Sabtu, 07 Desember 2013

Harga Pertemuan





Belakangan, sebuah pertemuan menjadi barang teramat mahal. Tak ternilai. Betapa tahun-tahun terlewati dengan teramat singkat, bagai lintasan cahaya mentari di awal mula pagi. Singkat, namun hangat. Empat tahun begitu cepat. Tiba-tiba segalanya berkelindan, melintas-lintas di benak. Mereka-ulang bayangan yang timbul tenggelam. Adegan demi adegan. Episode demi episode. Lantas berakhir pada satu titik di mana pertama kali kita melempar senyuman dan beruluk salam, selanjutnya bertautan tangan, berkenalan. Kau sebutkan namamu, begitu juga aku. Berbincang, bercanda riang. Kita pribadi yang berbeda, tentu kau tak menafikkan itu. Namun, untuk sebuah persaudaraan di jalan-Nya, tentu saja beda bukanlah sebuah sengketa. Kita bernaung di bawah atap universitas yang sama, universitas kehidupan. Kita berpeluk mesra dalam pendar cahaya ukhuwah atas dasar cinta kepada Sang Maha. Maka, syukur—kata yang jauh lebih dalam maknanya daripada terima kasih, lebih patut diucap untuk pertemuan ini. Syukur kepada-Nya yang telah mengatur pertemuan kita—wanita-wanita dunia yang sekaligus ingin merangkap menjadi bidadari-bidadari bumi, Ia yang telah menautkan hati-hati kita untuk saling mengingatkan dalam kebaikan.

Belakangan, pertemuan menjadi barang teramat mahal. Susah digapai, susah dicapai. Mungkin kita telah berada di tanah yang berbeda, suasana yang berbeda, lingkungan yang juga berbeda. Pertemuan dan perpisahan, layaknya awal dan akhir, adalah dua hal yang niscaya. Bukankah hati kita telah lama menyatu dalam tali kisah persaudaraan Ilahi / selamat jalan, kawan. Tetaplah berjuang, semoga kita bertemu kembali… Mendadak terngiang lagu lama dari salah satu grup nasyid yang cukup populer itu. Kemudian, di hari-hari yang baru, kita akan berhadapan dengan pertemuan yang baru, wajah-wajah baru, sejuta cerita baru, dan perpisahan yang baru. Hidup adalah rotasi suka dan duka, dan di antaranya cinta dan rindu menjadi bumbu. Untuk sebuah pertemuan yang mahal harganya, ada rindu yang mengendap. Semakin lama, ia semakin berkarat. Lalu, semua barang komunikasi canggih masa kini seakan hanyalah alat pelipur lara tanpa menyembuhkan luka. Sebab, ada kata-kata yang tak bisa cuma diwakili oleh sederet tulisan dalam layar monitor. Ada bilur-bilur kesedihan dari bola mata yang tak bisa disaksikan dari layar telepon genggam. Ada sejuta kekuatan harapan yang justru bisa dibangun dari genggaman tangan, bukan surat elektronik. Ada kepingan-kepingan berharga yang bisa dibagi lebih leluasa jika bertatap muka daripada sekadar surat panjang berlembar-lembar halaman. Ada senyuman penawar resah yang tak bisa terwakili oleh emoticon atau smiley dengan bentuk apa pun.

Untuk sebuah pertemuan yang mahal harganya, masing-masing kita tak tahu menahu kapankah kembali bersua. Mungkin bertahun-tahun kemudian usai melanjutkan alur hidup kita sendiri-sendiri, dengan kondisi yang telah ribet dengan putra-putri, dengan perbincangan yang jauh dari dunia masa remaja. Atau kita yang masih tetap merasa muda, memperbincangkan masa lalu dengan sama sekali bukanlah hal tabu. Atau malah kemudian diam-diam menyanyi Sebiru Hari Ini?

Jika pertemuan itu takkan pernah terjadi lagi nanti? Maka, gemericik hujan yang mengalir tumpah ke atap rumah adalah saat yang indah untuk saling berkirim hadiah: doa khusyuk dari masing-masing hati yang merindu ukhuwah. Semoga istikamah.

Untuk sebuah reuni, kelak di jannah. Semoga.

Tidak ada komentar: