jadi anak rohis, mulai membatasi diri
dengan laki-laki, mulai giat ngaji dan baca-baca buku bernuansa islami.
Semata-mata karena Allah dan sehela kain yang kupakai di kepala ini.
Sebab, mau tidak mau, orang-orang tentu menganggapku sosok religius yang
diharapkan memberi contoh bagi lingkungan sekitar. Tentulah aku tak mau
dianggap tidak selaras antara cover dan isi. Luarnya aja pake jilbab, kelakuannya.. hm, sama aja kayak yang lainnya!
Uh, nehi-nehi! Jangan sampai! Sekali lagi, aku pakai jilbab karena tahu
dasarnya, karena hukumnya yang wajib. Jangan ngaku muslimah kalau belum
menutup aurat ya. Setuju?
Seiring berbaurnya aku dengan berbagai
macam orang dengan karakter yang berbeda-beda, interpretasiku tentang
jilbab di mata kaum hawa ternyata tidak semuanya sama. Ada yang
berjilbab tapi masih enjoy pacaran (tapi dalam konteks belum nikah).
Plis deh, hari giniii... >_< saya sudah kehabisan kata-kata
menjelaskannya. Bahkan saya sudah eneg (baca: bosan) dengan peringatan
Allah tentang salah satu dosa besar yang paling dibenci-Nya: zina. Dan
pacaran itu sudah pasti mendekati zina. So? Kok ya masih bejibun
manusia-manusia yang abai dengan kalimat Allah tersebut. Kalau kita
kembalikan ke Al-Ahzab:59, “...yang demikian itu supaya mereka lebih
mudah untuk dikenal karena itu mereka tidak diganggu..” maksudnya tidak
diganggu ini sudah jelas, nggak diganggu sama mata-mata lelaki yang
lemah iman (bahkan yang sudah hanif saja masih tergoda, apalagi yang
lemah iman ya? Mengerikan. Inget hadis Rasulullah bahwa fitnah terbesar
bagi laki-laki adalah fitnah perempuan, kan?). Nah, kalau sudah pacaran,
di mana letak fungsi jilbab yang seharusnya ‘melindungimu’ biar kamu
tidak diganggu itu? Naudzubillah... Kalau si jilbab bisa bicara, pasti
ia akan mengadu sambil menangis: “Huaaaa... aku dilecehkan. Ya Rabb, aku
cuma dianggap sehelai kain kompensasi fashion masa kini. Kadang
dipakai, kadang dicampakkan. Apakah aku yang Kau perintahkan sebagai
hijab makhluk-Mu bernama wanita ini terlalu hina-dina?”
Alhaya’u minal iman.
Malu adalah sebagian dari iman, teman-teman. Tak malukah engkau jika
jilbabmu dicap begini dan begitu? Nah, kata Rasulullah, jika sudah tak
punya malu, berbuatlah sekehendakmu. Tapi Allah mengkaruniakan kita rasa
malu, dan malu itu merupakan bagian dari iman islam kita.
Hadis Arba’in nomor satu, tahu? Inna mal a’malu binniyat.
Amalan itu tergantung niat. Berjilbab karena apakah? Bisa jadi itu yang
melatarbelakangi perbuatan-perbuatan kita selanjutnya. Karena tahu
bahwa ini fardhu ‘ain, karena permintaan pacar, karena tuntutan lembaga,
karena dipaksa orangtua, karena ingin mengikuti tren, atau karena
apa...?
Alhamdulillah, di era sekarang ini mudah sekali kita temui
jilbab berkibar di mana-mana, kepala-kepala yang sudah tertutup
kerudung dengan baju panjang. Itu tidak lepas dari perjuangan
muslimah-muslimah Indonesia di era 80an-90an dulu. Dulu jilbab dilarang
keras, Sist! Lucu ya, padahal Indonesia ini adalah negeri dengan pemeluk
agama Islam terbesar di dunia. Muslimah-muslimah Indonesia di jaman itu
bela-belain pakai jilbab sembunyi-sembunyi, pakai kain seadanya, asal
syar’i.
Sekarang, ketika kita sudah dikaruniai kenikmatan
kebebasan memakai busana muslimah (bahkan toko dan gerai jilbab menjamur
di mana-mana), mengapa oh mengapa... malah justru menyimpang dari
kaidah berjilbab yang seharusnya? Ada kisah tentang jilbab saringan tahu
(itu lho, kain tuiiipiiis yang nerawang plus supermurah harganya, yang
kalau dipakai, orang masih bisa melihat rambutmu, kuncirmu,
anting-antingmu, tengkukmu.. whoaaa... jilbaban apa jilbaban, Mbakyu?).
Ada
pula yang pakai kerudung, tapiiiii.... rambutnya digelung ke atas, jadi
keliatan menonjol kayak punuk onta. Well, Rasulullah sudah kasih
peringatan begini:
“Akan muncul di akhir umatku, wanita-wanita
yang berpakaian namun pada hakikatnya telanjang. Di atas kepala mereka
terdapat sesuatu penaka punuk unta, mereka tidak akan memasuki surga,
dan tidak juga akan mencium aroma surga. Padahal bau surga itu dapat
dicium dari jarak sekian dan sekian.” (HR Muslim)
Belakangan, mucul tren jilbab baru, dengan tampilan yang eye catching,
nggak monoton, warna-warni, cantik deh pokoknya kalau dipakai. Ada juga
baju model syahrini yang gemerlap di sana-sini. Tapi eits, teteup
hati-hati, mata-mata yang lemah iman-lemah godaan masih melirik
kesana-kemari. Iya sih, berkerudung, tapi disampirkan di pundak, tidak
dijulurkan ke dada, malah menonjolkan apa yang seharusnya ditutupi.
Aduh, aku kok malah kasihan kaum laki-laki, banyak godaan di sana-sini.
Jangan takut digoda, justru takutlah jika dirimu menggoda. Kau sudah
menutup tubuhmu, tapi membuat mereka masih juga tak tahan untuk tidak memandangmu? Weeehhh, syetan akan pongah tertawa selebar-lebarnya kalau begitu.
So,
yuk, simak lagi kaidah berpakaian syar’i. Baju yang longgar, nggak
sempit—kalo sempit kan nyiksa tubuh juga toh? (bukan baju adek yang
dipake). Bukan pakaian tabarruj, kainnya tebal (bukan saringan tahu yang
tipis itu. Pengen beli tapi lagi tongpes? Nabung!), tidak menyerupai
pakaian laki-laki (jadi inget, sekarang lagi jamannya tren
ber-legging-ria, bahkan yang berkerudung pun berlegging. Be careful,
legging sama dengan ganti warna kulit doang, belum pake bawahan. Hayo
lho, malu dong belum pake bawahan. ihihi… :p. Jadi gimana? Biar aman,
pake rok aja, kan cantik, ukhti ^__^), bukan merupakan libasuh-syuhrah
(pakaian untuk popularitas), tidak menyerupai pakaian orang kafir (kayak
wedding dress orang-orang Eropa non-muslim yang ekornya panjaaaaanggg, sampe butuh beberapa orang buat mengangkat bajunya. We have our own style, right?)
Ketika mendapati bahwa diri ini menjadi satu berbanding buanyaaakkk.... maksudku, style
pakaian muslimah yang aku kenakan cenderung tak lazim bagi mayoritas
orang, membuatku kadang tertegun, miris, menangis, ingin berontak. Bahwa
di dunia ini masih saja keburukan dianggap biasa, sementara kebaikan dianggap aneh.
Tentu saja, coba katakan, mana yang aneh; miss universe yang
super-buka-bukaan itu apakah orang bercadar hitam-hitam? Miss universe
disanjung-dipuja, sementara muslimah bercadar dicap teroris, ninja.
Begitu pun saya. Memang susah, menerapkan perintah-Nya tidak lepas dari
aral melintang serta onak dan duri. Jalan ke surga memang nggak semulus
jalan ringroad, sob!
“Bajumu itu lapis berapa? Nggak boros sabun ya kalau nyuci? Emang nggak gerah apa, panas-panas begini?”
Serenteng pertanyaan yang seringkali kudapatkan dari seorang kawan. Gerah? Kagak, yang penting hati tetep sejuuukkk.... ^_^
“Jilbabmu norak! Kedodoran, nggak pantes!”
Yeeh,
biarin aje, mau ada anjing menggonggong kek, serigala melolong, atau
kucing mengeong, muslimah tetep berlalu. Norak kan di mata elo, yang
penting gue tetep bidadari di mata Allah. Mau jadi bidadari juga? Sok atuh...
Tanggal
14 Februari lalu dinobatkan sebagai Hari Berjilbab Internasional, di
mana muslimah-muslimah sedunia memperjuangkan gerakan memakai jilbab.
Ini nggak ‘maksa’ lho ya. Tapi mengajak, menyeru, memperlihatkan kepada
dunia, betapa nyamannya hidup dengan berhijab. Berhijab yang syar’i
tentunya. Analoginya gampang aja kan, mau diibaratkan permen atau baju?
Permen emang manis, tapi kalau nggak dibungkus... berapa ekor lalat dan
semut yang akan ‘meracuni’ permen itu? Permen ibarat kita. Baju obralan
atau baju di etalase yang mahal? Mana yang berpotensi di-emek-emek orang lebih banyak (padahal belum tentu beli)? Baju juga ibarat kita. Pasti kita juga sudah akrab dengan tulisan “Don’t accept if the seal is broken”
di botol-botol minuman. Artinya, jika tutupnya aja rusak, bisa
dipastikan dalamnya udah nggak bagus. Apalagi yang tidak bertutup?
Tanggal
14 Februari, di saat warna pink dan ikatan tak halal dibudayakan dan
merajalela—seakan membius kaum muda dalam perjuangan cinta yang semu dan
abu-abu. Kita, muslimah seluruh dunia berteguh hati dengan semarak
jilbabnya, nyaman dan teduh dalam balutan busana muslimah,
memperjuangkan cinta dan ridha Illahi.
Sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah.
Bukan emas, perak, berlian, intan, permata, uang, atau materi yang
lain. Tetapi engkau, yang shalihah. Yang tidak menampakkan perhiasannya
kecuali kepada mahramnya. Bidadari surga pun cemburu kepadamu. Aduhai…
Eh, bidadari cemburu sama kita? Emang bisa?
Aku bertanya, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia ataukah bidadari bermata jeli?”
Beliau
menjawab, “Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari
seperti kelebihan apa yang nampak dari apa yang tidak terlihat.”
Aku bertanya, “Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari?”
Beliau
menjawab, “Karena shalat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah.
Allah meletakkan cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain
sutera, kulitnya putih bersih, pakainnya berwarna hijau, perhiasannya
kekuningan, sanggulnya mutiara, dan sisirnya terbuat dari emas. Mereka
berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati. Kami lemah lembut dan tidak
jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan tidak beranjak sama
sekali. kami ridha dan tak pernah bersungut-sungut sama sekali.
Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.’” (HR Ath-Thabrani, dari Ummu Salamah)
Gimana?
Mau dicemburi para bidadari syurga? Caranya, bukan dengan tepe-tepe
alias tebar pesona fisik, tentunya. But, menshalihahkan diri dari hari
ke hari, ibarat larva buruk rupa yang kelak akan menjadi kupu-kupu
cantik jelita. Metamorfosa, begitulah istilahnya.
Kita patut
berbangga hati menjadi muslimah. Ketika perempuan-perempuan di masa
jahiliyah Makkah dianggap najis, menjijikkan, pemuas nafsu syahwat,
bayi-bayi perempuan dibunuh, di Yunani wanita-wanitanya dipenjara dan
dianggap pelacur, di Romawi disiksa, di Cina diperjualbelikan sebagai
budak, peradaban Hammurabi menganggap wanita sama dengan hewan, orang
Yahudi mensejajarkan wanita dengan pembantu, wanita-wanita Hindu harus
rela mati dikremasi bersama suaminya.... Islam begitu memuliakan
kedudukan kita (bukan feminisme loh ya!), Ia dudukkan mereka sejajar
denga pria untuk berdiskusi, saling mengingatkan, saling memberi wasiat
tentang kebenaran, kesabaran dan kasih sayang (Ust. Salim A. Fillah-Agar Bidadari Cemburu Padamu).
Bukan dari tulang ubun dia dicipta
Sebab berbahaya membiarkannya dalam sanjung dan puja
Tak juga dari tulang kaki
Karena nista menjadikannya diinjak dan diperbudak
Tetapi dari rusuk kiri
Dekat ke hati untuk dicintai
Dekat ke tangan untuk dilindungi
Subhanallah,
indah ya syairnya... Bikin melambung! Ah, jangan dulu melambung lah,
mari bersiap-siap ke medan jihad, eh berjihad—di mana aja boleh, nggak
cuma di Palestina atau Irak atau Amerika, berjihad kepada dirimu
sendiri, di mana engkau harus berperang melawan hawa nafsu. Biarkan
rayuan berjilbab (yang syar’i) sukses menggodamu (ini tagline di sebuah
web. Hehe^___^)
Jika sudah begitu, nggak bakal ragu, bersama-sama
ke jannah-Nya, semoga reuni di sana ya. Jilbabku, jilbabmu, jilbab
kita! Sama-sama mahkota pelindung dan identitas muslimah kita yang suci
lagi berharga, makanya jangan suka copot sekenanya. Biarkan ia bersemi
indah selamanya, hingga nafas terakhirmu di dunia. Wakarimasu ka?[1]
Ah, rasanya aku ingin mengutip lagi puisi ini:
Kerudung Biruku
Aku janji,
Tak akan membiarkanmu
Terenggut dariku
Kelak, jika ibu berpesan padaku,
“Jaga dirimu.”
Cukuplah engkau dan Allah
Sebagai penjagaku
Wallahu ‘alam bisshawab.
Salam muslimah mewarnai dunia! ^___^
[1] Bahasa Jepang, artinya “do you understand?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar