Jumat, 13 Februari 2015

Tertampar!





Bagaimana rasanya ditampar di pipi? Sakit? Mengingat yang namanya tampar-menampar, saya lantas teringat pada salah satu memorable scene di sinetron era 90-an bertitel Noktah Merah Perkawinan. Si istri (diperankan Ayu Azhari) sedang cekcok hebat dengan suaminya (diperankan Cok Simbara), dan dia bilang: "Ayo tampar, Mas! Tampaaaarrr!". Memorable scene banget, nggak kalah memorable dengan adegan Atun kejepit tanjidor di serial Si Doel Anak Sekolahan. haha. Saya hanya heran, kok bisa-bisanya dulu masih anak-anak tapi tontonannya sinetron dewasa (do not try this at home ya). Back to topic, biasanya adegan tampar-menampar akan diikuti dengan bibir berdarah segala. Pasti sakit lah ya. Jujur, saya belum pernah ditampar sungguhan--dan jangan sampai.

Namun, bagaimana rasanya ditampar di hati?

Ketika itu saya ada jadwal kuliah malam seperti biasa. Seharusnya saya menyadari risiko pulang yang juga malam juga efek lelah setelahnya dan pastinya males ngapa-ngapain kecuali segera mendaratkan badan di kasur kemudian tidur. Seharusnya saya menyadari jika perlu menggeser jadwal tilawah saya yang biasanya setelah magrib menjadi pagi atau siang, biar malamnya nggak kelabakan--berhubung laporan khalas terakhir adalah pukul 20.00. Sedangkan saya baru pulang sekitar pukul 21.00.

Namun, sesiangan itu saya seolah tersihir dalam dunia kata, maraton baca novel berbelas-belas bab. Ia layaknya candu yang tidak bisa saya hentikan. Ceritanya roman anak muda, namun menghanyutkan. Senada dengan suasana hati yang saat itu memang sedang sendu-sendu kelabu, senada dengan cuaca yang gloomy dan mendung ditingkahi hujan tak habis-habis. Maka, sempurnalah kebahagiaan sederhana saya: membaca novel diiringi simfoni hujan turun. Alamak, syahdunyaaa~

Waktu beranjak ke senja dan saya harus berkemas siap-siap berangkat. Sebelum capcus ke kampus, saya sempatkan membaca terjemah Quran (karena sedang halangan) beberapa lembar. Quran mungil kesayangan saya pun saya selipkan di tas dengan niat dibaca lagi nanti di kelas sebelum kuliah mulai. Padahal sempat ragu, "Bener po nanti dibaca? Kayak nggak ngerti aja kalo udah ketemu temen-temen biasanya jadi lupa."
Ya udah sih, jaga-jaga. Lagipula kuliah masih satu jam lagi, masak nggak sempat? Ucap suara hati saya yang lain lagi.

Kuliah masih satu jam lagi. Mendadak perut saya keroncongan. Nggak lucu kalau di tengah-tengah kuliah nanti kelaparan dan lantas jadi bego karena kurang asupan. Maka, saya melipir ke kantin dulu, paling tidak mengisi perut meskipun cuma mie goreng pakai telor, macam di burjo ajah. Hihi. Sambil menunggu pesanan datang, saya sempatkan membuka Quran lagi. Baru beberapa ayat, tiba-tiba... "Lia!" Olala, ada yang manggil. Ada teman saya yang juga sedang makan di meja lain, ia melambaikan tangan mengajak saya bergabung di mejanya. Bisa ditebak scene berikutnya: ngobrol-ngalor-ngidul. Quran saya tutup, masukin tas. Ya Rabbi, tadi bacanya sampai mana ya?

Waktu berputar mendekati jam enam sore. Kuliah mau mulai, sodara! Saya ragu mau melanjutkan baca tarjim di kelas berhubung sensei sudah standby di sana. Keep calm, semoga masih ada waktu buatku.

Pukul setengah delapan. Ada yang terasa bergetar di tas, berdenyut-denyut, berkali-kali. Jangan bayangkan kuliah kami satu kelas penuh orang dan saya bisa duduk di belakang, sembunyi, dan leluasa membuka ponsel. Tidak. Kami hanya berenam, duduk satu meja bundar layaknya sedang rapat bersama dosen. Everyone got the spotlight then. Begitulah. Maka, mana mungkin bisa dengan tanpa tedeng aling-aling membuka ponsel. Saya mulai khawatir. Ada apa di ponsel saya?

Detik-detik terakhir perkuliahan, barulah saya mengecek ponsel. Ada berpuluh-puluh notifikasi dari Whatsapp, beberapa SMS, dan satu panggilan tak terjawab, dari grup ODOJ saya. Tiba-tiba ada rasa bersalah berlipat-lipat menyergap.

"Tumben Ukhti Lia belum lapor khalas. Saya telpon gak diangkat kenapa ya? Semoga Allah memberi kemudahan semua urusan Ukhti Lia."

Ya Allah, maafkan saya...

Meski begitu, usai kuliah saya tak lantas langsung pulang. "Makan mie ayam, yuk!" Serombongan kawan saya mengajak. Adalah tidak mudah menolak ajakan itu. Kapan lagi bisa makan bareng berbanyak begini, apalagi saya belum pernah mencicipi mie ayam yang cuma jualan malam hari dan terkenal enak di kampus itu.

Sambil jalan bareng, sambil menciptakan scene ngobrol-ngalor-ngidul lagi. Berceloteh kesana-kemari. Dan tak ketinggalan, godaan busuk satu ini: membicarakan orang lain. Bahwa si A begini, si B begitu, menyebalkan juga ya dia, blablabla... Lalu, ada sebentuk imajinasi mengerikan yang seketika berkelindan. Hai lidah! Nanti kalau kamu dipotong di neraka gimana? Namun, si lidah tetap abai dan tetap melenggang santai. Hingga menemui kenyataan mengecewakan bahwa acara makan bersama batal lantaran penjualnya sudah mau tutup. Baiklah, mungkin ini lebih baik daripada meneruskan kebersamaan yang ujungnya mengundang dosa-dosa lisan. Aih...

Saya tergeragap. Saya belum khalas! Bagaimana hari ini saya bisa sebegini lalai? Sudah pukul 21.00 lewat. Sampai kamar, cepat-cepat saya buka kembali Quran yang sejak sore tadi saya abaikan. Ingin saya rampungkan tarjim juz 26 yang belum selesai, meski laporan khalas sudah ditutup sejak jam delapan.

Saya tertegun. Deretan ayat-ayat itu seolah berbicara kepada saya dengan lugas, jelas, tepat, tak meleset sama sekali.

1. "Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah kamu memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang zalim." (Al-Hujuraat:11)

2. "Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang." (Al-Hujuraat:12)

3. "Dan sungguh, Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya." (Qaaf:16)

4. "(Ingatlah) ketika dua malaikat mencatat (perbuatannya), yang satu duduk di sebelah kanan dan yang lain di sebelah kiri." (Qaaf:17)

5. "Tidak ada satu kata yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat)." (Qaaf:18)

Bagaimana bisa? Bagaimana bisa ayat-ayat itu seakan tahu menahu kelakuan saya dan ingin memberi pelajaran kepada saya saat itu juga?
 
Maha Benar Allah atas segala firman-Nya. Sungguh, deretan ayat itu menampar saya malam itu. Menampar di hati, tepat sasaran. Bagaimana rasanya? Bagai seorang pendosa yang dihakimi tuhannya secara tidak langsung.

Untung bukan azab menakutkan yang saya terima. Untung belum sampai dipotong lidahnya di neraka. Saya nggak mau makan bangkeeee. >_< Sungguh Allah Maha Penerima Tobat, Maha Penyayang.

Detik itu juga ada setitik kesadaran baru. Alhamdulillah, saya memiliki mereka, orang-orang perindu surga yang senantiasa saling mengingatkan dalam kebaikan, dalam upaya mencintai kalam Tuhan. Detik itu juga ada seberkas kesadaran baru. Tak ada alasan lagi esok hari untuk lalai maupun abai menunda-nunda bermesraan dengannya: Quran tersayang. :)

Tidak ada komentar: