Panji:
Baris-baris kalimat itu masih utuh memberkas dalam
ingatanku. Kalimat yang ditulis handwriting,
rapi khas perempuan. Tak sengaja kutemukan lipatan kertas itu, terselip di buku
yang dia pinjamkan kepadaku. Kertas ‘curhat’-nya, menurutku. Ah, ceroboh juga dia. Menaruh kertas curhat
sembarangan di dalam buku. Dan sekarang buku itu ada
padaku. Bukan salahku jika kemudian aku membaca kertas itu. Hm, pandai sekali ia
merangkai kata. Lihatlah ini.
Mengapa perjuangan itu sedemikian pahit? Karena…
surga itu manis. Tentu setiap orang menginginkannya. Namun, hanya para pejuang
sejati lah yang memenangkannya. Pejuang sejati… Bantu aku meraih predikat itu,
ya Rabbi. Hingga kelak semesta akan tersenyum kepadaku dan Firdaus-Mu
memanggilku. Jadikan aku satu dari bidadari-bidadari surga-Mu…
Hm… manis, bukan? Tak pernah kutemui sebelumnya teman
satu jurusan yang senang mengungkapkan perasaan melalui tulisan. Berbau
‘surga’, lagi. Dia menyelam begitu dalam dengan kedekatannya kepada Tuhan.
Sungguh, tak pernah kutemui sebelumnya gadis macam dia… Dan aku tak akan pernah
lupa dengan sederet kalimat yang ditulisnya itu…
Rani:
“Hm, jangan-jangan… kamu baru jadian ya?” goda Shinta
demi melihat wajahku yang sumringah di kampus tadi pagi. Hari pertama kuliah di
semester lima. Aku
terhenyak. Jadian?
“Maksudmu apa, Shin?” sergahku.
“Tidak usah mengelak begitu lah, Rani sayang… Semua juga sudah tahu tentang kedekatanmu
dengan dia…” lanjutnya.
Dia?
Aku lemas. Ya Rabb…
Kami hanya teman satu jurusan, tidak lebih. Tidak ada
yang istimewa, komunikasi kami hanya biasa saja. Mereka menganggapnya terlalu
berlebihan.
Jadian? Makanan apa pula itu? Image Rani sebagai akhwat berjilbab yang dikenal alim di antara
mereka bisa rusak nanti-nanti. Ah… Nurani Humaira, bertanyalah kepada dirimu
sendiri. Apakah kau pernah berkhalwat dengan laki-laki itu? Apakah kau lengah
memegang prinsipmu untuk istikamah? Apakah… apakah ini teguran Allah karena
dirimu lalai? Terus dan terus ber-SMS-ria. Ketika pesan itu datang darinya,
entah kenapa selalu tak kuasa untuk menolaknya. Lantas, mulailah obrolan itu, berlanjut hingga
larut. Ada saja yang diperbincangkan. Tak hanya masalah kuliah dengan
tugas-tugas yang berjibun, namun juga impian, harapan-harapan masa depan,
buku-buku yang menarik untuk dibaca, dan yang terakhir tentang… pernikahan.
Apa kau sudah cukup umur, Ran? Akhir bulan nanti genap
dua puluh satu tahun. Namun, laki-laki itu bukanlah dambaan Rani. Dia sungguh
hanya laki-laki biasa, bukan ikhwan seperti orientasi Rani selama ini. Lagipula,
Rani lebih tua setahun darinya. Apa pantas?
Aih, astaghfirullah ya Rabb… apa yang barusan aku
pikirkan? Tidak-tidak-tidak! Rani, semester baru sudah menanti. Ini yang lebih
penting untuk dipikirkan. Bersiagalah, Rani!
Panji:
Taaruf. Sekarang aku sudah mengerti definisinya.
Kosakata baru yang memasuki perbendaharaan ruang benakku. Lagi-lagi kutemukan
tulisan tangannya dalam buku bertajuk ‘Taaruf Keren!’ yang dia pinjamkan
kepadaku. Sebuah doa, sekaligus sajak, kurasa. Izinkan aku rindu, kepada orang yang rindu, dan hatinya tertaut sepenuh
hati. Mencintai-Mu.
Tenang saja, pasti suatu saat akan ada orang yang
menjadi bagian hidupmu. Tulisku tanpa ragu. Kemudian, sending text message… ah ya, terkirim.
Begitu ya? Pacaran tak pernah
ada dalam agama yang kuanut ini? Aih, betapa naifnya aku.
Dulu. Dulu sekali, cinta ABG
itu tumbuh begitu saja, membiusku dalam rasa suka kepada teman sekelas. Seiring
mengalirnya rasa itu, kami hanyut dalam hubungan cinta ala remaja. Namun, sekarang
aku sudah tak bersamanya lagi, dan kini, aku single. Berharap ada perempuan yang bisa aku sayangi selain ibuku
sendiri.
Ketika aku hijrah ke kota ini,
hari-hari pertama masa orientasi studi, aku mengenalnya. Sosok berkerudung
merah muda yang lembut dan fasih berkata-kata dalam berbagai bahasa dunia.
Namanya secantik parasnya yang seindah bunga sakura, Arifa Prasetya.
Sungguh ceroboh diriku yang
sama sekali tak piawai menyembunyikan perasaan yang melanda. Sungguh terlampau
cepat mulutku mengungkapkan cinta. Malangnya, dua sahabatku ternyata senasib,
menyukai si kerudung merah muda. Namun, bukan Panji namanya jika tak gentle menghadapi sesuatu, apalagi
lembek dalam urusan macam beginian.
Kuberanikan mengirimkan sebait puisi untuknya. Lewat
internet, tak apa. Yang terpenting dia membacanya dan tahu isi hatiku. Harap agar dia menerima, tentu ada. Aku
tak peduli dengan puluhan pasang mata yang mengecam tindakanku yang mungkin
dirasa bodoh. Aku juga acuh tak acuh dengan puluhan keping hati yang hancur karena
aku menyatakan perasaanku mendahului yang lain…
Rani:
Kenapa aku merasa bahagia? Layaknya bermandikan udara musim semi yang hangat dan dilingkupi
seratus macam bunga warna-warni… Aku bahagia. Ya, tak dapat kupungkiri, aku bahagia. Tetapi, entahlah. Aku
tak tahu persis sebabnya apa.
Kembali Shinta menggodaku
habis-habisan ketika ia menangkapku basah tengah chatting dengan lelaki itu…
“Hayooo… lagi chatting sama Abang ya?” tanyanya dengan
seringai senyum penuh curiga. Aku geli mendengar ucapannya. Abang, katanya?
Hei, sadarlah. Dia baru lahir setelah aku berumur satu tahun lebih… Lihat saja
tanggal lahirnya di facebook. Jauh
lebih muda dia daripada aku kan…
“Sudahlah, Ran. Ngaku, kamu
udah jadian sama dia kan?”
Huh, lagi-lagi! Ia masih saja
mencecarku dengan pertanyaan itu. Jawaban apa yang dia harapkan dariku? Mungkin
dia akan senang sekali jika aku menjawab, “Ya”. Tapi tidak, aku akan tetap
bungkam. Biarkan saja dia berteka-teki sendiri.
Shinta memang sahabatku
semenjak tinggal di kota ini, lantas bertemu dengannya di bangku kuliah. Namun
bukan berarti kami sepaham dalam segala hal. Kami berbeda jauh. Sangat jauh.
Jika aku tega, aku bisa mengatakannya lantang-lantang. Ia terlahir di keluaga
kaya yang serba ada. Gaya hidupnya yang high
class jelas amat kontras denganku yang notabene berlatar belakang keluarga
pas-pasan. Dia study oriented, IPK
adalah segalanya. Aku sebaliknya, apa jadinya aku tanpa berorganisasi? Aku
termasuk mahasiswi yang meyakini bahwa soft
skill minim ditemukan di perkuliahan. Dan di sanalah aku aktif kemudian, Sie
Kerohanian Islam Fakultas. Sebagai akhwat yang ingin memegang teguh nilai-nilai
Ilahiah, tentu aku pantang bersentuhan dengan kata satu itu: pacaran. Namun
tidak dengan Shinta, ia sudah melanglang-buana bergonta-ganti pacar sejak SMA.
Seharusnya adalah tugasku untuk mendakwahinya. Bahwa pacaran itu begini dan
begitu. Tapi, apa mau dikata, ia sudah kebal dengan kata-kata bahwa pacaran itu
haram, hanya mendatangkan mudharat
belaka. Jadilah segala perkataanku masuk ke telinga kanannya, lantas keluar
dari telinga kirinya, kemudian tertiup angin, hilang entah ke mana. Ah,
sudahlah Rani, masalah hidayah itu urusan dia dengan Yang Maha Kuasa. Doakan
saja suatu saat—cepat atau lambat—Shinta akan kembali ke pelukan hidayah, dan
kau akan merangkulnya dalam dekapan ukhuwah yang indah.
Lalu sekarang? Aku memang belum pernah pacaran. Dekat dengan laki-laki saja tidak pernah. Lha ini? Kenapa aku berani-beraninya
berkhalwat dengannya? Meskipun cuma chatting,
tetap saja kami hanya berdua di dunia maya… Astaghfirullah… Aku tahu, kau pasti
merasa aneh, Shin. Aku yang berjilbab panjang ternyata suka berkomunikasi
berdua dengan lelaki. Aku tak heran jika kau curiga, Shin. Sebab yang sering
kau temui ngobrol denganku hanya satu, lelaki itu…
***
Agustus 2009. Titik mula
lembaran baruku untuk thalabul ‘ilmy
di kota nun jauh dari tempat kelahiranku. Ada rasa haru yang melebur bersama
segumpal sesal. Namun aku tak mau larut dalam perasaan ketidakbersyukuranku.
Allah menakdirkan aku ada di sini—menjadi satu dari sekian ribu yang terpilih
untuk menimba ilmu di perguruan tinggi nomor wahid di negeri ini. Bukan berarti
aku tak senang dengan predikat itu, namun aku lunglai ketika menemui kenyataan
cita-citaku terampas, dan yang terengkuh hanyalah cita-cita Abah.
“Abah percaya kau bisa menjadi
Psikolog handal nantinya, Nduk.”
Aku tersenyum pahit. Justru aku tak ingin meraih profesi
yang sedemikian prestisius. Aku
masihlah Rani kecil yang bercita-cita menjadi guru Bahasa Jepang. Dan aku akan
ke Jepang suatu hari nanti. Titik.
Namun Allah memang benar-benar
membuatku birrul walidain.
Kenyataannya, aku diterima di program studi Psikologi. Bagaimana aku harus
mengelak jika Abah sudah terlanjur ber-euforia
dengan kenyataan ini? Yahh, kuterima takdir ini sebagai hikmah terindah
dari-Nya, meski sempat terasa sepat dan hambar di awal-awal perkuliahan.
***
“Bacanya apa itu, Ran?” kening
Faiza berkerut demi melihat rentetan huruf kana
yang iseng kugoreskan pada diktat kuliah.
“Ini bacanya… ki-re-i na
Ra-ni!”
“Apaan tuh artinya?”
“Artinya… Rani cantik! Hehe…” Akhwat mungil itu memanyunkan
bibirnya.
“Memangnya, kenapa kau dulu berhasrat masuk sastra?
Jepang, lagi!” tanyanya kemudian.
“Karena sastra dan bahasa itu
indah. Karena peradaban berawal dari bahasa. Begitu pula ilmu jiwa ini, tidak
akan ada ilmu jiwa jika tidak ada bahasa yang mengawalinya. Kenapa Jepang?
Karena di sana aku menemukan keunikan bahasa. Lewat huruf-hurufnya yang susah
dan beragam, kita bisa menyimpulkan sebuah kemajuan peradaban. Dan peradaban
itu dijunjung tinggi oleh masyarakatnya dengan tidak mengesampingkan nilai-nilai
luhur tradisional dan tetap melaju bersama perkembangan zaman. Sebuah keunikan yang patut dicontoh, meski dalam hal agama mereka
nihil.”
Faiza tersenyum. “Lantas? Apa yang kau harapkan dari
negeri samurai itu? Tempat bulan madu, kelak?” godanya.
“Mungkin nggak, ia menjadi lahan potensial untuk
berdakwah?”
“Wallahua’lam, Ukhti.
Jika Allah menghendaki, kenapa tidak?” Kami berdua buncah dalam tawa. Ada setitik asa baru yang
kami semaikan. Mulai detik itu.
***
Iseng aku mencermati papan
pengumuman yang menampilkan berita terbaru: PMB 2010. Sempat
terbersit ide nakal di benakku, ikut tes lagi. Siapa tahu kali ini Abah
mengizinkan. Kesempatan itu akan selalu terbuka bagi orang yang tak putus
berikhtiar. Tapi, tunggu dulu. Jika aku memiliki niat seperti ini, bukankah aku
masih meragu akan ‘jalan terbaik’ yang telah Dia berikan?
“Berminat ikut tes lagi ya, Rani?” sebuah suara
membuatku terhenyak. Cowok bertubuh tinggi itu.
“Saya juga kepengen, kok.” Belum sempat aku menjawab, ia
sudah berkata lagi.
“Saya… Insya Allah. Pengen
ngambil apa rencananya?” tanyaku kemudian.
“Sastra Jepang. Kalau Rani?”
“Sama. Namun, entahlah. Saya
sudah terlanjur meyakini bahwa seindah apa pun rencana yang kita tuliskan, jauh
lebih indah rencana yang Allah tuliskan untuk kita.”
Kutemukan akhirnya teman
sejurusan yang senasib. Sebelumnya bercita-cita ke sastra, namun malah
terdampar di sini. Ia penyuka Jepang, lebih didasarkan pada budaya modern dan
anime-animenya yang super keren. Tidak sepertiku yang lebih tertarik pada traditional life style dan falsafah
hidup mereka.
Dia menanyaiku macam-macam.
Tak sekedar bertukar pikiran tentang salah jurusan. Namun, ia tertarik dengan
prinsip hidup yang kuanut. Ya Rabbi, dia memang bukan ikhwan seperti yang
selama ini aku sering berinteraksi di rohis. Dia juga bukan cewek macam Shinta
yang aku bisa terbuka dalam menjelaskan dan bercerita. Dia sungguh cowok biasa
yang aku harus memperlakukannya dengan cara yang beda. Pun ketika ia
bertanya-tanya, tentang hukum nikah dan pacaran dalam Islam…
Panji:
Tidaaakkk! Sekarang hancurlah keping-keping hatiku sendiri. Aku ditolak mentah
olehnya. Dengan tegas ia mengatakan tak akan pacaran sebelum lulus kuliah. Ah,
itu sungguh masih lama. Katakan saja kau tak suka padaku, Rifa. Kenapa mesti
mengarang alasan tak akan pacaran sebelum lulus segala? Padahal, aku berharap
adanya seseorang yang bisa kucintai di sini, demi memendam rasa kecewaku akan
mimpi yang sempat terenggut.
Ibu mengharapkanku menjadi psikolog, ketika aku sedang
menyusun mimpi untuk studi Bahasa Jepang. Dan itu tak mungkin tercapai jika aku
berada di sini, terkungkung dalam suasana manusia-manusia yang ingin
membebaskan dunia dari sakit jiwa. Padahal bagiku, kesembuhan jiwa itu tak
sekedar bergumul dengan teori dan hipotesa di sini ataupun di lorong-lorong
rumah sakit jiwa. Ada
ruang lain bagi kesembuhan jiwa, aku yakin itu. Namun, entah. Aku tak tahu di mana ia berada.
Ahh,
ternyata bukan aku saja yang merasa terjebak di tempat ini. Ada pula teman
sejurusan yang layaknya aku. Merasa asing, merasa salah langkah. Impian kami sama, takdir kami pun sama. Life is totally a mystery. Namun, kurasa ia berbeda. Ia sosok yang dengan lapang dada mau menerima
realita, tidak sepertiku.
“Seindah apa pun rencana yang
kita tuliskan, jauh lebih indah rencana yang Allah tuliskan untuk kita…”
ucapnya suatu ketika.
Jujur aku canggung setiap kali
berpapasan dengan sosok itu. Ia tak seperti Rifa yang anggun dan feminin,
memiliki kesan smart, serta menjadi
primadona. Ia juga tak seperti cewek-cewek di kelas
kami yang suka kumpul-kumpul dan hang out
bareng. Betapa ia mahkluk langka yang jarang kujumpai. Dari segi kavernya juga
beda. Kadang aku tergelitik oleh rasa penasaran tentang pakaiannya yang tak
lazim. Kota
yang memiliki banyak pantai ini tentu menimbulkan peluh akibat teriknya yang
membakar. Tapi dia? Pakaiannya justru berlapis-lapis dengan jilbab panjang
menjuntai yang menjadi ciri khasnya. Apakah dia… anggota gerakan Islam radikal?
Ah, entahlah. Apa peduliku tentang hal-hal seperti itu? Yang terpenting, ia mau
kuajak sharing perihal ‘salah
langkah’ kami. Dan amboi, ia begitu fasih berkata-kata dalam Nihongo. Aku betul-betul kalah. Anehnya, ia selalu menunduk bak Mimosa pudica[1]
ketika bertemu denganku. Tak tahu alasannya, entah malu atau sungkan
terhadapku. Namun akulah yang perlahan canggung dan sungkan terhadapnya.
Bukan seperti sangkaanku
sebelumnya, ia ternyata jauh lebih lembut dari Arifa. Bagaimana tidak, jika
sebentar-sebentar terlontar dari bibirnya “subhanallah”, “alhamdulillah”, “astaghfirullah”,
“masya Allah”… Dan senyumnya yang selalu menyerta itu.. benar-benar sempurna
melengkung di bibir tipisnya.
Ya Tuhan, adakah hatiku telah
sedemikian cepat berpindah dari Rifa kepadanya? Ah, kalaupun iya, aku
sepenuhnya yakin ia bukan tipe gadis yang berpacaran. Sentuhan dengan lelaki
saja tidak sudi. Bagaimana ia bisa mendapat jodoh kalau begini?
Awal mula, ia memang sulit
kupahami, penuh misteri. Nurani Humaira.
Rani:
Kuangsurkan dua paket buku
koleksi perpustakaan pribadiku kepadanya. Dua-duanya tentang… uhm.. pernikahan.
Kurasa, cukuplah itu menjawab rasa ingin tahunya yang mendalam perihal hukum
pacaran dan nikah dalam Islam. Tak perlulah aku sendiri yang menjelaskan
panjang-lebar. Aku merasa tak enak hati, bukankah lebih baik ia bertanya kepada
ikhwan saja, mentornya di Asistensi Agama Islam misalnya, bukannya kepada
akhwat sepertiku yang jelas-jelas bukan mahramnya.
Namun, aku tak bisa menepis
bisikan nuraniku sendiri, tak ada salahnya membagi ilmuku kepadanya. Bukankah
aktivis dituntut untuk siap berdakwah di ranah manapun, pun ketika berhadapan
dengan lelaki awam macam dia.
Tak bisa kutepis pula ketika
pertanyaan-pertanyaannya tak sekedar itu saja, namun melebar ke permasalahan
yang lain. Kami tidak bertemu dan bertatap muka. Kecanggihan teknologilah yang
kemudian membuat komunikasi kami kerap terjadi. Perasaan senang muncul
tiba-tiba setiap kali ia menyapaku di alam maya. Apa aku sedang… hmm, aku tak
boleh sekali-kali jatuh cinta kepadanya. Dan bodohnya, aku justru baru
menyadari akhir-akhir ini jika… aku telah berkhalwat dengannya hingga fitnah
itu muncul begitu saja!
Panji:
Stop! Aku tak boleh
jatuh hati kepadanya. Aku tak pantas untuk sekedar mencintainya. Begundal macam
aku mencintai malaikat sepertinya? Bah,
bagaimana jika peribahasa buruk itu nemplok
kepadaku: pungguk merindukan bulan?
Sama sekali tidak lucu.
Hanya saja... buku-buku yang
ia pinjamkan kepadaku serta diskusi-diskusi kami yang panjang via message maupun situs jejaring sosial
telah membuka mataku tentang cinta yang sesungguhnya. Alangkah naifnya aku
selama ini. Aku selalu ingin membina hubungan yang tak halal seperti pacaran.
Padahal agama termulia sepanjang masa ini telah mengaturnya dengan sempurna.
Alhamdulillah, Engkau masih menjagaku dari jurang zina ya Allah. Sungguh, aku
ingin melebur dalam cahaya hidayah-Mu.
Rani, kuakui ia memang figur seorang istri ideal,
seperti yang dijelaskan dalam buku itu. Bukan semata karena harta, keturunan, maupun
kecantikan. Namun karena keteguhannya dalam berislam. Rani mungkin tidak
memiliki keduanya, namun ia memiliki dua yang lainnya. Cantik parasnya, seorang
muslimah kaffah, pula. Aku pun tahu
jika sikapnya yang kuanggap malu-malu itu adalah upayanya menjaga izzah. Bahwa pandangan sejatinya adalah
anak panah iblis yang beracun. Dari mata turun ke hati, begitulah istilah
gampangnya. Ah, tetap saja aku tak pantas untuknya. Lihatlah, umurnya lebih tua
setahun lebih dariku. Meski aku paham cinta tak memandang usia, namun sikap dewasa
dan bersahajanya tentu tak sepadan dengan seorang Panji Arya Kusuma yang selama
ini bertindak sebagai anak gaul dan hidup dalam lingkaran perhatian orangtua.
Maka, sepertinya ia lebih pantas kuanggap sebagai seorang kakak.
Rani:
“Assalamu’alaikum, Kak Rani…”
Aku tertegun demi membaca salamnya yang
tertera di layar monitor. Kak Rani? Benar-benar aku tak paham maksud dia
memanggilku dengan embel-embel seperti itu.
“Maaf jika Rani sedikit kaget.
Maaf jika selama ini saya merecoki Rani dengan pertanyaan-pertanyaan saya. Maaf
jika interaksi kita menimbulkan apa yang Rani sebut fitnah hingga menjatuhkan
wibawa Rani. Namun, sungguh saya tak punya maksud apa
pun selain ingin tahu tentang Islam lebih dalam. Salahkah jika saya bertanya
kepada Rani? Terus terang, mengenal Rani seakan menemukan sosok seorang kakak
bagi saya, yang bisa membimbing dan mengarahkan saya kepada kebaikan…”
Aku tergugu menatap barisan kalimat itu. Ia menganggapku
sebagai kakak? Apa dia tidak
salah ucap? Entah kenapa, ada rasa haru yang meletup kemudian. Meski begitu, tetap
saja kami bukan mahram! Tidak sepatutnya interaksi itu diterus-teruskan.
Lagipula, dia juga sudah menyadari jika fitnah bisa saja terjadi lagi. Ya
Rahmaan, cukuplah maaf itu bagiku. Tak kurang, tak lebih. Satu pintaku, rengkuh
ia kembali ke dalam pelukan rida-Mu. Jadikan ia insan
yang senantiasa taat dan istikamah menjalankan syariat-Mu…
***
Kuurungkan niatku waktu itu perihal ikuti tes lagi.
Takdir-Nya memang indah, kuakui. Tahun-tahun berlalu. Kini aku sibuk mengurusi
rohis fakultas. Namun, kadang aku masih melirik Fakultas Sastra tentang info
beasiswa, ke Jepang terutama. Pun Panji, ia yang rajin main ke fakultas
tetangga. Kurasa ia masih begitu ingin menjadi mahasiswa sastra, kendati sudah
kusuruh ia meresapi surah Al-Baqarah ayat dua ratus enam belas.
Aku melirik buku tentang pernikahan yang pernah
kupinjamkan kepadanya dahulu. Pesan sang murabbi
lantas terngiang di benak… “Dimantapkan hatinya ya Dik, besok Mbak kirim sampel
proposalnya ke e-mail anti.”
Aku masih belum habis pikir.
“Mbak sudah pegang biodata ikhwan yang ingin bertaaruf
sama anti, tinggal biodata anti…”
Aih, dilema. Di satu sisi aku
belum memiliki kesiapan apa pun. Namun, haruskah aku melambat-lambatkan diri
apalagi untuk hal ibadah? Aku baru saja mulai skripsi. Jika semuanya berjalan
sesuai perencanaan yang kubikin, aku akan wisuda tahun depan. Apa nanti
kerepotanku tidak bertambah jika aku menikah sebelum selesai kuliah? Ahh Rani,
agaknya kau lupa dengan janji-Nya bagi siapa saja yang menyempurnakan separuh
agama!
Kubuka-buka kembali buku itu… Agaknya aku harus membacanya kembali demi
persiapan mentalku sendiri. Selembar kertas terjatuh. Bagaimana kertas lusuh
berisi coretan puisiku ini bisa ada di dalam sini? Dasar Rani pelupa!
Izinkan aku rindu, kepada orang yang rindu, dan hatinya tertaut sepenuh
hati mencintai-Mu…
***
Dia mahasiswa Fakultas Sastra.
Jurusan Sastra Jepang. Saat ini sedang mempersiapkan
sidang untuk skipsinya. Beberapa minggu lalu, ia dinyatakan lulus tes beasiswa
S-2 di Waseda University, Tokyo. Rencananya, setelah wisuda dan menikah ia akan
segera terbang ke Jepang. Subhanallah, skenario macam apa yang tengah
dipersiapkan Allah untukku? Ah, sehebat apa pun statusnya, tetaplah harus
istikharah sebelum keputusan besar itu kuambil.
***
Benakku sesak oleh berbagai hal. Proposal taaruf yang belum
selesai, judul skripsi yang masih belum disetujui dosen, adik-adik binaanku
yang membutuhkan kehadiranku sepekan sekali, serta amanah lain-lain yang aku
tak bisa merincinya satu-persatu. Namun, aku haruslah munadzam fi syu’unihi, mampu mengatur segala urusanku sendiri.
Senja itu kupacu motorku menuju tempat daurah yang agak jauh dari tempatku
bermukim. Setelah isya nanti
ada forum diskusi, dan aku jadi pemandunya. Sengaja berangkat lebih awal biar
aku bisa mempersiapkan materinya dulu. Ah, aku lupa membawa kacamata minusku.
Tak apa, semoga langit cerah tanpa mendung, apalagi hujan. Bismillahirrahmanirrahiim…
Dugaanku salah. Titik-titik
gerimis perlahan membasahi gamis panjangku. Kian mengaburkan pandangan. Aku
tetap melaju dengan kecepatan sedang.
Sorot lampu yang datang dari
arah berlawanan menyilaukan mataku. Di saat yang sama spionku memantulkan
cahaya yang sama silaunya dari mobil di belakangku. Ia menyerobot jalan
sekenanya.
Entahlah, tiba-tiba aku merasa
tubuhku mengambang tak tentu arah dan… gelap! Laailahailallah!
Epilog:
Winter 2016
Lelaki itu melayangkan pandang
ke luar jendela kaca. Langit muram, hawa dingin meruap,
titik-titik air meninggalkan jejak basah di jendela itu. Salju turun perlahan mengawali fuyu[2].
Tiba-tiba ia terantuk sejuta memori. Tak mungkin ia lupa itu, meski telah
bertahun berlalu.
Perlahan ia mengeluarkan
sebatang pena, menggoreskannya perlahan ke lembaran notes yang dibawanya.
“Kak Rani, aku telah berhasil mewujudkannya. Menjejak di tanah yang kita
idamkan. Aku yakin, jika saat ini engkau masih sempat melihat semua ini, kau
akan iri setengah mati (atau kau justru akan tersenyum kagum melihat
keberhasilanku?) Namun, aku yakin kau kini juga tengah menjejak pada cita
tertinggimu. Bertemu dengan kekasihmu, Rabb yang kau cintai.
Hidayah itu memang sepenuhnya milik-Nya. Namun, Ia memberikannya dengan
jalan yang tak disangka-sangka. Kini aku telah menemukan ruang itu, ruang bagi
kesembuhan jiwa. Ia ada di sini. Di dalam kalbuku sendiri. Tak salah lagi, aku
bersyukur dulu bisa mengenalmu, Kak Rani… Terima kasih. Semoga engkau tenang di
sisi Rabb yang kau cintai.”
Al-Noor Islamic Culture Center.
Masjid megah di jantung Fukuoka
itu masih ramai dengan aktivitas ibadah para muslim dan muslimah seusai ashar.
Lelaki itu masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, menyaksikan rintik
salju yang menimbuni jalan raya di luar sana
dari jendela berkaca.
“Assalamu’alaikum Akh
Panji, ada yang ingin bertemu dengan antum.”
Sebuah suara menyentakkannya.
“Yamashika-san. Apa beliau dosen antum?” seakan paham dengan raut wajahnya yang ingin bertanya
“siapa?”
Dara Sakura itu kenalannya di Kyushu Daigaku. Mereka
sedang terlibat diskusi tentang Islam. Lelaki itu tersenyum. Kamisama no okurimono[3].
Semoga kali ini cahaya-Nya melesat tepat, meresap ke dalam dinding kalbu
Yamashika-san!
29 Safar
1432 H
Tidak ada komentar:
Posting Komentar