“Rum... Rummana.”
Angin malam yang berembus perlahan
membelai ujung kerudung panjangnya. Sudah malam ke sekian ia menghabiskan waktu
sendirian di beranda usai sembahyang isya, setidaknya sebelum matanya mulai
berat tanda mengantuk. Segenggam aroma kenanga di pekarangan yang terbawa angin
menyentil saraf olfaktorinya. Kelakar ibunya, “Hati-hati, pertanda jin datang,
mulai tertarik padamu yang sendirian.”
“Rummana, apakah kau pernah
bertanya, apa alasan Robby memilihmu menjadi istrinya?”
Suara-suara itu lagi. Muncul begitu
saja menggedor-gedor bilik jiwanya. Pertanyaan-pertanyaan yang akhir-akhir ini
ramai nan gaduh di ruang batinnya. Lalu, dengan segenap kesadaran, ia akan
mulai memikirkan jawabannya, mencerna letak rasionalitas jawaban lelaki itu. Sayangnya,
masih selalu berujung jawaban yang sama.
“Sudah. Jawabnya, firasat yang
dititipkan semesta.”
“Tidak bisa begitu, Rummana. Ada
asap pastilah ada api. Tak mungkin sebuah akibat terjadi tanpa adanya sebab
yang mendasarinya. Kau sudah pernah bertanya berapa kali?”
“Berkali-kali.”
“Ayolah, Rummana, perempuan buah
delima yang diidamkan banyak adam, kau tidak sebodoh itu, bukan? Coba susun
ulang kalimat tanyamu menjadi: ‘Apa yang bisa meyakinkanku untuk menerimamu?’
Jika Robby kelimpungan menjawabnya, kau bisa mempertimbangkan untuk menutup
pintu saja.”
“Alasannya sesungguhnya sederhana. Aku
cantik hati dan menenteramkan jika dipandang, ucapnya.”
“Itu alasan standar. Semua laki-laki
yang berniat meminangmu juga bisa beralasan hal yang serupa. Bisa jadi jika ia
melamar perempuan lain, alasan yang dimilikinya juga sama. Hati-hati, Rum. Hari
ini yang terlihat baik belum tentu baik. Cantik dan salehah? Kukira, banyak
sekali yang jauh lebih cantik dan salehah daripada kamu, perempuan asing yang
dahulu hanya ia kenal lewat nama, selain rentang jarak yang demikian jauhnya. Lagipula,
ah, banyak sekali kekuranganmu. Apakah ia bersungguh-sungguh mau menerima? Apakah
kamu berani menjamin bahwa nanti dia tidak kecewa?”
“Dengan sepenuh kesadaran, apalah artinya
seorang Rummana, selain seorang hamba yang ditutupi aib-aibnya oleh Yang Maha
Kuasa. Namun, suatu hari Robby mengulang cerita itu, kisah yang sudah tak asing
di telingaku. Seseorang yang tengah berjalan di hutan mencari bunga idaman. Setiap
kali langkahnya berjalan ke depan, ia selalu menemukan bunga yang lebih cantik
daripada sebelumnya. Ia berekspektasi, bunga-bunga di depan sana pasti akan
lebih cantik. Ia meneruskan langkah hingga tak sadar bahwa ia telah keluar dari
hutan tanpa membawa satu pun bunga.
Robby tak ingin mencari sempurna,
pun aku. Ia hanya yakin pada hatinya, usai meminta petunjuk kepada Sang Pemilik
Hati. Sementara aku, yang masih saja terjebak pada segudang tanya, hanya
meyakini bahwa seseorang datang bukanlah suatu kebetulan tanpa rencana, melainkan
digerakkan oleh Yang Maha Memiliki Hati. Bahwa takdir akan menemukan jalannya
dengan cara yang tak pernah kita terka. Bahwa frekuensi-frekuensi yang sama
akan dipertemukan semesta dengan caranya masing-masing.
Ada kalanya, kita memang harus
berhenti mempertanyakan sesuatu yang mungkin tak bisa dijelaskan, susah
dijabarkan, dan di luar jangkauan daya nalar kita yang serba terbatas ini. Ada
kalanya, suatu hal memang begitu rumit, abstrak, absurd, tak berpola, tak
diketahui rumusnya, dan tak akan bisa dicerna menggunakan logika. Ada kalanya
kita memang harus berhenti mencoba menguraikan segala sesuatu yang tak
terjemahkan, sulit terejawantahkan, lalu membiarkannya hadir begitu saja
sebagai ayat-ayat semesta. Ada kalanya kita harus mengistirahatkan pikir,
memperpanjang zikir, lalu tabah menerima ketentuan yang digariskan Sang
Pengatur Takdir.”
“Jadi, kamu sudah menyerah dan
membungkam mulutmu untuk tidak bertanya mengapa pilihanmu jatuh kepadaku
lagi?”
“Sesungguhnya, selalu tersedia
jawaban atas ‘mengapa’ yang kita lontarkan. Selalu ada alasan atas
pertanyaan-pertanyaan di balik setiap kejadian. Bahwa untuk sebuah ketentuan
yang paling teka-teki alias misteri, Allah pastilah tidak menentukan takdir
seseorang layaknya mengocok lotre bak bermain undian dalam arisan, bukan? Hanya
saja, seringkali alasan itu tersembunyi di balik langit, menjadi rahasia-Nya
sepenuhnya. Terkadang, aku sudah tak lagi memerlukan alasan itu.”
“Mengapa?”
“Haruskah ada alasan bagi badan,
untuk mencintai rusuk yang menjadi bagiannya?”
Suara-suara gaduh di bilik hatinya
berhenti bertengkar. Rummana merapatkan baju panjangnya. Dingin hawa malam yang
kian larut mulai menyentuh jemarinya, namun ia masih mengetik. Teh melati di
cangkir keramiknya telah tandas sedari tadi, mengundang semut-semut yang selalu
peka aroma gula.
Tiba-tiba ponselnya berdenting. Seseorang
mengirim pesan malam-malam.
“Rum... Rummana, perempuan buah
delima, esok aku akan datang. Ada titipan dari ibu, delima matang-matang dari
kebun belakang.”
Perempuan berkerudung panjang itu
tersenyum. “Ah, Robby...”
Baiti jannati, 4 Juni 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar