Matamu yang bundar itu
mengerjap-kerjap, sesekali kau tersenyum bahkan tergelak—entah apa yang kau
tertawakan. Apapun itu, Nak, kau berhak untuk selalu menyunggingkan senyum
kebahagiaan, senyum keceriaan, selayaknya anak-anak pada umumnya yang masih
bersih dari lumuran dosa. Bunda pun tersenyum. Terima kasih ya, Nak. Bolehkah Bunda
menyebutmu Peri Kecil saja? Sebab sedih dan luka yang datang seketika hilang
karena memandang senyum lesung pipitmu.
Sayangku, tahukah kamu, terkadang Bunda
berpikir, apakah hadirmu kini adalah ujian? Apakah hadirmu adalah beban? Ataukah
hadirmu merupakan ujian dan berkah sekaligus dari tuhan? Semuanya repot dan
mendadak sibuk karena ada kamu di tengah-tengah kami. Semuanya seolah ikut
lelah karena ada kamu di tengah-tengah kami. Nak, patutkah kamu dipersalahkan? Tidak
sama sekali. Hadirmu adalah kesyukuran tiada tara. Berapa banyak perempuan yang
telah menikah bertahun-tahun, namun belum ada tanda-tanda diberi keturunan? Sedangkan
hanya tiga bulan berselang sejak akad terucap, engkau sudah hadir mengisi
hari-hari kami sebagai calon orang tua. Bahkan kehadiranmu sudah Bunda rindukan
semenjak dulu, jauh sebelum Bunda tahu siapa abimu. Maafkan atas berlapis-lapis
kesedihan yang menumpuk semenjak dulu, sejak waktumu masih benih di dalam
rahim. Jika kelak kamu menjumpai Bunda menangis, jangan takut ya. Itu air mata
yang keluar karena Bunda sangat mencintaimu. Jangan kau tiru air mata Bunda,
sebab—sekali lagi, kau berhak untuk selalu tersenyum bahagia. Meski demikian,
lewat beragam luka, Bunda belajar banyak hal. Semoga menjadi hikmah dan
pelajaran bagi kami, orang tuamu, untuk mendidikmu dengan cinta.
Nak, kamu terlahir perempuan. Adalah
tugas berat bagi Bunda (dan juga Abi) untuk mendidikmu kelak menjadi wanita
salehah sesuai koridor agama kita. Mendidikmu sesuai fitrahmu sebagai
perempuan. Dengar, Sayang, kemuliaanmu nanti tidak ditentukan oleh beragam
prestasi duniawi, sekolah tinggi hingga bergelar master ataupun doktor, atau
menjadi wanita karier yang sibuk di luar rumah. Kemuliaanmu kelak ditentukan
oleh seberapa taatnya kamu kepada Rabb Semesta Alam yang menciptakan kita,
seberapa pandai kamu menjaga diri sebagai seorang muslimah, serta bagaimana
taatmu kelak kepada suamimu setelah menikah. Bunda harap, kamu mau patuh kepada
orang tuamu jika menyuruhmu untuk patuh jua kepada aturan agama. Kebahagiaan terbesar
Bunda bukan ketika kelak kamu sukses mendapatkan serenteng gelar akademik, lalu
menjadi wanita karier. Kebahagiaan terbesar Bunda nanti ada pada doa-doa
tulusmu untuk kami, sebab itulah amalan anak Adam yang tak terputus jika telah
tiada, Nak. Bunda tak akan memaksamu kau harus jadi apa. Ini hidupmu,
jalanilah. Jangan sampai kau seperti Bunda, tersandera oleh obsesi orang tua. Namun,
kau harus ingat, segala keputusan yang kau ambil harus tetap berada dalam koridor
yang telah ditetapkan oleh-Nya.
Yasmin cantik, saat ini mungkin ada
ratusan bahkan ribuan perempuan seperti Bunda. Meninggalnya egonya sebagai
perempuan bekerja di rumah. Lebih memilih memakai daster lusuh di rumah dan
berpeluh karena asap dapur, daripada berdandan rapi dan wangi sedari pagi,
berkejaran dengan waktu dan rutinitas jalanan. Kalau kamu sudah sekolah nanti,
lalu ada temanmu yang bertanya apa pekerjaan bundamu, janganlah kau sedih dan
malu. Bunda mungkin tidak seperti ibu teman-temanmu yang guru, perawat, dokter,
PNS, dan pekerja kantoran lainnya. Namun, Bunda bisa menemanimu sepanjang waktu,
tidak harus menitipkanmu di daycare atau meninggalkanmu bersama baby
sitter. Doakan kami bisa membersamaimu (dan adik-adikmu kelak) hingga
kalian dewasa ya, Sayang.
Tidak ada yang salah dengan para ibu
yang bekerja di luar sana, Nak. Mereka memilih berkorban meninggalkan
anak-anaknya di rumah tentu bukan tanpa alasan. Ada yang memang harus
diperjuangkan di sela rasa bersalahnya karena tak bisa selalu membersamai buah
hatinya. Tidak ada salahnya pula dengan para ibu yang memilih ‘bekerja’ di
rumah, tersebab bakti dan cintanya pada sang suami dan anaknya. Tapi, Nak, kata
nenek, Bunda tak berguna, hina, dan menyedihkan. Hanya karena Bunda tidak
bekerja di luar rumah, memilih mengikuti abimu dan mengasuhmu. Karena Bunda
mengecewakannya, orang yang telah menyekolahkan Bunda hingga perguruan tinggi. Nak,
dari sini Bunda belajar, Sayang. Bahwa tak semua harapan harus selalu
dipaksakan untuk mewujud dalam kenyataan. Bahwa memiliki anak perempuan, suatu
saat akan menjadi istri orang. Ketika telah menikah, rida suamimulah yang lebih
utama. Jangan sekali-kali kau menggugat takdir, sebab ia adalah ketentuan Yang
Maha Kuasa.
Anakku, bundamu hanyalah manusia
biasa. Teramat sangat biasa. Bunda bisa marah, kesal, jengkel, dan juga
mengomel. Untuk itu, ingatkan Bunda agar selalu berlemah-lembut kepadamu. Bunda
selalu berdoa, supaya Allah menjaga lisan Bunda dari kata-kata yang tak
seharusnya dikeluarkan mulut ini. Sebab omongan orang tua itu doa, Nak. Kita mungkin
sanggup bertahan dari omongan orang lain yang tak mengenakkan. Namun, akan
sangat pedih jika kalimat-kalimat pahit itu terucap dari bibir orang terdekat. Orang
yang menghujani kita cinta, namun juga hujatan sekaligus. Semoga Allah menjaga
telinga mungilmu dari kata-kata kotor yang—sengaja atau tidak—terucap oleh
orang tuamu atau bahkan nenekmu.
Sayang, surat ini akan sangat
panjang kalau diteruskan. Sementara kau sudah terlelap dipeluk mimpi. Jalan masih
panjang, Nak. Tak sependek mimpimu semalam. Terpenting, ini hidupmu. Kau berhak
untuk bahagia.
Lots of Love,
Bunda
Tidak ada komentar:
Posting Komentar