Jemari
lentik itu memainkan kertas washi[1]
bermotif bunga sakura warna merah muda, melipat-lipatnya dengan cekatan hingga
selembar kertas itu berbentuk seekor bangau. Ratusan bangau dari bermacam
kertas berserakan di lantai. Kertas binder, kertas koran, kertas struk
belanjaan di minimarket, kertas tiket kereta api, kertas hasil check lab di rumah sakit, kertas apa
saja, semuanya disulapnya menjadi bentuk yang sama: bangau. Ah, hampir saja
surat lecek dari seseorang itu dijadikannya bangau juga.
Tolong ya, kau harus
mengkomplitkannya menjadi seribu. Begitu salah satu
kalimat di surat lecek itu.
Aha,
konyol! Demi apa?! Hanya karena ia merasa gadis bermata segaris itu selalu menghampirinya
ketika ia sedang pulas bermimpi, memohon dengan sangat agar ia menggenapkan
lima ratus bangau kertasnya menjadi seribu. Kalau tidak, mungkin gadis itu akan
setia menghampirinya setiap malam dengan berurai air mata.
***
“Lo
keras kepala, Yuna!”
Praktis,
hanya karena berucap, “Aku nggak mau ikut, titik!” seisi kelas langsung
berbalik memusuhiku. Padahal sebelumnya mereka sungguh berterimakasih kepadaku
karena aku mengharumkan nama kelas ini lewat lomba orasi ilmiah bahasa Inggris nasional
yang kujuarai.
“Kita
tuh sayang sama lo, Yun. Kita nggak mau lo nggak lulus. Try out Matematika kemarin lo cuma dapet tiga koma dua, kan?”
“Ayolah
gabung sama kita. Kita masuk sekolah ini bareng-bareng, lulus juga harus
bareng-bareng. Ya Cantik ya…” Rehan, teman sekelas yang pernah terang-terangan menembak-ku (namun terang-terangan
kutolak) itu ikut membujuk. Aku tetap tak peduli.
“Kita
masuk ke sekolah ini melalui prosedur yang baik, bukan main sogok kan? Nah,
kalau begitu kita juga harus keluar dari sini dengan cara baik-baik juga.
Belajar yang rajin, bukan main contekan. Mau jadi apa bangsa ini jika generasi
mudanya sudah belajar menjadi koruptor seperti kalian?”
“Siapa
yang korupsi, Yun? Kami kan…”
“Apa
bukan korupsi namanya jika kalian rela patungan demi menumpuk uang 30 juta
hanya untuk membayar joki yang katanya akan memberi kalian jawaban ujian,
padahal belum tentu benar. Percaya sedikit pada joki saja adalah sebuah
ketololan besar.” Aku tetap pada pendirianku.
“Tapi
lo harus ingat, Yuna. Biarpun lo pinter bahasa Inggris, lo bego Matematika.
Jangan salahkan kami kalau akhirnya pelajaran satu itu membuat lo nggak lulus.”
“Allah
akan menolong setiap hamba-Nya yang mau berusaha dengan cara yang diridai-Nya.
Permisi!”
Kutinggalkan
kelas seisinya dengan langkah terburu. Dadaku sesak mendengar bujukan-bujukan
tak baik mereka. Nasihat Bu Mumun, mentorku di SKI[2]
sekolah masih utuh melekat hangat di ingatanku. “Jadilah tanah yang subur,
hingga ketika ada hujan ujian, anti[3]
bisa menumbuhkan potensi yang berbuah prestasi. Atau tanah yang bisa menampung
air, sehingga tetap bisa mengambil hikmah dan manfaat dari hujan ujian. Jangan
menjadi tanah berbatu cadas yang keras, yang tidak mendapat apa-apa, akhirnya
menimbulkan banjir masalah.”
“Halal”
di negeri mayoritas Muslim ini hanya tertera sebagai label di bungkus makanan.
Selebihnya, semu abu-abu, absurd,
seperti warna rok sekolahku ini. Halal korupsi, halal main suap, halal
mencontek, halal menghisap racun tembakau alias merokok, halal membuang sampah
sembarangan, halal mendirikan kompleks pelacuran. Tak ada yang memprotes itu
semua. Hukum bagai bungkam. Entahlah.
***
“Jika
kau berhasil membuat senbazuru,
keinginanmu pasti akan dikabulkan, Yuna-chan!”
Matanya
yang sudah sipit hanya tinggal segaris ketika ia tersenyum memamerkan deretan
gigi putihnya seperti itu. Erika menunjukkan kertas-kertas washi yang dikirimkan ayahnya dari Osaka. Senbazuru, sen berarti
seribu, -bazuru di situ berasal dari origami-tsuru. Oru berarti melipat, gami
atau kami artinya kertas, sedangkan tsuru berarti bangau. Senbazuru, seribu bangau kertas. Aku
sudah hafal kisah tragis Sasaki Sadako, si anak malang korban bom atom
Hiroshima pencetus mitos senbazuru
itu, Rika telah berulangkali menceritakannya.
“Yokatta![4]
Yuna-chan, ayo bikin, biar ujianmu
lancar dan kau lulus dengan nilai yang bagus.” Rika mengangsurkan setumpuk
kertas washi kepadaku.
“Eto… Iie. Gomen ne.[5]”
Aku menggeleng.
“Doushite? Kenapa?” Tanyanya kemudian.
“Dalam
Islam, percaya kepada benda mati seperti itu tidak diperbolehkan, Rika-chan. Berdosa. Kita hanya boleh
menggantungkan harap kepada Tuhan, Allah subhanahu
wa ta’ala. Coba pikir, bagaimana bisa bangau kertas yang pasrah kau
lipat-lipat dengan tanganmu itu bisa menolongmu?”
“Isuramu wa taitei bikkuri saseteiru[6].
Tapi teman-temanmu banyak yang percaya pada eto…
joki, atau paranormal, deshou[7]?
Padahal mereka juga bukan Tuhan kan?”
Iya,
memang. Aku mendesah resah. Ralat, bukan Islamnya, tapi orang-orangnya. Mungkin
itu pula yang membuat dara Sakura ini masih sulit percaya akan Tuhan, apalagi
Islam. Agama baginya layaknya pakaian, setelah bosan dipakai, tinggalkan saja.
Toh ia cuma pelengkap di kartu identitas. Meski begitu, aku ingin suatu saat
bisa merengkuhnya ke dalam pelukan Islam.
“Aku
ingin orang tuaku tetap bersatu, tidak akan bercerai. Oleh karena itu aku
membuat seribu bangau kertas ini. Aku percaya permohonanku akan dikabulkan!”
Ada
genangan yang hampir tumpah dari pelupuk matanya. Rika-chan sudah setahun di
Indonesia. Bahasa Indonesianya sudah lumayan lancar. Ia siswi pertukaran
beasiswa Monbukagakusho di sebuah
sekolah internasional di Jakarta. Ia juga mengajar bahasa Jepang di sebuah
tempat kursus bahasa, dari sanalah aku mengenalnya. Rika menjadi guru privat bahasa
Jepang-ku, mengajariku mulai dari bunpou
(tata bahasa), kaiwa (percakapan),
hingga huruf kanji yang njelimet bak
akar ginseng. Mengenalkanku pada sejarah samurai, spirit bushido, koinobori,
hingga mitos senbazuru yang amat ia
percayai. Satu hal yang membuatku iba terhadapnya, ayah-ibunya yang hidup tak
rukun dan terancam bercerai.
Usai
orasi ilmiah bahasa Inggris-ku dipublikasikan di jurnal internasional ketika
itu, ada tawaran beasiswa dari Japan
Foundation untukku agar melanjutkan studi ke Universitas Tokyo usai aku
lulus SMA nanti. Insya Allah, setelah kursusku bersama Rika-chan selesai
beberapa bulan lagi, aku siap berangkat ke Jepang.
Bismillahirrahmanirrahiim….
Langkahku mantap menapaki koridor sekolah menuju ruang ujian. Beberapa pengawas
bersiap masuk sembari menenteng segepok naskah bersegel dengan tulisan “DOKUMEN
NEGARA, SANGAT RAHASIA”. Ini hari ketiga ujian, Matematika. Aku menggumamkan
sebarisan doa. Masa bodoh dengan bisikan-bisikan busuk yang melemahkan
keyakinanku. Aku sudah belajar. Semoga dimudahkan.
Ruang
kelas hening. Aku tak tahu menahu perihal rencana culas membeli jawaban ujian
yang pernah mereka utarakan dulu. I don’t
know and I don’t care! Meski di tengah-tengah jam ujian aku menangkap
gerak-gerik mencurigakan dari beberapa peserta. Lempar kode-tangkap kode.
A-B-C-D-E. Spanduk raksasa di gerbang sekolah bertuliskan “UJIAN NASIONAL
BERSIH” seolah menjadi kalimat omong kosong belaka. Jauh panggang dari api.
Juni 2009
Aku
menggenggam pasrah surat panggilan dari Japan
Foundation itu. Yunaika Azzahra, lolos seleksi berkas ke Tokyo University.
Tinggal selangkah lagi, maka aku akan resmi diberangkatkan ke negeri matahari
terbit. Ah, selangkah lagi? Rasanya langkahku terhenti di tempatku berpijak
sekarang ini dan lumpuh, tak mampu digerakkan lagi.
“Ini
tidak fair, Pak. Anak saya ini
bintang kelas. Dia sudah berkali-kali mengharumkan nama sekolah. Anda sendiri
kan juga tahu, Pak. Anak saya sebentar lagi dapat beasiswa ke luar negeri. Anak
saya bukan murid yang bodoh, Pak. Bagaimana bisa dia tidak…”
Mama
pingsan. Pak Kepala Sekolah tak bisa berkata-kata lagi. Ini bukan keputusan
beliau. Bagai ada berjuta-juta palu godam yang tiba-tiba dihunjamkan kepadaku.
Satu mata pelajaran itu meruntuhkan segalanya. Karena nila setitik, rusak susu
sebelanga. Tiga koma lima, nilai yang membuat miris. Namun, sejujurnya aku
lebih miris kepada teman-temanku yang berhasil lulus, tapi melakukan aksi
bodoh; konvoi di jalanan dan coret-mencoret baju seragam. Bak baru saja
terbebas dari penjara. Sungguh, seperti tindakan manusia yang tak pernah makan
sekolahan!
“Mbak,
tenang ya, Mbak. Nanti masih bisa ikut Ujian Paket C,” ujar salah seorang guru
di ruangan itu, berusaha menghiburku.
“Tidak
usah, Pak. Terima kasih. Permisi.” Aku berlalu sembari menuntun Mama,
sempoyongan.
Duhai,
di manakah keadilan itu bersembunyi?
Tentu
saja kasusku bukan barang baru. Nenek renta yang “tak sengaja” mencuri singkong
dimasukkan penjara, sementara koruptor trilyunan rupiah bisa melanglang buana
ke mana-mana, itu bukanlah sesuatu yang aneh lagi.
Setiap
orang memiliki keunikan dan kemampuan yang berbeda-beda. Numeric-ku rendah, namun literary-ku
hampir mencapai angka seratus. Lantas, ujian nasional itu? Apakah bisa menjadi
tolok ukur yang valid? Kenapa hanya kognitif saja yang dinilai? Ke mana aspek
afektif dan psikomotorik yang juga selalu digaung-gaungkan itu?
Ah,
aku tidak ingin ambil pusing. Di luar sana masih banyak anak-anak miskin yang “dilarang”
sekolah karena terhambat biaya. Sementara, di sini aku muak dengan anak-anak
konglomerat yang menyuap petinggi sekolah demi ranking. Kurasa, ini pendidikan
model telur setengah matang yang dijejalkan paksa ke mulut para siswa.
Hasilnya, hoeekk, ada yang muntah.
Serasa
terlempar ke negeri antah-berantah, tiba-tiba aku merasa asing!
***
Indonesia tanah air beta, pusaka
abadi nan jaya…
Indonesia sejak dulu kala, tetap
dipuja-puja bangsa…
Lagu
kebangsaan itu samar-samar bergaung di tengah kerusuhan. Dinyanyikan di sela
amarah yang membara. Suara langkah-langkah yang terburu dan praang kaca pecah menyobek keheningan
pagi. Lontaran kata-kata kasar dan sumpah-serapah membahana. Sarkastik.
Spanduk-spanduk “Tolak UN” dipasang di mana-mana. Tak ketinggalan,
kotoran-kotoran sapi yang mereka limpahkan di depan kantor Dinas Pendidikan,
seolah menjadi bahasa isyarat yang diterjemahkan menjadi: pendidikan negeri ini
macam kotoran sapi, penuh kebusukan!
Pusing
yang menghantarkannya kepada depresi tingkat tinggi itu memaksanya menginap di
rumah pesakitan. Gadis bermata segaris itu sudah pulang ke negerinya yang
permai, negeri yang sangat ingin ia jajaki. Negeri di mana ia ingin menikmati
harum kuntum-kuntum sakura yang dibawa angin musim semi, sembari mereguk ilmu
pengetahuan yang membentang luas.
Orang tuaku akhirnya
bercerai. Mereka sudah tak menyayangiku lagi. Then, I’ve decided to commit suicide.
Kertas
lusuh berisikan email dari negeri
seberang itu digenggamnya pasrah. Ada sejuta rasa bersalah, hingga gadis sipit
itu mendatangi mimpinya tiap hari dengan paras menghiba, meminta mengkomplitkan
bangau kertas itu menjadi seribu.
Apakah di negerimu sana
ada keadilan, Rika-chan? Siapa yang lebih bar-bar, negeriku ataukah negerimu?
Dulu negerimu menjajah negeriku, sekarang orang-orang di negeriku saling
menjajah, saling membantah. Kisahku hanyalah sepersekian dari selaksa polemik
yang terjadi di sini. Jikalau aku mau mengkomplitkannya menjadi seribu, bukan
berarti aku mempercayainya. Anggap saja di setiap helai sayapnya kutitipkan
doa, untuk sang pusaka yang masih saja dipuja-puja bangsa…
Gadis
berjilbab lusuh itu masih menulis, abai akan vonis yang membawanya menjadi
tahanan di sini, yang merampas masa depannya: skizofrenia.
-8
Jumadil Akhir 1434-
[1]
Kertas lipat khas Jepang
[2]
Sie Kerohanian Islam
[3]
“kamu” untuk perempuan (bahasa Arab)
[4]
Baiklah!
[5]
Anu… Tidak. Maaf.
[6]
Islam terkadang membingungkan
[7]
Iya, kan?
[8]
Jika berusaha, pasti berhasil
*Dimuat pula di www.pelitanesia2013.wordpress.com dengan masih memakai judul lama: Seribu Bangau Kertas
*Dimuat pula di www.pelitanesia2013.wordpress.com dengan masih memakai judul lama: Seribu Bangau Kertas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar