Belakangan,
sebuah pertemuan menjadi barang teramat mahal. Tak ternilai. Betapa tahun-tahun
terlewati dengan teramat singkat, bagai lintasan cahaya mentari di awal mula
pagi. Singkat, namun hangat. Empat tahun begitu cepat. Tiba-tiba segalanya
berkelindan, melintas-lintas di benak. Mereka-ulang bayangan yang timbul
tenggelam. Adegan demi adegan. Episode demi episode. Lantas berakhir pada satu
titik di mana pertama kali kita melempar senyuman dan beruluk salam,
selanjutnya bertautan tangan, berkenalan. Kau sebutkan namamu, begitu juga aku.
Berbincang, bercanda riang. Kita pribadi yang berbeda, tentu kau tak menafikkan
itu. Namun, untuk sebuah persaudaraan di jalan-Nya, tentu saja beda bukanlah
sebuah sengketa. Kita bernaung di bawah atap universitas yang sama, universitas
kehidupan. Kita berpeluk mesra dalam pendar cahaya ukhuwah atas dasar cinta
kepada Sang Maha. Maka, syukur—kata
yang jauh lebih dalam maknanya daripada terima
kasih, lebih patut diucap untuk pertemuan ini. Syukur kepada-Nya yang telah
mengatur pertemuan kita—wanita-wanita dunia yang sekaligus ingin merangkap
menjadi bidadari-bidadari bumi, Ia yang telah menautkan hati-hati kita untuk
saling mengingatkan dalam kebaikan.
Belakangan,
pertemuan menjadi barang teramat mahal. Susah digapai, susah dicapai. Mungkin
kita telah berada di tanah yang berbeda, suasana yang berbeda, lingkungan yang
juga berbeda. Pertemuan dan perpisahan, layaknya awal dan akhir, adalah dua hal
yang niscaya. Bukankah hati kita telah
lama menyatu dalam tali kisah persaudaraan Ilahi / selamat jalan, kawan.
Tetaplah berjuang, semoga kita bertemu kembali… Mendadak terngiang lagu
lama dari salah satu grup nasyid yang cukup populer itu. Kemudian, di hari-hari
yang baru, kita akan berhadapan dengan pertemuan yang baru, wajah-wajah baru,
sejuta cerita baru, dan perpisahan yang baru. Hidup adalah rotasi suka dan
duka, dan di antaranya cinta dan rindu menjadi bumbu. Untuk sebuah pertemuan
yang mahal harganya, ada rindu yang mengendap. Semakin lama, ia semakin
berkarat. Lalu, semua barang komunikasi canggih masa kini seakan hanyalah alat
pelipur lara tanpa menyembuhkan luka. Sebab, ada kata-kata yang tak bisa cuma
diwakili oleh sederet tulisan dalam layar monitor. Ada bilur-bilur kesedihan
dari bola mata yang tak bisa disaksikan dari layar telepon genggam. Ada sejuta
kekuatan harapan yang justru bisa dibangun dari genggaman tangan, bukan surat
elektronik. Ada kepingan-kepingan berharga yang bisa dibagi lebih
leluasa jika bertatap muka daripada sekadar surat panjang berlembar-lembar
halaman. Ada senyuman penawar resah yang tak bisa terwakili oleh emoticon
atau smiley dengan bentuk apa pun.
Untuk sebuah pertemuan yang mahal harganya, masing-masing
kita tak tahu menahu kapankah kembali bersua. Mungkin bertahun-tahun kemudian
usai melanjutkan alur hidup kita sendiri-sendiri, dengan kondisi yang telah
ribet dengan putra-putri, dengan perbincangan yang jauh dari dunia masa remaja.
Atau kita yang masih tetap merasa muda, memperbincangkan masa lalu dengan sama
sekali bukanlah hal tabu. Atau malah kemudian diam-diam menyanyi Sebiru Hari
Ini?
Jika pertemuan itu takkan pernah terjadi lagi nanti? Maka,
gemericik hujan yang mengalir tumpah ke atap rumah adalah saat yang indah untuk
saling berkirim hadiah: doa khusyuk dari masing-masing hati yang merindu
ukhuwah. Semoga istikamah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar