Oleh: Lia Wibyaninggar
Maret
2004
Belakangan ini aku mulai terjangkit penyakit
insomnia alias susah tidur. Penyebabnya, bukan karena over dosis kopi. Bukan
juga karena over dosis tidur siang. Tapi, karena alam mimpiku sulit dicapai.
Pikiranku terus mengembara ke alam lain yang aku sendiri tak tahu alam apa itu.
Di alam itu, kulihat manusia menyemut.
Banyak sekali. Mereka itu teman-temanku, keluargaku, tetanggaku, dan… bahkan
para selebriti yang selama ini kugandrungi! Kemudian, kulihat ada sosok lain yang
mendekat. Semakin dekat, semakin terlihat. Aha! Wajahnya semakin jelas. Wajah
itu kukenali. Pandangan mayaku tertumbuk ke orang itu. Dia… LEO!
Ah, dia lagi! Mengapa
harus dia yang setiap malam hadir di benakku? Mengapa Leo? Seperti dunia sudah
kehabisan cowok cakep saja. Aku mengerjap-ngerjapkan mataku. Memandang barisan
genteng di langit-langit kamarku yang basah karena terpaan hujan kemarin. Uhh,
apa sih istimewanya Leo?
Leo teman
seangkatanku di Pelita Bangsa Junior High
School. Namanya keren bak selebriti: Vicky Leonardo. Aku sempat mengira dia
cowok indo, blasteran. Tapi, ternyata aku terkecoh begitu bodoh. Aku kecewa
seribu kali lipat ketika kami berhadapan untuk pertama kalinya. Sungguh, aku hampir pingsan? Di mana tampang
indonya? Wajah cakepnya? Kulit putih? Hidung mancung? Semua itu raib! Yang
berdiri di hadapanku itu justru sebaliknya! Wajahnya jauuuuuhhh dari yang
kuharapkan. Jika dia ikutan audisi untuk mendapatkanku, nggak mungkin masuk
nominasi. Tampangnya cuma nilai… nilai nggak lulus. Aku kan maunya yang berkulit putih, berhidung
mancung, berbibir agak sensual, dan berambut hitam legam.
Lha ini! Berkulit hitam (walau nggak
sehitam orang Negro), hidungnya agak pesek, rambutnya sedikit kepirang-pirangan
(mungkin karena kelamaan nongkrong di bawah sang surya), dan.. ampun, bibirnya tebal persis unta! Mana
istimewanya, cobaaa?!
Kalau memang ingin jadi ngetop
markotop dan jadi rebutan para gadis, nggak usah mengecoh dari nama segala. Sana, deh operasi
plastik. Dan sim salabim! Wajahmu
yang jauh dari kata ‘handsome’ itu langsung berubah mirip Leonardo Decaprio. Dijamin tahan lama
kok, wajah artifisialnya. Dan tentunya, cewek-cewek cantik akan terus
menguntitmu. Sorry saja, aku nggak
termasuk. Aku bukan cewek bego yang bisa dengan mudahnya tertipu oleh wajah
artifisialmu!
Pertengahan Maret 2004
Olala!
Ada apa dengan Tita? Aku benar-benar nggak percaya seratus persen dengan
ucapannya. Curhatnya kepadaku kali
ini benar-benar membuatku kaget seperempat mati. Bagaimana tidak?! Dia… naksir
sama… Leo! Bagaimana logikanya cobaa? Tita yang finalis Cover Girl majalah Kesayangan itu.. bisa naksir sama si Leo buruk
rupa. Ini sih, ceritanya bulan merindukan
pungguk. Bukan malah sebaliknya. Bisa kutaksir saja Leo sudah sangat-sangat
beruntung, apalagi Tita yang naksir. Benar-benar beruntung 1000 kali si Leo
itu.
“Wake up, Tita! Kamu tuh model. Apa kata
teman-teman nantinya kalau kamu punya cowok bertampang nilai lima seperti dia? Selera kamu rendahan banget, sih!” protesku. Aku
sebagai sahabatnya merasa harus mengingatkan dia. Aku nggak akan membiarkan dia
salah jalan, sekalipun dalam memilih pacar.
Tapi, Tita sama sekali nggak menggubris. Ucapanku
cuma masuk ke kuping kanannya, setelah itu keluar lewat kuping kirinya. Ah, ya sudahlah!
Terusin saja perasaan kamu itu! Terusin sampai sebosan-bosannya!
♪ Tale as
old as time, song as old as rhyme. Beauty and the beast… aku menceracau sembari mengumandangkan lagu
milik Celine Dion itu.
Juli 2004 di kafe sekolah.
Tita mengucapkan
salam perpisahan untuk kami semua. Aku nggak sanggup berlama-lama menahan air
mataku. Begitu pula dengan teman-temanku yang lain. Begitu pula dengan… Leo.
Pastilah dia yang merasa suuaangaat kehilangan Tita. Tita mau pindah ke Jakarta. Hijrah dari kota
kelahirannya ini.
Aku tahu Tita sudah putus
hubungan dengan Leo sejak sebulan yang lalu. Jadi, sebenarnya Leo sudah lama
kehilangan Tita. Tapi aku nggak tahu mengapa Tita memutuskan Leo. Tita bungkam
sama sekali tentang hal itu. Dan seperti biasa, aku nggak bisa memaksa.
Ketika berpisah, Tita
cuma menyalami Leo. Itu thok! Tanpa berucap sepatah-dua patah kata. Dan dalam
kebisuan, Tita menyeret langkah beratnya meninggalkan Leo. Ya, Beauty telah meninggalkan Beast seorang diri.
Sungguh kisah roman yang menyedihkan, hiks.. hiks..
Agustus
2004
Kemudian,
tirai itu kini tersibak. Tabir itu telah terkuak. Dan aku sadar dari kebutaan. Sekarang aku bisa melihat pesona sejuta cahaya.
Mr.V. Siapa dia? Mengapa
harus pakai inisial segala? Memangnya
buronan? Kuamat-amati nama pengarang cerpen yang barusan kubaca di mading
sekolah. Kata-katanya indah dan menyentuh. Kalau saja aku tahu siapa yang
mengarang, aku nggak akan segan untuk meminta resep jitu dalam
karang-mengarang.
“Mr. V, ya? Dia anak
kelas sebelah. Apa kamu nggak kenal?”
“Siapa, sih? Ayo,
dong beri tahu.” Rengekku manja sembari mengguncang-ngguncang bahu Ranti,
sahabatku sepeninggal Tita.
“Siapa lagi kalau
bukan mantan pacar sahabatmu. Sejak
dulu dia memang hoki ngarang.”
“Maksudmu, Si Beast? Si Leo?” Ranti mengangguk
yakin. Aku terperangah, nggak percaya. Masa, sih?
“Nggak, aku nggak
percaya!” ucapku.
“Perlu bukti? Ayo
kita ke kelas sebelah dan tanya langsung kepada yang bersangkutan!” Ranti menantang. Aku terdiam. Menyelinap sedikit
rasa malu di hatiku. Bagaimana aku mau minta resep jitu mengarang jika orang
itu Leo? Gengsi, dong!
“Dia itu jago lho, Feb. Nggak cuma bisa ngarang.
Lomba MIPA kemarin dia yang menang, lho. Terus, English-nya juga nggak kalah hebat dengan Dendra si ketua OSIS. Orangnya santun lagi.
Rajin ikutan rohis. Aku salut sama dia.”
Kata-kata Ranti sepertinya masuk ke kuping kananku
kemudian meresap ke hati. Nggak langsung hilang tertiup angin seperti biasanya.
Betulkah itu? Si Leo-Beast punya kepribadian sedemikian menganggumkan? Hmm,
kayaknya perlu ditayangkan di Ripley’s
Believe it or Not. Aku susah untuk
mempercayainya.
Desember
2004.
Ada program English
Speech Contest di sekolah. Aku nggak ikutan. Malas. Lebih enak jadi
audiens. Tinggal duduk tanpa harus grogi. Aku kan punya penyakit grogi tampil alias demam
panggung. Aku nggak mau penyakitku kumat lagi.
Yang tampil lucu-lucu
banget. Ada yang speech-nya terlalu
puaanjaang sampai mulutnya berbusa-busa. Iih, jijay-jijay deh, nek! Terus, ada
yang penyakitan kayak aku sampai keringatnya membanjir bak air ledeng. Ada juga
yang kata-katanya hilang saking groginya. Kasihan. Tapi, ada juga yang
benar-benar bisa ngomong lancar dan penuh penghayatan. Dan aku nggak bisa
mungkir lagi kalau ternyata orang itu Leo. Aku pun nggak bisa mungkir lagi
kalau aku salut sama dia.
Applause dari audiens riuh terdengar ketika panitia menyerahkan
tropi penghargaan juara pertama kepada Vicky Leonardo.
Aku cuma bisa
menundukkan muka. Malu. Selama ini aku gengsi gede-gedean di hadapannya. Kupikir,
tampangnya kan nilai lima. Sedangkan aku nilai delapan. Buat apa aku sok jaim,
toh dia juga nggak akan masuk nominasi? Kupikir,
nggak ada untungnya berbaik-baikan dengan cowok macam dia. Jadi, aku lebih
memilih cuek-bebek. Aku muak dengan tampangnya! Tampang yang kuanggap lebih
mirip unta Persia dari pada mirip manusia.
Tapi, sepertinya aku mulai ketularan Ranti. Aku
mulai salut sama Leo. Dibandingkan aku, ibadahnya lebih taat. Malu kan? Si Leo itu muallaf,
baru masuk Islam beberapa tahun yang lalu. Sedangkan aku, sudah Islam sejak
lahir. Tapi, ibadahku nggak lebih baik dari Leo. Dia ikutan rohis seminggu dua
kali. Sementara, aku sama sekali nggak ada niatan untuk ikut. Menjadi anggota
rohis kan disugesti untuk berjilbab. Dan aku belum mau dipaksa menutup
mahkotaku yang indah ini. Aku juga nggak mau kalau nanti disangka teroris di
keluarga besar nenek yang agamanya beragam.
Sudah tiga malam Leo
mampir di dalam mimpiku. Anehnya, wajahnya tidak separah di dunia nyata. Di
mimpiku, wajahnya begitu tampan seperti Nabi Yusuf. Dan di mimpiku itu pula,
aku merasa berperan sebagai Siti Zulaikha. Oh, tidak! Aku bukan Siti Zulaikha.
Bukan!! Aku Febi.
Esoknya, aku
menceritakan mimpiku kepada Ranti. Ranti tergelak mendengarkannya.
“Itu tandanya kau
mulai tertarik-itik sama Leo. Jangan bohong. Kamu ingin menggantikan posisi
Tita, kan?” refleks aku mengangguk. Hatiku takkan bisa berbohong. Mungkin
inilah rasa yang dulu dialami Tita mengenai Leo.
Sejak itu aku mulai pe-de-ka-te ke Leo. Dalihku, cuma ingin
diajari bahasa puitis. Tapi, sebenarnya, aku ingin mengenal kepribadiannya
lebih dalam. Ternyata, dia punya kharisma. Luar biasa mengagumkan!
“Kamu nggak nyari
pengganti Tita?” tanyaku suatu kali.
“Maksudnya?” ucapnya berlagak bego.
“Girl friend.
Tita kan
sudah mutusin kamu.”
Leo menghela nafas
panjangnya. “Aku dan Tita nggak pacaran. Hanya berteman. Aku memintanya untuk
tidak terlalu intim denganku. Eh, dia marah dan seolah menjadikanku musuh.” Ucapnya
menerawang.
“Lho, apa kamu nggak
tahu kalau sebenarnya Tita tuh naksir abis sama kamu?”
“Aku tahu itu, Feb. Tapi…” kalimatnya menggantung.
“Tapi apa?!”
“Seharusnya kamu nggak usah tanya. Sebagai sesama Muslim
seharusnya kita sama-sama tahu… Oh,
iya! Hari ini aku ada les privat. Sorry, Feb diskusinya dilanjutin lain kali
aja.” Leo berlari meninggalkanku sendiri di serambi kelas yang kini mulai sepi.
Diskusi katanya? Cuma
obrolan biasa dianggapnya diskusi. Huh, dasar manusia jenius yang sok jenius. Apa
yang akan diajarkannya kepadaku, ya? Soalnya, tanpa kusadari, ternyata aku
memang harus belajar banyak darinya. Leo itu manusia unik. Bertampang rendahan
tapi berotak jenius dan taat beragama. Berlawanan dengan aku. Oleh karena
itulah aku ingin belajar banyak darinya. Siapa tahu nanti aku ketularan
jeniusnya dia!
***
Malam bergulir,
insomnia-ku hadir. Aku merenung. Kemudian terjadilah kontes debat cukup seru antara
aku dan AKU. Antara sisi hatiku yang satu dengan sisi hatiku yang lain. Antara
menyalahkan dan membenarkan. Aku salah. Ya, aku memang salah. Aku sombong setengah mati, menganggap orang lain
yang bertampang jelek itu perlu dihindari. Aku terlalu egois dan ingin menang
sendiri. Aku sok mengatur orang lain. Dan aku.. suka meremehkan perasaan orang
lain, sampai-sampai kena hukum karma. Dulu aku merendahkan perasaan Tita. Tapi,
akhirnya aku tertular perasaan itu. AKU SUKA LEO. Semata-mata bukan karena
wajahnya. Tapi karena hatinya yang sebening mutiara, dan kecerdasannya yang
mungkin nanti akan mengantarkannya ke planet tetangga, jadi astronot, seperti
cita-citanya.
Rasanya, aku ingin
menyanyikan lagu Nurhaliza keras-keras malam ini tanpa harus membangunkan para
penghuni rumahku yang sedang terlelap begitu nyenyaknya:
♪
…cintaku bukan
kerana harta, cintaku bukan kerna paras rupa. Sedarilah kasih…
Leo. Dia bukan raja
hutan, tapi dia.. raja hatiku. Malam
semakin kelam. Detik-detik di jam dinding kamarku berlalu dan berlalu. Tapi,
perasaan satu ini nggak bisa berlalu begitu saja.
Agustus 2005
Cintailah segala sesuatu dengan sederhana. Karena cinta
sejati tak ada di dunia ini. Meski kau arungi beribu samudra, kau daki gunung
paling tinggi sekali pun, kau takkan pernah menemukannya.
Itulah kata-kata Kak
Farida, sang mentoring rohis yang kutemukan di Wall Magazine SMA 456 hari ini. Bagiku, kata-kata itu begitu tajam
hingga menembus ke lubuk hatiku. Meresap
hangat seperti sentuhan ukhrawi. Eh, bukankah ini sentuhan ukhrawi?
Setamat SMP, aku menelusuri kehidupan baruku di
SMA. Aku
sedih berpisah dengan semuanya. Terutama dengan Leo. Aku merasa hal yang belum
kupelajari darinya masih sangat banyak. Tapi, Tuhan memang Mahapemurah. Di
lembah kehidupan baruku ini, aku menemukan sesuatu yang dulu telah benar-benar
hilang dari diriku. Aku menemukan setitik cahaya terang yang
menghangatkan.
Aku ingat ketika aku
bertemu Leo di perpustakaan kota minggu lalu. Ia kaget bukan main melihat mahkotaku sudah tak nampak lagi. Dan hei,
ia tersenyum melihatku berubah. Aku pun ikut tersenyum.
“Kenapa diam saja?”
tanyanya. Ya Rabb, aku baru sadar bahwa sekian menit pertemuan kami, cuma
dihabiskan dengan diam.
“Pikir sendiri. Kamu
kan Je-ni-us.”
“Lho?” ia terbengong.
Jika ekspresinya seperti ini, siapapun mungkin akan menyangkanya bego.
“Apanya yang ‘lho’?
Kita sebagai sesama Muslim seharusnya sama-sama tahu. Kita bukan mahram. Nggak
baik kan terlalu intim.” Kataku menimpali.
“Ooohhh..” balasnya. Kemudian, ia kembali
tersenyum.
“Kamu pinjam buku apa?” tanyaku kemudian.
“Ini.” katanya
sembari mengacungkan novel ‘Ayat-Ayat
Cinta’-nya Habiburrahman El-Shirazy. Sejak dulu Leo memang peminat sastra. Tak
heran dia pandai merangkai kata-kata.
“Feb, aku duluan.
Assalamualaikum.”
“Wa'alaikumsalam.”
Dan sosok itu menghambur keluar, kemudian menghilang di antara lalu-lalang
orang.
Malam tiba. Pikiranku
hinggap ke Leo. Ah, Leo aku memutuskan untuk tetap mencintainya. Ya, mencintainya dengan sederhana. Takkan
berlebih-lebihan, hingga membuatku gelisah semalaman. Karena cinta sejati tak ada di dunia ini. Kini aku menemukan cinta
yang lain.
Jam weker berdering nyaring. Aku terbangun dari
tidur yang begitu nyenyaknya. Kabur segala insomnia-ku. Waktu masih pukul 02.30 dini
hari. Oh ya, aku ingat! Aku harus salat tahajjud!
Aku tiba-tiba ingat
kalimat itu: kemudian tirai itu kini tersibak, tabir itu kini terkuak. Dan aku sadar
dari kebutaan. Sekarang aku bisa melihat pesona sejuta cahaya.
Kini aku pun
bersimpuh di atas sajadah. Aku
melihat cahaya itu datang!
[Akhir bulan di akhir tahun 2005]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar