Jumat, 30 Desember 2016

Yakin




“Aku bukan pilihan, aku tujuan.”


Enam tahun yang lalu, tahun 2010 saya nonton film Sang Pencerah—visualisasi kisah KH Ahmad Dahlan, pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, besutan sutradara Hanung Bramantyo. Perjalanan romansa antara Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah pun tak luput dijadikan bumbu cerita. Ada salah satu scene yang menarik bagi saya. Saat itu Ahmad Dahlan sedang berada di tengah kegamangan yang luar biasa, setelah beragam ujian menimpa. Di tengah rasa putus asa yang mendera, Siti Walidah yang di adegan itu sedang duduk bersama suaminya seraya mengupas ubi membuka satu rahasia.

“Ada banyak pemuda di Kauman ini. Mereka semua putra kiai. Islam, bahkan kaya. Begitu juga keluarga kita, terpandang sebagai keluarga Islam yang taat. Tapi Muhammad Darwis (Ahmad Dahlan) tidak seperti pemuda kebanyakan. Darwis dapat melihat dan mendengar apa yang tidak dapat dilihat dan didengar oleh banyak pemuda. Saya tidak menjalankan istikharah seperti yang dianjurkan oleh Bapak. Tapi saya berhajat, bermunajat kepada Allah, karena tidak ada kebimbangan sedikit pun dalam hati saya untuk memilih calon suami.”

Setidaknya, ada kesamaan cerita dalam proses pernikahan dua sahabat saya. Yang satu belum mengenal calon suaminya terlalu lama, satu lagi adalah teman sekelas semasa SMA dan telah menjalin persahabatan cukup lama. Meski melalui rentang perkenalan yang berbeda, Namun dua laki-laki itu memiliki keyakinan yang sama, tak ada istikharah karena tidak ada kebimbangan sedikit pun dalam hatinya dalam memilih calon istri. Mereka bermunajat kepada Allah, menghaturkan pinta yang kuat kepada Maha Pemilik Cinta agar menjadikannya bagian dari perempuan yang diinginkannya, dengan segala kemampuan yang ia punya. Ya, munajat yang kuat.

Bagaimana sebilah keyakinan bisa bertalu-talu di dalam dada?

Alkisah, sahabat saya yang belum terlalu lama mengenal calon suaminya tersebut kenal gara-gara salah invite pin BBM dari jejaring sosial Facebook. Sepintas terdengar agak lucu. Jangankan akrab, bertemu saja belum pernah sama sekali. Bahkan berjarak puluhan kilometer jauhnya, meski masih satu provinsi. Jika saya yang berada di posisinya, mungkin sudah skeptis terlebih dahulu. Namun, siapa pula yang menyangka, percakapan yang awalnya dibangun biasa-biasa saja melalui media sosial itu bermuara pada keberanian lelaki itu meminang sang perempuan.

Selama ini saya meyakini, siapa pun orangnya, telah lama mengenal atau baru saja saling tahu nama, anjuran Nabi saw bernama istikharah haruslah tetap dijaga. Meskipun pilihan itu hanya ada satu, kita tetap bisa memilih untuk mengatakan ya atau tidak, setuju atau tidak setuju, menerima atau menolak. Sebab kadar pengetahuan kita sungguh terbatas adanya. Selalu ada sesuatu di luat batas jangkauan nalar dan prasangka manusia. Kita tidak pernah tahu mana atau siapa yang terbaik. Istikharah. Ya, tentu ini sebuah ikhtiar yang lumrah bagi siapa saja yang harus menyodorkan satu keputusan besar dalam hidupnya

Bagaimana dengan keraguan? Mengapa ia terkadang juga mengiringi rasa ingin yang timbul-tenggelam?

Saya kemudian menjadi paham, Allah menitipkan keraguan sebagai salah satu petunjuk melalui kata hati. Ketika ragu menjadi penyeling, bukan berarti seorang hamba tidak perlu mendirikan istikharah dan langsung memberikan keputusan. Ketiga ragu menyelinap, seorang hamba lemah tetaplah harus memilah dan memilih, memohon dijauhkan jika perasaan itu muasalnya dari setan. Ketika keraguan semakin bertambah, bukan berarti seorang hamba tidak diperkenankan untuk tetap mengusahakan tujuannya. Sebab, tentu Ia menjawab melalui nasib langkah-langkah kita selanjutnya; apakah kandas di tengah jalan, atau berakhir pada keberhasilan. Karena tentu, yang terbaik akan tinggal, sedangkan yang tidak baik pasti akan lekas Ia selesaikan dengan cara-Nya.

Begitu pula dengan sebilah keyakinan. Mungkin sama halnya dengan keraguan, Allah menitipkan keyakinan sebagai salah satu petunjuk melalui kata hati. Allah hilangkan keraguan yang mendentam-dentam dan mengacaukan pikiran. Bersamaan dengan itu, Allah kuatkan hati seorang hamba yang tapak langkahnya tengah berjuang demi penyelamatan setengah agama. Apapun bentuk perjuangan itu, meski masih sebatas untaian doa-doa. Dia melapangkan jalan seiring dengan kuatnya munajat. Mungkin begitu pula “yakin” itu bekerja. Sebab ketentuan-Nya di atas prasangka baik kita. Dia memudahkan langkah seiring kesabaran yang selalu menjadi cahaya dalam usaha-usaha seorang hamba, meski usaha itu masih sebatas lantunan doa-doa. Jika bukan kepada Sang Pemilik Hati kita meminta, lantas kepada siapa? Sedangkan Dia berkuasa membolak-balikkan sekeping hati manusia, cinta menjadi benci, dan dendam menjadi suka seperti cuaca yang bergonta-ganti dengan mudahnya.

Munajat cinta yang diceritakan mereka mengantarkan saya pada satu kesimpulan; bahwa selalu ada semacam benang merah tak kasatmata yang menautkan masing-masing hati yang Allah tetapkan untuk bersama. Benang merah yang mengarahkan hati seorang hamba ke mana harus menuju. Sebab keyakinan yang Allah titipkan adalah serupa isyarat untuk mengarahkan hati seorang hamba tanpa harus ada seratus alasan untuk menjabarkannya. Jika cinta memerlukan penjabaran yang rumit nan berbelit-belit, bukankah akan hilang rasa itu seiring hilangnya alasan? Haruskah ada alasan bagi tubuh untuk mencintai sebilah rusuk yang menjadi bagiannya? Jika ya, sudah sepatutnya alasan itu disandarkan ke langit sana.

"Tidakkah kita menyadari, bahwa dalam setiap skenario hidup Allah tak menelantarkan kita dengan teka-teki tanpa petunjuk-Nya, Dia hadirkan sinyal-sinyal cinta-Nya untuk menghantarkan keyakinan dalam setiap hal yang kita putuskan."

Tidak ada komentar: