“Kadang berbagai peristiwa, juga kenangan terasa kejam, tapi tugas
pengarang adalah mengemas kisah-kisah itu dalam keterharuan, kebenaran
dan keindahan yang padu...”
-Helvy Tiana Rosa-
Beberapa hari sebelum deadline pengumpulan naskah ini, saya masih gamang menentukan alur cerita dari dua cerpen terakhir dari lima cerpen yang harus saya garap. Rasanya gusar sekali menatap layar laptop dan lembaran Ms. Word masih polos tanpa kata-kata. Buntu. Bukan! Bukan berarti saya tak punya ide. Ide itu tentu saja ada, banyak. Masih terpendam dalam sel abu-abu saya, belum dikeluarin. Nah, cara memancing ide itu terkadang dengan menulis kata-kata random seenaknya. Atau membaca karya orang sebagai bahan inspirasi.
Bagi saya, sore adalah waktu yang indah untuk menulis. Apalagi ketika hujan datang sore-sore. Aroma petrichor-nya sungguh menyentil saya untuk menumpahkan kata-kata. Allahumma shayyiban nafi'an. Maka, sore itu saya kembali mencoba berhadapan dengan layar laptop. Segalanya memang harus dipaksa dengan deadline. Senihil apapun mood bagus dalam diri saya, menulis adalah suatu kewajiban yang harus saya tunaikan. Sama ketika saya menulis skripsi dulu. Paling tidak, setiap hari saya telah menulis minimal empat halaman skripsi. Namun, semakin dirasa, menulis fiksi ternyata lebih susah daripada mengerjakan skripsi. Skripsi lebih sistematis, ada pembimbingnya, jika sudah menemukan masalahnya, mudah pula menganalisisnya. Sedangkan ketika berhadapan dengan fiksi (apalagi ada aturan maksimal 6 halaman dengan spasi dobel), saya harus lebih mengencangkan ikat pinggang. Bagaimana menyelami karakter-karakter yang saya ciptakan (kalau tokoh utamanya laki-laki, saya harus mengandaikan diri menjadi lelaki). Saya termasuk orang yang suka menulis banyak, berpanjang kata. Terkadang, cerpen saya melebihi 10 halaman. Nah, tentu saja saya harus memadatkan cerita menjadi 6 halaman saja, namun menjaganya agar tetap tak kehilangan ruh cerita. Bisa? Harus bisa!
Karena saya menulis di kala senja, di benak saya yang masih sesak tak ada kata lain selain "senja". Ya, senja yang telah mengilhami banyak pengarang untuk berkarya. Sebagaimana senja telah begitu banyak menjadi bahan cerita bagi Seno Gumira Ajidarma. Kemudian, dari satu kata itu mengalirlah kata-kata lainnya, dan cerita tercipta seiring kata-kata tertulis, tanpa rencana sebelumnya. Saya menikmati proses itu. Terkadang saya malah penasaran akan endingnya, ending yang belum saya rencanakan. Di sinilah imajinasi menjadi harta karun yang tak terbatas nilainya. Ketika imajinasi sudah mulai kerontang, saya mempraktekkan tips dari Pak Fahri Asiza, anggap saja tembok di depanmu adalah sebuah layar raksasa di mana kau menonton film buatanmu sendiri. Bayangkan adegan-adegan, dialog-dialog, serta panorama-panorama untuk dipindahkan ke dalam kata-kata.
Orang bilang, saya mahir menulis hal-hal romantis dan mengharukan. Terlepas dari opini yang mungkin ada benarnya itu, mengarang cerita bertema pernikahan bukanlah perkara gampang--segampang membacanya. Mungkin, memang tak butuh menjadi pengantin dulu untuk tahu serba-serbi dunia itu, sebab saya juga belum menikah. Cukup amati, tanyai, tuliskan. Namun, butuh sebuah perjuangan batin untuk menulis kisah-kisah haru, pun ketika teks itu sudah berhadapan dengan pembaca. Jika tulisan itu rendah kualitasnya, sayalah yang akan dituding untuk bertanggungjawab atasnya. Saya ingin menulis cerita yang tidak mainstream. Nilai-nilai relijiusnya ada, namun tak kentara, dengan tema yang luput dari perhatian penulis pada umumnya, yang sebenarnya ada dalam dunia nyata namun tak pernah dimasukkan dalam fiksi sebagai cerminan realita. Ya, sebenarnya inspirasi hanya perkara pandai-tidaknya kita memetik hikmah yang bertabur di setiap jengkal perkara hidup. Apa pun. Daun yang jatuh, sepatu jebol, kertas lecek, sarang laba-laba, juga botol bekas memiliki ceritanya masing-masing. Benda-benda sederhana itulah yang terkadang luput dari perhatian kita. Ketika kita berbicara inspirasi untuk menulis cerita roman, itu bukan cuma persoalan jatuh cinta atau patah hati saja, sebab cinta terlalu kompleks untuk hanya diterjemahkan menjadi "jatuh" atau "patah". #eeaaa :p
Sejauh ini, di samping berdoa, menulis adalah solusi atas segala gulana. Saya pikir, daripada nyetatus geje di FB, lebih baik ditumpahkan ke cerpen atau novel saja. Nanti itu akan lebih tinggi nilainya dibandingkan status yang dibaca sambil lalu. Pada akhirnya, cerita-cerita pernikahan itu pun sebagian merupakan tumpahan kegundahan penulisnya, meskipun tentu saja itu bukan kisah saya pribadi. Semuanya murni fiksi, buah dari imajinasi yang bercampur realita-realita di sekitar. Penilaian bagus-tidaknya sebuah karya, itu urusan pembaca nantinya. Yang jelas, saya sebagai penulis yang membidani lahirnya karya tersebut tak boleh dialmarhumahkan. Maka, benarlah kata Bunda Helvy Tiana Rosa, "Ketika sebuah karya selesai ditulis, maka pengarang tak mati. Ia baru saja memperpanjang umurnya lagi".
"Menulislah dengan keras kepala!" ujar sahabat saya. Sebab, seringkali ide-ide itu begitu membludak, sedangkan rasa malas menjadi yang merusakkan segalanya. Segala yang telah dimulai harus segera diakhiri. Agar waktu segera saya manfaatkan untuk hal lainnya (haduh, ini belum belajar untuk tes S-2. hehe).
Dari kelima cerita, ada yang aneh, lucu, sedih mengoyak, terlahir dari bening nurani, dipungut dari kepingan masa lalu. Sebab, menulis adalah bekerja untuk keabadian....
8 November 2013/4 Muharram 1435
Tidak ada komentar:
Posting Komentar