Rabu, 29 Januari 2014

Jalan Tak Ada Ujung






"Inilah saatnya kita benar-benar menghadapi hidup!" ujarnya. Aku tercenung-cenung, malu. Dia menganggapku kakak, namun aku belum bisa bersikap lebih bijak. Tentu saja, ukuran kedewasaan tidak terletak dari siapakah yang usianya lebih tua. Mungkin, hidup sederhana telah mendewasakannya. Berbeda denganku yang kerapkali masih kenakak-kanakan meski usia telah merambah angka dua puluh tiga.

"Aku pernah baca biografinya Toety Heraty, guru besar UI. Beliau S-1 Kedokteran, S-2 Psikologi, S-3nya apa coba? Filsafat! Secara nalar orang-orang pada umumnya, gila banget, kan? Tapi, menurut beliau, tidak masalah. Ilmu kan saling terkait. Dan dia punya passion di sana. Passion.

Ketika kita sudah memiliki tekad, impian, kata-kata orang lain itu cukuplah kita anggap sebagai... apa ya ibaratnya? Kalau positif dan bermanfaat buat kita, kita ambil. Tapi kalau malah menggerogoti keyakinan kita, lebih baik kita abaikan, biar terbawa angin lalu. Menurutku, Mbak sudah jauh lebih menemukan arah hidup Mbak.

Aku punya teman satu asrama. Alumni Kedokteran UNS. Dia juga 'nyasar' seperti aku. Di sini, dari sembilan orang, lima di antaranya 'nyasar' semua. Ada yang asalnya dari Kedokteran Umum, Gizi, Ekonomi, Hukum, pun aku yang asalnya dari Sastra. Sama sekali tidak paralel dengan mayor studi kami sekarang. Semua anak sekelas dan dosen-dosen pada awalnya langsung heran, dokter masuk sini, mau pada ngapain coba?

Meskipun sering shock, minder, nggak yakin di awal, tapi lama-lama dia menjalaninya dengan nyaman. Berhenti mempertanyakan nasibnya yang 'nyasar' itu. Dan tahu, nggak? Dia malah nemu jodoh juga di kelas.

Yaaa, barangkali ada skenario yang sama untuk Mbak. Hehe."

Aku mendesah. Ada resah yang masih bertimbulan menjelma uap nafas yang bergumpal-gumpal di sela-sela udara dingin musim penghujan. Ingin rasanya bertolak ke empat-lima tahun yang lalu. Membuang "pilihan pertama" itu jauh entah ke mana, biar semuanya sesuai dengan tonggak mimpiku yang kubangun menjulang semenjak waktuku masih belia. Semuanya serasa mimpi, hadir selintas, melesat cepat, dan aku seolah baru saja terbangun dari tidur siangku yang panjang. Aih, tiada guna penyesalan. Semua takdir-Nya adalah indah. Sudah. Tugas seorang hamba adalah bersyukur, bukan merutuki takdir sepanjang jalan.

"Ini hidupmu, jalanilah."

Perbincangan usai. Aku tersenyum. Menatap bentangan jalan di depan yang terang-benderang penuh cahaya. Jalan para pencari ilmu. Panjang, tak berujung. Biarlah kemudian, Ia yang menuntun kita, untuk sebuah akhir yang indahnya tak boleh diterka dulu.



290114

Tidak ada komentar: