Sabtu, 22 Maret 2014

Syair Keadaan & #ASEANLitFest

Well, readers, berhubung sudah dekat dengan momen pemilihan umum, tiba-tiba saya ingin memposting puisi penyair Wiji Thukul yang bebaitnya saya comot dari galeri puisi Tribute to Wiji Thukul di Asean Literary Festival, Sabtu 22 Maret 2014.



 
Doc. +Lia Wibyaninggar 


Syair Keadaan - Wiji Thukul

Kalimat-kalimat kotor
menghambur dalam gelap
membawa bau minuman
keringat tengik
dan kesumpekan

Ibu-ibu megap-megap
mengurus dapur suami dan anaknya
harga barang-barang kebutuhan makin tinggi
kaum penganggur sambung-menyambung
berbaris setiap hari
dan parpol-parpol sibuk sendiri
mengurus entah apa

Leleran keringat dan kacaunya pikiran
keputusasaan dan harapan yang dipaparkan iklan-iklan
siang malam membikin tegang

Dan di sana kaum tani
dipaksakan menyerahkan tanahnya
dan di sana pabrik-pabrik memecat buruhnya, memanggil tentara
karena ada aksi mogok di depan kantornya
dan parpol-parpol sibuk sendiri
mengurus entah apa

Hujan turun
got-got meluap
banjir datang
bingunglah rakyat

Gunung-gunung digunduli
hutan-hutan dibabati
cukong-cukong kongkalikong
para birokrat mengantongi uang komisi
karena memberi lisensi
dan para pemilik modal besar
terus mengaduk-aduk
menguras mengisap isi bumi
dan parpol-parpol

halo!
selamat pagi!

hujan turun
got-got meluap banjir datang
menenggelamkan rumah-rumah rakyat
dan parpol-parpol

halo!
kita nanti ketemu dalam pemilu lima tahun lagi!



Solo, Jagalan
Kalangan, 02-02, 1989


Maka lihatlah, syair itu telah berumur tua sekali, ditulis pada 1989. Ketika di era sekarang puisi itu dibaca lagi, persoalan lama tetap terasa hingga kini. Dan parpol-parpol sibuk sendiri, mengurus entah apa. Panggung politik selalu ramai. Hingar bingar. Milyaran rupiah dihabiskan demi kampanye, mengiklankan diri, meminta dipilih, disertai milayaran janji untuk rakyat dan negeri, ah.. pesta demokrasi. Tak ayal korupsi masih selalu menggejala dalam tubuh bangsa ini, melesap ke sendi dan urat nadi. Dari akar rumput hingga puncak menara gading. Bagai budaya yang seakan menjadi tabiat orang-orangnya. Yang di atas menyuap, yang di bawah mau disuap. Ahai, saya jadi ragu apakah kita benar-benar merindukan figur seorang pemimpin sejati. Atau enyah sajalah, pemimpin sejati yang bersih dari korupsi hanya ada dalam mimpi utopis yang tak berkesudahan sampai entah kapan. Kemudian keinginan membebaskan tanah air dari penjajahan masa kini mungkin hanya sekadar simulakra belaka.

Lantas? Ketika puisi itu dibaca lagi lima tahun kemudian, bisa jadi persoalan dan temanya tak akan pernah basi. Berulang dan berulang lagi. Dan parpol-parpol sibuk sendiri-sendiri, mengurus entah apa. Panggung politik selalu hingar bingar. Sementara penyair, menulis dalam sepi, mengobati luka hatinya dengan puisi.

"Jika jurnalisme dibungkam, sastra harus bicara." (Seno Gumira Ajidarma)


Here are some pictures captured by my Fujifilm:




Lendabook.co stand @Publishers Corner

Literary Zone: a space for literary discussion w/ some writers
A big red capital letters "Sastra" at the front gate, symbolizing bravery, the power of literature





Tidak ada komentar: