Minggu, 25 Desember 2016

Bertahan Setabah Masyithah



Alangkah tak mudahnya mempertahankan ketimbang mendapatkan. Dulu kita mengaduh mencari-cari cahaya terang, namun kini seolah enggan mendekapnya. Sukar. Bak mengikat bayang-bayang.

Alangkah rajinnya engkau dulu, satu juz adalah menu wajib saban hari. Bahkan kau pantang tidur sebelum selesai. Sekarang, beberapa lembar saja kau sudah merasa sok payah. Ujarmu, meluruskan niat itu pun susah. Beberapa lembar dengan niat karena-Nya jauh lebih baik daripada satu juz namun karena disuruh guru ngaji atau teman-teman satu lingkaran. Lantas, bagaimana dengan hafalan? Tak pernah kau ulang lagi, raib entah ke mana rimbanya.

Alangkah tertutup dan santunnya engkau dulu, kerudung panjang dan baju longgar. Auratmu tertutup dari atas hingga ujung kaki. Kau nyaman karena merasa terlindungi dari panas terik dunia, maupun dari kaum adam yang tak baik—menggoda, mengajakmu pacaran dan semacamnya. Ini pun wujud kecintaanmu kepada-Nya, wujud kau mulai memiliki ghirah terhadap agama. Dakwah adalah dunia penuh cahaya, lingkaran cinta yang meruapkan atmosfer surga.

Sekarang, kerudungmu tak lagi mengulur menutup dada. Tak lagi tebal nan menutupi mahkotamu secara sempurna. Padahal dulu kau hafal betul perintahnya di surah apa ayat berapa. Pergi main bersama non-mahram adalah hal biasa. Kau bilang, kita harus mampu menyesuaikan diri di dunia kerja. Realistis, jangan idealis. Padahal rezeki itu Allah yang memberi. Begitukah balasannya?

Sebegitu mudahnyakah berubah? Ke mana istikamah? Kau mengeluh bahwa bertahan itu susah. Tak sabar mempertahankan ikrar cinta pada Rabb yang menciptakanmu. Padahal dulu seorang wanita meninggal disiksa dalam bejana air yang mendidih karena mempertahankan imannya. Langit memuliakannya. Kuburannya pun seharum namanya. Ah, bisakah kita bertahan setabah Masyithah? Apatah lagi setangguh Asiyah, seteguh Bilal bin Rabah,  manusia-manusia mulia di permulaan risalah.

Keteguhan hari ini serapuh kertas tua nan diringkihkan anai-anai. Setipis kulit bawang yang mudah terbang terbawa angin. Menjadi taat hari ini layaknya menggenggam bara api. Siapa pula yang sudi terbakar? Kau tidak ingin, katamu. Kemudian surga yang selalu kau yakini sebagai tempat kembali paling abadi itu seolah hanya sebatas angan di tidur malam nyenyakmu.



-pengingat yang saya tulis di Line pada suatu hari-

Tidak ada komentar: