Jumat, 10 April 2015

Cermin Retak



 
homes-kid.com


“Si A sama si B ini pacaran ya? Benarkah?” Matanya menatap tak percaya pada foto profil seseorang di sebuah media sosial. Foto itu menampilkan sepasang lelaki-perempuan yang tengah berpose dengan senyum luar biasa sumringah.

“Bukan sekali ini lho, aku lihat foto mereka berdua. Berkali-kali,” lanjutnya.

“Atau, jangan-jangan mereka sudah menikah?” tanyaku lugu.

“Belumlah. Kalau iya, pasti ada kabar.” Gadis itu mengerutkan keningnya. Ada gurat keheranan di parasnya yang sendu.

“Lantas?” Aku semakin bingung menghadapi kebingungannya.

“Yang membuat keningku berkerut adalah, sepemahamanku selama ini, si laki-laki itu alim. Dulu, ia sering mengimami teman-temannya salat berjamaah. Bahkan, anti sekali ia duduk berdekatan dengan perempuan yang bukan mahram. Kalau sedang berbincang denganku—misalnya, matanya berlabuh entah ke mana. Kuhargai itu. Dia berusaha ghadhul bashar dengan tidak menatap perempuan jelita di hadapannya (eh?). Tapi sekarang... mereka berfoto berdua, dekat sekali, dan belum ada ikatan yang sah menurut agama kita. Apa namanya kalau bukan pacaran? Atau... aku saja yang dulu salah menginterpretasikan perilakunya? Ternyata dia juga laki-laki biasa pada umumnya. Dulu sok menjaga, sekarang berubah. Oh, betapa ajaibnya dunia!”

People change. And we do change,” ujarku. Terlihat sekali ia kecewa dan hilang kepercayaan. Mungkin kalimat ini ingin dimuntahkannya juga tadi: jangan lekas percaya lelaki yang alim hari ini, bisa jadi ia brengsek esok hari. Begitu pula sebaliknya.

“Namun, apa gunanya konsistensi? Apakah ia hanya sebatas teori yang kita pahami, mengapung-apung di otak kita yang rumit, kemudian hati yang serapuh kertas mencoba menerjemahkannya menjadi seutas niat untuk dilakukan. Namun, apa daya? Betapa banyak bisikan halus tak kasat mata yang menolaknya. Iya, betapa tidak mudahnya mendekap cahaya. Cahaya yang dulu dicari tertatih-tatih, dari orang-orang sesama perindu cahaya, dari kajian-kajian di rumah Allah, majelis-majelis taklim, dari bacaan Quran yang setiap hari tidak pernah terlewat. Mungkinkah cahaya itu tercerabut begitu saja, karena dosa setitik yang setiap hari dipupuk? Ironis. Jika ia berwujud benda, mungkin istikamah menjadi salah satu barang paling mahal di dunia.” Parasnya semakin terlihat miris.

“Ah, bagaimana dengan dirimu sendiri?” tanyaku kemudian.

“Sungguh, ingin kujaga diriku untuk satu-satunya lelaki yang berhak atasku kelak. Meskipun aku belum tahu siapa gerangan ia, dan di mana ia sekarang.”

“Oya? Lantas bagaimana dengan sebuah inisial yang tiga tahun terakhir ini membuatmu berbunga, berharap, menitipkan nama itu dalam doa-doamu yang penuh air mata, hingga akhirnya, nama yang rajin kau gumamkan dalam doa itu pulalah yang membuatmu terjerembab, jatuh, dan patah begitu saja? Kau bungkam dalam kondisi hati yang serba terluka, sebagaimana perempuan sewajarnya yang pandai mengunci mati rahasia batinnya di sudut hati. Namun, jatuh itu belum membuatmu patah arang, bukan? Sebab kemungkinan selalu ada. Tetap kau gumamkan doa dalam sujud-sujudmu, tanpa sebuah nama itu harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Cinta mengajarimu dusta. Kau bersikap seolah baik-baik saja di hadapannya, meski tiap candamu tak lebih dari luka yang digarami. Perih. Itukah cinta yang sesungguhnya? Kau naif memaknai cinta dalam diam. Ikhlasmu palsu. Belum kau pasrahkan segalanya kepada Sang Pemilik Takdir. Kau tidak siap jika lelaki yang berhak atasmu kelak bukan ia—sang nama rahasia.”

Kini, kutemukan air bening bergulir dari mata sipitnya. Mukanya tertunduk. Ia mengiyakan ucapanku. Sepenuhnya.

“Bercerminlah kepada dirimu sendiri. Menghakimi kesalahan orang lain, namun alpa mengoreksi jika dosa-dosa diri yang melekat masih bercokol di sana-sini. Bukankah dosa bukan semata-mata yang tampak secara kasat mata, namun juga yang tersembunyi dalam hati?”

Ia mengangguk lagi. “Cerminku mungkin telah retak, hingga aku sendiri kesulitan berkaca,” katanya. Aku terdiam. Ingin kupungut kepingan-kepingan hatinya yang tengah jatuh dalam cinta yang entah. Kurasa, itulah mengapa ia kesulitan berkaca. 



-Dialog dua sisi hati yang suatu hari berisik menggangguku yang sedang belajar-
April 2015
Ketika sakura bermekaran meramaikan musim semi
sedangkan di sini, musim hujan belum pergi

Tidak ada komentar: