Minggu, 26 Januari 2014

Kamisama No Okurimono





Panji:
Baris-baris kalimat itu masih utuh memberkas dalam ingatanku. Kalimat yang ditulis handwriting, rapi khas perempuan. Tak sengaja kutemukan lipatan kertas itu, terselip di buku yang dia pinjamkan kepadaku. Kertas ‘curhat’-nya, menurutku. Ah, ceroboh juga dia. Menaruh kertas curhat sembarangan di dalam buku. Dan sekarang buku itu ada padaku. Bukan salahku jika kemudian aku membaca kertas itu. Hm, pandai sekali ia merangkai kata. Lihatlah ini.
Mengapa perjuangan itu sedemikian pahit? Karena… surga itu manis. Tentu setiap orang menginginkannya. Namun, hanya para pejuang sejati lah yang memenangkannya. Pejuang sejati… Bantu aku meraih predikat itu, ya Rabbi. Hingga kelak semesta akan tersenyum kepadaku dan Firdaus-Mu memanggilku. Jadikan aku satu dari bidadari-bidadari surga-Mu…
Hm… manis, bukan? Tak pernah kutemui sebelumnya teman satu jurusan yang senang mengungkapkan perasaan melalui tulisan. Berbau ‘surga’, lagi. Dia menyelam begitu dalam dengan kedekatannya kepada Tuhan. Sungguh, tak pernah kutemui sebelumnya gadis macam dia… Dan aku tak akan pernah lupa dengan sederet kalimat yang ditulisnya itu…

Rani:
“Hm, jangan-jangan… kamu baru jadian ya?” goda Shinta demi melihat wajahku yang sumringah di kampus tadi pagi. Hari pertama kuliah di semester lima. Aku terhenyak. Jadian?
“Maksudmu apa, Shin?” sergahku.
“Tidak usah mengelak begitu lah, Rani sayang… Semua juga sudah tahu tentang kedekatanmu dengan dia…” lanjutnya.
Dia?
Aku lemas. Ya Rabb…
Kami hanya teman satu jurusan, tidak lebih. Tidak ada yang istimewa, komunikasi kami hanya biasa saja. Mereka menganggapnya terlalu berlebihan.
Jadian? Makanan apa pula itu? Image Rani sebagai akhwat berjilbab yang dikenal alim di antara mereka bisa rusak nanti-nanti. Ah… Nurani Humaira, bertanyalah kepada dirimu sendiri. Apakah kau pernah berkhalwat dengan laki-laki itu? Apakah kau lengah memegang prinsipmu untuk istikamah? Apakah… apakah ini teguran Allah karena dirimu lalai? Terus dan terus ber-SMS-ria. Ketika pesan itu datang darinya, entah kenapa selalu tak kuasa untuk menolaknya. Lantas, mulailah obrolan itu, berlanjut hingga larut. Ada saja yang diperbincangkan. Tak hanya masalah kuliah dengan tugas-tugas yang berjibun, namun juga impian, harapan-harapan masa depan, buku-buku yang menarik untuk dibaca, dan yang terakhir tentang… pernikahan.
Apa kau sudah cukup umur, Ran? Akhir bulan nanti genap dua puluh satu tahun. Namun, laki-laki itu bukanlah dambaan Rani. Dia sungguh hanya laki-laki biasa, bukan ikhwan seperti orientasi Rani selama ini. Lagipula, Rani lebih tua setahun darinya. Apa pantas?
Aih, astaghfirullah ya Rabb… apa yang barusan aku pikirkan? Tidak-tidak-tidak! Rani, semester baru sudah menanti. Ini yang lebih penting untuk dipikirkan. Bersiagalah, Rani!

Panji:
Taaruf. Sekarang aku sudah mengerti definisinya. Kosakata baru yang memasuki perbendaharaan ruang benakku. Lagi-lagi kutemukan tulisan tangannya dalam buku bertajuk ‘Taaruf Keren!’ yang dia pinjamkan kepadaku. Sebuah doa, sekaligus sajak, kurasa. Izinkan aku rindu, kepada orang yang rindu, dan hatinya tertaut sepenuh hati. Mencintai-Mu.
Tenang saja, pasti suatu saat akan ada orang yang menjadi bagian hidupmu. Tulisku tanpa ragu. Kemudian, sending text message… ah ya, terkirim.
Begitu ya? Pacaran tak pernah ada dalam agama yang kuanut ini? Aih, betapa naifnya aku.
Dulu. Dulu sekali, cinta ABG itu tumbuh begitu saja, membiusku dalam rasa suka kepada teman sekelas. Seiring mengalirnya rasa itu, kami hanyut dalam hubungan cinta ala remaja. Namun, sekarang aku sudah tak bersamanya lagi, dan kini, aku single. Berharap ada perempuan yang bisa aku sayangi selain ibuku sendiri.
Ketika aku hijrah ke kota ini, hari-hari pertama masa orientasi studi, aku mengenalnya. Sosok berkerudung merah muda yang lembut dan fasih berkata-kata dalam berbagai bahasa dunia. Namanya secantik parasnya yang seindah bunga sakura, Arifa Prasetya.
Sungguh ceroboh diriku yang sama sekali tak piawai menyembunyikan perasaan yang melanda. Sungguh terlampau cepat mulutku mengungkapkan cinta. Malangnya, dua sahabatku ternyata senasib, menyukai si kerudung merah muda. Namun, bukan Panji namanya jika tak gentle menghadapi sesuatu, apalagi lembek dalam urusan macam beginian.
Kuberanikan mengirimkan sebait puisi untuknya. Lewat internet, tak apa. Yang terpenting dia membacanya dan tahu isi hatiku. Harap agar dia menerima, tentu ada. Aku tak peduli dengan puluhan pasang mata yang mengecam tindakanku yang mungkin dirasa bodoh. Aku juga acuh tak acuh dengan puluhan keping hati yang hancur karena aku menyatakan perasaanku mendahului yang lain…

Rani:
Kenapa aku merasa bahagia? Layaknya bermandikan udara musim semi yang hangat dan dilingkupi seratus macam bunga warna-warni… Aku bahagia. Ya, tak dapat kupungkiri, aku bahagia. Tetapi, entahlah. Aku tak tahu persis sebabnya apa.
Kembali Shinta menggodaku habis-habisan ketika ia menangkapku basah tengah chatting dengan lelaki itu…
“Hayooo… lagi chatting sama Abang ya?” tanyanya dengan seringai senyum penuh curiga. Aku geli mendengar ucapannya. Abang, katanya? Hei, sadarlah. Dia baru lahir setelah aku berumur satu tahun lebih… Lihat saja tanggal lahirnya di facebook. Jauh lebih muda dia daripada aku kan…
“Sudahlah, Ran. Ngaku, kamu udah jadian sama dia kan?”
Huh, lagi-lagi! Ia masih saja mencecarku dengan pertanyaan itu. Jawaban apa yang dia harapkan dariku? Mungkin dia akan senang sekali jika aku menjawab, “Ya”. Tapi tidak, aku akan tetap bungkam. Biarkan saja dia berteka-teki sendiri.
Shinta memang sahabatku semenjak tinggal di kota ini, lantas bertemu dengannya di bangku kuliah. Namun bukan berarti kami sepaham dalam segala hal. Kami berbeda jauh. Sangat jauh. Jika aku tega, aku bisa mengatakannya lantang-lantang. Ia terlahir di keluaga kaya yang serba ada. Gaya hidupnya yang high class jelas amat kontras denganku yang notabene berlatar belakang keluarga pas-pasan. Dia study oriented, IPK adalah segalanya. Aku sebaliknya, apa jadinya aku tanpa berorganisasi? Aku termasuk mahasiswi yang meyakini bahwa soft skill minim ditemukan di perkuliahan. Dan di sanalah aku aktif kemudian, Sie Kerohanian Islam Fakultas. Sebagai akhwat yang ingin memegang teguh nilai-nilai Ilahiah, tentu aku pantang bersentuhan dengan kata satu itu: pacaran. Namun tidak dengan Shinta, ia sudah melanglang-buana bergonta-ganti pacar sejak SMA. Seharusnya adalah tugasku untuk mendakwahinya. Bahwa pacaran itu begini dan begitu. Tapi, apa mau dikata, ia sudah kebal dengan kata-kata bahwa pacaran itu haram, hanya mendatangkan mudharat belaka. Jadilah segala perkataanku masuk ke telinga kanannya, lantas keluar dari telinga kirinya, kemudian tertiup angin, hilang entah ke mana. Ah, sudahlah Rani, masalah hidayah itu urusan dia dengan Yang Maha Kuasa. Doakan saja suatu saat—cepat atau lambat—Shinta akan kembali ke pelukan hidayah, dan kau akan merangkulnya dalam dekapan ukhuwah yang indah.
Lalu sekarang? Aku memang belum pernah pacaran. Dekat dengan laki-laki saja tidak pernah. Lha ini? Kenapa aku berani-beraninya berkhalwat dengannya? Meskipun cuma chatting, tetap saja kami hanya berdua di dunia maya… Astaghfirullah… Aku tahu, kau pasti merasa aneh, Shin. Aku yang berjilbab panjang ternyata suka berkomunikasi berdua dengan lelaki. Aku tak heran jika kau curiga, Shin. Sebab yang sering kau temui ngobrol denganku hanya satu, lelaki itu…
***

Agustus 2009. Titik mula lembaran baruku untuk thalabul ‘ilmy di kota nun jauh dari tempat kelahiranku. Ada rasa haru yang melebur bersama segumpal sesal. Namun aku tak mau larut dalam perasaan ketidakbersyukuranku. Allah menakdirkan aku ada di sini—menjadi satu dari sekian ribu yang terpilih untuk menimba ilmu di perguruan tinggi nomor wahid di negeri ini. Bukan berarti aku tak senang dengan predikat itu, namun aku lunglai ketika menemui kenyataan cita-citaku terampas, dan yang terengkuh hanyalah cita-cita Abah.
“Abah percaya kau bisa menjadi Psikolog handal nantinya, Nduk.”
Aku tersenyum pahit. Justru aku tak ingin meraih profesi yang sedemikian prestisius. Aku masihlah Rani kecil yang bercita-cita menjadi guru Bahasa Jepang. Dan aku akan ke Jepang suatu hari nanti. Titik.
Namun Allah memang benar-benar membuatku birrul walidain. Kenyataannya, aku diterima di program studi Psikologi. Bagaimana aku harus mengelak jika Abah sudah terlanjur ber-euforia dengan kenyataan ini? Yahh, kuterima takdir ini sebagai hikmah terindah dari-Nya, meski sempat terasa sepat dan hambar di awal-awal perkuliahan.
***

“Bacanya apa itu, Ran?” kening Faiza berkerut demi melihat rentetan huruf kana yang iseng kugoreskan pada diktat kuliah.
“Ini bacanya… ki-re-i na Ra-ni!”
“Apaan tuh artinya?”
“Artinya… Rani cantik! Hehe…” Akhwat mungil itu memanyunkan bibirnya.
“Memangnya, kenapa kau dulu berhasrat masuk sastra? Jepang, lagi!” tanyanya kemudian.
“Karena sastra dan bahasa itu indah. Karena peradaban berawal dari bahasa. Begitu pula ilmu jiwa ini, tidak akan ada ilmu jiwa jika tidak ada bahasa yang mengawalinya. Kenapa Jepang? Karena di sana aku menemukan keunikan bahasa. Lewat huruf-hurufnya yang susah dan beragam, kita bisa menyimpulkan sebuah kemajuan peradaban. Dan peradaban itu dijunjung tinggi oleh masyarakatnya dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai luhur tradisional dan tetap melaju bersama perkembangan zaman. Sebuah keunikan yang patut dicontoh, meski dalam hal agama mereka nihil.”
Faiza tersenyum. “Lantas? Apa yang kau harapkan dari negeri samurai itu? Tempat bulan madu, kelak?” godanya.
“Mungkin nggak, ia menjadi lahan potensial untuk berdakwah?”
Wallahua’lam, Ukhti. Jika Allah menghendaki, kenapa tidak?” Kami berdua buncah dalam tawa. Ada setitik asa baru yang kami semaikan. Mulai detik itu.
***

Iseng aku mencermati papan pengumuman yang menampilkan berita terbaru: PMB 2010. Sempat terbersit ide nakal di benakku, ikut tes lagi. Siapa tahu kali ini Abah mengizinkan. Kesempatan itu akan selalu terbuka bagi orang yang tak putus berikhtiar. Tapi, tunggu dulu. Jika aku memiliki niat seperti ini, bukankah aku masih meragu akan ‘jalan terbaik’ yang telah Dia berikan?
“Berminat ikut tes lagi ya, Rani?” sebuah suara membuatku terhenyak. Cowok bertubuh tinggi itu.
“Saya juga kepengen, kok.” Belum sempat aku menjawab, ia sudah berkata lagi.
“Saya… Insya Allah. Pengen ngambil apa rencananya?” tanyaku kemudian.
“Sastra Jepang. Kalau Rani?”
“Sama. Namun, entahlah. Saya sudah terlanjur meyakini bahwa seindah apa pun rencana yang kita tuliskan, jauh lebih indah rencana yang Allah tuliskan untuk kita.”
Kutemukan akhirnya teman sejurusan yang senasib. Sebelumnya bercita-cita ke sastra, namun malah terdampar di sini. Ia penyuka Jepang, lebih didasarkan pada budaya modern dan anime-animenya yang super keren. Tidak sepertiku yang lebih tertarik pada traditional life style dan falsafah hidup mereka.
Dia menanyaiku macam-macam. Tak sekedar bertukar pikiran tentang salah jurusan. Namun, ia tertarik dengan prinsip hidup yang kuanut. Ya Rabbi, dia memang bukan ikhwan seperti yang selama ini aku sering berinteraksi di rohis. Dia juga bukan cewek macam Shinta yang aku bisa terbuka dalam menjelaskan dan bercerita. Dia sungguh cowok biasa yang aku harus memperlakukannya dengan cara yang beda. Pun ketika ia bertanya-tanya, tentang hukum nikah dan pacaran dalam Islam…

Panji:
Tidaaakkk! Sekarang hancurlah keping-keping hatiku sendiri. Aku ditolak mentah olehnya. Dengan tegas ia mengatakan tak akan pacaran sebelum lulus kuliah. Ah, itu sungguh masih lama. Katakan saja kau tak suka padaku, Rifa. Kenapa mesti mengarang alasan tak akan pacaran sebelum lulus segala? Padahal, aku berharap adanya seseorang yang bisa kucintai di sini, demi memendam rasa kecewaku akan mimpi yang sempat terenggut.
Ibu mengharapkanku menjadi psikolog, ketika aku sedang menyusun mimpi untuk studi Bahasa Jepang. Dan itu tak mungkin tercapai jika aku berada di sini, terkungkung dalam suasana manusia-manusia yang ingin membebaskan dunia dari sakit jiwa. Padahal bagiku, kesembuhan jiwa itu tak sekedar bergumul dengan teori dan hipotesa di sini ataupun di lorong-lorong rumah sakit jiwa. Ada ruang lain bagi kesembuhan jiwa, aku yakin itu. Namun, entah. Aku tak tahu di mana ia berada.
  Ahh, ternyata bukan aku saja yang merasa terjebak di tempat ini. Ada pula teman sejurusan yang layaknya aku. Merasa asing, merasa salah langkah. Impian kami sama, takdir kami pun sama. Life is totally a mystery. Namun, kurasa ia berbeda. Ia sosok yang dengan lapang dada mau menerima realita, tidak sepertiku.
“Seindah apa pun rencana yang kita tuliskan, jauh lebih indah rencana yang Allah tuliskan untuk kita…” ucapnya suatu ketika.
Jujur aku canggung setiap kali berpapasan dengan sosok itu. Ia tak seperti Rifa yang anggun dan feminin, memiliki kesan smart, serta menjadi primadona. Ia juga tak seperti cewek-cewek di kelas kami yang suka kumpul-kumpul dan hang out bareng. Betapa ia mahkluk langka yang jarang kujumpai. Dari segi kavernya juga beda. Kadang aku tergelitik oleh rasa penasaran tentang pakaiannya yang tak lazim. Kota yang memiliki banyak pantai ini tentu menimbulkan peluh akibat teriknya yang membakar. Tapi dia? Pakaiannya justru berlapis-lapis dengan jilbab panjang menjuntai yang menjadi ciri khasnya. Apakah dia… anggota gerakan Islam radikal? Ah, entahlah. Apa peduliku tentang hal-hal seperti itu? Yang terpenting, ia mau kuajak sharing perihal ‘salah langkah’ kami. Dan amboi, ia begitu fasih berkata-kata dalam Nihongo. Aku betul-betul kalah. Anehnya, ia selalu menunduk bak Mimosa pudica[1] ketika bertemu denganku. Tak tahu alasannya, entah malu atau sungkan terhadapku. Namun akulah yang perlahan canggung dan sungkan terhadapnya.
Bukan seperti sangkaanku sebelumnya, ia ternyata jauh lebih lembut dari Arifa. Bagaimana tidak, jika sebentar-sebentar terlontar dari bibirnya “subhanallah”, “alhamdulillah”, “astaghfirullah”, “masya Allah”… Dan senyumnya yang selalu menyerta itu.. benar-benar sempurna melengkung di bibir tipisnya.
Ya Tuhan, adakah hatiku telah sedemikian cepat berpindah dari Rifa kepadanya? Ah, kalaupun iya, aku sepenuhnya yakin ia bukan tipe gadis yang berpacaran. Sentuhan dengan lelaki saja tidak sudi. Bagaimana ia bisa mendapat jodoh kalau begini?
Awal mula, ia memang sulit kupahami, penuh misteri. Nurani Humaira.

Rani:
Kuangsurkan dua paket buku koleksi perpustakaan pribadiku kepadanya. Dua-duanya tentang… uhm.. pernikahan. Kurasa, cukuplah itu menjawab rasa ingin tahunya yang mendalam perihal hukum pacaran dan nikah dalam Islam. Tak perlulah aku sendiri yang menjelaskan panjang-lebar. Aku merasa tak enak hati, bukankah lebih baik ia bertanya kepada ikhwan saja, mentornya di Asistensi Agama Islam misalnya, bukannya kepada akhwat sepertiku yang jelas-jelas bukan mahramnya.
Namun, aku tak bisa menepis bisikan nuraniku sendiri, tak ada salahnya membagi ilmuku kepadanya. Bukankah aktivis dituntut untuk siap berdakwah di ranah manapun, pun ketika berhadapan dengan lelaki awam macam dia.
Tak bisa kutepis pula ketika pertanyaan-pertanyaannya tak sekedar itu saja, namun melebar ke permasalahan yang lain. Kami tidak bertemu dan bertatap muka. Kecanggihan teknologilah yang kemudian membuat komunikasi kami kerap terjadi. Perasaan senang muncul tiba-tiba setiap kali ia menyapaku di alam maya. Apa aku sedang… hmm, aku tak boleh sekali-kali jatuh cinta kepadanya. Dan bodohnya, aku justru baru menyadari akhir-akhir ini jika… aku telah berkhalwat dengannya hingga fitnah itu muncul begitu saja!

Panji:
Stop! Aku tak boleh jatuh hati kepadanya. Aku tak pantas untuk sekedar mencintainya. Begundal macam aku mencintai malaikat sepertinya? Bah, bagaimana jika peribahasa buruk itu nemplok kepadaku: pungguk merindukan bulan? Sama sekali tidak lucu.
Hanya saja... buku-buku yang ia pinjamkan kepadaku serta diskusi-diskusi kami yang panjang via message maupun situs jejaring sosial telah membuka mataku tentang cinta yang sesungguhnya. Alangkah naifnya aku selama ini. Aku selalu ingin membina hubungan yang tak halal seperti pacaran. Padahal agama termulia sepanjang masa ini telah mengaturnya dengan sempurna. Alhamdulillah, Engkau masih menjagaku dari jurang zina ya Allah. Sungguh, aku ingin melebur dalam cahaya hidayah-Mu.
Rani, kuakui ia memang figur seorang istri ideal, seperti yang dijelaskan dalam buku itu. Bukan semata karena harta, keturunan, maupun kecantikan. Namun karena keteguhannya dalam berislam. Rani mungkin tidak memiliki keduanya, namun ia memiliki dua yang lainnya. Cantik parasnya, seorang muslimah kaffah, pula. Aku pun tahu jika sikapnya yang kuanggap malu-malu itu adalah upayanya menjaga izzah. Bahwa pandangan sejatinya adalah anak panah iblis yang beracun. Dari mata turun ke hati, begitulah istilah gampangnya. Ah, tetap saja aku tak pantas untuknya. Lihatlah, umurnya lebih tua setahun lebih dariku. Meski aku paham cinta tak memandang usia, namun sikap dewasa dan bersahajanya tentu tak sepadan dengan seorang Panji Arya Kusuma yang selama ini bertindak sebagai anak gaul dan hidup dalam lingkaran perhatian orangtua. Maka, sepertinya ia lebih pantas kuanggap sebagai seorang kakak.

Rani:
“Assalamu’alaikum, Kak Rani…”
 Aku tertegun demi membaca salamnya yang tertera di layar monitor. Kak Rani? Benar-benar aku tak paham maksud dia memanggilku dengan embel-embel seperti itu.
“Maaf jika Rani sedikit kaget. Maaf jika selama ini saya merecoki Rani dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Maaf jika interaksi kita menimbulkan apa yang Rani sebut fitnah hingga menjatuhkan wibawa Rani. Namun, sungguh saya tak punya maksud apa pun selain ingin tahu tentang Islam lebih dalam. Salahkah jika saya bertanya kepada Rani? Terus terang, mengenal Rani seakan menemukan sosok seorang kakak bagi saya, yang bisa membimbing dan mengarahkan saya kepada kebaikan…”
Aku tergugu menatap barisan kalimat itu. Ia menganggapku sebagai kakak? Apa dia tidak salah ucap? Entah kenapa, ada rasa haru yang meletup kemudian. Meski begitu, tetap saja kami bukan mahram! Tidak sepatutnya interaksi itu diterus-teruskan. Lagipula, dia juga sudah menyadari jika fitnah bisa saja terjadi lagi. Ya Rahmaan, cukuplah maaf itu bagiku. Tak kurang, tak lebih. Satu pintaku, rengkuh ia kembali ke dalam pelukan rida-Mu. Jadikan ia insan yang senantiasa taat dan istikamah menjalankan syariat-Mu…
***

Kuurungkan niatku waktu itu perihal ikuti tes lagi. Takdir-Nya memang indah, kuakui. Tahun-tahun berlalu. Kini aku sibuk mengurusi rohis fakultas. Namun, kadang aku masih melirik Fakultas Sastra tentang info beasiswa, ke Jepang terutama. Pun Panji, ia yang rajin main ke fakultas tetangga. Kurasa ia masih begitu ingin menjadi mahasiswa sastra, kendati sudah kusuruh ia meresapi surah Al-Baqarah ayat dua ratus enam belas.
Aku melirik buku tentang pernikahan yang pernah kupinjamkan kepadanya dahulu. Pesan sang murabbi lantas terngiang di benak… “Dimantapkan hatinya ya Dik, besok Mbak kirim sampel proposalnya ke e-mail anti.”
Aku masih belum habis pikir.
“Mbak sudah pegang biodata ikhwan yang ingin bertaaruf sama anti, tinggal biodata anti…”
Aih, dilema. Di satu sisi aku belum memiliki kesiapan apa pun. Namun, haruskah aku melambat-lambatkan diri apalagi untuk hal ibadah? Aku baru saja mulai skripsi. Jika semuanya berjalan sesuai perencanaan yang kubikin, aku akan wisuda tahun depan. Apa nanti kerepotanku tidak bertambah jika aku menikah sebelum selesai kuliah? Ahh Rani, agaknya kau lupa dengan janji-Nya bagi siapa saja yang menyempurnakan separuh agama!
Kubuka-buka kembali buku itu… Agaknya aku harus membacanya kembali demi persiapan mentalku sendiri. Selembar kertas terjatuh. Bagaimana kertas lusuh berisi coretan puisiku ini bisa ada di dalam sini? Dasar Rani pelupa!
Izinkan aku rindu, kepada orang yang rindu, dan hatinya tertaut sepenuh hati mencintai-Mu…
***

Dia mahasiswa Fakultas Sastra. Jurusan Sastra Jepang. Saat ini sedang mempersiapkan sidang untuk skipsinya. Beberapa minggu lalu, ia dinyatakan lulus tes beasiswa S-2 di Waseda University, Tokyo. Rencananya, setelah wisuda dan menikah ia akan segera terbang ke Jepang. Subhanallah, skenario macam apa yang tengah dipersiapkan Allah untukku? Ah, sehebat apa pun statusnya, tetaplah harus istikharah sebelum keputusan besar itu kuambil.
***

Benakku sesak oleh berbagai hal. Proposal taaruf yang belum selesai, judul skripsi yang masih belum disetujui dosen, adik-adik binaanku yang membutuhkan kehadiranku sepekan sekali, serta amanah lain-lain yang aku tak bisa merincinya satu-persatu. Namun, aku haruslah munadzam fi syu’unihi, mampu mengatur segala urusanku sendiri.
Senja itu kupacu motorku menuju tempat daurah yang agak jauh dari tempatku bermukim. Setelah isya nanti ada forum diskusi, dan aku jadi pemandunya. Sengaja berangkat lebih awal biar aku bisa mempersiapkan materinya dulu. Ah, aku lupa membawa kacamata minusku. Tak apa, semoga langit cerah tanpa mendung, apalagi hujan. Bismillahirrahmanirrahiim…
Dugaanku salah. Titik-titik gerimis perlahan membasahi gamis panjangku. Kian mengaburkan pandangan. Aku tetap melaju dengan kecepatan sedang.
Sorot lampu yang datang dari arah berlawanan menyilaukan mataku. Di saat yang sama spionku memantulkan cahaya yang sama silaunya dari mobil di belakangku. Ia menyerobot jalan sekenanya.
Entahlah, tiba-tiba aku merasa tubuhku mengambang tak tentu arah dan… gelap! Laailahailallah!



Epilog:
Winter 2016
Lelaki itu melayangkan pandang ke luar jendela kaca. Langit muram, hawa dingin meruap, titik-titik air meninggalkan jejak basah di jendela itu. Salju turun perlahan mengawali fuyu[2]. Tiba-tiba ia terantuk sejuta memori. Tak mungkin ia lupa itu, meski telah bertahun berlalu.
Perlahan ia mengeluarkan sebatang pena, menggoreskannya perlahan ke lembaran notes yang dibawanya.
“Kak Rani, aku telah berhasil mewujudkannya. Menjejak di tanah yang kita idamkan. Aku yakin, jika saat ini engkau masih sempat melihat semua ini, kau akan iri setengah mati (atau kau justru akan tersenyum kagum melihat keberhasilanku?) Namun, aku yakin kau kini juga tengah menjejak pada cita tertinggimu. Bertemu dengan kekasihmu, Rabb yang kau cintai.
Hidayah itu memang sepenuhnya milik-Nya. Namun, Ia memberikannya dengan jalan yang tak disangka-sangka. Kini aku telah menemukan ruang itu, ruang bagi kesembuhan jiwa. Ia ada di sini. Di dalam kalbuku sendiri. Tak salah lagi, aku bersyukur dulu bisa mengenalmu, Kak Rani… Terima kasih. Semoga engkau tenang di sisi Rabb yang kau cintai.”

Al-Noor Islamic Culture Center. Masjid megah di jantung Fukuoka itu masih ramai dengan aktivitas ibadah para muslim dan muslimah seusai ashar. Lelaki itu masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, menyaksikan rintik salju yang menimbuni jalan raya di luar sana dari jendela berkaca.
“Assalamu’alaikum Akh Panji, ada yang ingin bertemu dengan antum.” Sebuah suara menyentakkannya.
“Yamashika-san. Apa beliau dosen antum?” seakan paham dengan raut wajahnya yang ingin bertanya “siapa?”
Dara Sakura itu kenalannya di Kyushu Daigaku. Mereka sedang terlibat diskusi tentang Islam. Lelaki itu tersenyum. Kamisama no okurimono[3]. Semoga kali ini cahaya-Nya melesat tepat, meresap ke dalam dinding kalbu Yamashika-san!


29 Safar 1432 H


[1] Tumbuhan  putri malu
[2] Musim dingin
[3] Hidayah dari Tuhan

Tidak ada komentar: