Gadis
berambut pirang itu mengerjap-ngerjap. Sepasang mata hijau toska-nya nanar
menatap hamparan biru luas membentang di hadapannya. Tak dihiraukannya riak
ombak yang berdebur dan terhempas ke bibir pantai. Pun hilir mudik sekawanan camar dan pelikan yang
mencari ‘keuntungan’ untuk perut mereka. Ia hanya terpekur di atas kursi roda elektriknya, memandang
langit senja yang perlahan melembayung, bias cahayanya terpantul-pantul pada
hamparan biru yang bergelombang.
Ia takkan beranjak sebelum ‘isya menjelang.
Dan anak nelayan itu yang selalu menemukannya, duduk sendirian di tepi pantai,
meski petang telah membayang.
Bulan separuh dengan gemintang yang
bertebaran.
Anak laki-laki berkulit cokelat itu
menyapa, dengan sapaan yang sudah sangat biasa dan begitu sering ia lontarkan.
“Kakak
sendirian? Tak takut ombak pasang? Tak peduli angin malam yang berhembus
kencang?”
Ketika
pertama kali ia menyapa dulu, ia ragu-ragu, jangan-jangan gadis bule yang sebaya kakaknya itu tak paham
dengan apa yang ia ucapkan. Namun, tak seperti dugaannya.
Gadis
itu menggeleng. Untuk yang kesekian kalinya, setelah kesekian kalinya pula Wira,
bocah laki-laki itu menanyakan hal yang serupa. Monoton.
Caroline.
Carol. Namun, bagi Wira ia Kerel. Kak Kerel. Gadis Swedia yang misterius.
Gadis malang
yang lumpuh sejak balita. Ditinggal mati ibunya ketika masih kanak-kanak,
kemudian ayahnya menikah lagi dengan perempuan lokal. Dan gadis itu jadi
kekurangan perhatian. Terlantar. Maka, ia menyepi tiap hari di pantai ini.
Wira
yang merasa terusik dengan rasa penasaran, kemudian memberanikan diri
berkenalan dengan gadis itu. Perlahan, Wira menjadi pendengar setia. Sebab
Carol selalu mengoceh bermacam-macam cerita. Kisah nyata yang pernah
dialaminya.
“Kemarin
malam aku melihat beberapa giant octopus,
Wira. Mereka berenang menuju tepian pantai. Sungguh, tak pernah aku tahu ada octopus sebesar itu. What a giant octopus!” mata hijau
toska-nya berbinar. Bocah laki-laki lugu di sampingnya terperangah. Ak-te-pes. Hei, apa lagi ini?!
“Apa
yang Kakak maksud?” tanyanya. Benar-benar tidak mengerti.
“You know? Hewan air bertangan banyak. Just like.. uhm, what is it… cumi-cumi.
Yah, cumi-cumi dalam ukuran sangat besar. Mengerikan sekali, bukan?”
Sejenak
kemudian, dia paham. Gurita.
“Gurita
raksasa?” Carol mengangguk. Iya, itu yang
kumaksud.
Selepas
dari pantai, bocah lelaki itu masih terngiang ucapan sang gadis bule. Mana
mungkin ada gurita raksasa? Sejak kecil hidup sebagai anak laut, tak pernah ia
menjumpai ‘monster air bertangan banyak’.
“Mungkin
Kakak salah lihat. Itu hanya imajinasi Kakak saja.” Lontar Wira di senja
berikutnya, ketika ia kembali menemukan Carol—gadis berkursi roda itu sendiri
di tepian pantai.
“Tentu
tidak. Aku tidak salah lihat. Aku kini menduga-duga… Makhluk-makhluk itu hasil
rekayasa genetika.”
“Eh?”
kembali bocah lelaki itu dihadapkan pada kalimat-kalimat Carol yang sulit
dimengerti. Apa lagi yang akan kau
bicarakan, Kak Kerel?
“Kau
tahu bagaimana kami bisa tinggal di negeri ini?” Wira lantas menggeleng.
“Ayahku
adalah seorang ilmuwan, profesor yang selalu menghabiskan waktunya di
laboratorium. Setahun sebelum kami pindah kemari, ayah dan rekan-rekannya
memiliki proyek penelitian rekayasa genetis pada hewan laut. Mereka melirik
lahan potensial yang kaya akan spesies biota, negeri ini.
Ayah
tertarik dengan octopus, dan mulai
meneliti makhluk menjijikkan itu di lab kesayangannya. Seingatku, mereka
melakukan penyuntikan gen yang berakibat hewan-hewan itu akan mengalami gigantisme—pertumbuhan yang terlampau
pesat.
Mereka
mencoba melepaskan percobaan mereka itu ke laut, dan berencana menunggu
pertumbuhan mereka dalam dua bulan. Saat itu pula, ibuku meninggal karena
serangan jantung. Tentu saja, ayahku sangat terpukul. Proyek penelitian itu
menjadi terbengkalai. Octopus yang
ditunggunya tak pernah muncul lagi. Entah… Ayah kemudian memutuskan mencari
pengganti ibu, hanya untuk meredakan stres yang dialaminya.
Sementara
aku kini sendirian, Wira. Aku tahu, yang kulihat tempo hari adalah octopus yang ditunggu ayah. Ia telah
menjelma gigantic. Raksasa. Layaknya
monster.”
Panjang
lebar gadis itu bercerita. Sungguh menakjubkan. Ah, tentu Wira masih tak
percaya. Ia yang lebih akrab dengan laut di depannya daripada Carol. Kalau pun
monster yang dibicarakan Carol itu ada, tentu Wira juga melihatnya, ketika ia
melaut. Ah, mungkin hanya rekaan gadis bule itu saja, biar hidupnya lebih
berwarna. Malang
sekali nasibnya. Kaki yang tak berfungsi—sehingga membuatnya hanya bisa
tergolek di atas kursi roda, ditinggal mati ibunya, ditelantarkan ayahnya….
Seantero
pantai itu kemudian gempar esok harinya.
Wira
tergopoh-gopoh menuju kerumun orang yang menyesak di tepian pantai. Ramai
wartawan dengan perangkat-perangkatnya yang heboh berdesak-desakan dengan para
warga.
Ada apa?
Arini,
gadis pantai—teman bermainnya itu menjawab rasa penasaran Wira.
“Kau
tak tahu? Katanya dua orang turis asing hilang ditelan lautan. Seorang nelayan
tak sengaja melihat perahu mereka oleng, diseret oleh hewan laut raksasa.”
Wira
terperangah. Sungguhkah?
Dalam
hati ia bergumam pelan… Oc-to-pus….
Ketika
senja menjelang, tak ditemukannya lagi Carol yang biasanya duduk menyendiri di
tepian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar