"Saya benci bahasa Inggris! Sumpah! Gak suka, gak suka, gak suka!"
Dunia putih-biru menyeret saya--bocah ABG tiga belas tahun yang pendiam nan kuper ke dunia penuh bahasa Inggris yang sebelumnya blas tidak pernah akrab di keseharian saya sama sekali. Bagaimana tidak? Saya alumni Madrasah Ibtidaiyah yang selama tiga tahun dicekoki bahasa Arab dan tajwid hingga hampir mun**h. Tentulah lebih terbiasa ber-muhadatsah daripada making conversation, lebih hafal mufradat Lughotul 'Aroby daripada vocabulary maupun grammar. Madrasah Ibtidaiyah tempat saya bersekolah dulu tidaklah sekeren Pondok Modern Darussalam Gontor yang menyelaraskan dua bahasa, Arab dan Inggris untuk dikuasai dua-duanya oleh para santrinya. Setiap pagi kami digembleng dengan tajwid, dan tentu saja Lughotul 'Aroby, selain hafalan juz 'amma dan hadits-hadits Rasulullah saw. Keterbatasan pengajar mata pelajaran bahasa Inggris mungkin menjadi salah satu permasalahannya, meski terkadang kakak-kakak cakep dari Gontor Putra datang mengajari kami--tak hanya bahasa Arab, tapi juga bahasa Inggris, si bahasa internasional yang katanya sangatlah penting itu.
Saya lulus dari Madrasah dengan nilai bahasa Arab hampir sembilan, dan bahasa Inggris empat! Keren sekali, bukan? Haha. Adalah salah saya sendiri ketika saya justru memutuskan melanjutkan ke Sekolah Menengah Pertama swasta unggulan ketimbang masuk Madrasah Tsanawiyah Negeri --di mana saya masih bisa belajar bahasa Arab. Integrated Junior High School of Ponorogo, sekolah yang berlokasi selingkup dengan kampus STKIP PGRI Ponorogo itu terlihat mentereng, pengajar kami pun dosen-dosen dari STKIP. Aspek yang ditekankan di sana: keterampilan berbahasa Inggris. Lihat saja, jadwal pelajaran semuanya ditulis menggunakan bahasa Inggris, dan jika dicermati, maka kau akan tercengang mendapati bahwa jatah jam maupun jumlah guru bahasa Inggris itu jauh lebih banyak daripada jatah jam dan jumlah guru bahasa Indonesia. Saya kehilangan bahasa Arab, sedih sekali. Pelajaran Agama Islam hanya dua jam, sekali seminggu. Tidak kondusif sama sekali. Meski begitu, saya mencintai keluarga baru saya di Ester (akronim dari SMP Terpadu)--julukan keren untuk SMP saya di Kota Reog itu. Saya memang kehilangan banyak mata pelajaran agama Islam, namun saya mendapatkan guru-guru bersahabat yang tak ubahnya kakak dan orang tua saya sendiri, lain sekali dengan kultur ajar-mengajar di Madrasah dulu yang sedikit-sedikit dihukum, sedikit-sedikit dimarahi, sedikit-sedikit dibentak-bentak dan dicaci-maki #lebay :P. Quantum Teaching-Learning menjadi andalan kurikulum di Ester, dengan fasilitas serba wow yang tidak disediakan sekolah lain ketika itu; lantai kelas berlapis karpet, kursi kuliah, white board, dosen-dosen pengajar, lab komputer, lab bahasa, mapel conversation, journalistic, kegiatan field trip, out bound, dll. Outdoor class misalnya, sungguh menyenangkan ketika kita belajar Biologi sambil berinteraksi langsung dengan alam.
Kemudian saya kalang-kabut. 99% teman seangkatan saya berasal dari Sekolah Dasar, tentu saja bahasa Inggris mereka bagus-bagus semua. Apalah artinya saya yang arti frasa close friend saja belum tahu. Ajaibnya, ulangan harian bahasa Inggris pertama, saya dapat seratus utuh! Entah bagaimana bisa, padahal saya hanya menggarap sebisanya. Dan Conversation menjadi salah satu pelajaran yang saya takuti, karena kemampuan ngomong saya masih sangat kurang dan... tukang malu-malu kucing. Tapi saya cinta bahasa Indonesia, sejak di Madrasah saya sudah hobi menulis, bikin cerita fiksi anak-anak. Itu semua semakin terpupuk di Ester, banyak tulisan saya yang diapresiasi guru-guru. #ujub. B-)
"Pokoknya kamu harus les bahasa Inggris!" Sudah. Titik. Saya tidak memiliki hak untuk menolak jika Ibu sudah berkata seperti itu. Mana rela beliau membiarkan putri tersayangnya ini nilainya jeblok. Maka, saya les privat sekali sepekan, kadang dua kali sepekan. Meskipun sebenarnya, tanpa les pun saya masih bisa mengejar ketertinggalan dari teman-teman yang English-nya di atas saya. Masalah saya satu-satunya sejak dulu kala hanyalah Matematika, les atau tidak sama saja, saya tetap akan selalu remidi. Kenapa? Kemampuan numeric saya lemah, ujar hasil tes psikologi yang saya ikuti suatu hari. Di sisi lain, literary saya tinggi. Baiklah, karena saya anak yang baik dan tidak songong, saya menurut saja disuruh les English. Ketika itu saya sudah mulai "mencicipi" bahasa yang lain: Nihongo. Japanese. Diam-diam mulai menghafal kotoba-nya dan latihan baca-tulis Hiragana-Katakana hingga lancar. Asyik ternyata. Saya kecanduan belajar bahasa. Rutin les English, di sisi lain Nihongo tetap saya pelajari secara otodidak, karena Ester belum menyediakan mapel bahasa lain selain English, bahasa Indonesia, dan basa Jawa. Kisah memalukan terjadi, seisi kelas remidi semua. Remidi apa, coba? Bahasa Jawa! Wong Jowo ora njowo, begitu anekdot yang sering dilontarkan. Memang, bahasa Jawa dianaktirikan di sekolah yang 99,99% siswanya etnis Jawa ini. Hanya dua jam sepekan. Sementara kami digembleng dengan English hampir setiap harinya. Saya pun lebih mahir baca-tulis huruf Jepang--kana, namun buta hanacaraka yang bentuknya sungguh mirip cacing kepanasan itu.
Lantas, kecintaan saya terhadap bahasa mulai berkembang layaknya balon udara yang ditiup. Bahasa Inggris--percaya atau tidak, kemudian menjadi salah satu mapel favorit saya ketika mulai menduduki kelas Delapan Darwin (Ester tidak menamai kelas-kelasnya dengan angka-angka dan romawi mainstream seperti sekolah-sekolah lainnya. Begitulah, nama-nama tokoh dunia kemudian menjadi nama kelas kami: Alpha, Beta, Gamma, Darwin, Newton, Einstein, Colombus, Napoleon, dan Marcopolo). Keinginan untuk melanjutkan ke SMA favorit pun semakin kuat. Sejak masih menduduki kelas Tujuh, saya sudah mendamba-dambakan sekolah di SMA 3 Madiun, sekolah yang dinobatkan sebagai Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional se-eks-karesidenan Madiun. Bahasa pengantarnya menggunakan English, ada dosen dari universitas yang datang mengkuliahi kami dua minggu sekali, gedung sekolah yang sangat mewah dan megah, fasilitas mengikuti ujian sertifikasi dari Cambridge University, and so on.
Tak dinyana, saya diterima juga di sana. Alhamdulillah. Tak dinyana juga, jika kecintaan saya terhadap bahasa Inggris luntur pelan-pelan justru ketika saya sudah bersekolah di Senior High School itu. Alasan klise: guru yang membawahi mapel English adalah seorang nenek tua tak bersahabat dengan sistem pembelajaran konvensional jaman bahuela. Olala! Saya tiga tahun lamanya diajar olehnya. Bertekad tak akan menjumpai bahasa Inggris lagi di bangku kuliah nanti, di mana saya bisa terngiang seringai senyum sadis si nenek tua. Tujuan saya adalah Sastra Jepang--sesuai yang teman-teman saya sarankan (sebab mereka paham akan virus Japanese-topia yang menjangkiti saya), atau Sastra Indonesia, karena saya memang menyukai sastra dan hobi menulis. Say no to English then! I'm sorry goodbye. Bahasa Inggris akan mengingatkan saya tentang tugas mingguan menulis weekly, yang tentu saja akan menuai omelan tak habis-habis jika tidak mengumpulkan. Bahasa Inggris akan mengingatkan saya tentang bolpoin merah dan bolpoin hitam yang digunakan menulis bergantian hingga jemari kapalan, demi memenuhi tugas remidi dari sang guru. Bahasa Inggris akan mengingatkan saya pada seribu kenangan tentang guru tua yang galak, seram, dan tidak bersahabat, layaknya Hitler yang menindas.
Namun, sungguh ajaib Allah mengatur nasib saya kemudian. Pengen gething, tapi malah nyanding. Saya diterima di Sastra Inggris. APA?! Ingin menghindar, tapi oleh Allah malah didekatkan. Sastra Jepang yang saya damba-dambakan sejak SMP terbang hilang entah ke mana bak layangan putus. Bagaimana bisa? Tidak ada yang tidak mungkin bagi-Nya, pun perkara seperti ini saja, mudah bagi-Nya menempatkan saya di mana saja. Tentu saja kemudian saya harus menjalani konsekuensinya, menerimanya sebagai hadiah terbaik yang sudah Allah anugerahkan. Apalagi Yogyakarta, kota yang sempat mengukir kenangan di masa silam saya, insya Allah menjanjikan selaksa harapan-harapan yang cerah di masa depan. Nikmat tuhanmu yang manakah yang hendak kau dustakan? Meski studi mayor saya Sastra Inggris, toh saya masih bisa belajar bahasa Jepang, dan mendalami menulis sastra Indonesia.
Tiga tahun merambat cepat bagai kilatan cahaya matahari yang singkat, namun hangat. Sekarang, saya sudah dalam tahap menulis graduating paper. Meski nanti sudah dinyatakan lulus, menerima ijazah, dan diwisuda jadi sarjana, memakai toga, toh itu hanyalah lulus secara akademik saja. Pada hakikatnya, saya masih dalam proses belajar. TOEFL saya belum setinggi yang disangka orang-orang. Penguasaan vocab saya juga masih kurang banyak sekali. Grammar masih banyak yang harus dibenahi. Satu hal yang perlu diketahui, tidak semua mahasiswa Sastra Inggris sudah barang tentu bahasa Inggrisnya bagus, bahkan mungkin banyak mahasiswa lain non-bahasa Inggris yang English-nya lebih bagus. Sebab, mereka memiliki passion untuk mempelajari dan mempraktekkannya sejak awal, lain dengan mahasiswa yang nampaknya mendalami studi ini, namun sebenarnya karena "terperosok", "takdir", "salah jurusan", dan lain sebagainya,
Bagi saya pribadi, mempelajari bahasa asing justru mengajarkan saya untuk menumbuhkan kecintaan terhadap bahasa sendiri yang kian hari kian terabaikan. Ada rasa kagum tersendiri kepada teman-teman saya yang terbiasa menulis di blog atau berkicau di status menggunakan English, sementara saya yang notabene mahasiswi Sastra Inggris justru jauh lebih nyaman menulis menggunakan bahasa Indonesia. Bagaimanapun juga, citra bahasa Inggris adalah cool, keren, modern masih tak bisa dipisahkan dari opini sebagian besar orang Indonesia sendiri. Terlepas dari kenyataan bahwa orang Indonesia masih banyak yang belum bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Seprospektif apapun bahasa Inggris, ia bukan segala-galanya. Berkaca dari bangsa Jepang yang kemampuan berbahasa Inggris-nya rendah, namun mampu memajukan negaranya melalui buku-buku yang terterjemah ke dalam Nihongo. Mereka tak lupa dengan bahasa mereka sendiri. Jam pelajaran bahasa Jepang jauh lebih banyak dari bahasa Inggris. Di negeri saya terbalik, jurusan Sastra Indonesia dinilai tidak prospektif, sementara bahasa-bahasa asinglah yang dinilai menjanjikan kebaikan masa depan.
Selama kurang-lebih lima tahun terakhir ini, saya sudah belajar sekurang-kurangnya empat bahasa selain English. Sekeren apapun jurusan saya--jurusan dengan grade tertinggi di fakultas itu, di universitas terbaik di negeri ini--saya malah menyimpan iri kepada teman-teman saya jurusan Sastra Surga, begitu mereka menyebutnya. Sastra yang paling nyastra, dengan grammar paling sempurna di antara semua bahasa di dunia, bahasa Adam dan Hawa--dua manusia pertama yang diciptakan Tuhan Penguasa Semesta.
Ya, saya merindukan belajar bahasa Arab lagi, yang sudah saya tinggalkan sembilan tahun lamanya.
18032013
[di sela keenegan menulis berlembar-lembar paper berbahasa Inggris, demi titel S. S.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar