Assalamualaikum. Ketika kutulis
baris-baris pesan ini, hujan sedang tercurah menderas di Kota Kenangan, Adinda.
Rintiknya yang syahdu membuatku teringat padamu. Kau sering bilang jika kau
rindu menjejakkan kaki lagi kemari. Ada gugusan rindu teramat pekat yang kau
tahan dalam hati. Namun, nikmatilah rindumu, Sayang. Ada rasa pedih namun indah
dalam merindu. Sulit mengungkapkannya dalam kosakata bahasa manapun.
Percayalah, sejauh apapun jarak terentang, kita akan selalu bertaut dalam
doa-doa yang membumbung ke angkasa.
Ah, hujan membuatku teringat padamu.
Dulu, hujan yang meninggalkan genangan di tiap ruas jalan tak pernah
menghalangi langkahmu menuju kampus, bukan? Kau mengajakku berpayung berdua di
hari-hari penuh rinai. Ada satu rahasia yang tak pernah kau ceritakan di balik
setiap lengkung senyum dan semangatmu ketika itu. Bahwa ada seseorang
yang membuatmu bahagia, acap kali kau menjumpainya. Aku urung bertanya siapa.
Jika ia lelaki, aku paham, menjatuhkan cinta adalah hal yang wajar bagi
perempuan seusiamu. Sebagaimana dulu aku juga berkali-kali dilanda rasa aneh
yang menggejala itu, sebelum Ar-Rahmaan memperjumpakanku dengan ia yang
kini menjadi pemimpinku. Ia yang suatu malam kutemukan dalam munajat di ujung
sajadah. Ia yang sebelumnya tak kukenal, dan ia tak mengenalku. Bahkan, ketika
kami telah bersanding di pelaminan usai ikrar mitsaqan ghalizaa yang ia
ucapkan, rasa bernama cinta itu belum menyapa hatiku, pun mungkin hatinya.
Hambar. Namun, cinta bertumbuh seiring waktu, seiring kebersamaan sederhana
kami setiap hari. Sungguh, cinta bukanlah perkara seberapa lama kau mengenal
seseorang itu sebelumnya. Cinta adalah batu-bata yang pondasinya harus disusun
bersama-sama dengan telaten dari hari ke hari, hingga kita bisa menyaksikan
bangunan rumah tangga yang utuh dan indah. Sejak itu aku mengalami jatuh cinta
yang beda, yang lain dari jatuh cinta sebelum menikah. Demikianlah, aku hanya
ingin kau tahu, Adinda.
Belum bisa kulupakan paras sayumu
beberapa bulan yang lalu. Kau datang dengan selaksa cerita bernada duka. Sambil
mulutmu terbata bercerita, rinai mulai terbit dari kedua pelupuk matamu,
kemudian jatuh pelan-pelan membentuk aliran sungai kecil di pipimu yang merah
jambu. Kau cengeng? Tidak. Kau hanya ingin aku tahu sepenggal kisah yang sudah
bertahun-tahun kau timbun sendirian. Bagimu, ini semua terlalu menyakitkan. Mengapa
cinta membuatmu mencintainya, ketika dia justru mencintai orang yang bukan
kamu? Rasa itu punya muasal, tentu. Namun bagaimana ia menghampiri kalbumu
yang sedang labil, aku tak ingin membahas itu. Bukan hal yang bijak pula untuk
menggugat takdir. Mengapa kau tertakdir menjadi perempuan. Ya, kau bilang kau
hanya perempuan biasa—yang memenuhi kodratnya selayaknya perempuan pada
umumnya: diam dan menunggu. Hening sehening-heningnya. Menutup celah
serapat-rapatnya. Perasaan tak perlu diumbar-umbar, ia bukanlah barang murahan.
Sebagai perempuan. Ya, sebagai perempuan, kau diam, menyembunyikan semuanya di
jurang hati yang paling dalam. Ada sepucuk doa berisikan harapan yang setiap
selesai salat kau gumamkan. Ia seolah ketidakmungkinan yang akan selalu kamu
semogakan. Ya, kau hanya perempuan. Alangkah tidak mudahnya untuk mengungkap,
berkata, berterus-terang. Tidak seperti dia—lelaki yang dengan mudahnya bisa memilih,
berterus terang, dan memutuskan. Kau hanya perempuan biasa. Hanya!
Tetapi, hidup kita bukanlah kisah
cinta romantis seperti novel-novel besutan penulis ternama yang seringkali kau
baca—di mana ending-nya selalu bermuara pada bahagia. Terlalu musykil
pula untuk mendambakan kisah seperti Fathimah dan Ali, saling mencintai dalam
diam hingga akhirnya takdir menyatukan mereka. Kenyataan terkadang memang
menyakitkan, Sayang. Kita tidak bisa menerka guratan takdir yang ditulis Sang
Maha Kuasa. Namun, kita harus memiliki keyakinan utuh bahwa guratan yang telah
ditulis-Nya untuk kita itulah yang terbaik, meski itu semua tak pernah kita
prediksi, tak terlintas dalam harapan-harapan masa depan yang pernah kita
tulis. Bisa saja Dia memiliki rencana yang lebih indah untuk-Mu dari yang
sekarang kau dambakan. Maka, pasrah—bukan berarti kalah. Pasrah dalam bingkai
keikhlasan atau kerelaan, atas segala putusan dari Yang Maha Memutuskan.
Jawaban itu bisa jadi dia—nama yang selama ini kau sembunyikan, bisa
jadi bukan dia. Tidak ada di antara kita yang bisa menerka, sebab hari
depan adalah misteri tak berkesudahan. Namun, siapa pun itu kelak, bukankah kau
pernah berujar, mana mungkin engkau menolak nama yang telah diguratkan indah
oleh-Nya dalam kitab takdirmu yang terjaga, bahkan sebelum engkau menarik nafas
pertamamu di dunia? Ya, siapa pun itu kelak, bukan masalah bagimu sebenarnya,
bukan? Kau hanya perlu waktu yang tidak lama untuk melepaskan segalanya,
berdamai dengan hatimu sendiri, mengubur pelan-pelan kenangan, dan nama itu;
nama yang kau sebut dalam doa, namun mungkin ia malah tak pernah menyebut
namamu dalam doanya.
Cinta-Nya adalah yang paling utama,
Dinda. Maka, mendekatlah meski sejengkal demi sejengkal. Meski tertatih dan
terjatuh. Sungguh, cintamu akan selalu dibalas oleh cinta-Nya yang tak bisa
diukur dengan dunia dan seisinya.
Sudah ya, Adinda. Waktumu terlalu
berharga untuk kau habiskan berkubang dalam kesedihan tanpa muara. Kau sendiri
paham, orang yang membuatmu bersedih tidak akan tahu tentang sedihmu. Lantas,
untuk apa? Jikalau doamu kepadanya tetap terlantun, berdoalah yang terbaik
untuknya, untukmu juga.
Biarkan semuanya lenyap mengabu.
Biarkan rinai yang tercurah menderas menghapus jejak-jejak kenanganmu dengannya
di masa lalu.
Sungguh, rinai di luar sana yang
meninggalkan titik-titik air di kaca jendela mengingatkanku akan rinai yang
luruh dari kedua keping matamu ketika itu. Tentu saja, ia juga mengingatkanku
akan namamu: Rinai. Kau mencintai hujan sebagaimana keping matamu begitu
mudahnya meluruhkan luh bening itu. Mungkin itulah mengapa kau tumbuh sebagai
perempuan sendu. Karenanya, aku datang untuk menghangatkan hatimu. Esok, atau
lusa, jika cahaya matahari yang beradu dengan titik-titik gerimis kau jumpai,
tersenyumlah. Allah telah menghadiahimu warna-warni pelangi.
Kuharap, ketika surat ini sampai di
hadapanmu, rinai telah kering dari pelupuk matamu.
Kota Kenangan, musim penghujan 2015
Ayundamu, Mentari
Tidak ada komentar:
Posting Komentar