Minggu, 11 Desember 2016

Rotasi







Desember yang kelabu tidak bisa mengelabuhi waktu yang terus melaju tanpa mau menengok masa lalu. Kemudian, detik-detik yang berlalu dan dentang jam terasa bagai gema lonceng kematian yang kejam memenggal jatah hidupmu sewaktu-waktu. Cepat. Singkat. Tanpa pause, tanpa jeda, tanpa koma. Semakin hari, kau semakin menyadari bahwa kau harus segera membuka kelopak mata dan memahami sepenuhnya bahwa ini bukan mimpi, lantas berlari menyamai kecepatan waktu. Kalender berganti angka, sementara target-target usang tetaplah menjadi tempelan-tempelan basi di kertas buram. Jikalau Desember berlalu, kau harap Januari yang membasah membasuh rindumu.

Dini hari, pukul tiga, bus itu menghentikan perjalanannya. Saya seolah dipaksa bangun dari mimpi yang baru beberapa menit. Terangnya lampu yang dinyalakan tiba-tiba seakan memaksa sepasang mata yang masih luar biasa mengantuk ini terbuka, kemudian spontan mengucek-ucek kelopaknya, seraya membatin: ini sudah sampai mana?

Penumpang turun satu-persatu. Memeriksa tas, mencari-cari tiket berisi kupon makan untuk ditukar ke pegawai rumah makan. Makan pagi pukul tiga. Haha. Lucu memang. Saya malas menelan nasi, kecuali memang niat puasa dan harus sahur. Maka saat mas-mas rumah makan itu bertanya, saya memilih bakso saja.

Ketika bola-bola daging itu mulai masuk ke kerongkongan, saya merasa ada rasa-rasa yang aneh. Agak bau deterjen. Jangan-jangan... Ah, saya menghentikan kunyahan sejenak. Saya mengidap penyakit parno entah level berapa. Pernah suatu kali di perpustakaan, saya merasakan nyeri di jantung lama sekali, kemudian langsung berpikir bagaimana kalau cepat atau lambat saya mati karena serangan jantung dadakan? Sering pula was-was tiap kali akan menyeberangi rel kereta, dan berpikir bahwa akan ada kereta commuter line yang tiba-tiba menyambar tubuh saya.

Bakso aroma deterjen itu juga seketika membuat penyakit parno saya kambuh lagi. Jangan-jangan habis ini gue keracunan, trus gue mati di dalem bis. Ya Allah, hindarkan saya dari segala keburukan yang ada di dalam makanan ini. Pikiran buruk itu segera saya tepis dengan menyeruput sisa teh hangat yang telah berubah menjadi dingin.

Tapi imajinasi tentang kematian itu masih berputar-putar di benak saya.

“Kalau nanti di dunia ini ada peperangan lagi, aku tidak ingin hidup di zaman itu. Bagaimanapun, itu pasti mengerikan,” ucapnya, dua hari yang lalu. Obrolan kami sore itu tidak lama, namun tanpa rencana, malah menyasar ke hal-hal berat, topik-topik mengerikan, semisal kiamat. Uniknya, saya tahu dia bukan seorang yang relijius, namun sama sekali tak menghindar dari pembahasan semacam itu.

“Jika dikatakan bakal ada perang dunia lagi kelak, sebenarnya itu logis lho. Coba lihat, sekarang hampir semua negara adidaya punya nuklir. Katakanlah ada pemicunya sedikit saja, tinggal masing-masing mengeluarkan senjata nuklirnya, habis sudah dunia. Bom atom nggak ada apa-apanya, nuklir itu berkekuatan berkali-kali lipat dari bom atom. Padahal kamu tahu sendiri, Jepang kayak apa usai dijatuhi bom atom oleh Amerika. Kemudian, terjadilah apa yang telah disabdakan oleh Nabi saw, hancur luluh semua, teknologi lenyap, kita kembali ke zaman batu.”

Saya tercenung. Tak mampu membayangkan. Stuck. Imajinasi saya tak sampai.

“Kalau aku sih berpikir, tanda kiamat yang ‘matahari akan terbit dari barat’ itu juga logis. Sekarang saja, kamu merasa nggak, waktu terasa semakin cepat berlalu? Aku pernah membaca kalau gempa-gempa di bumi ini berkontribusi pada percepatan rotasi bumi. Sekarang semakin banyak gempa, entah gunung meletus atau pergerakan lempeng-lempeng itu. Aku pun merasa waktu semakin singkat, tiba-tiba setahun berlalu, tiba-tiba dan tiba-tiba. Seketika dan seketika. Time flies. Jika rotasi bumi semakin cepat, lama-kelamaan bisa jadi semua terbalik, siang menjadi malam, malam menjadi siang, matahari tenggelam di timur, terbit dari barat. Logis.”

“Jika kelak terjadi perang dunia lagi, pemicunya apa ya kira-kira?”

“Bisa bangetlah. Sekarang kalau mau perang, gampang saja kan? Bahkan situs pertemanan sekarang sangat bisa menjadi lahan permusuhan dan peperangan.”

Iya, benar juga. Segala sesuatu yang besar, berawal dari yang kecil atau sepele, atau remeh-temeh. Pemicunya satu, yang tersulut jutaan. Butterfly effect. Sebuah chaos theory usulan Lorenz yang berujar bahwasanya kepakan sayap kupu-kupu di pedalaman hutan Brazil sana bisa menimbulkan tornado di Texas beberapa waktu kemudian. Meski teori butterfly effect ini sering dipakai untuk cuaca secara harfiah, tampaknya kini linier jika diasosiasikan dengan keadaan “cuaca” dalam arti kondisi sosial dan politik masyarakat dunia.

Lucu. Perang masih eksis di beberapa negara, genosida, kelaparan, belum lagi banyaknya bencana alam, namun banyak orang masih sibuk berdebat dan mempertahankan egonya di dunia maya. Saling mencari pembenaran versi kubu masing-masing. Saling serang dengan apapun diksi yang dimilikinya. Mudah sekali tersulut api. Mudah sekali menanam benci.

Ya-ya. Butterfly effect. Tornado itu cepat atau lambat akan terjadi.

Kalau nanti di dunia ini ada peperangan lagi, aku tidak ingin hidup di zaman itu. Perang itu—apapun bentuknya, pasti mengerikan dan menyakitkan.

Iyakah? Perang akhir zaman? Akhir zaman? A-khir za-man? Ah, tidak-tidak! Kiamat semakin mendekat dan kamu masih saja nyantai? Bangun!

Kalimat yang ia lontarkan di awal perbincangan seolah mantra yang menarik tangan saya ke sebuah lorong waktu yang panjang tak berujung. Menurutnya, sudah mati sepertinya lebih baik daripada harus tersiksa melihat kekejian perang di muka bumi lantas kembali ke zaman batu.

Mungkin yang berkesempatan mengalami masa-masa itu adalah generasi-generasi entah ke berapa setelah anak-cucu saya dilahirkan. Apakah mereka kelak masih mampu menikmati hijaunya negeri ini? Apakah mereka kelak berada pada masa di mana kemaksiatan semakin merajalela? Apakah mereka nanti masih bisa duduk ongkang-ongkang kaki di depan laptop sambil main instagram lewat HP? Apakah mereka nanti masih generasi pekerja yang pergi pagi pulang petang, dan butuh piknik secara rutin? Apakah mereka masih generasi yang doyan menggalau akibat jodoh tak kunjung mendekat atau patah hati? Atau jangan-jangan mereka nanti adalah generasi yang tidur tak nyenyak, makan tak enak, dan setiap saat harus siap siaga memainkan senjata? Atau jangan-jangan mereka kelak adalah generasi di mana otak semakin dikacaukan tentang batas kebenaran dan kebatilan yang semakin kabur nan samar-samar?

Apa yang bisa saya lakukan di masa kini?

Ini PR besar. Ini krusial. Apa yang dilakukan generasi masa ini, tentu akan berefek pada generasi selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya. Ya kalau semua manusia di permukaan bumi ini akan mewariskan kebaikan pada anak-cucu-cicitnya nanti, kalau tidak?

Saya sering gelisah menyaksikan pemandangan di terminal dan pasar-pasar, entah berapa puluh pemuda dan kaum laki-laki yang di bibirnya terselip rokok dan mencemari udara dengan asapnya yang menyesakkan. Berapa ribu terminal dan pasar yang ada di Indonesia? jika di satu tempat saja ada sepuluh orang yang merokok, berapa banyak asap yang mencemari udara? Berapa banyak paru-paru terlukai dan orang yang meninggal karenanya? Herannya, kaum di negeri ini masih saja sibuk bertengkar perkara hukum makruh, haram dan tidaknya. Berapa juta pecandu yang harus lahir setiap harinya? Bagaimana masa depannya? Apa yang akan mereka wariskan untuk anak-anak mereka kelak? Asap? Penyakit? Generasi linglung yang pola pikirnya sudah tercemari candu?

Pertanyaan demi pertanyaan beranak-pinak kemudian tak henti-hentinya berputar-putar di benak. Rotasi pertanyaan yang belum menemukan jawaban.

Bagaimana cara mewariskan kebaikan? Segalanya dimulai dari mendidik diri sendiri. Mencari partner hidup yang satu visi, satu misi, langkahnya senada dengan ke mana langkah kaki kita menuju: keberkahan dan rida-Nya. Setelah itu, barulah mampu berjuang dan bersinergi mewariskan kebaikan melalui pendidikan dari satuan terkecil dan paling inti dalam masyarakat: keluarga.

Bukankah tidak mudah? Tapi, sekali lagi, ini PR besar. Ini krusial! Mereka pula yang kelak mampu menjadi investasi surga bagi kedua orang tuanya, menerangi kubur kita dengan doa-doanya. Bukankah kita tak ingin mati konyol tanpa membawa bekal apa-apa? Sedangkan kematian itu sendiri adalah sesuatu yang niscaya.

Ketika menulis ini, saya menatap tumpukan buku-buku koleksi saya yang semakin menggunung. Kelak, saya wariskan semua buku-buku beragam jenis, beragam topik, beragam genre itu kepada anak-anak saya. Supaya mereka memiliki pengetahuan yang luas, supaya mereka mencintai membaca dan menulis, supaya mereka tercerdaskan oleh ilmu, supaya mereka tidak menjadi generasi abal-abal yang cuma hobi main gawai.

Namun, di tumpukan itu ada Alquran yang teronggok lesu. Kadar cinta pemiliknya menurun entah berapa derajat, sebab yang dulunya satu juz setiap harinya telah menyusut dan tinggal beberapa lembar saja satu hari. Lagi-lagi, tiba-tiba saya merasa naif kembali. Padahal, kepada mereka kelak pula saya harus mampu mewariskan rasa cinta terhadap kalam-Nya.

Cinta, bumi berputar cepat sekali. Kalender bergonta-ganti. Rasanya tak perlu jeda waktu lama untuk menyampaikan Januari ke Januari lagi. Sementara rotasi pertanyaan di benak belumlah menemukan jawab.

Kita sama sekali tidak tahu waktu sampai kapan Dia mengulur waktu agar tanya menjadi jawab, atau rindu menjadi temu. Kita sama sekali tidak tahu sejauh apa jarak yang centang-perenang dan takdir macam apa yang akan menjadi penghubungnya. Aku hanya yakin bahwa kita masih tekun menerbangkan doa-doa ke langit sana.

Cinta, mari menanam kebaikan mulai sekarang, meski hanya sebesar biji sawi. Kelak, kebaikan-kebaikan itu yang akan kita wariskan kepada generasi-generasi yang akan datang.

(Eh, ini kenapa tulisan gw jadi begini? -_- Ngantuk. Ngelantur. Abaikan)

Ahai, masih terdengar sayup-sayup Edcoustic melantunkan senandungnya: tujuh surga pun aku tak pantas, menerima diri yang bersimbah dosa. Kuharap cinta dan ampunan-Mu, setinggi arsy-Mu, seluas semesta cinta...




Malam menjelang Maulid Nabi saw
Sungguh, rindu kami padamu ya Rasul, rindu tiada terperi

Tidak ada komentar: