Kelak, entah tahun berapa, entah
berapa puluh bulan, berapa ratus minggu, berapa ribu hari, berapa miliar detik
kemudian setelah hari ini, aku ingin duduk tenang di tepian jendela kamar kita.
Ada kursi empuk dan bantal bundar bertuliskan “Everyone has a story to tell”,
serta meja kayu yang dipelitur cokelat tua. Tentu meja itu tidak pernah hampa.
Ada komputer jinjing, tablet, atau bahkan buku-buku catatan tempat aku
menggoreskan pena. Ada jambangan keramik oval dengan kuntum-kuntum edelweiss
yang semakin menua di sana—kau hadiahkan itu untukku beberapa tahun lalu usai
kau pulang mendaki entah puncak gunung mana lagi.
Selalu ada secangkir capuccino,
cokelat panas, atau sekadar teh manis hangat yang turut menemaniku duduk
menghadap jendela besar kamar kita. Rumah kita tak perlu pengharum ruangan,
sebab di luar jendela kita yang selalu kubuka telah kutanam rumpun-rumpun mawar
dan melati yang jika mekar wanginya akan menguar, merasuk-menyentil saraf-saraf
olfaktori. Aku juga merasa tak butuh musik-musik instrumental yang katanya
mampu membangkitkan inspirasi. Bukankah gemericik air hujan yang
mendenting-denting di atap rumah sudah cukup merdu untuk didengar. Hujan yang
menderas tak lain adalah simfoni terindah, melodi paling harmoni, ketika alam
bersenandung dengan bahasanya. Lantas, pohon-pohon yang takzim menunduk mengeja
syukur, ia nikmati basahnya daun-daun dan bebungaan, bertasbih dengan cara
mereka.
Pun aku dan kamu, mengeja syukur
dengan cara yang telah kita sepakati jauh-jauh hari, bahkan sebelum kita
berteduh dan tinggal di bawah atap yang sama. Kita bersyukur atas cara Allah
mempertemukan dan mengatur jalan cerita, dengan tetap bergenggaman tangan meski
ada kerikil-kerikil tajam dan hujan badai yang mulai mendera. Kita bersyukur
atas karunia limpahan rezeki dengan tetap beramal dan menyederhanakan bahagia.
Sebab, cukuplah setia dari masing-masing kita menjadi harta paling berharga. Sebab,
mengepak dengan satu sayap tak cukup kuat untuk mengantarkan kita kepada
surga-Nya.
Aku berterima kasih, bahwa adamu yang
tak pernah kusangka sebelumnya ternyata membuatku semakin lihai menulis beragam
kisah dengan penggal-penggal hikmah. Adamu adalah penyulut candu agar aku mampu
menuang bahasa-bahasa indah nan santun-bersahaja. Sosok yang tak pernah
sekalipun memprotes mengapa aku gemar berlama-lama duduk menyendiri bertemankan
sepi, bahkan urung rindu ketika kau seharian pergi bekerja. Karena kita tahu,
merawat rindu dalam jarak cukuplah dengan doa-doa yang berpeluk di hening
munajat kepada-Nya.
Kelak, di tepi jendela itu, aku akan
menuliskan kisah bagaimana kita berjumpa.
Tulisan lama yang teronggok di folder laptop, dan waktu itu batal
diposting
Tidak ada komentar:
Posting Komentar