Rabu, 18 Desember 2013

Membaca Gurunya Manusia





“Guru itu bukan manusia, mereka zombie yang bangkit dari kuburan.”

Demikian salah satu kalimat saya ketika menulis Seragam Putih-Hijau: Memoar Masa Kanak yang berkisah tentang masa Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD). Lepas dari madrasah yang “super-angker” itu, dunia seolah bertransformasi menjadi cerah. SMP yang menjadi jenjang menimba ilmu saya berikutnya menawarkan suasana yang sungguh berbeda. Guru-gurunya bersahabat, masih muda-muda, dengan metode belajar-mengajar yang tidak itu-itu melulu, serta bisa menjadi teman curhat. SMP swasta itu masih baru, masih orok, guru-guru yang direkrut juga rata-rata masih dalam proses “menjadi”, belum matang seutuhnya. Namun, justru di situlah kelebihannya. Membuat sesuatu yang baru lebih mudah daripada mengubah. Apalagi mengubah paradigma. Ketika itu Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Quantum Teaching-Learning begitu digaung-gaungkan. Itulah yang SMP swasta tersebut coba untuk diterapkan. Konsep baru dengan bibit-bibit (guru) baru yang mudah menerima paradigma baru. Maka, benarlah ketika saya menjejakkan kaki ke jenjang SMA yang notabene SMA negeri, dunia kembali “suram”. Guru-guru lama jaman bahuela (tapi belum pensiun juga) yang mendominasi masih saja menerapkan konsep belajar-mengajar konvensional yang menawarkan ketidaknyamanan selama di sekolah. Tampak sekali bahwa konsep KBK, QTL, CTL, atau apapun itu akhirnya hanya sekadar label yang melekat saja. Tidak mudah mengubah paradigma atau pola berpikir guru-guru lama dengan konsep ajar baru. Menyedihkan ketika mengetahui bahwa di sekolah itu bukan hanya 1-2 (tapi banyak) guru yang dilabeli “guru killer, angker, bagai Hitler” oleh murid-muridnya, bahkan gelar itu menempel pula pada guru Bimbingan Konseling (BK)—yang seharusnya bisa menjadi “tempat mengadu” jika siswa bermasalah di sekolah. 

Menyelami Gurunya Manusia membuat saya tertegun pada akhirnya. Sang penulis—Munif Chatib secara lugas dan bernas memaparkan konsep pendidikan yang humanistik, menarik, dengan bahasa yang ringan dan mudah dipahami, beserta contoh-contoh yang inspiratif dan aplikatif. Tesisnya, Islamic Quantum Learning cukup menggemparkan dan sampai sekarang dijadikan referensi yang diminati di Supercamp Oceanside, California, Amerika Serikat—sekolah yang dipimpin oleh Bobbi DePorter (penggagas Quantum Teaching-Learning). Pak Munif Chatib menemukan bahwa nilai-nilai islam adalah nilai-nilai terbaik dalam penerapan penokohan dan pembangunan karakter yang diajarkan di sekolah-sekolah. ibaratnya, air sumur itu adalah nilai islam, dan mereka menyedotnya dengan mesin yang canggih. Sedangkan kita di Indonesia atau di sekolah-sekolah islam mengambil air itu dengan timba bocor. Jadi, kelemahan kita terletak pada metodologi, ujarnya.

Di manakah negara dengan pendidikan terbaik dunia itu berada? Jepang? Bukan. Belanda? Bukan. Amerika Serikat? Juga bukan. Indonesia? Apalagi! Lantas? Saya merasa perlu mengobrak-abrik peta dunia untuk tahu di mana negara yang masih asing di telinga saya itu berada: Finlandia. Bab pertama Gurunya Manusia mengajak kita mengintip sekilas pendidikan di sana. Kegiatan sekolah di Finlandia hanya 6 jam per hari. Pelajar akan masuk sekolah pukul 08.00 dan pulang pukul 13.00, tidak ada yang namanya full-day school. Ketika itu, menjadi siswi SMA dengan embel-embel Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) adalah sesuatu yang wah, full-day school adalah salah satu yang menjadi pembeda antara kami dengan mereka—siswa kelas reguler. Bimbel khusus untuk mapel sains adalah makanan wajib sehari-hari mulai pukul 13.00 hingga 16.00. Belum lagi bagi siswa-siswi (termasuk saya) yang dulu mengambil intrakurikuler beladiri, karena jadwalnya yang sore, usai bimbel kami langsung ganti baju olahraga dan push-up-sit-up untuk pemanasan sebelum latihan. Malamnya? Belajar? Bukan. Tepar! 

Seperti halnya di Jepang, Finlandia menempatkan guru sebagai profesi yang terhormat, anggaran pendidikan menjadi prioritas utama, gaji guru di sana rata-rata 2.311 dollar per bulan. Jika mau mengorek luka lama, tengok kembali puisi Pak Winarno Surakhmad yang sempat membuat salah satu mantan wakil presiden kita berang, pada salah satu barisnya tertulis, “guruku malang, hidup sebulan dengan gaji sehari”. Maka jangan heran, ketika generasi-generasi baru bangsa ini—anak-anak kecil, ditanya apa cita-cita mereka di masa depan, jarang sekali yang ingin menjadi guru. Guru melarat, suka marah-marah pula. Wah-wah. Parah.

Para guru di Finlandia menggunakan strategi belajar-mengajar dengan memerhatikan multiple intelligences semua siswa. Tenaga pendidik di negeri ini sering terjebak memahami kemampuan dalam arti sempit, yaitu pada ranah kognitif saja, sehingga penilaian pandai/tidaknya siswa hanya terjebak pada angka di rapor. Nah, Ujian Nasional nan penuh polemik merupakan bukti nyata kegagalan pemahaman mengenai kemampuan tersebut. Bagaimana menilai aspek afektif dan psikomotorik? Itu masih menjadi PR yang belum selesai bagi para tenaga pendidik di negeri ini.

Para guru di Finlandia menghindari menvonis siswa dengan mengatakan “Kamu salah!” karena mereka menganggap sebagai hal biasa jika siswa melakukan kesalahan, termasuk dalam mengerjakan soal-soal. Berbanding terbalik dengan rentetan peristiwa masa sekolah yang hingga kini masih terekam di benak saya. “Goblok ki ojo dipek dhewe![1]”, “sing salahe luwih saka sepuluh, mbrangkang![2]”, “sing ora nggarap PR, metu, nggarap neng njaba, dijejer[3].” Sama sekali tidak manusiawi. Astaghfirullah. Tentu saja hal-hal seperti itu menciptakan trauma, selanjutnya di benak siswa guru adalah monster. Sekolah adalah neraka. Lebih baik sakit daripada harus masuk sekolah. Jika demikian, pendidikan yang menjadi tombak kemajuan akan dibawa kemana?

Pak Munif membagi jenis guru ke dalam tiga kelompok berdasarkan kemauan untuk maju. Pertama, guru robot. Guru jenis ini hanya masuk kelas, mengajar, lalu pulang. Saya teringat guru-guru Bahasa Indonesia jaman SMA yang hampir semuanya mirip dengan definisi di atas. Bermuka masam, tidak menyenangkan untuk dilihat, dan textbook banget. Ahai, bagaimanalah kami bisa semakin menghargai dan mencintai bahasa sendiri? Kedua, guru materialistis. Guru seperti ini sangat hitung-hitungan dalam mengajar, mirip dengan aktivitas jual-beli. Ketiga, gurunya manusia. Ia adalah guru yang punya keikhlasan dalam belajar dan mengajar. Guru yang sebenar-benarnya guru. Di mata gurunya manusia, semua anak adalah juara. Semua memiliki intelejensia yang berbeda-beda. Amat sangat naif jika melekatkan kata "bodoh" kepada siswa hanya karena nilai matematika yang serupa telur dan angsa. Maka, gurunya manusia adalah guru yang selalu siap melakukan discovering ability, memahami bahwa kemampuan tidak terbatas pada angka yang tertera di rapor saja.

Johan Friedrich Herbart (1776-1841), seorang psikolog, filsuf, dan guru asal Jerman adalah orang pertama yang mengenalkan teori Apersepsi. Filosofi mendasar dari teori ini adalah manusia adalah makhluk pembelajar. Teori Apersepsi inilah yang kemudian diadopsi ke dalam konsep Gurunya Manusia. Herbart membagi apersepsi menjadi tiga tahap, yakni penerimaan rangsangan, ingatan, dan pemahaman. Sumber apersepsi pun ada banyak, salah satunya adalah Alpha Zone atau Zona Alfa (salah satu gelombang otak di mana seseorang dalam kondisi relaks tapi waspada, sehingga tepat untuk belajar). Musik, menjadi salah satu faktor yang diyakini dapat mengembalikan gelombang otak kembali ke zona alfa. Meski SMA saya notabene sekolah negeri yang ketika itu masih sarat dengan guru-guru konvensional, namun nampaknya teori musik ini sudah diterapkan dengan baik. Musik instrumental Kenny G. yang melantunkan Titanic atau score Numb-nya Linkin Park menjadi penanda jam masuk dan istirahat. Bagaimana jika menyetel murattal Alquran saja? Saya yakin jika itu diterapkan, yang mendengar tak hanya kembali ke zona alfa, namun lebih dari itu! Selain musik, fun story dan ice breaking juga dikatakan bisa menjadi pintu gerbang meraih zona alfa.

Jika pernah menonton film Sang Pemimpi yang mengisahkan masa SMA Andrea Hirata, kita akan diajak berkenalan dengan guru muda bernama Pak Balia. Guru inspiratif yang menjadi penyuluh mimpi-mimpi Ikal dan Arai. Guru yang di awal pertemuan selalu bersemangat meneriakkan, “Para pelopor, sebelum kita memulai pelajaran hari ini, pekikkan kata-kata yang memberimu inspirasi!”. Guru yang berbanding terbalik dengan sang kepala sekolah yang mengajar dengan gaya menindas.

Menjadi guru adalah menjadi seniman tingkat tinggi, sebab mereka diharuskan menghadapi manusia. Jika mau menelusuri, saya yakin tak banyak guru seperti Pak Balia. Namun, saya pun yakin, usai menamatkan membaca buku ini, Gurunya Manusia mulai bertumbuh perlahan sebagai penyuluh lilin dalam kegelapan.

Hingga nanti, senandung Hymne Guru yang lirik awalnya berbunyi, “Terpujilah wahai engkau, ibu-bapak guru…” tidak lagi menjadi ironi sebab tingkah-laku guru yang tak patut digugu lan ditiru sudah enyah dari muka bumi ini.

If you judge a fish by its ability to climb a tree, it will live its whole life believing that it is stupid.” –Albert Einstein




Judul: Gurunya Manusia
Penulis: Munif Chatib
Paperback, 254 pages
Published by Kaifa, 2011


[1] Jangan jadi bodoh sendiri!
[2] Yang salahnya lebih dari 10, merangkak (mengitari kelas).
[3] Yang tidak mengerjakan PR, keluar, mengerjakan di luar, dihukum.

Tidak ada komentar: