Ia
telah sampai di separuh perjalanan. Setengah perjalanan lagi, maka ia akan
mencapai puncak. Ah, puncak? Benarkah setelah ia sampai di ujung perjalanan,
tidak akan lagi yang perlu didaki? Tentunya ada puncak yang lebih tinggi. Masih
ada langit di atas langit. Jika benar begitu, ia merasa masih belum mendaki
apa-apa. Namun, lelah yang belakangan memasung jiwanya seolah membuat
semangatnya kian menipis. Ada rupa-rupa peristiwa yang berkelindan memenuhi
rongga benaknya, semua seakan menggodanya untuk turun, tidak usah meneruskan
perjalanan. Ah, sakit. Awal mula perjalanannya penuh belukar, meski bukan
tebing curam, namun ia tetap harus hati-hati. Ia masih ingat bagaimana
tetumbuhan berbahaya yang menghiasi sepanjang jalur pendakiannya itu membuat
kulitnya tersayat dan mengeluarkan darah. Perih. Ia masih berusaha menyembuhkan
luka, ketika suara-suara sumbang itu justru datang: bahwa ini salahmu
sendiri, yang nekat menempuh jalan berbahaya tanpa memikirkan risiko yang akan
menghadang.
Bukankah
semua jalan memiliko risiko masing-masing? Aku tidak bisa mengatakan semua
jalan aman. Semua jalan adalah rawan. Ucap hatinya ketika itu.
Sungguh,
ia tidak butuh suara-suara sumbang yang justru membuatnya semakin jatuh ketika
ia sendiri telah terluka. Bukankah semua itu terlalu pahit untuk dicecap? Yang
ia butuhkan hanyalah suara-suara yang meniupkan keyakinan untuknya, yang
membuatnya tetap berteguh hati menapaki jalur pendakian itu, bukan lantas
tumbang dan pulang sebagai pecundang. Maka, dipasangnya egonya di dalam dada.
Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa, ia bangkit kembali berbekal amunisi
berupa doa-doa supaya Dia menjadikan ujian-ujian di depan mampu dilaluinya.
Ada
selaksa air mata di trek kedua yang dilewatinya. Perasaan tak menentu itu
menyergap lagi. Ia telah meninggalkan banyak hal di belakang; orang tua yang ia
paksa merelakannya pergi menantang badai, nasib di depan yang masih
entah--apakah ia bisa pulang dengan selamat tepat waktu atau tidak, serta duri
belukar yang hadir lagi menyayat hati. Tetapi, ia harus mensyukuri jalan yang
dilaluinya kali ini. Cuaca ramah serta angin sepoi yang meniupkan sejumlah
spirit membuatnya tersenyum kembali. Bukan lagi deru suara sumbang yang
memaki-makinya dengan tega, namun kesiur lembut angin sepoi dan hawa hangat
mentari musim panas. Sajian panorama alam yang membentang membuatnya lupa akan
kesedihan. Ada danau dan sungai-sungai jernih yang airnya mengalir sampai ke
hati. Ah iya, bahkan ia telah berjanji membawa pulang edelweiss--si bunga abadi
dari puncak untuk insan terkasih yang selama ini menghujaninya dengan cinta. Ia
ingin menciptakan senyum haru di bibir perempuan bernama Bunda. Maka,
seharusnya tak ada hal yang pantas membuat perjalanannya terpenggal.
Ia
telah sampai di separuh perjalanan. Berkali-kali ia menemui raut muka bahagia
orang-orang yang pulang dari perjuangan, penuh kemenangan. Apakah ia akan
seperti itu juga nanti? Bukankah jalur turun terkadang lebih mengerikan
daripada jalur naik? Naik memang melelahkan, namun turun bisa menggelincirkan
jika tidak hati-hati. Bisa jadi terpeleset ke jurang, dan... tamatlah riwayat!
Tidak-tidak. Jalan di depan memang penuh ketidakpastian. Untuk membuatnya
jelas, ia harus berani menghadapinya, apapun yang terjadi. Meski ada sejumput
ragu kembali, adakah jalan di depan menawarkan keindahan pula?
Sebab
ia tahu, ada tebing terjal yang menghadang nyalang di depan matanya.
Bayang-bayang puncak yang samar-samar di antara kabut tipis yang mengambang
membuatnya tersadar lagi, tak ada yang berhak melukai hatinya lagi, tak ada
yang berhak membuat perjalanannya terpenggal dan memaksanya pulang bagai
pecundang.
Bibir
merah mudanya mulai bersegera merapal doa-doa. Tuhan sedang melatihku untuk
kuat, batinnya.
(Februari 2015)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar