Bahang
sang surya mulai terasa ketika ia baru beranjak naik sepenggalah. Bagi orang
yang sudah terbiasa dengan cuaca Yogya seperti saya, panas udara Bangka tak
ubahnya ujian keistiqamahan. Ramadan telah memasuki pertengahan, namun saya
belum purna tugas pengabdian. Seperti halnya senyum lebar mereka yang
bersemangat mengais ilmu dari para guru, saya bertekad tetap mengajar hari itu,
meski keringnya tenggorokan sepulang mengajar nanti tak lantas bisa diguyur
dengan air pelepas dahaga. Puasa, Boi.
Hari
itu saya tak hendak mengajari mereka bahasa Inggris. Ruang kelas 5 dengan
hampir dua lusin murid itu riuh rendah oleh celoteh-celoteh mereka. Saya
menyiapkan mental. Bismillah. Bagaimanapun juga, menghadapi dua belas anak SD
menurut saya lebih susah daripada berkoar di depan dua puluh anak kuliahan. Saya
belum pernah mengajar anak SD meski saya sudah sering menjadi mentor bagi
adik-adik angkatan di kampus. Dan memang, terjun ke dunia pendidikan haruslah
paham ilmu psikologi juga. Guru adalah psikolog dalam versi lain, sedangkan
siswa adalah kliennya. Jika mengajar anak SD, tentunya juga harus paham
karakter umum anak SD.
Iya,
hari itu saya tak ingin mengajari mereka bahasa Inggris seperti minggu-minggu
yang lalu. Saya hanya ingin menanyakan, “Apa mimpimu?” Ya, apa mimpi kalian
wahai anak kelas 5 SD? Jikalau waktu bisa diputar ulang kembali, saya akan
lebih memilih mengajar bahasa Indonesia di sini ketimbang bahasa Inggris.
Namun, lantaran gengsi yang membumbung tinggi, tak jadi. Saya mengajar sesuai
studi mayor saya: bahasa Inggris. Kenyataannya, di minggu pertama saya berjumpa
dengan mereka, mereka terkesan masih susah menerima kosakata-kosakata baru yang
saya perkenalkan, apalagi jika harus masuk ke tata bahasa yang rumit dengan
segala dinamikanya. Bagi saya, mata pelajaran bahasa Inggris untuk SD itu
sebenarnya tak perlu. Saya paranoid, jika sejak dini anak-anak sudah dicekoki
dengan bahasa asing, ketika dewasa perlahan mereka akan lupa dengan bahasa
sendiri. Ah, Indonesia tanah air beta... Maka, lebih baik mereka diajari
mencintai bahasa Indonesia saja. Mereka harus cinta membaca, pun mereka harus
memiliki budaya menulis.
Kembali
ke pertanyaan, “Apa mimpimu?” Dulu, ketika masih kelas 1 SD, seperti lazimnya
anak-anak kecil kebanyakan, saya ingin pinter, lantas jadi dokter.
Seperti tak ada profesi bergengsi lain selain dokter. Bukan tanpa sebab, tentu
orangtua berperan dalam pembentukan konsep pemikiran seperti itu. Masih
terngiang hingga kini lagu yang sering bersenandung di masa kanak saya, kaset
Susan dan Ria Enes yang hampir tiap hari diputarkan Ibu untuk saya,“Susan,
Susan, Susan, kalau sudah gede mau jadi apa? // Aku kepingin pinter, biar jadi
dokter”. Nah!
Kelas
3, saya ingin jadi pelukis, gara-gara kata teman-teman gambar bikinan saya
selalu indah. Di kelas 6, cita-cita saya berubah lagi. Saya ingin jadi
jurnalis. Kedengarannya keren sekali. Jur-nal-is. Padahal, saya belum tahu
seluk-beluk profesi itu ngapain aja. Saya hanya tahu mereka menulis,
cocok dengan hobi yang mulai bertumbuh dalam diri saya: menulis (padahal, saya
lebih banyak mengarang cerita fiksi ketimbang menulis fakta).
Semakin
umur saya bertambah dan memasuki jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi,
cita-cita saya silih berganti bagai musim, esok musim semi, besoknya lagi musim
panas, lusa musim gugur.
“Nanti
kamu kuliah di Psikologi saja. Ibu rasa, semakin hari negara ini semakin
membutuhkan psikolog. Ke depan, mungkin profesi itu banyak diminati.”
Psikologi?
Makanan apa itu? Dunia SMP membuat kegemaran menulis saya
semakin terasah, dan saya mulai menyukai belajar bahasa. Macam-macam bahasa.
Saya sudah mulai menanam mimpi kuliah di Sastra Jepang sebuah universitas
ternama, setelah itu, tentu saja saya juga ingin ke Jepang. Meski belum
tahu-menahu, toh saya memasukkan jurusan anjuran Ibu itu di daftar mimpi
saya, hingga terbawa sampai akhir kelas 12 SMA. Dengan pede-nya saya
melingkari opsi jurusan try out Seleksi Masuk (SIMAK) Universitas
Indonesia: pilihan satu Psikologi, Pilihan dua Sastra Indonesia. Keinginan saya
untuk mendaftar Sastra Jepang tidak diridai orangtua. Alasan klasik para
orangtua: nanti setelah dari sana mau jadi apa? Sastra tempatnya seniman dan
orang-orang ‘gila’.
“Aku
yakin nanti kamu bisa jadi psikolog yang sukses, Li,” ujar sahabat saya suatu kali.
“Tapi
kamu juga harus tahu diri. Kalau untuk urusan sepele begini saja, kamu
mengeluh terus, bagaimana nanti kalau sudah menangani pasien? Jangan-jangan
bisa gila duluan sebelum jadi psikolog beneran.
Tapi,
aku iri sama kamu, Li. Kamu bisa melakukan yang orang lain tak bisa lakukan.
Kamu pinter banget ngarang, nulis. Kalau di sekolah kita masih ada jurusan
Bahasa, kurasa kau lebih cocok masuk sana daripada di IPS.”
Saya
tercenung-cenung dengan kalimatnya barusan. Menohok di ulu hati saya, tepat
sasaran. Baiklah, saya jujur saja, kawan. Memang, saya tidak sreg dengan
jurusan pilihan Ibu. Betapa mereka belum paham bagaimana sebenarnya saya
mencintai sastra dan bahasa, whatever the other people will say.
Akhirnya, saya mulai berbenah. Menyepi di sudut malam, meneguhkan diri,
memantapkan hati, hingga pilihan saya diridai. Hingga takdir membawa saya
kemari, meski saya tidak jadi kuliah di Sastra Jepang, malah terdampar di
Sastra Inggris. Toh saya masih bisa bertukar ilmu dengan teman-teman
jurusan sastra lain.
“Setelah
ini kamu langsung ambil S2 saja, biar bisa jadi dosen.” Upaya Ibu mengarahkan
masa depan saya rupanya tak putus hanya sampai pilihan jurusan saja, namun juga
profesi. Saya harus begini, saya harus begitu. Jangan-jangan nanti untuk urusan
jodoh pun, saya harus rela menikah dengan calon pilihan Ibu (ups!).
Jadi
dosen? Mengajar? Apa saya bisa mengajar? Terlahir di keluarga pendidik tak
lantas membuat saya berkeinginan melanjutkan perjuangan mengajar kedua
orangtua. Saya jauh lebih suka bekerja di balik layar, menjadi penerjemah,
editor, penulis, dan semacamnya. Guru, profesi yang kurang prestisius di
negeri ini. Itu tidak pernah terselip sekalipun di daftar cita-cita saya. Tak
pernah. Kemudian, buntu. Saya tak tahu, memilih birrul walidain atau
bersikukuh dengan idealisme saya sendiri. Untuk sementara ini, just go with
the flow.
Saya
kembali menatap anak-anak itu. Mereka menurut saja ketika saya mengajak
menyanyi Twinkle-Twinkle Little Star, menyanyikannya riang dengan suara
nyaring senyaring-nyaringnya. Apa mimpimu di masa depan, adik-adikku? Up
above the world so high, like a diamond in the sky... Apakah memetik
bintang-bintang kecil di langit itu? Anak-anak biasanya lebih berani mengungkap
mimpi, ketimbang orang dewasa.
Ah, di
lain waktu, ketika saya mengajar di SMP desa sebelah, ternyata lebih complicated.
“Motivasi
belajar mereka masih sangat rendah, Mbak. Bahkan, mereka tak akan mau berangkat
sekolah kalau tak dibelikan motor. Mereka umumnya lebih memilih membantu orang
tua mengurusi ladang sahang (lada) dan menyadap karet ketimbang sekolah,
menuntut ilmu. Saya heran, mereka nanti kalau sudah dewasa mau jadi apa kalau
sekarang saja belum menyadari pentingnya pendidikan.” Bu Sukma—wanita paruh
baya, wakil kepala SMP itu mengungkapkan keluh-kesahnya.
“Secara
akademik, mereka kurang sekali. Piala-piala di etalase itu, hasil mereka lomba
seni dan olahraga. Anak-anak sini lebih unggul di kedua bidang itu,” lanjutnya
seraya menunjuk deretan tropi dan piala yang terpajang di rak kaca.
Saya
mendesah gundah. Dunia luar Jawa membuat saya membuka mata, ketidakmerataan
pembangunan tentu saja berkaitan erat dengan pendidikan. Di sana masih banyak
lowongan tenaga pendidik. Guru-guru itu tentu diam-diam menyimpan harap, suatu
saat ada lulusan UGM yang mengabdi di sana dalam jangka panjang, tidak hanya
sebulan-dua bulan.
“Bagaimana
mengajarnya, Mbak? Asyik?” Pak Kepala Sekolah yang ramah menjumpai saya di
kantor guru usai mengajar kelas 2 SMP.
Sebenarnya
saya kewalahan, Pak. Mereka tidak mau diam. Pro-aktif semua. Hehe.
Saya
kembali bersirobok pandang dengan sejumlah mata kanak itu. Polos. Penurut,
meski ada juga yang pembangkang dan suka ribut di kelas. Betapa mereka masih
sangat muda untuk berpikir jauh tentang masa depan yang nyalang di depan mata
mereka. Jika saya tanya, “Apa cita-citamu?” apakah ada satu saja dari mereka
yang menjawab, “Aku ingin jadi guru, Kak.”? Jika ada, tentu saya akan merasa
malu karena tidak pernah memiliki cita-cita mulia itu. Bagaimanapun, masa depan
adalah milik mereka. Tak peduli desa ini berada jauh di pelosok, jauh dari
kota, tak peduli kekurangan fasilitas menjadi penghambat, impian tetap impian,
dan ia wajib diperjuangkan.
Di
balik kesederhanaan hidupnya, anak-anak itu memiliki segudang talenta yang saya
tak punya. Ada Apri dan Meri, dua dai cilik yang pandai membawakan ceramahnya
di depan audiens. Rara, si pendiam yang cerdas dan selalu semangat belajar
ngaji. Lisa, si kecil nan centil yang manja, dan banyak lagi yang lainnya.
Impian,
tentu saja saya yang sudah dua dasawarsa lebih ini masih punya selaksa mimpi. Saya
ingin menuntut ilmu ke Jepang, saya ingin menjadi penghafal Quran, saya ingin
menjadi penulis yang bukunya laris, saya ingin menjadi penerjemah profesional, saya
ingin memiliki anak saleh dan salehah dari suami yang saleh, saya ingin menjadi
salah satu penghuni surga-Nya.
Sebelum
pagi tiba dan kami diharuskan mengemas langkah kami untuk berpisah dengan Pulau
Timah, malam itu kami nonton film Sang Pemimpi di lapangan bersama
warga. Sang Pemimpi, sekuel nomor dua dari tetratogi Laskar Pelangi
karya Andrea Hirata. Cerita itu berkisah tentang Arai, saudara Ikal a.k.a
Andrea Hirata dan mimpi-mimpi mereka semasa remaja. Tentu saja film itu terasa
dekat dengan penduduk setempat, meski settingnya Belitung, setidaknya masih
seranah, sesuku, dan sedialek dengan orang-orang Bangka. Arai, yang dijuluki
Ikal sebagai Sang Simpai Keramat itu berwasiat, “Bermimpilah, maka Tuhan akan
memeluk mimpi-mimpi itu.” Maka, Paris menjadi saksi langkah pertama mereka
menyusuri benua Eropa.
Purna
sudah tugas pengabdian saya di pulau itu bersama teman-teman satu unit Kuliah
Kerja Nyata. Tiga puluh delapan hari itu tidak akan terlupa, selamanya. Si
burung besi yang mengangkasa tinggi membawa kami kembali ke Jakarta. Berada di
antara awan-awan tipis yang mengambang di udara bak mengangkasakan mimpi-mimpi
yang kami renda. Bermimpilah, menyentuh awan sekalipun! Memetik bintang
sekalipun! Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Kau harus
yakin itu.
Games Day: Apri menuliskan jawaban kuis di papan tulis (Dok. Punika C. H.) |
Games Day: anak-anak berebutan menjawab pertanyaan (dok. Punika C. H.) |
*A
half-fiction. Ditulis di sela-sela kerinduan saya akan pulau seberang. Beribu
terima kasih saya haturkan kepada dua puluh lima orang hebat di Regu Semut Ow
Yeah! KKN-PPM UGM unit 102 Desa Kulur Ilir, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten
Bangka Tengah, 2012. Ah ya, di Bangka, jika malam cerah, gemintangnya
bertebaran sangat indah, rasanya saya ingin memetiknya satu saja. Sungguh,
suatu saat ingin ke sana lagi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar