Jumat, 05 Juli 2013

Senbazuru




Jemari lentik itu memainkan kertas washi[1] bermotif bunga sakura warna merah muda, melipat-lipatnya dengan cekatan hingga selembar kertas itu berbentuk seekor bangau. Ratusan bangau dari bermacam kertas berserakan di lantai. Kertas binder, kertas koran, kertas struk belanjaan di minimarket, kertas tiket kereta api, kertas hasil check lab di rumah sakit, kertas apa saja, semuanya disulapnya menjadi bentuk yang sama: bangau. Ah, hampir saja surat lecek dari seseorang itu dijadikannya bangau juga.
Tolong ya, kau harus mengkomplitkannya menjadi seribu. Begitu salah satu kalimat di surat lecek itu.
Aha, konyol! Demi apa?! Hanya karena ia merasa gadis bermata segaris itu selalu menghampirinya ketika ia sedang pulas bermimpi, memohon dengan sangat agar ia menggenapkan lima ratus bangau kertasnya menjadi seribu. Kalau tidak, mungkin gadis itu akan setia menghampirinya setiap malam dengan berurai air mata.
***

“Lo keras kepala, Yuna!”
Praktis, hanya karena berucap, “Aku nggak mau ikut, titik!” seisi kelas langsung berbalik memusuhiku. Padahal sebelumnya mereka sungguh berterimakasih kepadaku karena aku mengharumkan nama kelas ini lewat lomba orasi ilmiah bahasa Inggris nasional yang kujuarai.
“Kita tuh sayang sama lo, Yun. Kita nggak mau lo nggak lulus. Try out Matematika kemarin lo cuma dapet tiga koma dua, kan?”
“Ayolah gabung sama kita. Kita masuk sekolah ini bareng-bareng, lulus juga harus bareng-bareng. Ya Cantik ya…” Rehan, teman sekelas yang pernah terang-terangan menembak-ku (namun terang-terangan kutolak) itu ikut membujuk. Aku tetap tak peduli.
“Kita masuk ke sekolah ini melalui prosedur yang baik, bukan main sogok kan? Nah, kalau begitu kita juga harus keluar dari sini dengan cara baik-baik juga. Belajar yang rajin, bukan main contekan. Mau jadi apa bangsa ini jika generasi mudanya sudah belajar menjadi koruptor seperti kalian?”
“Siapa yang korupsi, Yun? Kami kan…”
“Apa bukan korupsi namanya jika kalian rela patungan demi menumpuk uang 30 juta hanya untuk membayar joki yang katanya akan memberi kalian jawaban ujian, padahal belum tentu benar. Percaya sedikit pada joki saja adalah sebuah ketololan besar.” Aku tetap pada pendirianku.
“Tapi lo harus ingat, Yuna. Biarpun lo pinter bahasa Inggris, lo bego Matematika. Jangan salahkan kami kalau akhirnya pelajaran satu itu membuat lo nggak lulus.”
“Allah akan menolong setiap hamba-Nya yang mau berusaha dengan cara yang diridai-Nya. Permisi!”
Kutinggalkan kelas seisinya dengan langkah terburu. Dadaku sesak mendengar bujukan-bujukan tak baik mereka. Nasihat Bu Mumun, mentorku di SKI[2] sekolah masih utuh melekat hangat di ingatanku. “Jadilah tanah yang subur, hingga ketika ada hujan ujian, anti[3] bisa menumbuhkan potensi yang berbuah prestasi. Atau tanah yang bisa menampung air, sehingga tetap bisa mengambil hikmah dan manfaat dari hujan ujian. Jangan menjadi tanah berbatu cadas yang keras, yang tidak mendapat apa-apa, akhirnya menimbulkan banjir masalah.”
“Halal” di negeri mayoritas Muslim ini hanya tertera sebagai label di bungkus makanan. Selebihnya, semu abu-abu, absurd, seperti warna rok sekolahku ini. Halal korupsi, halal main suap, halal mencontek, halal menghisap racun tembakau alias merokok, halal membuang sampah sembarangan, halal mendirikan kompleks pelacuran. Tak ada yang memprotes itu semua. Hukum bagai bungkam. Entahlah.
***

“Jika kau berhasil membuat senbazuru, keinginanmu pasti akan dikabulkan, Yuna-chan!”
Matanya yang sudah sipit hanya tinggal segaris ketika ia tersenyum memamerkan deretan gigi putihnya seperti itu. Erika menunjukkan kertas-kertas washi yang dikirimkan ayahnya dari Osaka. Senbazuru, sen berarti seribu, -bazuru di situ berasal dari origami-tsuru. Oru berarti melipat, gami atau kami artinya kertas, sedangkan tsuru berarti bangau. Senbazuru, seribu bangau kertas. Aku sudah hafal kisah tragis Sasaki Sadako, si anak malang korban bom atom Hiroshima pencetus mitos senbazuru itu, Rika telah berulangkali menceritakannya.
Yokatta![4] Yuna-chan, ayo bikin, biar ujianmu lancar dan kau lulus dengan nilai yang bagus.” Rika mengangsurkan setumpuk kertas washi kepadaku.
Eto… Iie. Gomen ne.[5]” Aku menggeleng.
Doushite? Kenapa?” Tanyanya kemudian.
“Dalam Islam, percaya kepada benda mati seperti itu tidak diperbolehkan, Rika-chan. Berdosa. Kita hanya boleh menggantungkan harap kepada Tuhan, Allah subhanahu wa ta’ala. Coba pikir, bagaimana bisa bangau kertas yang pasrah kau lipat-lipat dengan tanganmu itu bisa menolongmu?”
Isuramu wa taitei bikkuri saseteiru[6]. Tapi teman-temanmu banyak yang percaya pada eto… joki, atau paranormal, deshou[7]? Padahal mereka juga bukan Tuhan kan?”
Iya, memang. Aku mendesah resah. Ralat, bukan Islamnya, tapi orang-orangnya. Mungkin itu pula yang membuat dara Sakura ini masih sulit percaya akan Tuhan, apalagi Islam. Agama baginya layaknya pakaian, setelah bosan dipakai, tinggalkan saja. Toh ia cuma pelengkap di kartu identitas. Meski begitu, aku ingin suatu saat bisa merengkuhnya ke dalam pelukan Islam.
“Aku ingin orang tuaku tetap bersatu, tidak akan bercerai. Oleh karena itu aku membuat seribu bangau kertas ini. Aku percaya permohonanku akan dikabulkan!”
Ada genangan yang hampir tumpah dari pelupuk matanya. Rika-chan sudah setahun di Indonesia. Bahasa Indonesianya sudah lumayan lancar. Ia siswi pertukaran beasiswa Monbukagakusho di sebuah sekolah internasional di Jakarta. Ia juga mengajar bahasa Jepang di sebuah tempat kursus bahasa, dari sanalah aku mengenalnya. Rika menjadi guru privat bahasa Jepang-ku, mengajariku mulai dari bunpou (tata bahasa), kaiwa (percakapan), hingga huruf kanji yang njelimet bak akar ginseng. Mengenalkanku pada sejarah samurai, spirit bushido, koinobori, hingga mitos senbazuru yang amat ia percayai. Satu hal yang membuatku iba terhadapnya, ayah-ibunya yang hidup tak rukun dan terancam bercerai.
Usai orasi ilmiah bahasa Inggris-ku dipublikasikan di jurnal internasional ketika itu, ada tawaran beasiswa dari Japan Foundation untukku agar melanjutkan studi ke Universitas Tokyo usai aku lulus SMA nanti. Insya Allah, setelah kursusku bersama Rika-chan selesai beberapa bulan lagi, aku siap berangkat ke Jepang.

Bismillahirrahmanirrahiim…. Langkahku mantap menapaki koridor sekolah menuju ruang ujian. Beberapa pengawas bersiap masuk sembari menenteng segepok naskah bersegel dengan tulisan “DOKUMEN NEGARA, SANGAT RAHASIA”. Ini hari ketiga ujian, Matematika. Aku menggumamkan sebarisan doa. Masa bodoh dengan bisikan-bisikan busuk yang melemahkan keyakinanku. Aku sudah belajar. Semoga dimudahkan.
Ganbareba dekiru[8], Yuna. J” tulis Rika di SMS sebelum aku berangkat tadi.
Ruang kelas hening. Aku tak tahu menahu perihal rencana culas membeli jawaban ujian yang pernah mereka utarakan dulu. I don’t know and I don’t care! Meski di tengah-tengah jam ujian aku menangkap gerak-gerik mencurigakan dari beberapa peserta. Lempar kode-tangkap kode. A-B-C-D-E. Spanduk raksasa di gerbang sekolah bertuliskan “UJIAN NASIONAL BERSIH” seolah menjadi kalimat omong kosong belaka. Jauh panggang dari api.

Juni 2009
Aku menggenggam pasrah surat panggilan dari Japan Foundation itu. Yunaika Azzahra, lolos seleksi berkas ke Tokyo University. Tinggal selangkah lagi, maka aku akan resmi diberangkatkan ke negeri matahari terbit. Ah, selangkah lagi? Rasanya langkahku terhenti di tempatku berpijak sekarang ini dan lumpuh, tak mampu digerakkan lagi.
“Ini tidak fair, Pak. Anak saya ini bintang kelas. Dia sudah berkali-kali mengharumkan nama sekolah. Anda sendiri kan juga tahu, Pak. Anak saya sebentar lagi dapat beasiswa ke luar negeri. Anak saya bukan murid yang bodoh, Pak. Bagaimana bisa dia tidak…”
Mama pingsan. Pak Kepala Sekolah tak bisa berkata-kata lagi. Ini bukan keputusan beliau. Bagai ada berjuta-juta palu godam yang tiba-tiba dihunjamkan kepadaku. Satu mata pelajaran itu meruntuhkan segalanya. Karena nila setitik, rusak susu sebelanga. Tiga koma lima, nilai yang membuat miris. Namun, sejujurnya aku lebih miris kepada teman-temanku yang berhasil lulus, tapi melakukan aksi bodoh; konvoi di jalanan dan coret-mencoret baju seragam. Bak baru saja terbebas dari penjara. Sungguh, seperti tindakan manusia yang tak pernah makan sekolahan!
“Mbak, tenang ya, Mbak. Nanti masih bisa ikut Ujian Paket C,” ujar salah seorang guru di ruangan itu, berusaha menghiburku.
“Tidak usah, Pak. Terima kasih. Permisi.” Aku berlalu sembari menuntun Mama, sempoyongan.
Duhai, di manakah keadilan itu bersembunyi?
Tentu saja kasusku bukan barang baru. Nenek renta yang “tak sengaja” mencuri singkong dimasukkan penjara, sementara koruptor trilyunan rupiah bisa melanglang buana ke mana-mana, itu bukanlah sesuatu yang aneh lagi.
Setiap orang memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda-beda. Numeric-ku rendah, namun literary-ku hampir mencapai angka seratus. Lantas, ujian nasional itu? Apakah bisa menjadi tolok ukur yang valid? Kenapa hanya kognitif saja yang dinilai? Ke mana aspek afektif dan psikomotorik yang juga selalu digaung-gaungkan itu?
Ah, aku tidak ingin ambil pusing. Di luar sana masih banyak anak-anak miskin yang “dilarang” sekolah karena terhambat biaya. Sementara, di sini aku muak dengan anak-anak konglomerat yang menyuap petinggi sekolah demi ranking. Kurasa, ini pendidikan model telur setengah matang yang dijejalkan paksa ke mulut para siswa. Hasilnya, hoeekk, ada yang muntah.
Serasa terlempar ke negeri antah-berantah, tiba-tiba aku merasa asing!
***

Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya…
Indonesia sejak dulu kala, tetap dipuja-puja bangsa…
Lagu kebangsaan itu samar-samar bergaung di tengah kerusuhan. Dinyanyikan di sela amarah yang membara. Suara langkah-langkah yang terburu dan praang kaca pecah menyobek keheningan pagi. Lontaran kata-kata kasar dan sumpah-serapah membahana. Sarkastik. Spanduk-spanduk “Tolak UN” dipasang di mana-mana. Tak ketinggalan, kotoran-kotoran sapi yang mereka limpahkan di depan kantor Dinas Pendidikan, seolah menjadi bahasa isyarat yang diterjemahkan menjadi: pendidikan negeri ini macam kotoran sapi, penuh kebusukan!
Pusing yang menghantarkannya kepada depresi tingkat tinggi itu memaksanya menginap di rumah pesakitan. Gadis bermata segaris itu sudah pulang ke negerinya yang permai, negeri yang sangat ingin ia jajaki. Negeri di mana ia ingin menikmati harum kuntum-kuntum sakura yang dibawa angin musim semi, sembari mereguk ilmu pengetahuan yang membentang luas.
Orang tuaku akhirnya bercerai. Mereka sudah tak menyayangiku lagi. Then, I’ve decided to commit suicide.
Kertas lusuh berisikan email dari negeri seberang itu digenggamnya pasrah. Ada sejuta rasa bersalah, hingga gadis sipit itu mendatangi mimpinya tiap hari dengan paras menghiba, meminta mengkomplitkan bangau kertas itu menjadi seribu.
Apakah di negerimu sana ada keadilan, Rika-chan? Siapa yang lebih bar-bar, negeriku ataukah negerimu? Dulu negerimu menjajah negeriku, sekarang orang-orang di negeriku saling menjajah, saling membantah. Kisahku hanyalah sepersekian dari selaksa polemik yang terjadi di sini. Jikalau aku mau mengkomplitkannya menjadi seribu, bukan berarti aku mempercayainya. Anggap saja di setiap helai sayapnya kutitipkan doa, untuk sang pusaka yang masih saja dipuja-puja bangsa…
Gadis berjilbab lusuh itu masih menulis, abai akan vonis yang membawanya menjadi tahanan di sini, yang merampas masa depannya: skizofrenia.


-8 Jumadil Akhir 1434-


[1] Kertas lipat khas Jepang
[2] Sie Kerohanian Islam
[3] “kamu” untuk perempuan (bahasa Arab)
[4] Baiklah!
[5] Anu… Tidak. Maaf.
[6] Islam terkadang membingungkan
[7] Iya, kan?
[8] Jika berusaha, pasti berhasil


*Dimuat pula di www.pelitanesia2013.wordpress.com dengan masih memakai judul lama: Seribu Bangau Kertas

Tidak ada komentar: