Minggu, 08 Februari 2015

Unfinished Story


Ia telah sampai di separuh perjalanan. Setengah perjalanan lagi, maka ia akan mencapai puncak. Ah, puncak? Benarkah setelah ia sampai di ujung perjalanan, tidak akan lagi yang perlu didaki? Tentunya ada puncak yang lebih tinggi. Masih ada langit di atas langit. Jika benar begitu, ia merasa masih belum mendaki apa-apa. Namun, lelah yang belakangan memasung jiwanya seolah membuat semangatnya kian menipis. Ada rupa-rupa peristiwa yang berkelindan memenuhi rongga benaknya, semua seakan menggodanya untuk turun, tidak usah meneruskan perjalanan. Ah, sakit. Awal mula perjalanannya penuh belukar, meski bukan tebing curam, namun ia tetap harus hati-hati. Ia masih ingat bagaimana tetumbuhan berbahaya yang menghiasi sepanjang jalur pendakiannya itu membuat kulitnya tersayat dan mengeluarkan darah. Perih. Ia masih berusaha menyembuhkan luka, ketika suara-suara sumbang itu justru datang: bahwa ini salahmu sendiri, yang nekat menempuh jalan berbahaya tanpa memikirkan risiko yang akan menghadang

Bukankah semua jalan memiliko risiko masing-masing? Aku tidak bisa mengatakan semua jalan aman. Semua jalan adalah rawan. Ucap hatinya ketika itu.

Sungguh, ia tidak butuh suara-suara sumbang yang justru membuatnya semakin jatuh ketika ia sendiri telah terluka. Bukankah semua itu terlalu pahit untuk dicecap? Yang ia butuhkan hanyalah suara-suara yang meniupkan keyakinan untuknya, yang membuatnya tetap berteguh hati menapaki jalur pendakian itu, bukan lantas tumbang dan pulang sebagai pecundang. Maka, dipasangnya egonya di dalam dada. Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Kuasa, ia bangkit kembali berbekal amunisi berupa doa-doa supaya Dia menjadikan ujian-ujian di depan mampu dilaluinya.

Ada selaksa air mata di trek kedua yang dilewatinya. Perasaan tak menentu itu menyergap lagi. Ia telah meninggalkan banyak hal di belakang; orang tua yang ia paksa merelakannya pergi menantang badai, nasib di depan yang masih entah--apakah ia bisa pulang dengan selamat tepat waktu atau tidak, serta duri belukar yang hadir lagi menyayat hati. Tetapi, ia harus mensyukuri jalan yang dilaluinya kali ini. Cuaca ramah serta angin sepoi yang meniupkan sejumlah spirit membuatnya tersenyum kembali. Bukan lagi deru suara sumbang yang memaki-makinya dengan tega, namun kesiur lembut angin sepoi dan hawa hangat mentari musim panas. Sajian panorama alam yang membentang membuatnya lupa akan kesedihan. Ada danau dan sungai-sungai jernih yang airnya mengalir sampai ke hati. Ah iya, bahkan ia telah berjanji membawa pulang edelweiss--si bunga abadi dari puncak untuk insan terkasih yang selama ini menghujaninya dengan cinta. Ia ingin menciptakan senyum haru di bibir perempuan bernama Bunda. Maka, seharusnya tak ada hal yang pantas membuat perjalanannya terpenggal.

Ia telah sampai di separuh perjalanan. Berkali-kali ia menemui raut muka bahagia orang-orang yang pulang dari perjuangan, penuh kemenangan. Apakah ia akan seperti itu juga nanti? Bukankah jalur turun terkadang lebih mengerikan daripada jalur naik? Naik memang melelahkan, namun turun bisa menggelincirkan jika tidak hati-hati. Bisa jadi terpeleset ke jurang, dan... tamatlah riwayat! Tidak-tidak. Jalan di depan memang penuh ketidakpastian. Untuk membuatnya jelas, ia harus berani menghadapinya, apapun yang terjadi. Meski ada sejumput ragu kembali, adakah jalan di depan menawarkan keindahan pula?

Sebab ia tahu, ada tebing terjal yang menghadang nyalang di depan matanya. Bayang-bayang puncak yang samar-samar di antara kabut tipis yang mengambang membuatnya tersadar lagi, tak ada yang berhak melukai hatinya lagi, tak ada yang berhak membuat perjalanannya terpenggal dan memaksanya pulang bagai pecundang.

Bibir merah mudanya mulai bersegera merapal doa-doa. Tuhan sedang melatihku untuk kuat, batinnya.  


jelajah.valadoo.com


(Februari 2015)

Tidak ada komentar: