Selasa, 21 Mei 2013

Nasihat Sang Simpai Keramat



Bahang sang surya mulai terasa ketika ia baru beranjak naik sepenggalah. Bagi orang yang sudah terbiasa dengan cuaca Yogya seperti saya, panas udara Bangka tak ubahnya ujian keistiqamahan. Ramadan telah memasuki pertengahan, namun saya belum purna tugas pengabdian. Seperti halnya senyum lebar mereka yang bersemangat mengais ilmu dari para guru, saya bertekad tetap mengajar hari itu, meski keringnya tenggorokan sepulang mengajar nanti tak lantas bisa diguyur dengan air pelepas dahaga. Puasa, Boi.

Hari itu saya tak hendak mengajari mereka bahasa Inggris. Ruang kelas 5 dengan hampir dua lusin murid itu riuh rendah oleh celoteh-celoteh mereka. Saya menyiapkan mental. Bismillah. Bagaimanapun juga, menghadapi dua belas anak SD menurut saya lebih susah daripada berkoar di depan dua puluh anak kuliahan. Saya belum pernah mengajar anak SD meski saya sudah sering menjadi mentor bagi adik-adik angkatan di kampus. Dan memang, terjun ke dunia pendidikan haruslah paham ilmu psikologi juga. Guru adalah psikolog dalam versi lain, sedangkan siswa adalah kliennya. Jika mengajar anak SD, tentunya juga harus paham karakter umum anak SD.

Iya, hari itu saya tak ingin mengajari mereka bahasa Inggris seperti minggu-minggu yang lalu. Saya hanya ingin menanyakan, “Apa mimpimu?” Ya, apa mimpi kalian wahai anak kelas 5 SD? Jikalau waktu bisa diputar ulang kembali, saya akan lebih memilih mengajar bahasa Indonesia di sini ketimbang bahasa Inggris. Namun, lantaran gengsi yang membumbung tinggi, tak jadi. Saya mengajar sesuai studi mayor saya: bahasa Inggris. Kenyataannya, di minggu pertama saya berjumpa dengan mereka, mereka terkesan masih susah menerima kosakata-kosakata baru yang saya perkenalkan, apalagi jika harus masuk ke tata bahasa yang rumit dengan segala dinamikanya. Bagi saya, mata pelajaran bahasa Inggris untuk SD itu sebenarnya tak perlu. Saya paranoid, jika sejak dini anak-anak sudah dicekoki dengan bahasa asing, ketika dewasa perlahan mereka akan lupa dengan bahasa sendiri. Ah, Indonesia tanah air beta... Maka, lebih baik mereka diajari mencintai bahasa Indonesia saja. Mereka harus cinta membaca, pun mereka harus memiliki budaya menulis.

Kembali ke pertanyaan, “Apa mimpimu?” Dulu, ketika masih kelas 1 SD, seperti lazimnya anak-anak kecil kebanyakan, saya ingin pinter, lantas jadi dokter. Seperti tak ada profesi bergengsi lain selain dokter. Bukan tanpa sebab, tentu orangtua berperan dalam pembentukan konsep pemikiran seperti itu. Masih terngiang hingga kini lagu yang sering bersenandung di masa kanak saya, kaset Susan dan Ria Enes yang hampir tiap hari diputarkan Ibu untuk saya,“Susan, Susan, Susan, kalau sudah gede mau jadi apa? // Aku kepingin pinter, biar jadi dokter”. Nah!

Kelas 3, saya ingin jadi pelukis, gara-gara kata teman-teman gambar bikinan saya selalu indah. Di kelas 6, cita-cita saya berubah lagi. Saya ingin jadi jurnalis. Kedengarannya keren sekali. Jur-nal-is. Padahal, saya belum tahu seluk-beluk profesi itu ngapain aja. Saya hanya tahu mereka menulis, cocok dengan hobi yang mulai bertumbuh dalam diri saya: menulis (padahal, saya lebih banyak mengarang cerita fiksi ketimbang menulis fakta).

Semakin umur saya bertambah dan memasuki jenjang-jenjang pendidikan yang lebih tinggi, cita-cita saya silih berganti bagai musim, esok musim semi, besoknya lagi musim panas, lusa musim gugur.
“Nanti kamu kuliah di Psikologi saja. Ibu rasa, semakin hari negara ini semakin membutuhkan psikolog. Ke depan, mungkin profesi itu banyak diminati.”

Psikologi? Makanan apa itu? Dunia SMP membuat kegemaran menulis saya semakin terasah, dan saya mulai menyukai belajar bahasa. Macam-macam bahasa. Saya sudah mulai menanam mimpi kuliah di Sastra Jepang sebuah universitas ternama, setelah itu, tentu saja saya juga ingin ke Jepang. Meski belum tahu-menahu, toh saya memasukkan jurusan anjuran Ibu itu di daftar mimpi saya, hingga terbawa sampai akhir kelas 12 SMA. Dengan pede-nya saya melingkari opsi jurusan try out Seleksi Masuk (SIMAK) Universitas Indonesia: pilihan satu Psikologi, Pilihan dua Sastra Indonesia. Keinginan saya untuk mendaftar Sastra Jepang tidak diridai orangtua. Alasan klasik para orangtua: nanti setelah dari sana mau jadi apa? Sastra tempatnya seniman dan orang-orang ‘gila’.

“Aku yakin nanti kamu bisa jadi psikolog yang sukses, Li,” ujar sahabat saya suatu kali.

“Tapi kamu juga harus tahu diri. Kalau untuk urusan sepele begini saja, kamu mengeluh terus, bagaimana nanti kalau sudah menangani pasien? Jangan-jangan bisa gila duluan sebelum jadi psikolog beneran.
Tapi, aku iri sama kamu, Li. Kamu bisa melakukan yang orang lain tak bisa lakukan. Kamu pinter banget ngarang, nulis. Kalau di sekolah kita masih ada jurusan Bahasa, kurasa kau lebih cocok masuk sana daripada di IPS.”

Saya tercenung-cenung dengan kalimatnya barusan. Menohok di ulu hati saya, tepat sasaran. Baiklah, saya jujur saja, kawan. Memang, saya tidak sreg dengan jurusan pilihan Ibu. Betapa mereka belum paham bagaimana sebenarnya saya mencintai sastra dan bahasa, whatever the other people will say. Akhirnya, saya mulai berbenah. Menyepi di sudut malam, meneguhkan diri, memantapkan hati, hingga pilihan saya diridai. Hingga takdir membawa saya kemari, meski saya tidak jadi kuliah di Sastra Jepang, malah terdampar di Sastra Inggris. Toh saya masih bisa bertukar ilmu dengan teman-teman jurusan sastra lain.

“Setelah ini kamu langsung ambil S2 saja, biar bisa jadi dosen.” Upaya Ibu mengarahkan masa depan saya rupanya tak putus hanya sampai pilihan jurusan saja, namun juga profesi. Saya harus begini, saya harus begitu. Jangan-jangan nanti untuk urusan jodoh pun, saya harus rela menikah dengan calon pilihan Ibu (ups!).
Jadi dosen? Mengajar? Apa saya bisa mengajar? Terlahir di keluarga pendidik tak lantas membuat saya berkeinginan melanjutkan perjuangan mengajar kedua orangtua. Saya jauh lebih suka bekerja di balik layar, menjadi penerjemah, editor, penulis, dan semacamnya. Guru, profesi yang kurang prestisius di negeri ini. Itu tidak pernah terselip sekalipun di daftar cita-cita saya. Tak pernah. Kemudian, buntu. Saya tak tahu, memilih birrul walidain atau bersikukuh dengan idealisme saya sendiri. Untuk sementara ini, just go with the flow.

Saya kembali menatap anak-anak itu. Mereka menurut saja ketika saya mengajak menyanyi Twinkle-Twinkle Little Star, menyanyikannya riang dengan suara nyaring senyaring-nyaringnya. Apa mimpimu di masa depan, adik-adikku? Up above the world so high, like a diamond in the sky... Apakah memetik bintang-bintang kecil di langit itu? Anak-anak biasanya lebih berani mengungkap mimpi, ketimbang orang dewasa.

Ah, di lain waktu, ketika saya mengajar di SMP desa sebelah, ternyata lebih complicated.

“Motivasi belajar mereka masih sangat rendah, Mbak. Bahkan, mereka tak akan mau berangkat sekolah kalau tak dibelikan motor. Mereka umumnya lebih memilih membantu orang tua mengurusi ladang sahang (lada) dan menyadap karet ketimbang sekolah, menuntut ilmu. Saya heran, mereka nanti kalau sudah dewasa mau jadi apa kalau sekarang saja belum menyadari pentingnya pendidikan.” Bu Sukma—wanita paruh baya, wakil kepala SMP itu mengungkapkan keluh-kesahnya.

“Secara akademik, mereka kurang sekali. Piala-piala di etalase itu, hasil mereka lomba seni dan olahraga. Anak-anak sini lebih unggul di kedua bidang itu,” lanjutnya seraya menunjuk deretan tropi dan piala yang terpajang di rak kaca.

Saya mendesah gundah. Dunia luar Jawa membuat saya membuka mata, ketidakmerataan pembangunan tentu saja berkaitan erat dengan pendidikan. Di sana masih banyak lowongan tenaga pendidik. Guru-guru itu tentu diam-diam menyimpan harap, suatu saat ada lulusan UGM yang mengabdi di sana dalam jangka panjang, tidak hanya sebulan-dua bulan.

“Bagaimana mengajarnya, Mbak? Asyik?” Pak Kepala Sekolah yang ramah menjumpai saya di kantor guru usai mengajar kelas 2 SMP.

Sebenarnya saya kewalahan, Pak. Mereka tidak mau diam. Pro-aktif semua. Hehe.

Saya kembali bersirobok pandang dengan sejumlah mata kanak itu. Polos. Penurut, meski ada juga yang pembangkang dan suka ribut di kelas. Betapa mereka masih sangat muda untuk berpikir jauh tentang masa depan yang nyalang di depan mata mereka. Jika saya tanya, “Apa cita-citamu?” apakah ada satu saja dari mereka yang menjawab, “Aku ingin jadi guru, Kak.”? Jika ada, tentu saya akan merasa malu karena tidak pernah memiliki cita-cita mulia itu. Bagaimanapun, masa depan adalah milik mereka. Tak peduli desa ini berada jauh di pelosok, jauh dari kota, tak peduli kekurangan fasilitas menjadi penghambat, impian tetap impian, dan ia wajib diperjuangkan.

Di balik kesederhanaan hidupnya, anak-anak itu memiliki segudang talenta yang saya tak punya. Ada Apri dan Meri, dua dai cilik yang pandai membawakan ceramahnya di depan audiens. Rara, si pendiam yang cerdas dan selalu semangat belajar ngaji. Lisa, si kecil nan centil yang manja, dan banyak lagi yang lainnya.
Impian, tentu saja saya yang sudah dua dasawarsa lebih ini masih punya selaksa mimpi. Saya ingin menuntut ilmu ke Jepang, saya ingin menjadi penghafal Quran, saya ingin menjadi penulis yang bukunya laris, saya ingin menjadi penerjemah profesional, saya ingin memiliki anak saleh dan salehah dari suami yang saleh, saya ingin menjadi salah satu penghuni surga-Nya.

Sebelum pagi tiba dan kami diharuskan mengemas langkah kami untuk berpisah dengan Pulau Timah, malam itu kami nonton film Sang Pemimpi di lapangan bersama warga. Sang Pemimpi, sekuel nomor dua dari tetratogi Laskar Pelangi karya Andrea Hirata. Cerita itu berkisah tentang Arai, saudara Ikal a.k.a Andrea Hirata dan mimpi-mimpi mereka semasa remaja. Tentu saja film itu terasa dekat dengan penduduk setempat, meski settingnya Belitung, setidaknya masih seranah, sesuku, dan sedialek dengan orang-orang Bangka. Arai, yang dijuluki Ikal sebagai Sang Simpai Keramat itu berwasiat, “Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu.” Maka, Paris menjadi saksi langkah pertama mereka menyusuri benua Eropa.

Purna sudah tugas pengabdian saya di pulau itu bersama teman-teman satu unit Kuliah Kerja Nyata. Tiga puluh delapan hari itu tidak akan terlupa, selamanya. Si burung besi yang mengangkasa tinggi membawa kami kembali ke Jakarta. Berada di antara awan-awan tipis yang mengambang di udara bak mengangkasakan mimpi-mimpi yang kami renda. Bermimpilah, menyentuh awan sekalipun! Memetik bintang sekalipun! Bermimpilah, maka Tuhan akan memeluk mimpi-mimpi itu. Kau harus yakin itu.


Games Day: Apri menuliskan jawaban kuis di papan tulis (Dok. Punika C. H.)
Games Day: anak-anak berebutan menjawab pertanyaan (dok. Punika C. H.)


*A half-fiction. Ditulis di sela-sela kerinduan saya akan pulau seberang. Beribu terima kasih saya haturkan kepada dua puluh lima orang hebat di Regu Semut Ow Yeah! KKN-PPM UGM unit 102 Desa Kulur Ilir, Kecamatan Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, 2012. Ah ya, di Bangka, jika malam cerah, gemintangnya bertebaran sangat indah, rasanya saya ingin memetiknya satu saja. Sungguh, suatu saat ingin ke sana lagi...

Tidak ada komentar: