Fragmen 1:
Saya tergesa mencari buku terkenal karya Eugene A. Nida di deretan
buku-buku linguistik di perpustakaan fakultas saya. Buku tentang Syntax,
Pragmatic, Semantic, Speech Act Theory, blablabla... dan nihil! Saya
tak menemukan buku karya pakar translation itu. Seingat saya, dulu buku
itu masih ada, dengan sampul merah fotocopyan yang sudah jelek, jadul,
kusam, dan sobek-sobek. Buku satu-satunya karya Eugene A. Nida. Dan
sekarang tidak ada? Entah hilang atau masih dipegang orang yang tak
bertanggung jawab. Padahal saya jelas-jelas butuh buku itu untuk
melengkapi theoretical framework di Chapter 2 graduating paper saya.
Boro-boro bukunya Newmark, Catford, Basnett... aahh! Baiklah, akhirnya
saya ngeluyur ke perpustakaan universitas tetangga.
Fragmen 2:
Perpus universitas S di kota Y. Tenang, lengang, sepi, plus AC-nya
menggigilkan kulit ari. Perpustakaan pusat ini didesain cukup elegan.
Rapi, bersih, nyaman. Beberapa buku incaran saya, akhirnya saya temukan
di sana. Tapi ini terlalu sepi untuk ukuran perpustakaan universitas. Ke
mana civitas akademikanya? Entahlah. Mungkin sedang kuliah. Orang-orang
yang bertandang ke sana pun biasanya sambil mengetik sesuatu alias
mengerjakan laporan, atau ada kepentingan dengan skripsinya. Kalau cuma
iseng baca-baca doang ya jarang-jarang, padahal buku-buku perpustakaan
universitas itu terbilang masih bagus dibanding kondisi buku-buku perpus
fakultas saya yang sudah jadul dan jelek--membikin pengunjung malas
melirik, kecuali satu: sedang ada kepentingan dengan tugas, paper,
skripsi, tesis, atau disertasi.
Fragmen 3:
Sebenarnya saya tidak memiliki kepentingan ke perpustakaan fakultas
P, hanya berniat menemani seorang kawan dari universitas lain yang
sedang mencari referensi untuk skripsinya nanti. Setelah berputar-putar
mencari letak perpustakaan fakultas P di lantai 3--olala! Jalan menuju
ke sana tersembunyi sekali--menyodorkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) ke
penjaga perpus, ditagih iuran sekian ribu, tapi apa? "Kalau skripsi
tidak boleh dibaca sama orang luar, Mbak." Hening sejenak. Huaaa, kecewa
pangkat sejuta. Justru tujuan saya ke sini ingin mencari contoh
skripsi. Wah, lantas apa guna skripsi jika tidak boleh dipublikasikan ke
khalayak? Boro-boro hasil penelitian mahasiswa yang sudah dibuat dengan
jerih payah dan keringat berdarah-darah itu sampai dipublikasikan ke
jurnal nasional atau internasional sebagai bahan telaah, dipinjam saja
tidak boleh.
Fragmen 4:
Perpustakaan sebuah STKIP di kota P. Saya kenal baik dengan
penjaganya karena beliau adalah rekan ibu saya sendiri, sesama dosen di
sana. Dulu ketika masih SMP, saya sering 'menyusup' ke sana demi membaca
buku-buku sastra karya Dewi Lestari 'Supernova' atau Seno Gumira
Ajidarma--hingga saya yang dulu masih seimut itu dikira mahasiswa juga.
Beliau tampak nelangsa. Di usia yang sudah beranjak tua masih harus
setia menjaga perpus yang minim pengunjung. Beliau tampak berkawan akrab
dengan koran harian, bertugas sambil menyimak koran, jika memang tak
ada teman berbincang.
Fragmen 5:
Perpustakaan SMA saya di kota M. Sama saja, sepi. Baru ramai ketika
guru menyuruh mencari referensi. Biasanya, mata pelajaran Bahasa
Indonesia-lah yang sering membuat kami 'lari' ke perpus. Namun terkadang
ingin terbahak jika ingat masa lalu, di sekolah bertaraf internasional
itu--guru yang masih gagu ber-Inggris-ria, bahkan mengajarkan bahasa
Indonesia menggunakan bahasa Inggris! Oh my God! Perpus sepi,
ditambah penjaganya yang jutek, bikin siswa jadi malas berurusan
dengannya dan segala tetek-bengek perihal perpustakaan. Toh jika kami
memang butuh referensi untuk mengerjakan tugas, kami tidak akan
bersusah-payah minggat ke perpus, cukup lari ke warnet dengan bekal uang
lima ribu rupiah, browsing di sana selama dua jam, dan tugas pun beres.
Ah ya, meski perpus sekolah saya sepi dan penjaganya tidak cukup
ramah menurut orang berkarakter plegmatis macam saya, terkadang saya
menikmati berlama-lama membaca majalah-majalah di sana, Horison majalah
sastra, atau Japan--majalah tentang Jepang yang berbahasa Inggris.
------
Ironis. Selain kondisi gudang ilmu yang tidak sip itu, minat baca
masyarakat negeri ini juga masih terbilang rendah. Seperti yang termuat
dalam Kompas.com (29 Februari 2012), bahwa angka produksi buku di
Indonesia masih rendah. Tahun 2011 tercatat produksi buku di Indonesia
sekitar 20.000 judul. Dari sisi oplah, Indonesia memang lebih tinggi
jika dibandingkan Malaysia. Untuk penerbit besar, umumnya satu buku
dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Adapun di Malaysia sekitar 1.500
eksemplar per buku, atau hampir sama dengan penerbit kecil di
Indonesia.Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sekitar 240
juta, tentu angka-angka produksi buku di Indonesia masih belum masuk
akal. Kira-kira satu buku dibaca 80.000 orang.
(http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/29/21400769/Minat.Baca.Indonesia.Masih.Rendah).
Lebih memprihatinkan lagi, Indonesia disinyalir sebagai negara yang
minat bacanya paling rendah se-ASEAN menurut survei yang dilakukan
UNESCO.
(http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/26/20183631/Indonesia.Terendah.Minat.Bacanya.)
Di era internet dan gadget seperti sekarang ini, masyarakatnya mungkin lebih sering membaca facebook daripada book itu sendiri, menyimak update status
rekan-rekan, dan mengabaikan hamparan ilmu di perpustakaan. Membaca
SMS, membaca kicauan di twitter, dsb. Faktanya, penduduk Indonesia lebih
banyak mencari informasi dari televisi dan radio ketimbang buku atau
media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in
Indonesi from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca
usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7
di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Data
Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia
yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%.
Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%.
(http://sahabatguru.wordpress.com/2012/08/29/fakta-minat-baca-di-indonesia/).
Membaca televisi. Sementara kebanyakan tayangan televisi memuat
program-program tak mencerdaskan seperti gosip, sinetron, dagelan, musik, mistik, dll yang disetel pagi, siang, sore, malam, hingga larut.
Apatah lagi tradisi menulis yang erat kaitannya dengan budaya
membaca. Jika minat bacanya saja sudah rendah, sudah bisa diprediksi
tentang minat menulis masyarakat yang malah lebih rendah. Padahal ilmu
diikat dengan menuliskannya.
Coba bandingkan dengan Jepang (kejam banget perbandingannya. Hehe :p)
yang seantero dunia juga sudah tahu perihal kemajuannya di bidang
teknologi. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya
beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar
ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap
tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku (Karinda, 2009). Semenjak
Restorasi Meiji, Jepang berupaya mengejar ketertinggalannya dari Barat.
Ribuan buku-buku dari Eropa maupun Amerika diterjemahkan ke dalam bahasa
Jepang. Membaca di mana saja bukan hal yang tabu bagi mereka. Di bus,
kereta, stasiun, bahkan toilet. Tak usah jauh-jauh deh, Malaysia juga
berupaya menumbuhkan minat baca anak melalui orang tua.
Sebenarnya negeri ini juga tengah berupaya menumbuhkan minat baca.
Lihat saja, setahun berapa belas kali event pameran buku digelar di
banyak kota? Toko buku pun menjamur di mana-mana. Namun, tidak semua
orang di negeri ini mampu membeli buku. [Jangankan membeli buku, kaum
pengamen dan peminta-minta berserakan memenuhi jalan hanya demi
sekeping-dua keping recehan untuk sesuap nasi.] Setidaknya, eksistensi
perpustakaan mampu mengatasi itu dengan asupan buku-buku bermutu, tanpa
harus berpayah membelinya. Di sisi lain, melihat kondisi perpustakaan
yang pelayanannya masih jauh dari kata memuaskan, salahkah
menggantungkan harapan bahwa suatu saat nanti minat baca masyarakat
Indonesia akan bergerak meningkat secara signifikan? Faktanya lagi, di
negeri Zamrud Khatulistiwa ini masih banyak kelompok-kelompok yang belum
tersentuh peradaban modern. Mereka cukup adem-ayem dan
sejahtera berbaur dengan alam. Berburu, makan, tidur, berkeluarga, tanpa
sekolah, tanpa baca-tulis--meskipun mereka juga berbahasa.
Ah ya, tak usah jauh-jauh melayangkan pikiran ke pelosok atau
pedalaman negeri ini yang bahkan orang-orangnya berpakaian pun masih
enggan, di lingkungan akademisi yang orang-orangnya terpelajar dan
sanggup membaca banyak bahasa di dunia saja akses menuju gudang ilmu
sungguh limited sekali. Maka jadilah orang-orang yang mengaku
terpelajar, namun tak tahu sejarah, hingga berani berkoar tanpa dasar.
Mengaku terpelajar, namun hanya berani hanyut dalam arus media tanpa
mengkaji lagi faktanya. Mengaku terpelajar namun tak santun dalam
pendapatnya. Ada aksi ya ikut-ikutan aksi, ada gerakan mengecam televisi
ya ikut-ikutan mengecam televisi, teman-teman di kampus pakai jilbab ya
ikut-ikutan pakai jilbab--kalau nggak ngampus auratnya kelihatan lagi.
Tuh kan, belum baca redaksi dari Allah di Alquran surah Al-Ahzab:59.
Maka, tak ada salahnya jika Ustaz Felix Siauw menyematkan julukan
"Negeri Bebek", sebab masyarakatnya lebih suka membebek, hanya terperangkap dalam konsep what & how, tapi tidak mau belajar tentang why. Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana caranya melakukan ini? Tetapi tidak, mengapa saya melakukan ini?
Di lain waktu, seorang kawan yang bertandang ke kamar saya
mengomentari, "Bukumu banyak sekali. Suka baca ya?" Saya mengiyakan.
"Memangnya kamu nggak suka baca?" balas saya. "Aku nggak suka baca buku
kecuali kalau ada tugas yang mengharuskanku membaca." Padahal sudah
sebesar ini, mahasiswa jurusan bergengsi di universitas nomor wahid
pula, dan tidak suka membaca. Apa kata dunia? Bagaimana dengan membaca
Alquran? Apa tidak dilakukan juga? Sedangkan kita sudah sama-sama
mengerti, negeri dengan kapasitas penduduk Muslim terbesar di dunia ini
harusnya faham perintah Tuhan: "Bacalah!"
Sekarang, di puncak keprihatinan, bolehlah kita berharap, suatu saat
di negeri ini bertabur perpustakaan macam Handeligen Kamer di Belanda,
Strahov Monastery Library di Ceko, Bibliotheca Alexandrina di Mesir,
atau Trinity College Library di Dublin, Irlandia.
Perpustakaan-perpustakaan dengan desain menakjubkan, yang membuat kita
tertawan--tak hanya karena koleksi buku-bukunya, namun juga kenyamanan
dan arsitekturnya. Dilengkapi dengan kecanggihan virtual book
atau bahkan ada teknologi yang terinspirasi mantera sihir Hogwarts, di
mana buku yang kita cari akan keluar dengan sendirinya seiring kita
mengucap mantera? Tak ada lagi citra perpustakaan dengan rak-rak tua,
buku-buku jadul yang kusam berdebu karena jarang dibuka, bau kapur barus
yang menyengat indera penciuman, penjaga yang jutek ampun-ampunan, atau
bahkan akan ada perpustakaan yang buka 24 jam (warnet saja 24 jam
lho!).
Kapan? Suatu hari nanti. Insya Allah. :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar