“Aku bukan pilihan, aku tujuan.”
--Kurniawan Gunadi--
Enam tahun yang lalu, tahun 2010
saya nonton film Sang Pencerah—visualisasi kisah KH Ahmad Dahlan,
pendiri Persyarikatan Muhammadiyah, besutan sutradara Hanung Bramantyo.
Perjalanan romansa antara Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah pun tak luput
dijadikan bumbu cerita. Ada salah satu scene yang menarik bagi saya. Saat
itu Ahmad Dahlan sedang berada di tengah kegamangan yang luar biasa, setelah
beragam ujian menimpa. Di tengah rasa putus asa yang mendera, Siti Walidah yang
di adegan itu sedang duduk bersama suaminya seraya mengupas ubi membuka satu
rahasia.
“Ada banyak pemuda di Kauman ini.
Mereka semua putra kiai. Islam, bahkan kaya. Begitu juga keluarga kita,
terpandang sebagai keluarga Islam yang taat. Tapi Muhammad Darwis (Ahmad
Dahlan) tidak seperti pemuda kebanyakan. Darwis dapat melihat dan mendengar apa
yang tidak dapat dilihat dan didengar oleh banyak pemuda. Saya tidak
menjalankan istikharah seperti yang dianjurkan oleh Bapak. Tapi saya berhajat,
bermunajat kepada Allah, karena tidak ada kebimbangan sedikit pun dalam hati
saya untuk memilih calon suami.”
Setidaknya, ada kesamaan cerita
dalam proses pernikahan dua sahabat saya. Yang satu belum mengenal calon
suaminya terlalu lama, satu lagi adalah teman sekelas semasa SMA dan telah
menjalin persahabatan cukup lama. Meski melalui rentang perkenalan yang
berbeda, Namun dua laki-laki itu memiliki keyakinan yang sama, tak ada
istikharah karena tidak ada kebimbangan sedikit pun dalam hatinya dalam memilih
calon istri. Mereka bermunajat kepada Allah, menghaturkan pinta yang kuat
kepada Maha Pemilik Cinta agar menjadikannya bagian dari perempuan yang
diinginkannya, dengan segala kemampuan yang ia punya. Ya, munajat yang kuat.
Bagaimana sebilah keyakinan bisa
bertalu-talu di dalam dada?
Alkisah, sahabat saya yang belum
terlalu lama mengenal calon suaminya tersebut kenal gara-gara salah invite
pin BBM dari jejaring sosial Facebook. Sepintas terdengar agak lucu. Jangankan
akrab, bertemu saja belum pernah sama sekali. Bahkan berjarak puluhan kilometer
jauhnya, meski masih satu provinsi. Jika saya yang berada di posisinya, mungkin
sudah skeptis terlebih dahulu. Namun, siapa pula yang menyangka, percakapan
yang awalnya dibangun biasa-biasa saja melalui media sosial itu bermuara pada
keberanian lelaki itu meminang sang perempuan.
Selama ini saya meyakini, siapa pun
orangnya, telah lama mengenal atau baru saja saling tahu nama, anjuran Nabi saw
bernama istikharah haruslah tetap dijaga. Meskipun pilihan itu hanya ada satu,
kita tetap bisa memilih untuk mengatakan ya atau tidak, setuju atau tidak
setuju, menerima atau menolak. Sebab kadar pengetahuan kita sungguh terbatas
adanya. Selalu ada sesuatu di luat batas jangkauan nalar dan prasangka manusia.
Kita tidak pernah tahu mana atau siapa yang terbaik. Istikharah. Ya, tentu ini
sebuah ikhtiar yang lumrah bagi siapa saja yang harus menyodorkan satu
keputusan besar dalam hidupnya
Bagaimana dengan keraguan? Mengapa
ia terkadang juga mengiringi rasa ingin yang timbul-tenggelam?
Saya kemudian menjadi paham, Allah
menitipkan keraguan sebagai salah satu petunjuk melalui kata hati. Ketika ragu
menjadi penyeling, bukan berarti seorang hamba tidak perlu mendirikan istikharah
dan langsung memberikan keputusan. Ketiga ragu menyelinap, seorang hamba lemah
tetaplah harus memilah dan memilih, memohon dijauhkan jika perasaan itu
muasalnya dari setan. Ketika keraguan semakin bertambah, bukan berarti seorang
hamba tidak diperkenankan untuk tetap mengusahakan tujuannya. Sebab, tentu Ia
menjawab melalui nasib langkah-langkah kita selanjutnya; apakah kandas di
tengah jalan, atau berakhir pada keberhasilan. Karena tentu, yang terbaik akan
tinggal, sedangkan yang tidak baik pasti akan lekas Ia selesaikan dengan
cara-Nya.
Begitu pula dengan sebilah
keyakinan. Mungkin sama halnya dengan keraguan, Allah menitipkan keyakinan
sebagai salah satu petunjuk melalui kata hati. Allah hilangkan keraguan yang
mendentam-dentam dan mengacaukan pikiran. Bersamaan dengan itu, Allah kuatkan
hati seorang hamba yang tapak langkahnya tengah berjuang demi penyelamatan
setengah agama. Apapun bentuk perjuangan itu, meski masih sebatas untaian doa-doa.
Dia melapangkan jalan seiring dengan kuatnya munajat. Mungkin begitu pula “yakin”
itu bekerja. Sebab ketentuan-Nya di atas prasangka baik kita. Dia memudahkan
langkah seiring kesabaran yang selalu menjadi cahaya dalam usaha-usaha seorang
hamba, meski usaha itu masih sebatas lantunan doa-doa. Jika bukan kepada Sang
Pemilik Hati kita meminta, lantas kepada siapa? Sedangkan Dia berkuasa
membolak-balikkan sekeping hati manusia, cinta menjadi benci, dan dendam
menjadi suka seperti cuaca yang bergonta-ganti dengan mudahnya.
Munajat cinta yang diceritakan
mereka mengantarkan saya pada satu kesimpulan; bahwa selalu ada semacam benang
merah tak kasatmata yang menautkan masing-masing hati yang Allah tetapkan untuk
bersama. Benang merah yang mengarahkan hati seorang hamba ke mana harus menuju. Sebab keyakinan yang Allah titipkan adalah serupa isyarat untuk mengarahkan hati seorang hamba tanpa harus ada seratus alasan untuk menjabarkannya. Jika cinta memerlukan penjabaran yang rumit nan berbelit-belit, bukankah akan hilang rasa itu seiring hilangnya alasan? Haruskah ada alasan bagi tubuh untuk mencintai sebilah rusuk yang menjadi bagiannya? Jika ya, sudah sepatutnya alasan itu disandarkan ke langit sana.
"Tidakkah kita menyadari, bahwa dalam setiap skenario hidup Allah tak menelantarkan kita dengan teka-teki tanpa petunjuk-Nya, Dia hadirkan sinyal-sinyal cinta-Nya untuk menghantarkan keyakinan dalam setiap hal yang kita putuskan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar