Kamis, 10 Januari 2013

Membaca di Perpustakaan Kehidupan

Fragmen 1:

Saya tergesa mencari buku terkenal karya Eugene A. Nida di deretan buku-buku linguistik di perpustakaan fakultas saya. Buku tentang Syntax, Pragmatic, Semantic, Speech Act Theory, blablabla... dan nihil! Saya tak menemukan buku karya pakar translation itu. Seingat saya, dulu buku itu masih ada, dengan sampul merah fotocopyan yang sudah jelek, jadul, kusam, dan sobek-sobek. Buku satu-satunya karya Eugene A. Nida. Dan sekarang tidak ada? Entah hilang atau masih dipegang orang yang tak bertanggung jawab. Padahal saya jelas-jelas butuh buku itu untuk melengkapi theoretical framework di Chapter 2 graduating paper saya. Boro-boro bukunya Newmark, Catford, Basnett... aahh! Baiklah, akhirnya saya ngeluyur ke perpustakaan universitas tetangga.

Fragmen 2:

Perpus universitas S di kota Y. Tenang, lengang, sepi, plus AC-nya menggigilkan kulit ari. Perpustakaan pusat ini didesain cukup elegan. Rapi, bersih, nyaman. Beberapa buku incaran saya, akhirnya saya temukan di sana. Tapi ini terlalu sepi untuk ukuran perpustakaan universitas. Ke mana civitas akademikanya? Entahlah. Mungkin sedang kuliah. Orang-orang yang bertandang ke sana pun biasanya sambil mengetik sesuatu alias mengerjakan laporan, atau ada kepentingan dengan skripsinya. Kalau cuma iseng baca-baca doang ya jarang-jarang, padahal buku-buku perpustakaan universitas itu terbilang masih bagus dibanding kondisi buku-buku perpus fakultas saya yang sudah jadul dan jelek--membikin pengunjung malas melirik, kecuali satu: sedang ada kepentingan dengan tugas, paper, skripsi, tesis, atau disertasi.

Fragmen 3:

Sebenarnya saya tidak memiliki kepentingan ke perpustakaan fakultas P, hanya berniat menemani seorang kawan dari universitas lain yang sedang mencari referensi untuk skripsinya nanti. Setelah berputar-putar mencari letak perpustakaan fakultas P di lantai 3--olala! Jalan menuju ke sana tersembunyi sekali--menyodorkan Kartu Tanda Mahasiswa (KTM) ke penjaga perpus, ditagih iuran sekian ribu, tapi apa? "Kalau skripsi tidak boleh dibaca sama orang luar, Mbak." Hening sejenak. Huaaa, kecewa pangkat sejuta. Justru tujuan saya ke sini ingin mencari contoh skripsi. Wah, lantas apa guna skripsi jika tidak boleh dipublikasikan ke khalayak? Boro-boro hasil penelitian mahasiswa yang sudah dibuat dengan jerih payah dan keringat berdarah-darah itu sampai dipublikasikan ke jurnal nasional atau internasional sebagai bahan telaah, dipinjam saja tidak boleh.

Fragmen 4:

Perpustakaan sebuah STKIP di kota P. Saya kenal baik dengan penjaganya karena beliau adalah rekan ibu saya sendiri, sesama dosen di sana. Dulu ketika masih SMP, saya sering 'menyusup' ke sana demi membaca buku-buku sastra karya Dewi Lestari 'Supernova' atau Seno Gumira Ajidarma--hingga saya yang dulu masih seimut itu dikira mahasiswa juga. Beliau tampak nelangsa. Di usia yang sudah beranjak tua masih harus setia menjaga perpus yang minim pengunjung. Beliau tampak berkawan akrab dengan koran harian, bertugas sambil menyimak koran, jika memang tak ada teman berbincang.

Fragmen 5:

Perpustakaan SMA saya di kota M. Sama saja, sepi. Baru ramai ketika guru menyuruh mencari referensi. Biasanya, mata pelajaran Bahasa Indonesia-lah yang sering membuat kami 'lari' ke perpus. Namun terkadang ingin terbahak jika ingat masa lalu, di sekolah bertaraf internasional itu--guru yang masih gagu ber-Inggris-ria, bahkan mengajarkan bahasa Indonesia menggunakan bahasa Inggris! Oh my God! Perpus sepi, ditambah penjaganya yang jutek, bikin siswa jadi malas berurusan dengannya dan segala tetek-bengek perihal perpustakaan. Toh jika kami memang butuh referensi untuk mengerjakan tugas, kami tidak akan bersusah-payah minggat ke perpus, cukup lari ke warnet dengan bekal uang lima ribu rupiah, browsing di sana selama dua jam, dan tugas pun beres.
Ah ya, meski perpus sekolah saya sepi dan penjaganya tidak cukup ramah menurut orang berkarakter plegmatis macam saya, terkadang saya menikmati berlama-lama membaca majalah-majalah di sana, Horison majalah sastra, atau Japan--majalah tentang Jepang yang berbahasa Inggris.

------
Ironis. Selain kondisi gudang ilmu yang tidak sip itu, minat baca masyarakat negeri ini juga masih terbilang rendah. Seperti yang termuat dalam Kompas.com (29 Februari 2012), bahwa angka produksi buku di Indonesia masih rendah. Tahun 2011 tercatat produksi buku di Indonesia sekitar 20.000 judul. Dari sisi oplah, Indonesia memang lebih tinggi jika dibandingkan Malaysia. Untuk penerbit besar, umumnya satu buku dicetak sebanyak 3.000 eksemplar. Adapun di Malaysia sekitar 1.500 eksemplar per buku, atau hampir sama dengan penerbit kecil di Indonesia.Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sekitar 240 juta, tentu angka-angka produksi buku di Indonesia masih belum masuk akal. Kira-kira satu buku dibaca 80.000 orang. (http://edukasi.kompas.com/read/2012/02/29/21400769/Minat.Baca.Indonesia.Masih.Rendah). Lebih memprihatinkan lagi, Indonesia disinyalir sebagai negara yang minat bacanya paling rendah se-ASEAN menurut survei yang dilakukan UNESCO. (http://edukasi.kompas.com/read/2011/01/26/20183631/Indonesia.Terendah.Minat.Bacanya.)

Di era internet dan gadget seperti sekarang ini, masyarakatnya mungkin lebih sering membaca facebook daripada book itu sendiri, menyimak update status rekan-rekan, dan mengabaikan hamparan ilmu di perpustakaan. Membaca SMS, membaca kicauan di twitter, dsb. Faktanya, penduduk Indonesia lebih banyak mencari informasi dari televisi dan radio ketimbang buku atau media baca lainnya. Laporan bank Dunia no.16369-IND (Education in Indonesi from Crisis to recovery) menyebutkan bahwa tingkat membaca usia kelas VI Sekolah Dasar di Indonesia hanya mampu meraih skor 51,7 di bawah Filipina (52,6), Thailand (65,1) dan Singapura (74,0). Data Badan Pusat Statistik tahun 2006 menunjukan bahwa penduduk Indonesia yang menjadikan baca sebagai sumber informasi baru sekitar 23,5%. Sedangkan yang menonton televisi 85,9% dan mendengarkan radio 40,3%. (http://sahabatguru.wordpress.com/2012/08/29/fakta-minat-baca-di-indonesia/). Membaca televisi. Sementara kebanyakan tayangan televisi memuat program-program tak mencerdaskan seperti gosip, sinetron, dagelan, musik, mistik, dll yang disetel pagi, siang, sore, malam, hingga larut.

Apatah lagi tradisi menulis yang erat kaitannya dengan budaya membaca. Jika minat bacanya saja sudah rendah, sudah bisa diprediksi tentang minat menulis masyarakat yang malah lebih rendah. Padahal ilmu diikat dengan menuliskannya.

Coba bandingkan dengan Jepang (kejam banget perbandingannya. Hehe :p) yang seantero dunia juga sudah tahu perihal kemajuannya di bidang teknologi. Untuk penduduk sekitar 125 juta orang, di sana tiap harinya beredar puluhan juta eksemplar surat kabar, tiap bulannya beredar ratusan juta eksemplar majalah dan jenis terbitan serupa, dan tiap tahunnya dicetak lebih dari 1 miliar buku (Karinda, 2009). Semenjak Restorasi Meiji, Jepang berupaya mengejar ketertinggalannya dari Barat. Ribuan buku-buku dari Eropa maupun Amerika diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang. Membaca di mana saja bukan hal yang tabu bagi mereka. Di bus, kereta, stasiun, bahkan toilet. Tak usah jauh-jauh deh, Malaysia juga berupaya menumbuhkan minat baca anak melalui orang tua. 

Sebenarnya negeri ini juga tengah berupaya menumbuhkan minat baca. Lihat saja, setahun berapa belas kali event pameran buku digelar di banyak kota? Toko buku pun menjamur di mana-mana. Namun, tidak semua orang di negeri ini mampu membeli buku. [Jangankan membeli buku, kaum pengamen dan peminta-minta berserakan memenuhi jalan hanya demi sekeping-dua keping recehan untuk sesuap nasi.] Setidaknya, eksistensi perpustakaan mampu mengatasi itu dengan asupan buku-buku bermutu, tanpa harus berpayah membelinya. Di sisi lain, melihat kondisi perpustakaan yang pelayanannya masih jauh dari kata memuaskan, salahkah menggantungkan harapan bahwa suatu saat nanti minat baca masyarakat Indonesia akan bergerak meningkat secara signifikan? Faktanya lagi, di negeri Zamrud Khatulistiwa ini masih banyak kelompok-kelompok yang belum tersentuh peradaban modern. Mereka cukup adem-ayem dan sejahtera berbaur dengan alam. Berburu, makan, tidur, berkeluarga, tanpa sekolah, tanpa baca-tulis--meskipun mereka juga berbahasa.

Ah ya, tak usah jauh-jauh melayangkan pikiran ke pelosok atau pedalaman negeri ini yang bahkan orang-orangnya berpakaian pun masih enggan, di lingkungan akademisi yang orang-orangnya terpelajar dan sanggup membaca banyak bahasa di dunia saja akses menuju gudang ilmu sungguh limited sekali. Maka jadilah orang-orang yang mengaku terpelajar, namun tak tahu sejarah, hingga berani berkoar tanpa dasar. Mengaku terpelajar, namun hanya berani hanyut dalam arus media tanpa mengkaji lagi faktanya. Mengaku terpelajar namun tak santun dalam pendapatnya. Ada aksi ya ikut-ikutan aksi, ada gerakan mengecam televisi ya ikut-ikutan mengecam televisi, teman-teman di kampus pakai jilbab ya ikut-ikutan pakai jilbab--kalau nggak ngampus auratnya kelihatan lagi. Tuh kan, belum baca redaksi dari Allah di Alquran surah Al-Ahzab:59. Maka, tak ada salahnya jika Ustaz Felix Siauw menyematkan julukan "Negeri Bebek", sebab masyarakatnya lebih suka membebek, hanya terperangkap dalam konsep what & how, tapi tidak mau belajar tentang why. Apa yang harus saya lakukan? Bagaimana caranya melakukan ini? Tetapi tidak, mengapa saya melakukan ini?

Di lain waktu, seorang kawan yang bertandang ke kamar saya mengomentari, "Bukumu banyak sekali. Suka baca ya?" Saya mengiyakan. "Memangnya kamu nggak suka baca?" balas saya. "Aku nggak suka baca buku kecuali kalau ada tugas yang mengharuskanku membaca." Padahal sudah sebesar ini, mahasiswa jurusan bergengsi di universitas nomor wahid pula, dan tidak suka membaca. Apa kata dunia? Bagaimana dengan membaca Alquran? Apa tidak dilakukan juga? Sedangkan kita sudah sama-sama mengerti, negeri dengan kapasitas penduduk Muslim terbesar di dunia ini harusnya faham perintah Tuhan: "Bacalah!"

Sekarang, di puncak keprihatinan, bolehlah kita berharap, suatu saat di negeri ini bertabur perpustakaan macam Handeligen Kamer di Belanda, Strahov Monastery Library di Ceko, Bibliotheca Alexandrina di Mesir, atau Trinity College Library di Dublin, Irlandia. Perpustakaan-perpustakaan dengan desain menakjubkan, yang membuat kita tertawan--tak hanya karena koleksi buku-bukunya, namun juga kenyamanan dan arsitekturnya. Dilengkapi dengan kecanggihan virtual book atau bahkan ada teknologi yang terinspirasi mantera sihir Hogwarts, di mana buku yang kita cari akan keluar dengan sendirinya seiring kita mengucap mantera? Tak ada lagi citra perpustakaan dengan rak-rak tua, buku-buku jadul yang kusam berdebu karena jarang dibuka, bau kapur barus yang menyengat indera penciuman, penjaga yang jutek ampun-ampunan, atau bahkan akan ada perpustakaan yang buka 24 jam (warnet saja 24 jam lho!).

Kapan? Suatu hari nanti. Insya Allah. :D

Perpustakaan Universitas Teknologi Delft Belanda memiliki bangunan yang tidak biasa. Hampir seluruh atapnya ditutupi dengan rumput. Malah, para pengunjung dan mahasiswa bisa duduk santai di atap rumputnya saat matahari sedang bersinar cerah.

Tidak ada komentar: