Rabu, 25 Oktober 2017

Epilog: And It Completely Falls






Di sebuah resort tepi pantai, Tanjung Benoa
Hawa ruangan kamar hotel itu mendingin, hembusan AC menampar-nampar permukaan kulit ari. Ada single bed berukuran cukup besar untuk tidur berdua, bahkan spring bed-nya di apartemen tidak seluas ini. Aroma lavender yang menguar sedikit-banyak membuatnya mengantuk. Panorama di luar jendela berkaca menawarkan kesejukan. Ada taman buatan dan kolam ikan disertai irama gemericik air mengalir. Ia sedang bosan. Apa gunanya berada di tempat laksana surga, jika sendirian? Yang ditunggu tak juga kembali, meninggalkan ia sendiri berkawan sepi. Ah, apa memang begini konsekuensi menjadi istri seorang eksekutif muda?

Pintu diketuk pelan. Perempuan itu panik. Buru-buru dikenakannya kerudung dan baju panjangnya.

Assalamu’alaykum.

Wa’alaykumussalam. Kirain pegawai hotel mau nganterin pesanan.” Perempuan itu mendesah kecewa. Dilepasnya lagi kerudung instan yang menutupi kepalanya. Namun kemudian ia tersenyum.
“Maaf ya, lama. Tadi masih ketemu kolega dari Singapore. Setelah ini free, kok. Waktu untuk kita berdua.” Dibalasnya senyum itu, penuh arti.

“Vin, eh.. Bang, kalau aku boleh tahu, biaya hotel ini berapa? Kita menginap di sini tiga malam kan.” (baru seminggu menikah, masih beradaptasi, meski mereka sudah saling mengenal semenjak baru menjadi anak kuliahan yang lugu. Status mereka bukan teman seangkatan lagi. Alvin adalah pemimpinnya kini. Mutia pun—mau tak mau—harus menanggalkan egonya, meski awalnya terasa aneh mengucap “Bang” di depan “Alvin.)

Hampir sejuta setengah untuk satu malam.

What?!Uang sebanyak itu dia korbankan hanya untuk bulan madu? Yang benar saja. Sebenarnya, aku tidak terlalu suka hidup bermewah-mewah. Kita jalan-jalan berdua ke Kaliurang, itu sudah lebih dari cukup. Tidak usah melanglang jauh ke sini. Bukankah lebih baik ditabung saja demi investasi masa depan, kelak kalau kita punya anak, misalnya. Hah? Anak? Waduh, sudah menikah, kenapa malu memikirkan soal itu?

“Tenang, semuanya gratis. Aku dapat voucher menginap di hotel ini, bonus dari kantor. Sengaja aku nggak ngasih tahu kamu, biar kaget.” Alvin tersenyum penuh kemenangan. Mutia mendadak malu, namun lantas terbahak.

“Nggak lucu!”

“Nggak lucu kok ketawa? Bisa-bisanya ya aku dapet istri aneh kayak kamu, tukang ngambek, berantakan pula.”

Mutia merengut. “Oh, baiklah, Tuan Eksekutif. Gara-gara menunggu Anda, saya rela menjomblo dua puluh enam tahun lamanya. Kurang sabar apa saya, coba? Padahal…”

“Padahal apa? Salah sendiri, siapa suruh menungguku?”

Aku tidak menunggu siapa pun. Justru pinangan itu datang, namun kutolak mentah-mentah karena alasan klise. Lantas sekarang pria itu entah di mana rimbanya, gone with the wind. Mungkin, ia juga sudah menikah dengan muslimah lain, mungkin juga jauh lebih salehah daripada aku yang masih tertatih belajar ini.

Hening sepersekian detik. Hingga ada suara ketukan di pintu.

“Bang, tolong bukain. Tadi aku pesan minuman.” Alvin beranjak dari tempat duduknya. Tak lama kemudian ia kembali dengan dua gelas susu putih.

“Eeehh, jangan diminum dulu. Itu buat nanti aja, habis makan malam. Kalau dingin, kan di sini ada heater. Tinggal dipanasin.” Tanggung, Alvin sudah menyeruputnya hingga seperempat gelas.

“Kalau begitu, kenapa pesannya susu, sih? Antitoksin satu ini bikin ngantuk. Nanti malam kan kita…”

“Oh iya, benar! Nanti malam kan ada liga champion, mana boleh tidur!”

Pria itu kesal, bercampur geli. Sejak hidup bersamaku, dia jadi ketularan keranjingan bola, padahal dulu nggak suka mati-matian. Satu lagi, ternyata dia masih Mutia yang dulu. Manja dan lugu. Awas saja kalau menolak, mau dilaknat malaikat sampai pagi, ha?
 *

Angin malam mempermainkan ujung khimar Mutia. Alvin meletakkan tangannya di pundak sang istri, bermaksud menahan si khimar panjang biar tidak berkibar.

“Anginnya genit, iseng pengen buka kerudungmu.”

“Mungkin anginnya laki-laki,” Mutia tertawa.

“Sial, bikin aku cemburu.”

“Cemburu kok sama angin?”

“Biarin, kalau sama laki-laki beneran kan gawat.” Alvin terkekeh. Mutia teringat sesuatu. Tiga hari setelah walimatul ‘ursy, Alvin sudah membuatnya cemburu.

“Kamu kok tambah gemuk, stres gara-gara menikah denganku, ya?” ucapnya bercanda.

“Ah, masak? Alvin sok tahu. Apa hubungannya gemuk dengan stres?” Diperhatikannya tubuhnya di cermin kamar, masih ramping, masih cantik.

“Ya ada. Stres mengacaukan hormon dalam tubuh dan mengakibatkan sistem metabolisme jadi tidak seimbang, sehingga tubuh jadi tidak maksimal membakar kalori, lemak, dan gula. Kadar insulin juga berkurang, yang membuat pengidapnya jadi doyan makan banget, akibatnya ya tambah gemuk.”

“Pintaaaar! Sarjana Teknik tahu masalah kesehatan juga toh? Belajar dari mana, Bang?”

“Dulu, dari Dokter Talita.”

Paras Mutia berubah masam seketika. Dokter Talita… Apa kau masih menyimpan rasa terhadapnya? Dia yang kamu harap-harapkan semenjak dulu. Perempuan cantik, pintar, mapan. Namun sayang, langkahmu terlambat beberapa saat. Dia sudah keburu dikhitbah lelaki lain. Apakah menikah denganku adalah sebuah keterpaksaan, hanya sekadar pelampiasan atas kegagalanmu mewujudkan apa yang kau mau?

Lelaki itu paham apa yang tengah berkecamuk di benak istrinya. Dipeluknya Mutia. Tanpa dinyana, mata perempuan itu menggulirkan bulir bening. Entah mengapa, tak bisa ditahan. Ah, cemburu… Baru mendengar nama perempuan itu saja sudah jealous. Katanya, cemburu tanda cinta. Oh, cinta itu bertumbuh sedemikian cepat ternyata.

“Dengar, Mutia. Sejak dulu, aku tidak pernah mendapatkan apa yang aku inginkan. Namun, aku meyakini bahwa apa yang Allah beri adalah yang terbaik. Segala apa yang kudapat sekarang memang bukan yang aku inginkan, namun yang aku butuhkan.”

Begitu mudahnya makhluk bernama perempuan itu meneteskan air mata. Atau hanya istriku saja yang cengeng? Apa-apaan ini, baru beberapa hari menikah aku sudah membuatnya menangis. Aku tak tahu-menahu, itu air mata terharu atau justru cemburu. Kalau cemburu, baguslah. Artinya dia memang mencintaiku.

Mereka meneruskan berjalan, menyusuri sepanjang pantai. Langit malam itu tak terlalu cerah, sedikit berawan. Benda-benda langit yang berkelip itu disembunyikan mendung. Yang ada, temaram lampu-lampu restoran tepi pantai yang cahayanya remang-remang. Temperatur semakin dingin. Alvin memeluknya. Ini sudah ke sekian kalinya. Namun, kenapa masih ada degup yang tak biasa dalam dadanya? Grogi. Namun, ia suka degup itu, degup yang ia dengar samar-samar ketika kepalanya bersandar di dada Alvin, bersaing dengan suara debur ombak. Ingin rasanya balas memeluk lelaki itu erat-erat, sambil diam-diam bergumam, “Aku tak mau kehilanganmu barang sedetik pun!” kalau saja ia tak ingat bahwa mereka masih di jalan.

“Nona Mutiara Khairunnisa,”

Yes, Sir?

“Sekarang Negeri Sakura sedang musim sakura atau musim apa?”

Mutia sejenak mengingat-ingat sekarang sedang bulan apa dan tanggal berapa.

“Tergantung di Jepang bagian mana. Kalau di Tokyo sana, diperkirakan sakura akan segera meranggas akhir bulan ini, luruh satu persatu. Ciri khas musim itu adalah daun-daun momiji yang menguning, memerah, kemudian luruh pula. Kalau ada film judulnya Autumn Sonata, mungkin background-nya seperti itu, daun-daun jatuh, bunga-bunga rontok. Ditambah si tokoh utama sedang berpatah hati. Sempurnalah ceritanya, mengaduk-aduk perasaan pemirsa. Eh, ada apa, Tuan Alvin Hamizan? Anda mau mengajak saya kembali ke sana?”

Ada binar harap yang ditangkap Alvin dari mata bening Mutia. Kekasihnya sedang rindu negeri itu rupanya. Ia membalas tatapan itu dengan sebilah senyuman.

“Jadi begini menjadi suami seorang penulis? Bukannya aku yang menggombal seperti kebanyakan lelaki, justru kamu yang menggombaliku dengan imajinasimu yang kelewat absurd itu. Haha.”

“Hei, Bung, aku tidak sedang menggombal.” Mutia gusar. Selalu ada saja cara suaminya untuk membuatnya kesal. “Memang benar ya, sampai kiamat pun, Sarjana Teknik tidak akan pernah cocok dipasangkan dengan Sarjana Sastra. Di benakmu rumus dan angka-angka, di benakku seluruhnya kata-kata dan puisi. Kita tidak nyambung!”

Alvin tak menanggapi kekesalan Mutia—yang sesungguhnya tidak benar-benar kesal itu. Mereka sudah sama-sama paham. Tidak ‘bertengkar’ sekali sehari sama saja memasak sayur tanpa garam. Hambar. Pertengkaran kecil yang sejatinya candaan belaka, bumbu yang harus selalu mereka hadirkan dalam cawan kehidupan rumah tangga.

“Aku ingin menyaksikan luruhnya daun-daun itu. Momennya sama dengan hatiku yang sedang jatuh.”

Mutia terdiam. Kali ini ia merasa Alvin sudah mulai ketularan naluri menggombalnya.

“Dulu, aku tak ingin hatiku jatuh ritmis setiap kali mengingat seorang perempuan. Menginginkannya menjadi pendamping, sementara belum tentu pula ia yang ditakdirkan tuhan untukku. Jatuh itu berujung pada sakit tak terperi ketika mengetahui kenyataan tidak seindah apa yang diangankan.”

Mutia menggigit bibir. Aku juga, batinnya. Kau tahu kan, Bung, betapa sulitnya menjaga sekeping substansi bernama hati. Menjaga cinta ini utuh sepanjang jalan, sebelum Sang Pemilik Semesta mengembalikanku kepadamu—yang memang seharusnya kucintai sepenuh hati. Aku tak ingin hatiku jatuh ritmis setiap kali mengingat seorang lelaki yang belum tentu ditakdirkan Allah untuk membersamaiku.

“Namun, sekarang aku ingin jatuh sejatuh-jatuhnya. Aku yakin, kali ini tidak akan sakit.”

Senyap tercipta di antara mereka berdua. Ada jeda sekian detik sebelum dialog dua hati itu dimulai kembali. Detik seolah berhenti berdetak, waktu terusir. Semua seakan berubah slow motion. Mutia menghela nafas, menunggu kelanjutan kalimat Alvin. Ada desir-desir halus yang merayapi rongga-rongga dadanya. Desir yang serupa ketika dulu ia mengalami jatuh cintanya yang pertama-tama. Namun, ada yang berbeda kali ini. Ia merasa tak perlu susah payah menyembunyikan rasanya. 

“Aku ingin jatuh di palung hatimu. Sedalam apapun itu. Bahkan jika aku harus mati karena tenggelam terlalu dalam.”

Mutia bergeming. Rembulan separuh memendarkan cahaya lembutnya. Remang malam tak bisa menyembunyikan rona merah muda di paras perempuan berkerudung panjang itu rupanya. Hatinya tersanjung, meski ada rasa geli yang menggelitikinya. Ah, gombal!

“Pintaaar. Sarjana Teknik ternyata pandai merangkai kata romantis juga, Bang. Kau tidak sedang menggombal kan? Atau itu sebenarnya bakatmu yang selama ini disembunyikan gengsi?” Mutia tergelak mencandai lelaki di hadapannya yang selama ini menurutnya tak pernah romantis dan anti kata-kata puitis.

“Aku belajar. Dari perempuan bernama Mutia. Ia yang membuatku menjadi Qais secara tiba-tiba. Kau juga pasti tahu mengapa Qais—si Majnun itu begitu puitis. Sebab hatinya terlanjur berpaut pada perempuan yang dicintainya, Layla. Cinta yang membuatnya demikian. Namun, tentu kisahku dengan perempuan yang kucintai tidak akan senelangsa Layla-Majnun. Bukankah kita sama-sama memiliki alasan yang kuat untuk mencintai, lebih dari sekadar ikatan bernama pernikahan ini?”

Iya, alasan itu Dia—Sang Maha Penggenggam Nyawa, serta keimanan yang sama. Cita-cita yang serupa: saling menjaga cinta karena Yang Esa, dan keinginan untuk menjejakkan kaki di pelataran surga bersama-sama. Sebab, tak ada yang lebih kekal daripada cinta-Nya.

 ***

#LatihanMenulisFiksi (Lagi)
By the way, ini apa ya? Tiba-tiba menemukan ini di kumpulan file di folder laptop saya. Gara-gara ngayal jadi manten anyar, lalu mengandaikan kisah yang endingnya demikian. Maafkan jika terlalu banyak gombalan sok-romantis yang bikin mual.

Tidak ada komentar: