Selasa, 21 April 2015

Rinai




Assalamualaikum. Ketika kutulis baris-baris pesan ini, hujan sedang tercurah menderas di Kota Kenangan, Adinda. Rintiknya yang syahdu membuatku teringat padamu. Kau sering bilang jika kau rindu menjejakkan kaki lagi kemari. Ada gugusan rindu teramat pekat yang kau tahan dalam hati. Namun, nikmatilah rindumu, Sayang. Ada rasa pedih namun indah dalam merindu. Sulit mengungkapkannya dalam kosakata bahasa manapun. Percayalah, sejauh apapun jarak terentang, kita akan selalu bertaut dalam doa-doa yang membumbung ke angkasa. 

Ah, hujan membuatku teringat padamu. Dulu, hujan yang meninggalkan genangan di tiap ruas jalan tak pernah menghalangi langkahmu menuju kampus, bukan? Kau mengajakku berpayung berdua di hari-hari penuh rinai. Ada satu rahasia yang tak pernah kau ceritakan di balik setiap lengkung senyum dan semangatmu ketika itu. Bahwa ada seseorang yang membuatmu bahagia, acap kali kau menjumpainya. Aku urung bertanya siapa. Jika ia lelaki, aku paham, menjatuhkan cinta adalah hal yang wajar bagi perempuan seusiamu. Sebagaimana dulu aku juga berkali-kali dilanda rasa aneh yang menggejala itu, sebelum Ar-Rahmaan memperjumpakanku dengan ia yang kini menjadi pemimpinku. Ia yang suatu malam kutemukan dalam munajat di ujung sajadah. Ia yang sebelumnya tak kukenal, dan ia tak mengenalku. Bahkan, ketika kami telah bersanding di pelaminan usai ikrar mitsaqan ghalizaa yang ia ucapkan, rasa bernama cinta itu belum menyapa hatiku, pun mungkin hatinya. Hambar. Namun, cinta bertumbuh seiring waktu, seiring kebersamaan sederhana kami setiap hari. Sungguh, cinta bukanlah perkara seberapa lama kau mengenal seseorang itu sebelumnya. Cinta adalah batu-bata yang pondasinya harus disusun bersama-sama dengan telaten dari hari ke hari, hingga kita bisa menyaksikan bangunan rumah tangga yang utuh dan indah. Sejak itu aku mengalami jatuh cinta yang beda, yang lain dari jatuh cinta sebelum menikah. Demikianlah, aku hanya ingin kau tahu, Adinda.

Belum bisa kulupakan paras sayumu beberapa bulan yang lalu. Kau datang dengan selaksa cerita bernada duka. Sambil mulutmu terbata bercerita, rinai mulai terbit dari kedua pelupuk matamu, kemudian jatuh pelan-pelan membentuk aliran sungai kecil di pipimu yang merah jambu. Kau cengeng? Tidak. Kau hanya ingin aku tahu sepenggal kisah yang sudah bertahun-tahun kau timbun sendirian. Bagimu, ini semua terlalu menyakitkan. Mengapa cinta membuatmu mencintainya, ketika dia justru mencintai orang yang bukan kamu? Rasa itu punya muasal, tentu. Namun bagaimana ia menghampiri kalbumu yang sedang labil, aku tak ingin membahas itu. Bukan hal yang bijak pula untuk menggugat takdir. Mengapa kau tertakdir menjadi perempuan. Ya, kau bilang kau hanya perempuan biasa—yang memenuhi kodratnya selayaknya perempuan pada umumnya: diam dan menunggu. Hening sehening-heningnya. Menutup celah serapat-rapatnya. Perasaan tak perlu diumbar-umbar, ia bukanlah barang murahan. Sebagai perempuan. Ya, sebagai perempuan, kau diam, menyembunyikan semuanya di jurang hati yang paling dalam. Ada sepucuk doa berisikan harapan yang setiap selesai salat kau gumamkan. Ia seolah ketidakmungkinan yang akan selalu kamu semogakan. Ya, kau hanya perempuan. Alangkah tidak mudahnya untuk mengungkap, berkata, berterus-terang. Tidak seperti dia—lelaki yang dengan mudahnya bisa memilih, berterus terang, dan memutuskan. Kau hanya perempuan biasa. Hanya!

Tetapi, hidup kita bukanlah kisah cinta romantis seperti novel-novel besutan penulis ternama yang seringkali kau baca—di mana ending-nya selalu bermuara pada bahagia. Terlalu musykil pula untuk mendambakan kisah seperti Fathimah dan Ali, saling mencintai dalam diam hingga akhirnya takdir menyatukan mereka. Kenyataan terkadang memang menyakitkan, Sayang. Kita tidak bisa menerka guratan takdir yang ditulis Sang Maha Kuasa. Namun, kita harus memiliki keyakinan utuh bahwa guratan yang telah ditulis-Nya untuk kita itulah yang terbaik, meski itu semua tak pernah kita prediksi, tak terlintas dalam harapan-harapan masa depan yang pernah kita tulis. Bisa saja Dia memiliki rencana yang lebih indah untuk-Mu dari yang sekarang kau dambakan. Maka, pasrah—bukan berarti kalah. Pasrah dalam bingkai keikhlasan atau kerelaan, atas segala putusan dari Yang Maha Memutuskan. Jawaban itu bisa jadi dia—nama yang selama ini kau sembunyikan, bisa jadi bukan dia. Tidak ada di antara kita yang bisa menerka, sebab hari depan adalah misteri tak berkesudahan. Namun, siapa pun itu kelak, bukankah kau pernah berujar, mana mungkin engkau menolak nama yang telah diguratkan indah oleh-Nya dalam kitab takdirmu yang terjaga, bahkan sebelum engkau menarik nafas pertamamu di dunia? Ya, siapa pun itu kelak, bukan masalah bagimu sebenarnya, bukan? Kau hanya perlu waktu yang tidak lama untuk melepaskan segalanya, berdamai dengan hatimu sendiri, mengubur pelan-pelan kenangan, dan nama itu; nama yang kau sebut dalam doa, namun mungkin ia malah tak pernah menyebut namamu dalam doanya.

Cinta-Nya adalah yang paling utama, Dinda. Maka, mendekatlah meski sejengkal demi sejengkal. Meski tertatih dan terjatuh. Sungguh, cintamu akan selalu dibalas oleh cinta-Nya yang tak bisa diukur dengan dunia dan seisinya.

Sudah ya, Adinda. Waktumu terlalu berharga untuk kau habiskan berkubang dalam kesedihan tanpa muara. Kau sendiri paham, orang yang membuatmu bersedih tidak akan tahu tentang sedihmu. Lantas, untuk apa? Jikalau doamu kepadanya tetap terlantun, berdoalah yang terbaik untuknya, untukmu juga.

Biarkan semuanya lenyap mengabu. Biarkan rinai yang tercurah menderas menghapus jejak-jejak kenanganmu dengannya di masa lalu. 

Sungguh, rinai di luar sana yang meninggalkan titik-titik air di kaca jendela mengingatkanku akan rinai yang luruh dari kedua keping matamu ketika itu. Tentu saja, ia juga mengingatkanku akan namamu: Rinai. Kau mencintai hujan sebagaimana keping matamu begitu mudahnya meluruhkan luh bening itu. Mungkin itulah mengapa kau tumbuh sebagai perempuan sendu. Karenanya, aku datang untuk menghangatkan hatimu. Esok, atau lusa, jika cahaya matahari yang beradu dengan titik-titik gerimis kau jumpai, tersenyumlah. Allah telah menghadiahimu warna-warni pelangi.

Kuharap, ketika surat ini sampai di hadapanmu, rinai telah kering dari pelupuk matamu.




Kota Kenangan, musim penghujan 2015

Ayundamu, Mentari

Tidak ada komentar: