“Si A sama si B ini pacaran ya?
Benarkah?” Matanya menatap tak percaya pada foto profil seseorang di sebuah
media sosial. Foto itu menampilkan sepasang lelaki-perempuan yang tengah
berpose dengan senyum luar biasa sumringah.
“Bukan sekali ini lho, aku lihat
foto mereka berdua. Berkali-kali,” lanjutnya.
“Atau, jangan-jangan mereka sudah
menikah?” tanyaku lugu.
“Belumlah. Kalau iya, pasti ada
kabar.” Gadis itu mengerutkan keningnya. Ada gurat keheranan di parasnya yang
sendu.
“Lantas?” Aku semakin bingung
menghadapi kebingungannya.
“Yang membuat keningku berkerut
adalah, sepemahamanku selama ini, si laki-laki itu alim. Dulu, ia sering
mengimami teman-temannya salat berjamaah. Bahkan, anti sekali ia duduk
berdekatan dengan perempuan yang bukan mahram. Kalau sedang berbincang denganku—misalnya,
matanya berlabuh entah ke mana. Kuhargai itu. Dia berusaha ghadhul bashar
dengan tidak menatap perempuan jelita di hadapannya (eh?). Tapi sekarang...
mereka berfoto berdua, dekat sekali, dan belum ada ikatan yang sah menurut
agama kita. Apa namanya kalau bukan pacaran? Atau... aku saja yang dulu salah
menginterpretasikan perilakunya? Ternyata dia juga laki-laki biasa pada
umumnya. Dulu sok menjaga, sekarang berubah. Oh, betapa ajaibnya dunia!”
“People change. And we do change,”
ujarku. Terlihat sekali ia kecewa dan hilang kepercayaan. Mungkin kalimat ini
ingin dimuntahkannya juga tadi: jangan lekas percaya lelaki yang alim hari ini,
bisa jadi ia brengsek esok hari. Begitu pula sebaliknya.
“Namun, apa gunanya konsistensi? Apakah
ia hanya sebatas teori yang kita pahami, mengapung-apung di otak kita yang
rumit, kemudian hati yang serapuh kertas mencoba menerjemahkannya menjadi
seutas niat untuk dilakukan. Namun, apa daya? Betapa banyak bisikan halus tak
kasat mata yang menolaknya. Iya, betapa tidak mudahnya mendekap cahaya. Cahaya
yang dulu dicari tertatih-tatih, dari orang-orang sesama perindu cahaya, dari
kajian-kajian di rumah Allah, majelis-majelis taklim, dari bacaan Quran yang
setiap hari tidak pernah terlewat. Mungkinkah cahaya itu tercerabut begitu saja,
karena dosa setitik yang setiap hari dipupuk? Ironis. Jika ia berwujud benda,
mungkin istikamah menjadi salah satu barang paling mahal di dunia.” Parasnya
semakin terlihat miris.
“Ah, bagaimana dengan dirimu
sendiri?” tanyaku kemudian.
“Sungguh, ingin kujaga diriku untuk
satu-satunya lelaki yang berhak atasku kelak. Meskipun aku belum tahu siapa
gerangan ia, dan di mana ia sekarang.”
“Oya? Lantas bagaimana dengan sebuah
inisial yang tiga tahun terakhir ini membuatmu berbunga, berharap, menitipkan
nama itu dalam doa-doamu yang penuh air mata, hingga akhirnya, nama yang rajin
kau gumamkan dalam doa itu pulalah yang membuatmu terjerembab, jatuh, dan patah
begitu saja? Kau bungkam dalam kondisi hati yang serba terluka, sebagaimana
perempuan sewajarnya yang pandai mengunci mati rahasia batinnya di sudut hati. Namun,
jatuh itu belum membuatmu patah arang, bukan? Sebab kemungkinan selalu ada. Tetap
kau gumamkan doa dalam sujud-sujudmu, tanpa sebuah nama itu harus tahu apa yang
sebenarnya terjadi. Cinta mengajarimu dusta. Kau bersikap seolah baik-baik saja
di hadapannya, meski tiap candamu tak lebih dari luka yang digarami. Perih. Itukah
cinta yang sesungguhnya? Kau naif memaknai cinta dalam diam. Ikhlasmu palsu. Belum
kau pasrahkan segalanya kepada Sang Pemilik Takdir. Kau tidak siap jika lelaki
yang berhak atasmu kelak bukan ia—sang nama rahasia.”
Kini, kutemukan air bening bergulir
dari mata sipitnya. Mukanya tertunduk. Ia mengiyakan ucapanku. Sepenuhnya.
“Bercerminlah kepada dirimu sendiri.
Menghakimi kesalahan orang lain, namun alpa mengoreksi jika dosa-dosa diri yang
melekat masih bercokol di sana-sini. Bukankah dosa bukan semata-mata yang
tampak secara kasat mata, namun juga yang tersembunyi dalam hati?”
Ia mengangguk lagi. “Cerminku
mungkin telah retak, hingga aku sendiri kesulitan berkaca,” katanya. Aku terdiam.
Ingin kupungut kepingan-kepingan hatinya yang tengah jatuh dalam cinta yang
entah. Kurasa, itulah mengapa ia kesulitan berkaca.
-Dialog dua sisi hati yang suatu hari berisik menggangguku yang sedang belajar-
April 2015
Ketika sakura bermekaran meramaikan musim semi
sedangkan di sini, musim hujan belum pergi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar