Saya pernah berada dalam fase susah
sekali memaafkan seseorang. Saya pernah berada pada tahap membenci dan
mendendam dalam kurun waktu yang cukup lama. Saya menyesali pertemuan dan
perkenalan dengan orang-orang yang hanya mampir menggoreskan luka saja. Sebenarnya,
bensin yang disiramkan tidaklah seberapa, namun sungguh itu berpotensi
mengobarkan api besar yang menyala-nyala. Terlalu sulit melupakan
kejadian-kejadian lampau, sebab segalanya sudah terlanjur melekat di dalam
ingatan. Saya mengingat dengan baik setiap kata dan sikapnya yang menyinggung
perasaan. Setiap teringat, kebencian saya rasanya merebak lagi. Saya menjadi
sensitif terhadap segala sesuatu atau siapa pun yang ada kaitannya dengan
seseorang itu. Meski demikian, tetap saja saya penasaran dan berusaha
menyelidiki kehidupannya melalui social media, walau acapkali membuka
akun dia, selalu ada rasa benci yang belum padam sama sekali. Sungguh, saya
belum terlalu paham bahaya penyakit ‘ain yang bisa saja muncul dari rasa
dengki campur benci yang saya lontarkan ketika melihat akun dia.
Proses memulihkan batin ini tidaklah
sebentar. Lalu, suatu hari saya mengetahui kalau seseorang itu terkena sakit.
Tapi, hati saya masih saja keras: gitu aja diunggah, jelek bangetlah, norak.
Cukup lama berselang, baru saya merenung tentang dendam yang masih belum padam.
Apa jangan-jangan musibah yang dia alami salah satunya akibat ‘ain yang
datang dari saya? Meski pembahasan tentang penyakit ‘ain ini telah ada
di mana-mana dan berulang-berulang, materi ini memang rumit, tetapi nyata dan
ada. Setan menunggangi rasa benci dan dendam saya terhadapnya, sehingga ia
mengalami keburukan dalam hidupnya. Wallahua’lam. Saya tidak tahu apakah
benar hal buruk yang menimpanya ada kaitannya dengan kebencian saya. Ah ya,
mohon koreksinya jikalau ada kesalahan dalam pemahaman saya yang masih sangat dangkal.
Segala tausiyah, hadis, dan ayat
tentang betapa mulianya memaafkan coba saya telan. Pelan-pelan, saya memohon
kepada Allah supaya disembuhkan dari rasa sakit hati yang jika terus dipelihara
akan semakin bertumpuk-tumpuk bagai sampah busuk.
Fase pembersihan hati dari rasa tak
suka ini belumlah usai, ketika suatu hari saya mengetahui kenyataan lain yang
tidak menyenangkan melalui cerita seorang sahabat. Saya dan dia memang sudah
agak lama “perang dingin”. Ia memang masih ada kaitannya dengan seseorang yang
saya benci di atas. Kejadian di masa lalu dan ketidakterbukaan antara saya dan
dia tak hanya membuat pertemanan kami renggang, namun juga seolah bagai bara di
dalam sekam yang membakar diam-diam. Setahun lebih berlalu, namun ganjalan yang
ditimbun dalam hati belum jua terungkapkan. Hingga suatu hari, akhirnya saya
dan dia saling bercerita tentang apa yang sesungguhnya dirasakan dan dialami
oleh masing-masing kami selama ini.
“Sebenarnya, aku ingin menjelaskan
semuanya dari dulu, supaya tidak ada yang mengganjal di antara kita. Tapi, dulu
ada yang ‘mengompori’ aku untuk mendiamkan kamu. Nggak usah menghubungi kamu
lagi, nggak usah komen atau nge-like setiap postingan kamu di socmed.
Andai aku tidak mendengarkan semua omongannya. Perempuan itu bilang kamu begini
dan begitu. Menurutku, yang bikin seseorang itu menjadi ragu dan bersikap nggak
enak kepadamu ya dia itu juga, kali.”
Saya tertegun. Siapa gerangan
perempuan-di-balik-batu ini? Kenapa di belakang seolah meniupkan aroma adu
domba antara saya dan teman baik saya pasca kami bermasalah? Saya lalu
menceritakan apa yang sesungguhnya saya alami dan rasakan, karena saya paham,
selama ini persoalan kami hanyalah perbedaan persepsi.
“Kenapa berbeda dengan apa yang
kuterima ya? Sepertinya ada yang miss. Menurut sumber ceritanya nggak
gitu lho.”
Sumber cerita yang ia maksud tak
lain adalah orang yang sama, si perempuan-di-balik-batu. Ah, saya semakin tak
paham, sekaligus tak menyangka. Rasa-rasanya, hati saya kembali terbakar. Dia
bilang saya begini dan begitu? Mungkin kata-kata dia memang ada benarnya. Tapi
bisa jadi itu hanya penilaian subjektifnya belaka. Namun, pantaskah itu dia
lontarkan kepada orang lain? Lagipula, tahu apa sih dia soal hidup saya,
sehingga berani memberikan judgement yang semena-mena? Tahu apa dia soal
cerita yang sesungguhnya? Meski ia mengenal saya, mengapa sepanjang ini tak
pernah ia beriktikad baik mencoba melakukan tabayyun atau klarifikasi
yang selayaknya? Lalu, malah bertingkah bagai bara dalam sekam, bak duri dalam
daging. Apa salah saya terhadapnya? Mengapa seolah-olah ia menyimpan rasa
dengki kepada saya? Pertanyaan bercabang-cabang, mau tak mau menyemai prasangka
negatif.
“Maafkan saja beliaunya. Anggap
tidak ada apa-apa. Aku tahu itu berat. Aku tahu kamu pasti sakit hati. Tapi ya
gimana?”
Bagaimanalah caranya mengikhlaskan
begitu saja? Saya sudah terlanjur tahu cerita itu. Mungkin jika saya tidak
tahu, perasaan sebal saya tidak akan pernah ada. Lalu, memaafkan itu sendiri
juga proses, terkadang memakan waktu yang tidak sebentar.
Ah, sia-sia. Memikirkan kesalahan
orang lain kepada kita hanya akan membuat gelisah dalam jiwa. Alangkah ruginya
jika waktu kita dihabiskan dengan menggenggam dendam terus-terusan, padahal ia,
ingat kita saja mungkin tidak. Ia hidup bahagia tertawa-tawa, piknik dan makan
enak bersama kekasihnya. Kita tentu tak ingin merugi, sakit hati seorang diri. Kita
ingin hati ini lapang, terbebas dari segala macam perasaan buruk yang menyelimuti.
“Doa, minta sama Allah supaya
dilembutkan hatinya.”
Memaafkan juga merupakan proses
belajar. Kejadian menyakitkan adalah ujian. Acapkali menemui kejadian tak mengenakkan
hadir, kita sedang diuji. Namun, bukanlah pelajaran susah jika tidak tinggi
nilainya di hadapan-Nya. Memaafkan perlu dilatih. Di depan, bentangan ujian itu
akan selalu hadir. Kita tidak akan bersedia memelihara luka hanya karena sulit
memaafkan setiap peristiwa menyakitkan, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar