Desember yang kelabu tidak bisa mengelabuhi waktu yang terus melaju
tanpa mau menengok masa lalu. Kemudian, detik-detik yang berlalu dan dentang
jam terasa bagai gema lonceng kematian yang kejam memenggal jatah hidupmu
sewaktu-waktu. Cepat. Singkat. Tanpa pause,
tanpa jeda, tanpa koma. Semakin hari, kau semakin menyadari bahwa kau harus
segera membuka kelopak mata dan memahami sepenuhnya bahwa ini bukan mimpi,
lantas berlari menyamai kecepatan waktu. Kalender berganti angka, sementara
target-target usang tetaplah menjadi tempelan-tempelan basi di kertas buram.
Jikalau Desember berlalu, kau harap Januari yang membasah membasuh rindumu.
Dini hari, pukul tiga, bus itu
menghentikan perjalanannya. Saya seolah dipaksa bangun dari mimpi yang baru
beberapa menit. Terangnya lampu yang dinyalakan tiba-tiba seakan memaksa sepasang
mata yang masih luar biasa mengantuk ini terbuka, kemudian spontan
mengucek-ucek kelopaknya, seraya membatin: ini sudah sampai mana?
Penumpang turun satu-persatu.
Memeriksa tas, mencari-cari tiket berisi kupon makan untuk ditukar ke pegawai
rumah makan. Makan pagi pukul tiga. Haha. Lucu memang. Saya malas menelan nasi,
kecuali memang niat puasa dan harus sahur. Maka saat mas-mas rumah makan itu
bertanya, saya memilih bakso saja.
Ketika bola-bola daging itu mulai
masuk ke kerongkongan, saya merasa ada rasa-rasa yang aneh. Agak bau deterjen. Jangan-jangan...
Ah, saya menghentikan kunyahan sejenak. Saya mengidap penyakit parno entah
level berapa. Pernah suatu kali di perpustakaan, saya merasakan nyeri di
jantung lama sekali, kemudian langsung berpikir bagaimana kalau cepat atau
lambat saya mati karena serangan jantung dadakan? Sering pula was-was tiap kali
akan menyeberangi rel kereta, dan berpikir bahwa akan ada kereta commuter
line yang tiba-tiba menyambar tubuh saya.
Bakso aroma deterjen itu juga
seketika membuat penyakit parno saya kambuh lagi. Jangan-jangan habis ini gue keracunan,
trus gue mati di dalem bis. Ya Allah, hindarkan saya dari segala keburukan yang
ada di dalam makanan ini. Pikiran buruk itu segera saya tepis dengan menyeruput
sisa teh hangat yang telah berubah menjadi dingin.
Tapi imajinasi tentang kematian itu
masih berputar-putar di benak saya.
“Kalau nanti di dunia ini ada
peperangan lagi, aku tidak ingin hidup di zaman itu. Bagaimanapun, itu pasti
mengerikan,” ucapnya, dua hari yang lalu. Obrolan kami sore itu tidak lama,
namun tanpa rencana, malah menyasar ke hal-hal berat, topik-topik mengerikan,
semisal kiamat. Uniknya, saya tahu dia bukan seorang yang relijius, namun sama
sekali tak menghindar dari pembahasan semacam itu.
“Jika dikatakan bakal ada perang
dunia lagi kelak, sebenarnya itu logis lho. Coba lihat, sekarang hampir semua
negara adidaya punya nuklir. Katakanlah ada pemicunya sedikit saja, tinggal
masing-masing mengeluarkan senjata nuklirnya, habis sudah dunia. Bom atom nggak
ada apa-apanya, nuklir itu berkekuatan berkali-kali lipat dari bom atom. Padahal
kamu tahu sendiri, Jepang kayak apa usai dijatuhi bom atom oleh Amerika.
Kemudian, terjadilah apa yang telah disabdakan oleh Nabi saw, hancur luluh
semua, teknologi lenyap, kita kembali ke zaman batu.”
Saya tercenung. Tak mampu
membayangkan. Stuck. Imajinasi saya tak sampai.
“Kalau aku sih berpikir, tanda
kiamat yang ‘matahari akan terbit dari barat’ itu juga logis. Sekarang saja,
kamu merasa nggak, waktu terasa semakin cepat berlalu? Aku pernah membaca kalau
gempa-gempa di bumi ini berkontribusi pada percepatan rotasi bumi. Sekarang
semakin banyak gempa, entah gunung meletus atau pergerakan lempeng-lempeng itu.
Aku pun merasa waktu semakin singkat, tiba-tiba setahun berlalu, tiba-tiba dan
tiba-tiba. Seketika dan seketika. Time flies. Jika rotasi bumi semakin
cepat, lama-kelamaan bisa jadi semua terbalik, siang menjadi malam, malam
menjadi siang, matahari tenggelam di timur, terbit dari barat. Logis.”
“Jika kelak terjadi perang dunia
lagi, pemicunya apa ya kira-kira?”
“Bisa bangetlah. Sekarang kalau mau
perang, gampang saja kan? Bahkan situs pertemanan sekarang sangat bisa menjadi
lahan permusuhan dan peperangan.”
Iya, benar juga. Segala sesuatu yang
besar, berawal dari yang kecil atau sepele, atau remeh-temeh. Pemicunya satu,
yang tersulut jutaan. Butterfly effect. Sebuah chaos theory
usulan Lorenz yang berujar bahwasanya kepakan sayap kupu-kupu di pedalaman
hutan Brazil sana bisa menimbulkan tornado di Texas beberapa waktu kemudian. Meski
teori butterfly effect ini sering dipakai untuk cuaca secara harfiah,
tampaknya kini linier jika diasosiasikan dengan keadaan “cuaca” dalam arti
kondisi sosial dan politik masyarakat dunia.
Lucu. Perang masih eksis di beberapa
negara, genosida, kelaparan, belum lagi banyaknya bencana alam, namun banyak
orang masih sibuk berdebat dan mempertahankan egonya di dunia maya. Saling
mencari pembenaran versi kubu masing-masing. Saling serang dengan apapun diksi
yang dimilikinya. Mudah sekali tersulut api. Mudah sekali menanam benci.
Ya-ya. Butterfly effect.
Tornado itu cepat atau lambat akan terjadi.
Kalau nanti di dunia ini ada
peperangan lagi, aku tidak ingin hidup di zaman itu. Perang itu—apapun bentuknya,
pasti mengerikan dan menyakitkan.
Iyakah? Perang akhir zaman? Akhir
zaman? A-khir za-man? Ah, tidak-tidak! Kiamat semakin mendekat dan kamu masih saja
nyantai? Bangun!
Kalimat yang ia lontarkan di awal
perbincangan seolah mantra yang menarik tangan saya ke sebuah lorong waktu yang
panjang tak berujung. Menurutnya, sudah mati sepertinya lebih baik daripada
harus tersiksa melihat kekejian perang di muka bumi lantas kembali ke zaman
batu.
Mungkin yang berkesempatan mengalami
masa-masa itu adalah generasi-generasi entah ke berapa setelah anak-cucu saya
dilahirkan. Apakah mereka kelak masih mampu menikmati hijaunya negeri ini? Apakah
mereka kelak berada pada masa di mana kemaksiatan semakin merajalela? Apakah mereka
nanti masih bisa duduk ongkang-ongkang kaki di depan laptop sambil main
instagram lewat HP? Apakah mereka nanti masih generasi pekerja yang pergi pagi
pulang petang, dan butuh piknik secara rutin? Apakah mereka masih generasi yang doyan
menggalau akibat jodoh tak kunjung mendekat atau patah hati? Atau jangan-jangan
mereka nanti adalah generasi yang tidur tak nyenyak, makan tak enak, dan setiap
saat harus siap siaga memainkan senjata? Atau jangan-jangan mereka kelak adalah
generasi di mana otak semakin dikacaukan tentang batas kebenaran dan kebatilan yang
semakin kabur nan samar-samar?
Apa yang bisa saya lakukan di masa
kini?
Ini PR besar. Ini krusial. Apa yang
dilakukan generasi masa ini, tentu akan berefek pada generasi selanjutnya,
selanjutnya, dan selanjutnya. Ya kalau semua manusia di permukaan bumi ini akan
mewariskan kebaikan pada anak-cucu-cicitnya nanti, kalau tidak?
Saya sering gelisah menyaksikan
pemandangan di terminal dan pasar-pasar, entah berapa puluh pemuda dan kaum
laki-laki yang di bibirnya terselip rokok dan mencemari udara dengan asapnya
yang menyesakkan. Berapa ribu terminal dan pasar yang ada di Indonesia? jika di
satu tempat saja ada sepuluh orang yang merokok, berapa banyak asap yang
mencemari udara? Berapa banyak paru-paru terlukai dan orang yang meninggal
karenanya? Herannya, kaum di negeri ini masih saja sibuk bertengkar perkara
hukum makruh, haram dan tidaknya. Berapa juta pecandu yang harus lahir setiap
harinya? Bagaimana masa depannya? Apa yang akan mereka wariskan untuk anak-anak
mereka kelak? Asap? Penyakit? Generasi linglung yang pola pikirnya sudah
tercemari candu?
Pertanyaan demi pertanyaan
beranak-pinak kemudian tak henti-hentinya berputar-putar di benak. Rotasi
pertanyaan yang belum menemukan jawaban.
Bagaimana cara mewariskan kebaikan? Segalanya
dimulai dari mendidik diri sendiri. Mencari partner hidup yang satu visi, satu
misi, langkahnya senada dengan ke mana langkah kaki kita menuju: keberkahan dan
rida-Nya. Setelah itu, barulah mampu berjuang dan bersinergi mewariskan
kebaikan melalui pendidikan dari satuan terkecil dan paling inti dalam masyarakat:
keluarga.
Bukankah tidak mudah? Tapi, sekali lagi,
ini PR besar. Ini krusial! Mereka pula yang kelak mampu menjadi investasi surga
bagi kedua orang tuanya, menerangi kubur kita dengan doa-doanya. Bukankah kita
tak ingin mati konyol tanpa membawa bekal apa-apa? Sedangkan kematian itu
sendiri adalah sesuatu yang niscaya.
Ketika menulis ini, saya menatap
tumpukan buku-buku koleksi saya yang semakin menggunung. Kelak, saya wariskan
semua buku-buku beragam jenis, beragam topik, beragam genre itu kepada
anak-anak saya. Supaya mereka memiliki pengetahuan yang luas, supaya mereka
mencintai membaca dan menulis, supaya mereka tercerdaskan oleh ilmu, supaya mereka tidak menjadi generasi abal-abal yang cuma hobi main gawai.
Namun, di tumpukan itu ada Alquran
yang teronggok lesu. Kadar cinta pemiliknya menurun entah berapa derajat, sebab
yang dulunya satu juz setiap harinya telah menyusut dan tinggal beberapa lembar
saja satu hari. Lagi-lagi, tiba-tiba saya merasa naif kembali. Padahal, kepada
mereka kelak pula saya harus mampu mewariskan rasa cinta terhadap kalam-Nya.
Cinta, bumi berputar cepat sekali. Kalender
bergonta-ganti. Rasanya tak perlu jeda waktu lama untuk menyampaikan Januari ke
Januari lagi. Sementara rotasi pertanyaan di benak belumlah menemukan jawab.
Kita sama sekali tidak tahu waktu
sampai kapan Dia mengulur waktu agar tanya menjadi jawab, atau rindu menjadi
temu. Kita sama sekali tidak tahu sejauh apa jarak yang centang-perenang dan
takdir macam apa yang akan menjadi penghubungnya. Aku hanya yakin bahwa kita
masih tekun menerbangkan doa-doa ke langit sana.
Cinta, mari menanam kebaikan mulai
sekarang, meski hanya sebesar biji sawi. Kelak, kebaikan-kebaikan itu yang akan
kita wariskan kepada generasi-generasi yang akan datang.
(Eh, ini kenapa tulisan gw jadi begini?
-_- Ngantuk. Ngelantur. Abaikan)
Ahai, masih terdengar sayup-sayup Edcoustic
melantunkan senandungnya: tujuh surga pun aku tak pantas, menerima diri yang
bersimbah dosa. Kuharap cinta dan ampunan-Mu, setinggi arsy-Mu, seluas semesta
cinta...
Malam menjelang Maulid Nabi saw
Sungguh, rindu kami padamu ya Rasul, rindu tiada terperi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar