Di sebuah resort tepi pantai,
Tanjung Benoa
Hawa
ruangan kamar hotel itu
mendingin, hembusan AC menampar-nampar permukaan kulit ari. Ada single bed berukuran cukup besar untuk
tidur berdua, bahkan spring bed-nya
di apartemen tidak seluas ini. Aroma lavender yang menguar sedikit-banyak
membuatnya mengantuk. Panorama di luar jendela berkaca menawarkan kesejukan.
Ada taman buatan dan kolam ikan disertai irama gemericik air mengalir. Ia
sedang bosan. Apa gunanya berada di tempat laksana surga, jika sendirian? Yang
ditunggu tak juga kembali, meninggalkan ia sendiri berkawan sepi. Ah, apa
memang begini konsekuensi menjadi istri seorang eksekutif muda?
Pintu
diketuk pelan. Perempuan itu panik. Buru-buru dikenakannya kerudung dan baju
panjangnya.
“Assalamu’alaykum.”
“Wa’alaykumussalam. Kirain pegawai hotel
mau nganterin pesanan.”
Perempuan itu mendesah kecewa. Dilepasnya lagi kerudung instan yang menutupi
kepalanya. Namun kemudian ia tersenyum.
“Maaf
ya, lama. Tadi masih ketemu kolega dari Singapore.
Setelah ini free, kok. Waktu untuk
kita berdua.” Dibalasnya senyum itu, penuh arti.
“Vin,
eh.. Bang, kalau aku boleh tahu, biaya hotel ini berapa? Kita menginap di sini
tiga malam kan.” (baru seminggu menikah, masih beradaptasi, meski mereka sudah
saling mengenal semenjak baru menjadi anak kuliahan yang lugu. Status mereka
bukan teman seangkatan lagi. Alvin adalah pemimpinnya kini. Mutia pun—mau tak
mau—harus menanggalkan egonya, meski awalnya terasa aneh mengucap “Bang” di
depan “Alvin.)
“Hampir sejuta setengah untuk
satu malam.”
“What?!”
Uang sebanyak
itu dia korbankan hanya untuk bulan madu? Yang benar saja. Sebenarnya, aku
tidak terlalu suka hidup bermewah-mewah. Kita jalan-jalan berdua ke Kaliurang,
itu sudah lebih dari cukup. Tidak usah melanglang jauh ke sini. Bukankah lebih
baik ditabung saja demi investasi masa depan, kelak kalau kita punya anak,
misalnya. Hah? Anak? Waduh, sudah menikah, kenapa malu memikirkan soal itu?
“Tenang,
semuanya gratis. Aku dapat voucher
menginap di hotel ini, bonus dari kantor. Sengaja aku nggak ngasih tahu kamu,
biar kaget.” Alvin tersenyum penuh kemenangan. Mutia mendadak malu, namun
lantas terbahak.
“Nggak
lucu!”
“Nggak
lucu kok ketawa? Bisa-bisanya ya aku dapet istri aneh kayak kamu, tukang
ngambek, berantakan pula.”
Mutia
merengut. “Oh, baiklah, Tuan Eksekutif. Gara-gara menunggu Anda, saya rela
menjomblo dua puluh enam tahun lamanya. Kurang sabar apa saya, coba? Padahal…”
“Padahal
apa? Salah sendiri, siapa suruh menungguku?”
Aku tidak menunggu
siapa pun. Justru pinangan itu datang, namun kutolak mentah-mentah karena
alasan klise.
Lantas sekarang pria itu entah di mana rimbanya, gone with the wind. Mungkin, ia juga sudah menikah dengan
muslimah lain, mungkin juga jauh lebih salehah daripada aku yang masih tertatih
belajar ini.
Hening
sepersekian detik. Hingga ada suara ketukan di pintu.
“Bang,
tolong bukain. Tadi aku pesan minuman.” Alvin beranjak dari tempat duduknya.
Tak lama kemudian ia kembali dengan dua gelas susu putih.
“Eeehh,
jangan diminum dulu. Itu buat nanti aja, habis makan malam. Kalau dingin, kan
di sini ada heater. Tinggal
dipanasin.” Tanggung, Alvin sudah menyeruputnya hingga seperempat gelas.
“Kalau
begitu, kenapa pesannya susu, sih? Antitoksin satu ini bikin ngantuk. Nanti
malam kan kita…”
“Oh
iya, benar! Nanti malam kan ada liga champion, mana boleh tidur!”
Pria
itu kesal, bercampur geli. Sejak hidup
bersamaku, dia jadi ketularan keranjingan bola, padahal dulu nggak suka
mati-matian. Satu lagi, ternyata dia masih Mutia yang dulu. Manja dan lugu.
Awas saja kalau menolak, mau dilaknat malaikat sampai pagi, ha?
*
Angin
malam mempermainkan ujung khimar Mutia. Alvin meletakkan tangannya di pundak
sang istri, bermaksud menahan si khimar panjang biar tidak berkibar.
“Anginnya
genit, iseng pengen buka kerudungmu.”
“Mungkin
anginnya laki-laki,” Mutia tertawa.
“Sial,
bikin aku cemburu.”
“Cemburu
kok sama angin?”
“Biarin,
kalau sama laki-laki beneran kan gawat.” Alvin terkekeh. Mutia teringat sesuatu.
Tiga hari setelah walimatul ‘ursy,
Alvin sudah membuatnya cemburu.
“Kamu
kok tambah gemuk, stres gara-gara menikah denganku, ya?” ucapnya bercanda.
“Ah,
masak? Alvin sok tahu. Apa hubungannya gemuk dengan stres?” Diperhatikannya
tubuhnya di cermin kamar, masih ramping, masih cantik.
“Ya
ada. Stres mengacaukan hormon dalam tubuh
dan mengakibatkan sistem metabolisme jadi tidak seimbang, sehingga tubuh jadi
tidak maksimal membakar kalori, lemak, dan gula. Kadar insulin juga berkurang, yang
membuat pengidapnya jadi doyan makan banget, akibatnya ya tambah gemuk.”
“Pintaaaar!
Sarjana Teknik tahu masalah kesehatan
juga toh? Belajar dari mana, Bang?”
“Dulu,
dari Dokter Talita.”
Paras
Mutia berubah masam seketika. Dokter
Talita… Apa kau masih menyimpan rasa terhadapnya? Dia yang kamu harap-harapkan
semenjak dulu. Perempuan cantik, pintar, mapan. Namun sayang, langkahmu
terlambat beberapa saat. Dia sudah keburu dikhitbah lelaki lain. Apakah menikah
denganku adalah sebuah keterpaksaan, hanya sekadar pelampiasan atas kegagalanmu
mewujudkan apa yang kau mau?
Lelaki
itu paham apa yang tengah berkecamuk di benak istrinya. Dipeluknya Mutia. Tanpa
dinyana, mata perempuan itu menggulirkan bulir bening. Entah mengapa, tak bisa
ditahan. Ah, cemburu… Baru mendengar nama
perempuan itu saja sudah jealous.
Katanya, cemburu tanda cinta. Oh, cinta itu bertumbuh sedemikian cepat
ternyata.
“Dengar,
Mutia. Sejak dulu, aku
tidak pernah mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun, aku meyakini bahwa apa
yang Allah beri adalah yang terbaik. Segala apa yang kudapat sekarang memang
bukan yang aku inginkan, namun yang aku butuhkan.”
Begitu mudahnya makhluk
bernama perempuan itu meneteskan air mata. Atau hanya istriku saja yang
cengeng? Apa-apaan ini, baru beberapa hari menikah aku sudah membuatnya
menangis. Aku tak tahu-menahu, itu air mata terharu atau justru cemburu. Kalau
cemburu, baguslah. Artinya dia memang mencintaiku.
Mereka
meneruskan berjalan, menyusuri sepanjang pantai. Langit malam itu tak terlalu
cerah, sedikit berawan. Benda-benda langit yang berkelip itu disembunyikan
mendung. Yang ada, temaram lampu-lampu restoran tepi pantai yang cahayanya
remang-remang. Temperatur semakin dingin. Alvin memeluknya. Ini sudah ke sekian
kalinya. Namun, kenapa masih ada degup yang tak biasa dalam dadanya? Grogi.
Namun, ia suka degup itu, degup yang ia
dengar samar-samar ketika kepalanya bersandar di dada Alvin, bersaing
dengan suara debur ombak. Ingin rasanya balas memeluk lelaki itu erat-erat,
sambil diam-diam bergumam, “Aku tak mau kehilanganmu barang sedetik pun!” kalau
saja ia tak ingat bahwa mereka masih di jalan.
“Nona Mutiara Khairunnisa,”
“Yes, Sir?”
“Sekarang Negeri Sakura sedang musim sakura atau musim
apa?”
Mutia sejenak mengingat-ingat sekarang sedang bulan apa
dan tanggal berapa.
“Tergantung di Jepang bagian mana. Kalau di Tokyo sana,
diperkirakan sakura akan segera meranggas akhir bulan ini, luruh satu persatu.
Ciri khas musim itu adalah daun-daun momiji yang menguning, memerah,
kemudian luruh pula. Kalau ada film judulnya Autumn Sonata, mungkin background-nya
seperti itu, daun-daun jatuh, bunga-bunga rontok. Ditambah si tokoh utama
sedang berpatah hati. Sempurnalah ceritanya, mengaduk-aduk perasaan pemirsa. Eh,
ada apa, Tuan Alvin Hamizan? Anda mau mengajak saya kembali ke sana?”
Ada binar harap yang ditangkap Alvin dari mata bening
Mutia. Kekasihnya sedang rindu negeri itu rupanya. Ia membalas tatapan itu
dengan sebilah senyuman.
“Jadi begini menjadi suami seorang penulis? Bukannya aku
yang menggombal seperti kebanyakan lelaki, justru kamu yang menggombaliku
dengan imajinasimu yang kelewat absurd itu. Haha.”
“Hei, Bung, aku tidak sedang menggombal.” Mutia gusar.
Selalu ada saja cara suaminya untuk membuatnya kesal. “Memang benar ya, sampai
kiamat pun, Sarjana Teknik tidak akan pernah cocok dipasangkan dengan Sarjana
Sastra. Di benakmu rumus dan angka-angka, di benakku seluruhnya kata-kata dan
puisi. Kita tidak nyambung!”
Alvin tak menanggapi kekesalan Mutia—yang sesungguhnya
tidak benar-benar kesal itu. Mereka sudah sama-sama paham. Tidak ‘bertengkar’
sekali sehari sama saja memasak sayur tanpa garam. Hambar. Pertengkaran kecil
yang sejatinya candaan belaka, bumbu yang harus selalu mereka hadirkan dalam
cawan kehidupan rumah tangga.
“Aku ingin menyaksikan luruhnya daun-daun itu. Momennya
sama dengan hatiku yang sedang jatuh.”
Mutia terdiam. Kali ini ia merasa Alvin sudah mulai
ketularan naluri menggombalnya.
“Dulu, aku tak ingin hatiku jatuh ritmis setiap kali
mengingat seorang perempuan. Menginginkannya menjadi pendamping, sementara
belum tentu pula ia yang ditakdirkan tuhan untukku. Jatuh itu berujung pada
sakit tak terperi ketika mengetahui kenyataan tidak seindah apa yang
diangankan.”
Mutia menggigit bibir. Aku juga, batinnya. Kau
tahu kan, Bung, betapa sulitnya menjaga sekeping substansi bernama hati.
Menjaga cinta ini utuh sepanjang jalan, sebelum Sang Pemilik Semesta
mengembalikanku kepadamu—yang memang seharusnya kucintai sepenuh hati. Aku tak
ingin hatiku jatuh ritmis setiap kali mengingat seorang lelaki yang belum tentu
ditakdirkan Allah untuk membersamaiku.
“Namun, sekarang aku ingin jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku
yakin, kali ini tidak akan sakit.”
Senyap tercipta di antara mereka berdua. Ada jeda sekian
detik sebelum dialog dua hati itu dimulai kembali. Detik seolah berhenti
berdetak, waktu terusir. Semua seakan berubah slow motion. Mutia
menghela nafas, menunggu kelanjutan kalimat Alvin. Ada desir-desir halus yang
merayapi rongga-rongga dadanya. Desir yang serupa ketika dulu ia mengalami
jatuh cintanya yang pertama-tama. Namun, ada yang berbeda kali ini. Ia merasa
tak perlu susah payah menyembunyikan rasanya.
“Aku ingin jatuh di palung hatimu. Sedalam apapun itu.
Bahkan jika aku harus mati karena tenggelam terlalu dalam.”
Mutia bergeming. Rembulan separuh memendarkan cahaya
lembutnya. Remang malam tak bisa menyembunyikan rona merah muda di paras
perempuan berkerudung panjang itu rupanya. Hatinya tersanjung, meski ada rasa
geli yang menggelitikinya. Ah, gombal!
“Pintaaar. Sarjana Teknik ternyata pandai merangkai kata
romantis juga, Bang. Kau tidak sedang menggombal kan? Atau itu sebenarnya
bakatmu yang selama ini disembunyikan gengsi?” Mutia tergelak mencandai lelaki
di hadapannya yang selama ini menurutnya tak pernah romantis dan anti kata-kata
puitis.
“Aku belajar. Dari perempuan bernama Mutia. Ia yang
membuatku menjadi Qais secara tiba-tiba. Kau juga pasti tahu mengapa Qais—si
Majnun itu begitu puitis. Sebab hatinya terlanjur berpaut pada perempuan yang
dicintainya, Layla. Cinta yang membuatnya demikian. Namun, tentu kisahku dengan
perempuan yang kucintai tidak akan senelangsa Layla-Majnun. Bukankah kita
sama-sama memiliki alasan yang kuat untuk mencintai, lebih dari sekadar ikatan
bernama pernikahan ini?”
Iya, alasan itu Dia—Sang Maha Penggenggam Nyawa, serta
keimanan yang sama. Cita-cita yang serupa: saling menjaga cinta karena Yang
Esa, dan keinginan untuk menjejakkan kaki di pelataran surga bersama-sama.
Sebab, tak ada yang lebih kekal daripada cinta-Nya.
***
#LatihanMenulisFiksi (Lagi)
By the way, ini apa ya? Tiba-tiba menemukan ini di kumpulan file di folder laptop saya. Gara-gara ngayal jadi manten anyar, lalu mengandaikan kisah yang endingnya demikian. Maafkan jika terlalu banyak gombalan sok-romantis yang bikin mual.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar