"Apakah
yang lebih meresahkan bagi perempuan, selain usia yang semakin beranjak,
sementara ia belum jua bertemu takdirnya sehingga tak jarang mendapat julukan
'perawan tua'?"
"Ia
dikatakan sempurna jika telah mengandung dan melahirkan malaikat-malaikat kecil
yang selama 9 bulan dititipkan di rahim sucinya." Suara itu
berdesing-desing di kepalanya. Tak jelas siapa sesungguhnya si pemilik suara.
Bising. Bercampur baur antara suara saudara-saudara perempuannya, teman-teman
satu pengajian, ibu-ibu kompleks yang hobi bergosip, hingga suara emak dan
mertuanya sendiri.
"Lantas,
bagaimana dengan mereka yang telah sekian tahun berumah tangga, namun belum
juga ada tanda-tanda bahwa amanah dari-Nya itu akan ada? Apakah mereka
perempuan tak sempurna?"
"Aku
tak tahu. Mungkin di situlah bagian dari ujian penggenapan separuh agama."
Lalu,
bising itu seketika berganti hening. Dibukanya Alquran tajwid yang selalu
menemani hari-harinya. Fashbir shabran jamiila. Bersabarlah dengan
sebaik-baik kesabaran.
"Sabar,
Sayang. Allah sudah mengatur rezeki tiap-tiap makhluknya dengan seadil-adilnya.
Kita tak boleh putus berdoa, berharap, dan berusaha. Ya..."
Kali
ini ia tahu betul siapa si pemilik suara. Suaminya—yang entah bagaimana bisa
lelaki itu merenda kesabaran sedemikian rupa. Suaminya yang selama ini jarang
sekali menjadi imam salat di rumah untuknya, sebab lelaki itu selalu bergegas
ke masjid tiap kali azan berkumandang pertama kalinya. Lalu, tegakah ia
berpikiran bahwa orang yang hatinya berpaut pada rumah-Nya itu suatu kali akan
berhenti mencintai istrinya?
"Aku
ingin punya investasi surga." Kalimat itu yang ia lontarkan sejak awal
menikah. Kemudian, pria di sampingnya hanya tersenyum simpul seraya menimpali
dengan kata-kata sederhana, "Sama. Aku juga ingin." Meski demikian,
ia paham betul maksud senyum suaminya: "Agar bisa menjadikannya investasi
surga, kamu harus menjadi madrasah yang baik bagi anak-anak kita. Begitu juga
aku." Suaminya tidak melarangnya berkarier, namun alangkah lebih baiknya
jika ia dapat bekerja di rumah saja sembari menemani buah hatinya kelak,
meskipun telah menyandang gelar kelulusan dari sekolah pascasarjana.
Lantas,
kini, setelah sekian purnama berlalu dengan cepatnya semenjak hari
pernikahannya yang syahdu, gulana semakin hari semakin membebat urat-urat
nadinya. Terlebih ketika dua-tiga sahabatnya yang menikah hampir bersamaan
dengannya—atau bahkan yang menikah berbulan-bulan setelahnya, tak lama kemudian
mengabarkan kepada dunia bahwa dirinya tengah berbadan dua. Ya, amanah-Nya itu
telah tiba! Tentu para calon ibu itu menyambut dengan penuh suka cita, meskipun
mereka bercerita tentang beragam kesakitan dan ujian yang dialami sejak hamil
muda. Namun, itulah jihadnya perempuan, jalan syahid jikalau ia meninggal
ketika melahirkan. Malaikat memohonkan ampun untuknya setiap hari. Jika anaknya
telah lahir, maka ia pun terlahir kembali dengan dosa-dosa yang telah terbasuh
air mata jihad sembilan bulan. Betapa istimewanya. Semenjak saat itu, di telapak
kakinya pun tersemat surga. Namanya tiga kali disebut sebagai orang yang harus
dimuliakan sebelum seorang ayah. Manakah puisi semesta yang lebih puitis
daripada itu semua?
Duhai,
apakah surga belum pantas tersemat di telapak kakiku?
Setiap
hari tak pernah jeda ia lantukan doa-doa pengharapan demi seorang keturunan. Apa
yang akan dikatakan orang-orang sekitar dan keluarga suaminya jika tanda-tanda
bahwa ia mengandung itu belum juga ada? Apakah ia berani menjamin bahwa
suaminya akan tetap setia jika kelak menemui kemungkinan terburuk? Sedangkan cintanya
yang terlanjur membara tak akan pernah sudi atau merelakan belahan jiwanya
berbagi.
“Salah
seorang temanku baru dikaruniai anak setelah 15 tahun menikah.” Perempuan berkerudung
lebar di hadapannya tiba-tiba bertutur tanpa diminta.
“Kukira
itu bukanlah waktu yang singkat. Lima belas tahun lamanya. Namun, aku belajar
kesabaran dan tawakal darinya, terlebih dari suaminya. Mereka dua orang yang
luar biasa. Tidak mungkin selama masa penantian yang lama itu tidak terjadi
apa-apa, pastinya cinta mereka pun diuji. Dari setiap lontaran pertanyaan dan
prasangka-prasangka yang ditudingkan orang-orang sekitar. Dari omongan miring
yang meruap acapkali berkumpul ketika lebaran. Akan tetapi, suaminya jugalah
yang dengan sepenuh kesabaran membesarkan hati sang istri. Bukan hal yang
mudah. Dan sungguh, lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Aku sempat
bertanya-tanya, kesabaran dan kekuatan macam apa yang Allah titipkan untuk
mereka. Di tengah masa penantian itu, mereka sempat mengambil seorang anak
untuk dijadikan anak angkat. Mereka berdua memang pasangan yang luar biasa. Anak
angkatnya saja cerdas. Mungkin jika Allah tidak memberi ujian berupa sulitnya
memperoleh keturunan, kehidupan pernikahan mereka mungkin akan nyaris sempurna.
Namun, Allah Maha Adil. Mereka diuji dengan buah hati yang tak kunjung hadir
lima belas tahun lamanya. Ujian yang ternyata mereka sanggup melaluinya.”
Ia tergugu.
“Sabar, Sayang. Allah sudah mengatur rezeki tiap-tiap makhluknya dengan
seadil-adilnya. Kita tak boleh putus berdoa, berharap, dan berusaha.” Seolah
kalimat-kalimat suaminya beberapa bulan silam berbisik kembali di telinganya,
bercampur baur dengan suara bising kendaraan bermotor di jalan raya depan kedai
tempat ia dan perempuan berkerudung lebar itu menuntaskan dahaga.
Entah
bagaimana jika sang istri yang diuji itu dan ia sendiri tak memiliki suami yang
sanggup membesarkan hatinya. Detik itu ia yakin, surga juga layak tersemat di
telapak kaki ayah, yang telah berlelah-lelah mencari nafkah, yang dengan
sepenuh keimanan dan takwanya memuliakan perempuannya.
Ayah?
Kapankah ada yang memanggil suamiku dengan sapaan itu?
“Sayang,
kamu belum pulang? Baik-baik saja kan? Biasanya bukankah di tanggal-tanggal ini
kamu nggak enak badan karena sedang bulanan,” ucap suaminya tiba-tiba di
telepon.
“Enggak.
Aku sehat saja.”
Ia
terkesiap. Tersadar jika telah satu bulan lebih tamu bulanan itu tidak datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar