Senin, 16 September 2013

Merpati Tak Pernah Ingkar Janji, Apalagi Allah!




Pertanyaan itu terus berulang dari hari ke hari, selingan dari kata "selamat" yang diucapkan basa-basi. "Selamat" yang datang bertubi-tubi disertai berbuket-buket kembang yang cantik nan wangi. Baginya, "selamat" itu tak lain adalah belati, punya dua mata sisi; sisi yang satu adalah kebahagiaan, sisi yang satunya lagi tajam mengiris nurani. Layaknya sebuah sindiran. Tentu saja ini adalah kebahagiaan. Ia masih ingat bagaimana ibunda tercintanya menciumnya dengan bangga begitu ia turun dari tangga Auditorium Universitas itu sambil menyandang gelar sarjana. Tak lama, ia cuma butuh waktu tiga tahun lebih sembilan bulan untuk menyelesaikan studinya, jauh lebih singkat daripada teman-temannya yang lain, bahkan banyak kakak-kakak angkatannya yang sudah lebih dari lima tahun belum lulus-lulus juga. Semesta ikut berbahagia. Petuah Sang Rektor itu masih melekat hangat di ingatannya, "Kalian adalah garda terdepan masa depan yang dinantikan dunia. Banggalah menjadi lulusan universitas terbaik di negeri ini."
 

Pertanyaan itu terus berulang dari hari ke hari, selingan dari kata "selamat" yang diucapkan basa-basi. Bagaimana kini ia harus menjawab? Bagaimana kini ia harus bersikap? Mengapa lagi-lagi harus pertanyaan itu yang ia dapat? Patutkah ia mempersalahkan mereka yang bertanya? Atau memang pertanyaan semacam itu sudah selayaknya dipertanyakan kepadanya? Setahun berjalan tak terasa. Waktu bagai kuda besi yang ngebut berlari. Tentu saja pertambahan angka pada usianya itu niscaya terjadi.

Sebagai perempuan Jawa yang lahir dan tumbuh di desa, unggah-ungguh dan kepatuhan kepada orang tua tentu saja harus senantiasa dijaga. "Tutukno sekolahmu
dhisik. Sekolaho sak dhuwur-dhuwure yo Nduk, ben ora asor uripmu." Nasihat itu sukses menjadi cambuk agar semangatnya terus menyala. Lulus sarjana bukanlah sebuah akhir dari proses belajarnya. Justru ia masih merasa bodoh, merasa perlu melanjutkan ke jenjang berikutnya, dan berikutnya. Tawaran menjadi dosen di sebuah sekolah tinggi ternama itu tentulah menggiurkan. Lewat itu ia bisa menjadikannya batu loncatan untuk melanjutkan kuliah magister di bidang yang ia suka. Setelah itu, insya Allah peluang belajar ke luar negeri semakin terbuka. Sesuai impiannya semenjak kanak, berlabuh di negeri yang penuh harum kuntum-kuntum sakura. Ia cuma perempuan desa, namun ia enggan disebut wanita--yang hanya "wani ditata" saja, yang sepenuhnya patuh pada adat-istiadat konvensional tanpa adanya idealisme rasional yang mengimbanginya. Lihat saja, teman-teman se-TK-nya dulu rata-rata sudah punya anak dua. Mereka hidup ayem-tentrem di desa gemah ripah lohjinawi ini, hidup pas-pasan, nrimo saja meski suaminya cuma bekerja sebagai tukang kayu. Ia cuma perempuan desa biasa, namun ia ingin lebih bermartabat dibandingkan mereka, dengan ilmu yang ia tekuni, dengan pengalaman yang ia dapat dari berbagai belahan bumi. Ia sungguh tak ingin seribu impian yang ia susun dengan sangat rapi tiba-tiba berakhir berantakan hanya karena harus ngemong bayi. Tidak, ini masih terlalu dini. Ia ingat ibundanya dulu menikah ketika sudah hampir berumur tiga puluh, dan ia menyaksikan sendiri bagaimana beliau kerepotan kuliah S-2 sambil mengasuh dua anaknya yang masih kecil-kecil.

“Jadi perempuan itu jangan cuma bisa menggantungkan penghidupan pada laki-laki, harus bisa bekerja juga, bisa cari duit sendiri!” Nasihat itu dicamkannya hingga kini. “Juga harus berpendidikan tinggi, kalau perlu sampai S-3.” Ia tidak mempersalahkan nasihat itu. Benar, perempuan harus berpendidikan tinggi, sebagai bekal mendidik anak-anaknya nanti. Benar pula, perempuan harus mampu bekerja, setidaknya meringankan beban suaminya dalam mencari nafkah nanti. Tidak hanya terperangkap pada tiga kata “dapur, sumur, kasur”. Sang Ummul Mukminin Khadijah radhiyallahu ‘anha pun adalah wanita pengusaha yang sukses, Bunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha juga seorang perempuan tangguh yang mahir berkuda. Lantas, apa alasannya untuk menunda? Toh berkeluarga bukan berarti menghalangi dirinya untuk terus berkarya. Bahkan ditolaknya tawaran-tawaran yang datang menghampiri. Alasan klasik, aku masih belum pantas, masih mau menyelesaikan kuliah.

Birrul walidain itu tidak melulu kau harus menjadi Sitti Nurbaya masa kini. Semakin tua usia perempuan, semakin rendah kualitasnya di mata lelaki. Laki-laki itu umumnya juga egois, tidak mau jika istrinya lebih tua dan lebih pintar darinya. Jangan sampai karena kau keasyikan belajar, kau jadi lupa untuk menggenapkan separuh agama. Usiamu sekarang berapa?” Lelaki sebaya ibunya itu menatapnya tajam. Ia tak berani menyambut tatapan itu. Entahlah, tentu saja tidak semua lelaki seperti itu. Ia pun siap jika Yang Maha Kuasa menjodohkannya dengan lelaki yang berusia lebih muda darinya. Ingatlah, Rasulullah lebih muda 15 tahun dari Bunda Khadijah, istri tercintanya. Level pendidikan juga tak jadi soal, asal agamanya jauh lebih baik darinya. “Dua puluh… tiga,” jawabnya terbata.

“Fitrah seorang perempuan itu adalah melahirkan generasi bagi umat ini, menjadi madrasah pertama anak-anaknya nanti. Sesukses apa pun nanti kau sebagai wanita karier, kau tetaplah seorang ibu yang memegang kunci peradaban. Mau jadi apa anak-anaknya kelak jika sang ibu tidak bisa mendidiknya dengan baik?” Ia menelan ludah, hambar.

“Apa jangan-jangan, kau belum pernah jatuh cinta? Belum pernah punya pacar?”

Jatuh cinta? Tentulah ia pernah merasakannya. Dua belas purnama yang lalu, rasa itu sempat menelikung hatinya, menghadirkan wewangi bunga Gardenia augusta yang bercampur aroma basah musim penghujan di dalam diorama hatinya. Perempuan mana yang tak tertawan akan perhatian? Lantas kemudian bayang-bayang lelaki itu berhasil menyandera segenap benaknya, siang dan malam.

“Kemudian, Mbak juga akan menyarankan kalian untuk menikah.” Nasihat sang guru mengaji justru membuatnya semakin uring-uringan. Tak semudah itu, Mbak… Pernikahan bukan semata perkara saling suka, namun juga penyatuan dua keluarga. Aku sudah tahu latar belakangnya, dan aku paham latar belakangku. Kami berbeda jauh. Sudah, titik. Maafkan jika pemaknaanku salah, Mbak. Seharusnya perbedaan bukan penghalang, namun bukankah sekufu itu juga hal yang tak boleh dilupakan?

Ibarat setangkai mawar rapuh yang tetap menjaga keindahan kuntum-kuntumnya dengan duri, ia tak ingin tangan manusia yang tak halal menjamah satu pun mahkotanya. Serendah-rendahnya ia di mata manusia, ia ingin tetap berharga di hadapan-Nya. Jangankan pacaran, bersitatap dengan lelaki bukan mahram saja ia sungkan. Siapalah lelaki yang berani mengganggunya? Hanya manusia naif yang lancang menggoda perempuan berkerudung lebar sepertinya.

Lantas, apa yang harus ia lakukan? Sebagai perempuan yang dihiasi penuh rasa malu ia hanya mampu menunggu, meski tak menutup kemungkinan kelak ia akan menjadi Khadijah masa kini, yang menawarkan diri pertama kali kepada Muhammad-nya nanti.

Merpati tak pernah ingkar janji, ia akan selalu pulang ke rumahnya sejauh apa pun sebelumnya ia terbang berkelana. Apalagi Allah Yang Maha Kuasa atas dirinya, sejauh apa pun jarak dan waktu yang tak menentu itu, akan dikembalikan-Nya ia kepada yang berhak—raga yang rusuknya harus ia lengkapi.

Ya Tuhanku, hanya pada-Mu tempat mengadu segala rindu
Limpahi aku kasih sayang-Mu
Dalam tahajud, cinta bersujud




16 September 2013

4 komentar:

Afrizal mengatakan...

Mbak mbak..
kok tulisannya gak bisa dicopy yachhhh????
mbaknya keren pasti jago IT yaaa??
HAHAHAHAAHAHAHA

SINI LU BAYAR ROYALTI nya lia mamen! hahaha

Lia Wibyaninggar mengatakan...

Royalti apaan? Orang gak ada perjanjian sebelumnya kok. Weekkk :P
Makasih ya Afi sholih. :)

Unknown mengatakan...

aamiin :)

"Tutukno sekolahmu dhisik. Sekolaho sak dhuwur-dhuwure yo Nduk, ben ora asor uripmu."

Lia Wibyaninggar mengatakan...

haha. Iya dong, iya dong. Mumpung masih mudaaaa.... lalala~