Sabtu, 13 April 2013

OCTOPUS





Gadis berambut pirang itu mengerjap-ngerjap. Sepasang mata hijau toska-nya nanar menatap hamparan biru luas membentang di hadapannya. Tak dihiraukannya riak ombak yang berdebur dan terhempas ke bibir pantai. Pun hilir mudik sekawanan camar dan pelikan yang mencari ‘keuntungan’ untuk perut mereka. Ia hanya terpekur  di atas kursi roda elektriknya, memandang langit senja yang perlahan melembayung, bias cahayanya terpantul-pantul pada hamparan biru yang bergelombang.
Ia takkan beranjak sebelum ‘isya menjelang. Dan anak nelayan itu yang selalu menemukannya, duduk sendirian di tepi pantai, meski petang telah membayang.
Bulan separuh dengan gemintang yang bertebaran.
Anak laki-laki berkulit cokelat itu menyapa, dengan sapaan yang sudah sangat biasa dan begitu sering ia lontarkan.
“Kakak sendirian? Tak takut ombak pasang? Tak peduli angin malam yang berhembus kencang?”
Ketika pertama kali ia menyapa dulu, ia ragu-ragu, jangan-jangan gadis bule yang sebaya kakaknya itu tak paham dengan apa yang ia ucapkan. Namun, tak seperti dugaannya.
Gadis itu menggeleng. Untuk yang kesekian kalinya, setelah kesekian kalinya pula Wira, bocah laki-laki itu menanyakan hal yang serupa. Monoton.
Caroline. Carol. Namun, bagi Wira ia Kerel. Kak Kerel. Gadis Swedia yang misterius. Gadis malang yang lumpuh sejak balita. Ditinggal mati ibunya ketika masih kanak-kanak, kemudian ayahnya menikah lagi dengan perempuan lokal. Dan gadis itu jadi kekurangan perhatian. Terlantar. Maka, ia menyepi tiap hari di pantai ini.
Wira yang merasa terusik dengan rasa penasaran, kemudian memberanikan diri berkenalan dengan gadis itu. Perlahan, Wira menjadi pendengar setia. Sebab Carol selalu mengoceh bermacam-macam cerita. Kisah nyata yang pernah dialaminya.
“Kemarin malam aku melihat beberapa giant octopus, Wira. Mereka berenang menuju tepian pantai. Sungguh, tak pernah aku tahu ada octopus sebesar itu. What a giant octopus!” mata hijau toska-nya berbinar. Bocah laki-laki lugu di sampingnya terperangah. Ak-te-pes. Hei, apa lagi ini?!
“Apa yang Kakak maksud?” tanyanya. Benar-benar tidak mengerti.
You know? Hewan air bertangan banyak. Just like.. uhm, what is it… cumi-cumi. Yah, cumi-cumi dalam ukuran sangat besar. Mengerikan sekali, bukan?”
Sejenak kemudian, dia paham. Gurita.
“Gurita raksasa?” Carol mengangguk. Iya, itu yang kumaksud.
Selepas dari pantai, bocah lelaki itu masih terngiang ucapan sang gadis bule. Mana mungkin ada gurita raksasa? Sejak kecil hidup sebagai anak laut, tak pernah ia menjumpai ‘monster air bertangan banyak’.

“Mungkin Kakak salah lihat. Itu hanya imajinasi Kakak saja.” Lontar Wira di senja berikutnya, ketika ia kembali menemukan Carol—gadis berkursi roda itu sendiri di tepian pantai.
“Tentu tidak. Aku tidak salah lihat. Aku kini menduga-duga… Makhluk-makhluk itu hasil rekayasa genetika.”
“Eh?” kembali bocah lelaki itu dihadapkan pada kalimat-kalimat Carol yang sulit dimengerti. Apa lagi yang akan kau bicarakan, Kak Kerel?
“Kau tahu bagaimana kami bisa tinggal di negeri ini?” Wira lantas menggeleng.
“Ayahku adalah seorang ilmuwan, profesor yang selalu menghabiskan waktunya di laboratorium. Setahun sebelum kami pindah kemari, ayah dan rekan-rekannya memiliki proyek penelitian rekayasa genetis pada hewan laut. Mereka melirik lahan potensial yang kaya akan spesies biota, negeri ini.
Ayah tertarik dengan octopus, dan mulai meneliti makhluk menjijikkan itu di lab kesayangannya. Seingatku, mereka melakukan penyuntikan gen yang berakibat hewan-hewan itu akan mengalami gigantisme—pertumbuhan yang terlampau pesat.
Mereka mencoba melepaskan percobaan mereka itu ke laut, dan berencana menunggu pertumbuhan mereka dalam dua bulan. Saat itu pula, ibuku meninggal karena serangan jantung. Tentu saja, ayahku sangat terpukul. Proyek penelitian itu menjadi terbengkalai. Octopus yang ditunggunya tak pernah muncul lagi. Entah… Ayah kemudian memutuskan mencari pengganti ibu, hanya untuk meredakan stres yang dialaminya.
Sementara aku kini sendirian, Wira. Aku tahu, yang kulihat tempo hari adalah octopus yang ditunggu ayah. Ia telah menjelma gigantic. Raksasa. Layaknya monster.”
Panjang lebar gadis itu bercerita. Sungguh menakjubkan. Ah, tentu Wira masih tak percaya. Ia yang lebih akrab dengan laut di depannya daripada Carol. Kalau pun monster yang dibicarakan Carol itu ada, tentu Wira juga melihatnya, ketika ia melaut. Ah, mungkin hanya rekaan gadis bule itu saja, biar hidupnya lebih berwarna. Malang sekali nasibnya. Kaki yang tak berfungsi—sehingga membuatnya hanya bisa tergolek di atas kursi roda, ditinggal mati ibunya, ditelantarkan ayahnya….


Seantero pantai itu kemudian gempar esok harinya.
Wira tergopoh-gopoh menuju kerumun orang yang menyesak di tepian pantai. Ramai wartawan dengan perangkat-perangkatnya yang heboh berdesak-desakan dengan para warga.
Ada apa?
Arini, gadis pantai—teman bermainnya itu menjawab rasa penasaran Wira.
“Kau tak tahu? Katanya dua orang turis asing hilang ditelan lautan. Seorang nelayan tak sengaja melihat perahu mereka oleng, diseret oleh hewan laut raksasa.”
Wira terperangah. Sungguhkah?
Dalam hati ia bergumam pelan… Oc-to-pus….

Ketika senja menjelang, tak ditemukannya lagi Carol yang biasanya duduk menyendiri di tepian.

Tidak ada komentar: