Kamis, 12 Desember 2013

Mengikat Cahaya



 Oleh: Lia Wibyaninggar






Duhai, adakah yang jauh lebih susah daripada memikul sepenggal istiqamah?

September yang basah mengawali perjumpaanku dengan gadis itu, parasnya yang jelita dan pandangan matanya yang tajam berbinar menandakan kecerdasannya, kerudung jingganya yang panjang menjuntai hingga ke dada mencirikan bahwa ia tentulah potret gadis salehah idaman muslim sejati. Bagaimanalah dia memandangku, si berandal ini? Dengan setengah ragu kuhampiri ia yang duduk tenang dengan Quran di hadapannya, beberapa menit kemudian tentu ia akan menyuruhku membaca ayat sekian sampai sekian. Bukan berarti aku grogi, aku bisa membaca kalam Tuhan itu meski terbata. Aku hanya curiga gadis itu akan menganggapku remeh-temeh. Mereka kan eksklusif, hanya bersahabat dengan sesamanya yang berjilbab serupa, sedangkan kepada anak-anak bandel yang jilbabnya hanya dipakai sekadarnya saja semacam diriku?
“Apa kabar, Dik?” Kuulurkan tanganku demi menyambut uluran tangannya. Senyumnya mengembang manis. Awal mulanya saja sok-manis, setelah ini? Mungkin aku ibarat manis hilang sepah dibuang. Cih!
“Baik, Mbak,” jawabku sekadarnya. Sebagai maba alias mahasiswa baru di kampus ini aku tahu diri, menghormati senior adalah keharusan.
Dan benarlah, setelah menanyaiku macam-macam, ia menyuruhku membaca Quran ayat sekian hingga sekian, bukan Alfatihah, bukan qulhu. Susah payah aku mengejanya, lama. Hm, semakin remeh-temehlah aku di matanya. Jangan-jangan setelah ini aku diperintahnya masuk TPA lagi seperti anak TK.
“Setelah ini dirutinkan mengajinya ya, Dik. Nanti lama-kelamaan insya Allah akan lancar. Ada sepuluh kebaikan di tiap hurufnya ketika kamu membaca Quran. Bukan tiap satu ayat, tapi tiap satu huruf. Di dalam sebuah hadis dikatakan bahwa sebaik-baik manusia adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya. Jadi, jangan sungkan untuk belajar, meski harus memulai lagi dari awal. Tidak ada kata terlambat untuk belajar.”
Aku mengangguk patuh, namun sejatinya kalimatnya hanya bagaikan permen karet manis yang hanya kusesap manisnya, tak bisa kutelan.
September yang basah... Senja menyisakan rintik-rintik hujan yang genangannya membasahi sepatu karetku. Kulangkahkan kakiku pulang seusai Placement Test Asistensi Agama Islam tadi.
“Kosmu di mana? Pulang bareng Mbak, yuk.” Diulurkannya payungnya kepadaku, menghalangi rintik-rintik gerimis itu membasahi kerudung tipisku.
“Jalan kaki juga, Mbak?” Ia mengangguk seraya tersenyum.
Uh, dugaanku salah. Kukira ia Sastra Arab, melihat model pakaiannya yang bak orang Arab itu. Ternyata ia satu jurusan denganku, Sastra Inggris. Ia semester tiga, sementara aku masih bayi merah di kampus ini. Tak dinyana, beberapa pekan kemudian, kutemukan namaku di kelompok mentoring putri nomor lima, dengan pemandu bernama Wardatul Jannah. Ya, Mbak itu, yang di hari pertama perjumpaanku dengannya ia mengantarku pulang dengan payungnya.
Minggu-minggu berlalu dengan perjumpaan rutin kami. Tiap pekan materinya selalu berbeda, namun ia bisa membawakannya dengan lancar, mengalir, ringan, bukan Islam yang terkesan angker, suram, apalagi mendoktrin kami dengan paham-paham menyesatkan. Ia sabar dan telaten mengajariku yang masih terbata mengeja ayat-ayat-Nya. Dibayar berapa? Gratis, katanya. Ganjarannya pahala dari sisi Allah yang Maha Pemberi Rizki. Aku mulai suka menelusuri hijaiyah di tiap baris kalam-Nya, kemudian membaca artinya pelan-pelan.
Perlahan, aku dan Mbak Jannah semakin sering makan bersama sepulang mentoring, atau sepulang kuliah. Kami membincangkan banyak hal, mulai dari materi kuliah yang terkadang sungguh memusingkan, isu-isu terkini di dunia Islam, hingga politik kampus. Dan hei, jilbabku sudah ikutan berubah. Aku lebih nyaman berjilbab seperti sekarang ini, yang kata Mbak Jannah sesuai tuntunan syar’i. Aku merasakan sendiri perbedaannya. Lebih adem, lebih aman dari godaan.
“Nggak bosan terus-terusan kuliah seperti itu-itu saja, Dik?”
Aku menghentikan kunyahanku. “Maaksuud Mbaak?” ucapku dengan mulut masih penuh.
“Betah jadi mahasiswa kupu-kupu, kuliah-pulang-kuliah-pulang?”
“Sebenarnya Karina ingin ikut teater, melanjutkan apa yang dulu Karin pernah ikuti semasa SMA. Bagaimana menurut Mbak?”
“Kalau teater bisa membuatmu menjadi insan yang lebih baik di mata Allah, tak apa-apa, ikut saja. Kalau tidak, pilihlah kegiatan yang jauh lebih baik untukmu, untuk agamamu, untuk orang-orang sekitarmu.”
Aku teringat pembahasan kami pekan lalu, tentang etika pergaulan dengan lawan jenis. Aku sudah tahu, dunia seni peran—seperti halnya seni-seni yang lain rawan jurang ikhtilat. Kampus kami pun nyentrik, penuh dengan orang-orang nyentrik, banyak perokok—tak peduli laki atau perempuan, lelaki-lelaki berambut gondrong, dari yang tak percaya tuhan hingga yang memakai cadar hitam-hitam semuanya ada di sana. Hati-hati. Ya, hati-hati memilih jalur. Bisa saja awalnya jalan mulus, namun ternyata ujungnya jurang dan aku tak tahu. Kukira Mbak Jannah akan lantas memprovokasiku untuk bergabung di rohis kampus, namun ternyata tidak.
“Kalau begitu, Karin ingin ikut rohis.” Ucapan itu meluncur begitu saja dari bibirku. Mbak Jannah tersenyum dikulum. Aku tahu ia juga pengurus inti rohis kampus kami selain mendampingi adik-adiknya di mentoring AAI.
“Pekan depan ada rekrutmen anggota baru, kau ambil saja formulirnya di musala.”
Begitulah, waktu menjadi saksi atas terbinanya ikatan kakak-adik angkat antara aku dengannya. Betapa naifnya aku dulu yang dipenuhi benih-benih prasangka buruk kepadanya. Sekarang, yang tersisa hanyalah rasa sayangku kepadanya. Ia, yang mengajariku untuk lebih baik dari hari ke hari, mengenalkanku pada keindahan persaudaraan dari rahim Islam. Ah, Mbak, berapa juta pahala yang kau terima? Kau mengajakku pada kebaikan.
Inilah Karina yang bermetamorfosa! Setelah beberapa lama nyemplung di rohis, aku mencicipi ladang dakwah baru di ‘ilmy dan siyasiy. Turut serta dalam pergerakan mahasiswa dan politik kampus. Kuda-kuda, kuliah-dakwah-kuliah-dakwah. Aku menikmati setiap tetes peluh yang ada atas hasil ikhtiar yang kulakukan. Aku mengagumi setiap kebersamaan yang kualami dengan para pendamba surga itu. Aku kini pantang berdekat-dekatan dengan hal-hal yang bisa melunturkan kecintaanku terhadap-Nya.

Tahun ketigaku kuliah. Beberapa pekan lalu Mbakku itu diwisuda. Ia memelukku untuk yang terakhir kalinya, bersiap pergi merantau ke ibukota. Pekerjaan dengan gaji sekian juta rupiah sebagai penerjemah sungguh menjanjikan. “Istiqamah ya, Dik,” bisiknya seraya melepas rengkuhannya. Aku tak kuasa menyembunyikan air mata.
Perjumpaan terakhir. Kata-kata terakhir. Setelah itu ia jarang menghubungiku. Tidakkah ia merasa rindu? Aku pun tak tahu.
***

Angin musim kemarau meniup ujung jilbab merah marunku. Rumah kontrakan berpagar hijau itu lengang. Mataku nyalang mendaratkan pandang pada setumpuk buku-buku tebal di sudut kamarnya. Telah setahun berselang. Aku masih menyimpan kagum terhadapnya. Ia tipikal perempuan aktivis yang cerdas. Kuliah pascasarjana dilakoninya sembari berkarir mengais rupiah. Aku yakin itu tidaklah mudah.
Buku-buku sosiolinguistik, teori terjemahan, filsafat ilmu, juga antropologi agama berserakan di lantai.
“Mbak sudah jarang ikut kajian rutin lagi?”
Ia menghentikan aktivitas mengetiknya sejenak. “Sibuk, Dik.”
“Tapi, Mbak berubah...” ucapku tanpa tedeng aling-aling.
“Manusia itu dinamis, Karin. Tidak ada manusia yang statis, kecuali dia sudah KO, mati. Well, hidup itu pilihan. Setiap manusia berhak menentukan pilihannya masing-masing.”
Ah ya, bukankah dulu kau juga yang mengajariku untuk berhati-hati menentukan pilihan? Mau masuk neraka atau masuk surga itu juga pilihan kan?
“Hidup ini tidak melulu surga-neraka. Kita harus menghadapi realita dengan logika. Cakrawala pengetahuan itu bukan cuma agama, sesekali kita butuh menengok ke yang lain.”
Ke mana pedoman hidup yang dulu ayat-ayatnya selalu kau hafal? Apakah sedemikian cepat menguap bersama waktu? Kau sekarang lebih senang menyantap buku-buku berideologi sekulerisme dan liberalisme daripada kitab-kitab sarat ilmu agama dari para ulama.
Ah, Mbak... Kurasa kau sekarang lebih cocok jadi artis ibukota, jilbabmu modis dan wajahmu penuh polesan make-up. Tak ada lagi jilbab syar’i yang rapi. Sekali menjajal tarik suara, kau mungkin sudah bisa menyaingi diva pop ternama.
Bumi selalu berputar sesuai porosnya, menghadirkan terang dan gelap bergantian. Dinamis. Namun, aku, kau, dan semua manusia ciptaan-Nya bukanlah Bumi yang bergonta-ganti siang-malam. Hari ini gelap, esok menjadi cahaya, lusa menjadi gelap lagi dan seterusnya.
“Hidayah itu bukan ditunggu, tapi dicari. Setelah dapat, dipertahankan.” Itu katamu dulu.
Tentu, aku akan mempertahankannya selama Dia masih memberiku usia. Aku telah susah payah mencarinya, akan kugenggam meski sukar adanya. Sukar, layaknya mengikat cahaya.
Ya Rabbi Yang Maha Membolak-balikkan Hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu...
Dan Mbak Jannah-ku, semoga rasa rindu akan mahabbah kepada-Nya segera menghampirimu kembali. Kalaupun aku tak bisa menggenggam erat dirimu, kuharap Ia senantiasa memelukmu. Semoga engkau tetap menjadi wardatul jannah, setangkai mawar surga, di mana kelak kita reuni di sana.
Matahari senja menebar cahayanya, mengiringi langkahku meninggalkan ibukota.

Allah bukalah hatiku, bimbing di jalan terang-Mu
selamatkanlah jiwa yang gelap dalam cahaya rahmat-Mu
Allah Kau Maha Cahaya, beri petunjuk sang jiwa
ampuni diri yang lelah, kadang sesat kumelangkah



Yogyakarta, 3 Juni 2013

Tidak ada komentar: