Selasa, 13 November 2018

Kepada Anakku, Yasmina: Ini Hidupmu, Jalanilah




Matamu yang bundar itu mengerjap-kerjap, sesekali kau tersenyum bahkan tergelak—entah apa yang kau tertawakan. Apapun itu, Nak, kau berhak untuk selalu menyunggingkan senyum kebahagiaan, senyum keceriaan, selayaknya anak-anak pada umumnya yang masih bersih dari lumuran dosa. Bunda pun tersenyum. Terima kasih ya, Nak. Bolehkah Bunda menyebutmu Peri Kecil saja? Sebab sedih dan luka yang datang seketika hilang karena memandang senyum lesung pipitmu.

Sayangku, tahukah kamu, terkadang Bunda berpikir, apakah hadirmu kini adalah ujian? Apakah hadirmu adalah beban? Ataukah hadirmu merupakan ujian dan berkah sekaligus dari tuhan? Semuanya repot dan mendadak sibuk karena ada kamu di tengah-tengah kami. Semuanya seolah ikut lelah karena ada kamu di tengah-tengah kami. Nak, patutkah kamu dipersalahkan? Tidak sama sekali. Hadirmu adalah kesyukuran tiada tara. Berapa banyak perempuan yang telah menikah bertahun-tahun, namun belum ada tanda-tanda diberi keturunan? Sedangkan hanya tiga bulan berselang sejak akad terucap, engkau sudah hadir mengisi hari-hari kami sebagai calon orang tua. Bahkan kehadiranmu sudah Bunda rindukan semenjak dulu, jauh sebelum Bunda tahu siapa abimu. Maafkan atas berlapis-lapis kesedihan yang menumpuk semenjak dulu, sejak waktumu masih benih di dalam rahim. Jika kelak kamu menjumpai Bunda menangis, jangan takut ya. Itu air mata yang keluar karena Bunda sangat mencintaimu. Jangan kau tiru air mata Bunda, sebab—sekali lagi, kau berhak untuk selalu tersenyum bahagia. Meski demikian, lewat beragam luka, Bunda belajar banyak hal. Semoga menjadi hikmah dan pelajaran bagi kami, orang tuamu, untuk mendidikmu dengan cinta.

Nak, kamu terlahir perempuan. Adalah tugas berat bagi Bunda (dan juga Abi) untuk mendidikmu kelak menjadi wanita salehah sesuai koridor agama kita. Mendidikmu sesuai fitrahmu sebagai perempuan. Dengar, Sayang, kemuliaanmu nanti tidak ditentukan oleh beragam prestasi duniawi, sekolah tinggi hingga bergelar master ataupun doktor, atau menjadi wanita karier yang sibuk di luar rumah. Kemuliaanmu kelak ditentukan oleh seberapa taatnya kamu kepada Rabb Semesta Alam yang menciptakan kita, seberapa pandai kamu menjaga diri sebagai seorang muslimah, serta bagaimana taatmu kelak kepada suamimu setelah menikah. Bunda harap, kamu mau patuh kepada orang tuamu jika menyuruhmu untuk patuh jua kepada aturan agama. Kebahagiaan terbesar Bunda bukan ketika kelak kamu sukses mendapatkan serenteng gelar akademik, lalu menjadi wanita karier. Kebahagiaan terbesar Bunda nanti ada pada doa-doa tulusmu untuk kami, sebab itulah amalan anak Adam yang tak terputus jika telah tiada, Nak. Bunda tak akan memaksamu kau harus jadi apa. Ini hidupmu, jalanilah. Jangan sampai kau seperti Bunda, tersandera oleh obsesi orang tua. Namun, kau harus ingat, segala keputusan yang kau ambil harus tetap berada dalam koridor yang telah ditetapkan oleh-Nya.

Yasmin cantik, saat ini mungkin ada ratusan bahkan ribuan perempuan seperti Bunda. Meninggalnya egonya sebagai perempuan bekerja di rumah. Lebih memilih memakai daster lusuh di rumah dan berpeluh karena asap dapur, daripada berdandan rapi dan wangi sedari pagi, berkejaran dengan waktu dan rutinitas jalanan. Kalau kamu sudah sekolah nanti, lalu ada temanmu yang bertanya apa pekerjaan bundamu, janganlah kau sedih dan malu. Bunda mungkin tidak seperti ibu teman-temanmu yang guru, perawat, dokter, PNS, dan pekerja kantoran lainnya. Namun, Bunda bisa menemanimu sepanjang waktu, tidak harus menitipkanmu di daycare atau meninggalkanmu bersama baby sitter. Doakan kami bisa membersamaimu (dan adik-adikmu kelak) hingga kalian dewasa ya, Sayang. 

Tidak ada yang salah dengan para ibu yang bekerja di luar sana, Nak. Mereka memilih berkorban meninggalkan anak-anaknya di rumah tentu bukan tanpa alasan. Ada yang memang harus diperjuangkan di sela rasa bersalahnya karena tak bisa selalu membersamai buah hatinya. Tidak ada salahnya pula dengan para ibu yang memilih ‘bekerja’ di rumah, tersebab bakti dan cintanya pada sang suami dan anaknya. Tapi, Nak, kata nenek, Bunda tak berguna, hina, dan menyedihkan. Hanya karena Bunda tidak bekerja di luar rumah, memilih mengikuti abimu dan mengasuhmu. Karena Bunda mengecewakannya, orang yang telah menyekolahkan Bunda hingga perguruan tinggi. Nak, dari sini Bunda belajar, Sayang. Bahwa tak semua harapan harus selalu dipaksakan untuk mewujud dalam kenyataan. Bahwa memiliki anak perempuan, suatu saat akan menjadi istri orang. Ketika telah menikah, rida suamimulah yang lebih utama. Jangan sekali-kali kau menggugat takdir, sebab ia adalah ketentuan Yang Maha Kuasa.

Anakku, bundamu hanyalah manusia biasa. Teramat sangat biasa. Bunda bisa marah, kesal, jengkel, dan juga mengomel. Untuk itu, ingatkan Bunda agar selalu berlemah-lembut kepadamu. Bunda selalu berdoa, supaya Allah menjaga lisan Bunda dari kata-kata yang tak seharusnya dikeluarkan mulut ini. Sebab omongan orang tua itu doa, Nak. Kita mungkin sanggup bertahan dari omongan orang lain yang tak mengenakkan. Namun, akan sangat pedih jika kalimat-kalimat pahit itu terucap dari bibir orang terdekat. Orang yang menghujani kita cinta, namun juga hujatan sekaligus. Semoga Allah menjaga telinga mungilmu dari kata-kata kotor yang—sengaja atau tidak—terucap oleh orang tuamu atau bahkan nenekmu.

Sayang, surat ini akan sangat panjang kalau diteruskan. Sementara kau sudah terlelap dipeluk mimpi. Jalan masih panjang, Nak. Tak sependek mimpimu semalam. Terpenting, ini hidupmu. Kau berhak untuk bahagia. 


Lots of Love,
Bunda

Jumat, 13 April 2018

Parameter Sekufu #2





“Untuk mampu diajak berjalan bersama, sepasang sandal memang haruslah berbeda. Namun, tidak mungkin pula untuk memasangkan sandal jepit dengan sepatu berhak tinggi, bukan?”

“Kalau kalian berjodoh, itu artinya kalian sekufu,” lontar seseorang melalui sebuah pesan WhatsApp, suatu hari, sekitar 2 tahun yang lalu. Kalimat itu terngiang-ngiang di kepala saya berhari-hari lamanya. Ketika itu, rasanya saya sudah tidak ingin ambil pusing dengan yang namanya sekufu, selevel, setara, atau apalah sebutannya itu ketika memutuskan membuka pintu untuk seseorang. Siapalah saya, hamba biasa yang tak tahu apa-apa perkara yang terbaik untuk diri saya sendiri di masa depan. Itu sepenuhnya hak prerogatif Sang Maha Pengatur Semesta. Lagipula, apakah sebenarnya parameter yang hakiki dari ‘sekufu’ itu sendiri? Telah bertahun-tahun berlalu semenjak saya menulis ini, telah berlalu pula fase single menjadi sold-out, namun entah kenapa rasanya ingin menulis tentang ini lagi.

Baiklah, mentang-mentang kami sudah menikah, jadi, apakah saya dan suami benar-benar sekufu? Jika berdasarkan lontaran teman di atas, tentu saja jawabannya “iya”. Tetapi, jujur, ketika taaruf dengan si Abi dulu, saya sudah nggak mikir sekufu-sekufuan lagi. Yang penting kami berkomunikasi untuk saling mengenal satu sama lain, dan nyambung, merasa cocok, ya sudah, lanjut! 

Cocok? Eh, kata satu ini juga sempat bikin saya mikir lumayan lama. Sebenarnya kaidah cocok itu apa dan bagaimana? Lha gimana, orang-orang yang sedang galau mencari belahan jiwa selalu mengandalkan kata satu ini, tapi sering enggak menyadari kalau... first thing first, enggak ada dua insan yang benar-benar cocok satu sama lain di muka bumi ini (kalau maunya gitu mah nikah aja sama diri sendiri, berkembang biak dengan cara membelah diri. *eh). Kedua, banyak juga pasangan yang sudah lama menikah malah memutuskan bercerai dengan alasan yang... ehm... “Kita udah nggak cocok lagi!” Nah lhoooo. Ketiga, sesungguhnya seringkali kita juga nggak bener-bener paham, cocok itu apa dan bagaimana (tapi pengennya teh jodoh yang cucok meong sama ngana. Bingung kan?).

Apakah kalau saya hobi baca buku dan dia sukanya naik gunung itu artinya nggak cocok? Apakah ketika kami satu jurusan dan satu pekerjaan itu cocok? Apakah kalau dia koleris yang hobi marah-marah dan saya plegmatis yang gampang nangis itu nggak cocok sama sekali?

Keempat, men are from Mars, women are from Venus. Mengertilah bahwa sampai kapan pun, laki-laki dan perempuan berbeda di banyak hal yang sesungguhnya butuh effort untuk menyatukannya. Perkara cocok dan tidak cocok sejatinya adalah persoalan seberapa lapang ruang penerimaan dalam hati kita sendiri, juga seberapa luas kadar penerimaan seseorang itu tentang kita. Sebab, kita menikah, hidup bersama dalam kurun waktu yang lama dengan manusia biasa yang tentu tidak luput dari keburukan-keburukan yang mungkin kita akan susah menerimanya.

Well, duluuuu sekali, saya punya list kriteria calon lelaki yang ideal menurut saya (tapi ujungnya mostly nggak pernah saya tulis di biodata taaruf. Haduuh, maaf ya, Pak Suami :p). Pertama, agamanya harus baik—paling tidak, lebih baik dari sayalah ya (ini udah pasti). Kedua, harus GANTEEEENG! (parameter ganteng saya ituh; putih, minimal kuning langsat, tinggi dan berat proporsional, good-looking menurut banyak orang, gak sipit-sipit amat matanya, dan berkacamata kayak itu tuh... Kanata Hongo pas berperan jadi Izumi #eaa). Ketiga, dia punya hobi yang sama dengan saya, yakni menulis dan baca buku—wabilkhusus buku-buku fiksi dan sastra. Impian absurd saya waktu itu, saya ingin bisa menulis buku berdua dengan suami. Ngomong-ngomong soal impian nulis buku bareng, sudah bisa ditebak, saya mendambakan lelaki yang bisa ROMANTIS. Romantis ini maksudnya, dia juga lihai berkata-kata puitis macam Fahd Pahdepie atau Pak Sapardi. Dia juga bisa main gitar atau sedikit-sedikit menyanyi, soalnya saya suka orang yang punya jiwa seni (wah, kok impian gue dulu ala sinetron atau drama remaja banget gini ya. Haha. Embuhlah). 

Berikutnya, saya ingin nikah sama orang yang sudah saya kenal jauh-jauh hari sebelumnya, bukan dadakan sebulan-dua bulan sebelumnya lalu dia ngajak married. Saya sudah jatuh hati dengannya sebelumnya, kemudian kami menikah (and we live happily ever-after. *langsung inget film Shrek -.-)
Terakhir, karena saya berkarakter plegmatis-melankolis, saya berharap semoga pasangan saya adalah orang sanguinis atau koleris, biar setidaknya bisa mengimbangi saya.

Sekarang, mari kita cocokkan dengan kenyataan yang ada.

“Li, dia ganteng nggaaak?” tanya seorang teman, H minus entah berapa hari menuju hari pernikahan. “Siapaaah?” tanya saya balik, sok bego. “Calon elu.” Saya cengo. “Kok pertanyaanmu gitu sih?” Jawab dia, “Kan kamu biasanya suka sama yang ganteng.” Etdah. *tepok jidat. Dan sebagai sahabat baik, dia tahu parameter ganteng absurd saya seperti apa. Saya harus jawab gimana? Hahaha. Sejak taaruf pertama kali, saya sudah tidak mempersoalkan ganteng-tidaknya secara fisik. Terpenting, agamanya baik, saleh. Gantengnya akan ngikut sendiri, itu sudah cukup. Ini juga tergantung mata hati masing-masing bagaimana menilai orang lain sih. Tapi kemudian, parameter ganteng saya berubah, paling tidak, mukanya harus ada hawa-hawa masjidnya. Adem alias menyejukkan jika dipandang (iyalah, qurrata a’yun kan tidak harus tinggi, putih, berkacamata). Lagi-lagi, perkara ini cuma hati yang bisa menilai.

Lalu, romantis? Hmm, suami saya tidak hobi menulis seperti saya. Bahkan, jurusan kami berseberangan—baik secara jarak maupun disiplin ilmu. Saya dibesarkan di lingkungan ilmu sosial humaniora, dia anak ilmu teknika. Fakultas Ilmu Budaya dan Fakultas Teknik di UGM itu jauh-jauhan, bro. Sudah jauh, tak pernah bertemu di organisasi atau kegiatan yang sama pula. Secara pola pikir mungkin kami akan jomplang dan banyak tak sejalannya. Saya pernah bilang ke diri sendiri kalau saya nggak mau berjodoh sama anak teknik (akibat trauma, pasalnya dulu pernah nemu orang teknik yang kaku dan ampun dah, gak nyambung banget). Namun, perkara jodoh, Allah-lah yang berkuasa. Kun fayakuun, jodoh saya anak teknik. Maka, hati-hati dengan ucapan anda sendiri ya. ^^v

Jangan bayangkan di bawah sinar rembulan dia akan berpuisi, apalagi sok-sokan bersenandung “Zaujati, Antii habiibati anti...” atau Sakinah Bersamamu ala-ala Romantic Duo Kang Suby dan Teh Ina, saya pernah ketawa-ketiwi baca biodata yang dia tulis karena penuh typo. Mak, impianku kandas. L Apatah lagi berani merayu dengan gombalan semacam, “Duhai bidadariku, Ainul Mardhiyahku...” Nggak pernah. Kalau benar terjadi mungkin malah saya akan bergidik lantas membatin, “Kenapa Abi jadi mendadak dangdut gini?”

Kesimpulannya, suami saya tidak romantis. Ia tidak bisa romantis seperti standar saya sebelumnya. Namun, romantisnya ditunjukkannya dengan cara yang berbeda, bukan dengan kata, namun perbuatan. Love is not an adjective, it is a verb. Ye kan?

Kemudian, saya sudah kenal sama dia jauh-jauh hari? Big NO. Perkenalan kami tak lama. Ibarat bulan ini kenalan, kemudian bulan depan lamaran. Saya sudah suka sama dia sebelum-sebelumnya? Enggak juga. Semuanya serba “gercep” (gerak cepat), kalau nggak mau dibilang (digoreng) dadakan (yaelah, tahu bulet dong, Sist).

Pasangan saya sanguinis-koleris? Ini juga salah besar. Ia sebelas-dua belas seperti saya, plegmatis-melankolis. Salah satu dari beberapa persamaan absurd yang saya temukan, selain IPK yang podho plek dan weton (hari lahir menurut penanggalan Jawa yang biasanya digunakan para tetua untuk mencari hari pernikahan kedua mempelai) yang sama persis. -_-

Kesimpulannya lagi, saya tidak benar-benar tahu apa yang terbaik bagi diri saya sendiri. Menurut saya dulu, laki-laki yang tepat bagi saya adalah yang begini-begitu. Namun tidak demikian di mata Allah. Menurut saya dulu, lelaki yang cocok bagi saya adalah A, B, C, D. Namun Allah menggariskan alfabet yang lain. Jadi, saya juga tidak benar-benar mengetahui secara pasti, yang sekufu dengan saya adalah lelaki seperti apa. Maka, ketika istikharah itu berjawaban “ya”, saya yakin ia memang tepat untuk saya, Allah mengatakan bahwa ia adalah yang sekufu dengan saya.

Suatu hari, saya mendapat pesan yang sangat menarik, ditulis oleh Ustaz Fariz Khairul Alam, Pesan itu bertajuk “Mungkin Saja Ia Memang Saleh, Tapi Belum Tentu Kami Cocok.” Lagi-lagi, hadis di bawah inilah yang menjadi dasar pembahasan.

“Jika datang padamu lelaki yang kau ridai agama dan akhlaknya, maka nikahkanlah dia. Jika tak kau lakukan, maka akan terjadi fitnah di muka bumi dan kerusakan yang panjang.” (HR Turmudzi dan Ibnu Majah)
Perhatikan, Nabi saw tidak mengatakan, “Jika datang padamu lelaki beragama dan akhlaknya baik,” namun Nabi saw mengatakan, “Jika datang padamu lelaki yang kau ridai agama dan perangainya.” Apa bedanya? Pernyataan pertama—dan itu tidak diucapkan oleh Nabi saw—bermakna, orang tua harus menikahkan anaknya dengan lelaki saleh, dan bahwa lelaki saleh itu pasti akan menjadi suami saleh.
Namun, pernyataan kedua—yang diucapkan Nabi saw—memberikan pengertian pada kita bahwa orang tua dalam memilih calon menantu, syaratnya harus rida terhadap agama dan perangainya, karena memang tidak semua lelaki saleh, kau setujui cara beragama dan perangainya. Jadi, ada unsur penilaian manusia di sini. Sedang penilaian manusia itu hanya terbatas pada sesuatu yang lahiriah atau tampak.
Kisah Fathimah binti Qays menjelaskan hal ini. Alkisah, Fathimah binti Qays dilamar oleh dua orang lelaki. Tak tanggung-tanggung, yang melamarnya adalah dua pembesar sahabat, yakni Mu’awiyah dan Abu al-Jahm. Namun, setelah dikonsultasikan ke Rasulullah saw, apa yang terjadi? Rasulullah saw menjelaskan bahwa kedua lelaki tersebut tidak cocok menjadi suami Fathimah binti Qays.
Apa yang kurang dari Mu’awiyah dan Abu al-Jahm? Padahal keduanya adalah lelaki saleh yang memiliki keyakinan agama yang baik. Namun, Rasulullah saw tidak menjodohkan Fathimah dengan salah satu dari keduanya, karena Nabi saw mengetahui karakter Fathimah, juga karakter Mu’awiyah dan Abu al-Jahm.
Lebih lanjut, Nabi saw menawarkan agar Fathimah menikah dengan Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang sebelumnya tidak masuk “nominasi” Fathimah. Setelah Fathimah menikah dengan pilihan Nabi saw itu, apa yang dikatakannya kemudian?
Fathimah mengatakan, “Allah melimpahkan kebaikan yang banyak pada pernikahan ini dan aku dapat mengambil manfaat yang baik darinya.”
Jadi, kepala rumah tangga yang ideal bagi Anda dan seluruh wanita muslimah adalah: pertama, lelaki saleh. Kedua, memiliki perangai yang sesuai dengan karakter Anda, dan ini nisbi atau relatif, yang tidak mungkin bisa dijawab kecuali oleh Anda sendiri.
Kesalehan seorang lelaki memang menjadi syarat bagi wanita yang ingin menikah. Namun, itu saja tak cukup. Perlu dilihat kemudian munasabah (kesesuaian gaya hidup, meski tak harus sama), musyakalah (kesesuaian kesenangan, meski tak harus sama), muwafaqah (kesesuaian tabiat dan kebiasaan).
Sekali lagi, aspek kedua sifat ini sifatnya relatif, tidak bisa dijawab kecuali oleh wanita yang akan menikah dan keluarganya. Oleh karena itu, kalau ada yang datang melamar, tanyakanlah karakter dan perangainya pada orang-orang yang mengetahuinya, baik dari kalangan keluarga atau teman-temannya.
Terakhir, bagi yang belum menikah dan sedang mencari jodoh, agama mensyariatkan adanya musyawarah dan istikharah. Lakukanlah keduanya. Sementara bagi yang sudah menikah, terimalah keberadaan suami Anda apa adanya, karena menikah itu ‘satu paket’; paket kelebihan dan paket kekurangan dari pasangan. Tinggal bagaimana Anda menyikapi kelebihan dan kekurangan itu. Orang bijak menyikapi kelebihan dengan syukur, menyikapi kekurangan dengan sabar. Orang bijak itu “pandai mengubah kotoran yang tidak bermanfaat menjadi pupuk yang bermanfaat.”
Sesuatu yang baik dari suami, ajaklah dia untuk makin meningkatkannya. Sedang yang jelek darinya, bersama Anda, hilangkan dari lembar kehidupannya. Janganlah memikirkan lelaki lain. Karena boleh jadi lelaki lain itu dalam pandangan Anda baik, namun ternyata ia tak baik dan tak cocok untuk menjadi suami Anda. Boleh jadi Anda melihat sepasang suami istri yang hidupnya bahagia. Lalu, Anda berkhayal seandainya lelaki itu yang menjadi suami Anda, pasti hidup Anda akan bahagia. Wah, itu belum tentu. Karena ternyata, bisa jadi lelaki itu memang cocok untuk perempuan yang sekarang menjadi istrinya, namun tidak sesuai bila menjadi suami Anda.
Satu yang pasti, percayalah bahwa pasangan hidup Anda adalah manusia terbaik yang diberikan Allah untuk Anda.

Tak ada yang salah dengan perbedaan dalam pernikahan—apapun itu, baik berbeda latar belakang kesukuan, perbedaan status sosial, maupun berbeda dalam harakah, karena sejatinya perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Namun, bisa jadi, akan ada usaha yang lebih ekstra untuk menjalankan rumah tangga demi meminimalisasi friksi-friksi atau konflik yang akan timbul setelahnya. Baiklah, pada akhirnya ini memang pilihan masing-masing kita.

Jumat, 22 Desember 2017

Telapak Surga




"Apakah yang lebih meresahkan bagi perempuan, selain usia yang semakin beranjak, sementara ia belum jua bertemu takdirnya sehingga tak jarang mendapat julukan 'perawan tua'?"

"Ia dikatakan sempurna jika telah mengandung dan melahirkan malaikat-malaikat kecil yang selama 9 bulan dititipkan di rahim sucinya." Suara itu berdesing-desing di kepalanya. Tak jelas siapa sesungguhnya si pemilik suara. Bising. Bercampur baur antara suara saudara-saudara perempuannya, teman-teman satu pengajian, ibu-ibu kompleks yang hobi bergosip, hingga suara emak dan mertuanya sendiri.

"Lantas, bagaimana dengan mereka yang telah sekian tahun berumah tangga, namun belum juga ada tanda-tanda bahwa amanah dari-Nya itu akan ada? Apakah mereka perempuan tak sempurna?"

"Aku tak tahu. Mungkin di situlah bagian dari ujian penggenapan separuh agama."

Lalu, bising itu seketika berganti hening. Dibukanya Alquran tajwid yang selalu menemani hari-harinya. Fashbir shabran jamiila. Bersabarlah dengan sebaik-baik kesabaran.

"Sabar, Sayang. Allah sudah mengatur rezeki tiap-tiap makhluknya dengan seadil-adilnya. Kita tak boleh putus berdoa, berharap, dan berusaha. Ya..."

Kali ini ia tahu betul siapa si pemilik suara. Suaminya—yang entah bagaimana bisa lelaki itu merenda kesabaran sedemikian rupa. Suaminya yang selama ini jarang sekali menjadi imam salat di rumah untuknya, sebab lelaki itu selalu bergegas ke masjid tiap kali azan berkumandang pertama kalinya. Lalu, tegakah ia berpikiran bahwa orang yang hatinya berpaut pada rumah-Nya itu suatu kali akan berhenti mencintai istrinya?

"Aku ingin punya investasi surga." Kalimat itu yang ia lontarkan sejak awal menikah. Kemudian, pria di sampingnya hanya tersenyum simpul seraya menimpali dengan kata-kata sederhana, "Sama. Aku juga ingin." Meski demikian, ia paham betul maksud senyum suaminya: "Agar bisa menjadikannya investasi surga, kamu harus menjadi madrasah yang baik bagi anak-anak kita. Begitu juga aku." Suaminya tidak melarangnya berkarier, namun alangkah lebih baiknya jika ia dapat bekerja di rumah saja sembari menemani buah hatinya kelak, meskipun telah menyandang gelar kelulusan dari sekolah pascasarjana.

Lantas, kini, setelah sekian purnama berlalu dengan cepatnya semenjak hari pernikahannya yang syahdu, gulana semakin hari semakin membebat urat-urat nadinya. Terlebih ketika dua-tiga sahabatnya yang menikah hampir bersamaan dengannya—atau bahkan yang menikah berbulan-bulan setelahnya, tak lama kemudian mengabarkan kepada dunia bahwa dirinya tengah berbadan dua. Ya, amanah-Nya itu telah tiba! Tentu para calon ibu itu menyambut dengan penuh suka cita, meskipun mereka bercerita tentang beragam kesakitan dan ujian yang dialami sejak hamil muda. Namun, itulah jihadnya perempuan, jalan syahid jikalau ia meninggal ketika melahirkan. Malaikat memohonkan ampun untuknya setiap hari. Jika anaknya telah lahir, maka ia pun terlahir kembali dengan dosa-dosa yang telah terbasuh air mata jihad sembilan bulan. Betapa istimewanya. Semenjak saat itu, di telapak kakinya pun tersemat surga. Namanya tiga kali disebut sebagai orang yang harus dimuliakan sebelum seorang ayah. Manakah puisi semesta yang lebih puitis daripada itu semua?

Duhai, apakah surga belum pantas tersemat di telapak kakiku?

Setiap hari tak pernah jeda ia lantukan doa-doa pengharapan demi seorang keturunan. Apa yang akan dikatakan orang-orang sekitar dan keluarga suaminya jika tanda-tanda bahwa ia mengandung itu belum juga ada? Apakah ia berani menjamin bahwa suaminya akan tetap setia jika kelak menemui kemungkinan terburuk? Sedangkan cintanya yang terlanjur membara tak akan pernah sudi atau merelakan belahan jiwanya berbagi.

“Salah seorang temanku baru dikaruniai anak setelah 15 tahun menikah.” Perempuan berkerudung lebar di hadapannya tiba-tiba bertutur tanpa diminta.

“Kukira itu bukanlah waktu yang singkat. Lima belas tahun lamanya. Namun, aku belajar kesabaran dan tawakal darinya, terlebih dari suaminya. Mereka dua orang yang luar biasa. Tidak mungkin selama masa penantian yang lama itu tidak terjadi apa-apa, pastinya cinta mereka pun diuji. Dari setiap lontaran pertanyaan dan prasangka-prasangka yang ditudingkan orang-orang sekitar. Dari omongan miring yang meruap acapkali berkumpul ketika lebaran. Akan tetapi, suaminya jugalah yang dengan sepenuh kesabaran membesarkan hati sang istri. Bukan hal yang mudah. Dan sungguh, lima belas tahun bukan waktu yang singkat. Aku sempat bertanya-tanya, kesabaran dan kekuatan macam apa yang Allah titipkan untuk mereka. Di tengah masa penantian itu, mereka sempat mengambil seorang anak untuk dijadikan anak angkat. Mereka berdua memang pasangan yang luar biasa. Anak angkatnya saja cerdas. Mungkin jika Allah tidak memberi ujian berupa sulitnya memperoleh keturunan, kehidupan pernikahan mereka mungkin akan nyaris sempurna. Namun, Allah Maha Adil. Mereka diuji dengan buah hati yang tak kunjung hadir lima belas tahun lamanya. Ujian yang ternyata mereka sanggup melaluinya.”

Ia tergugu. “Sabar, Sayang. Allah sudah mengatur rezeki tiap-tiap makhluknya dengan seadil-adilnya. Kita tak boleh putus berdoa, berharap, dan berusaha.” Seolah kalimat-kalimat suaminya beberapa bulan silam berbisik kembali di telinganya, bercampur baur dengan suara bising kendaraan bermotor di jalan raya depan kedai tempat ia dan perempuan berkerudung lebar itu menuntaskan dahaga.

Entah bagaimana jika sang istri yang diuji itu dan ia sendiri tak memiliki suami yang sanggup membesarkan hatinya. Detik itu ia yakin, surga juga layak tersemat di telapak kaki ayah, yang telah berlelah-lelah mencari nafkah, yang dengan sepenuh keimanan dan takwanya memuliakan perempuannya.

Ayah? Kapankah ada yang memanggil suamiku dengan sapaan itu?

“Sayang, kamu belum pulang? Baik-baik saja kan? Biasanya bukankah di tanggal-tanggal ini kamu nggak enak badan karena sedang bulanan,” ucap suaminya tiba-tiba di telepon.

“Enggak. Aku sehat saja.”

Ia terkesiap. Tersadar jika telah satu bulan lebih tamu bulanan itu tidak datang.