Oleh: Lia Wibyaninggar
Duhai, adakah yang jauh
lebih susah daripada memikul sepenggal istiqamah?
September yang basah mengawali perjumpaanku dengan gadis
itu, parasnya yang jelita dan pandangan matanya yang tajam berbinar menandakan
kecerdasannya, kerudung jingganya yang panjang menjuntai hingga ke dada
mencirikan bahwa ia tentulah potret gadis salehah idaman muslim sejati. Bagaimanalah dia memandangku, si berandal ini? Dengan setengah ragu
kuhampiri ia yang duduk tenang dengan Quran di hadapannya, beberapa menit
kemudian tentu ia akan menyuruhku membaca ayat sekian sampai sekian. Bukan
berarti aku grogi, aku bisa membaca kalam Tuhan itu meski terbata. Aku hanya
curiga gadis itu akan menganggapku remeh-temeh. Mereka kan eksklusif, hanya bersahabat
dengan sesamanya yang berjilbab serupa, sedangkan kepada anak-anak bandel yang jilbabnya hanya dipakai
sekadarnya saja semacam diriku?
“Apa kabar, Dik?” Kuulurkan
tanganku demi menyambut uluran tangannya. Senyumnya mengembang manis. Awal mulanya saja sok-manis, setelah ini? Mungkin aku ibarat manis
hilang sepah dibuang. Cih!
“Baik, Mbak,” jawabku sekadarnya. Sebagai maba alias
mahasiswa baru di kampus ini aku tahu diri, menghormati senior adalah
keharusan.
Dan benarlah, setelah menanyaiku macam-macam, ia
menyuruhku membaca Quran ayat sekian hingga sekian, bukan Alfatihah, bukan qulhu. Susah payah aku mengejanya, lama. Hm, semakin
remeh-temehlah aku di matanya. Jangan-jangan setelah ini aku diperintahnya
masuk TPA lagi seperti anak TK.
“Setelah ini dirutinkan mengajinya ya, Dik. Nanti lama-kelamaan insya Allah akan
lancar. Ada sepuluh kebaikan di tiap hurufnya ketika kamu membaca Quran. Bukan
tiap satu ayat, tapi tiap satu huruf. Di dalam sebuah hadis dikatakan bahwa
sebaik-baik manusia adalah yang mempelajari Alquran dan mengajarkannya. Jadi,
jangan sungkan untuk belajar, meski harus memulai lagi dari awal. Tidak ada
kata terlambat untuk belajar.”
Aku mengangguk patuh, namun
sejatinya kalimatnya hanya bagaikan permen karet manis yang hanya kusesap manisnya,
tak bisa kutelan.
September yang basah... Senja
menyisakan rintik-rintik hujan yang genangannya membasahi sepatu karetku. Kulangkahkan kakiku pulang seusai Placement Test Asistensi Agama Islam tadi.
“Kosmu di mana? Pulang bareng Mbak, yuk.” Diulurkannya
payungnya kepadaku, menghalangi rintik-rintik gerimis itu membasahi kerudung
tipisku.
“Jalan kaki juga, Mbak?” Ia
mengangguk seraya tersenyum.
Uh, dugaanku salah. Kukira ia Sastra Arab, melihat model
pakaiannya yang bak orang Arab itu. Ternyata ia satu jurusan denganku, Sastra
Inggris. Ia semester tiga, sementara
aku masih bayi merah di kampus ini. Tak dinyana, beberapa pekan kemudian, kutemukan namaku di kelompok
mentoring putri nomor lima,
dengan pemandu bernama Wardatul Jannah. Ya, Mbak itu, yang di hari pertama perjumpaanku dengannya ia mengantarku
pulang dengan payungnya.
Minggu-minggu berlalu dengan
perjumpaan rutin kami. Tiap pekan materinya selalu berbeda, namun ia bisa
membawakannya dengan lancar, mengalir, ringan, bukan Islam yang terkesan
angker, suram, apalagi mendoktrin kami dengan paham-paham menyesatkan. Ia sabar
dan telaten mengajariku yang masih terbata mengeja ayat-ayat-Nya. Dibayar
berapa? Gratis, katanya. Ganjarannya pahala dari sisi Allah yang Maha Pemberi
Rizki. Aku mulai suka menelusuri hijaiyah di tiap baris kalam-Nya, kemudian
membaca artinya pelan-pelan.
Perlahan, aku dan Mbak Jannah semakin sering makan
bersama sepulang mentoring, atau sepulang kuliah. Kami membincangkan banyak
hal, mulai dari materi kuliah yang terkadang sungguh memusingkan, isu-isu
terkini di dunia Islam, hingga politik kampus. Dan hei, jilbabku sudah ikutan
berubah. Aku lebih nyaman berjilbab seperti sekarang ini, yang kata Mbak Jannah
sesuai tuntunan syar’i. Aku merasakan sendiri perbedaannya. Lebih adem, lebih
aman dari godaan.
“Nggak bosan terus-terusan
kuliah seperti itu-itu saja, Dik?”
Aku menghentikan kunyahanku.
“Maaksuud Mbaak?” ucapku dengan mulut masih penuh.
“Betah jadi mahasiswa kupu-kupu, kuliah-pulang-kuliah-pulang?”
“Sebenarnya Karina ingin ikut
teater, melanjutkan apa yang dulu Karin pernah ikuti semasa SMA. Bagaimana
menurut Mbak?”
“Kalau teater bisa membuatmu
menjadi insan yang lebih baik di mata Allah, tak apa-apa, ikut saja. Kalau
tidak, pilihlah kegiatan yang jauh lebih baik untukmu, untuk agamamu, untuk
orang-orang sekitarmu.”
Aku teringat pembahasan kami
pekan lalu, tentang etika pergaulan dengan lawan jenis. Aku sudah tahu, dunia
seni peran—seperti halnya seni-seni yang lain rawan jurang ikhtilat. Kampus
kami pun nyentrik, penuh dengan orang-orang nyentrik, banyak perokok—tak peduli
laki atau perempuan, lelaki-lelaki berambut gondrong, dari yang tak percaya
tuhan hingga yang memakai cadar hitam-hitam semuanya ada di sana. Hati-hati.
Ya, hati-hati memilih jalur. Bisa saja awalnya jalan mulus, namun ternyata
ujungnya jurang dan aku tak tahu. Kukira Mbak Jannah akan lantas memprovokasiku
untuk bergabung di rohis kampus, namun ternyata tidak.
“Kalau begitu, Karin ingin ikut rohis.” Ucapan itu meluncur begitu saja dari
bibirku. Mbak Jannah tersenyum dikulum. Aku tahu ia juga pengurus inti rohis
kampus kami selain mendampingi adik-adiknya di mentoring AAI.
“Pekan depan ada rekrutmen
anggota baru, kau ambil saja formulirnya di musala.”
Begitulah, waktu menjadi saksi
atas terbinanya ikatan kakak-adik angkat antara aku dengannya. Betapa naifnya
aku dulu yang dipenuhi benih-benih prasangka buruk kepadanya. Sekarang, yang
tersisa hanyalah rasa sayangku kepadanya. Ia, yang mengajariku untuk lebih baik
dari hari ke hari, mengenalkanku pada keindahan persaudaraan dari rahim Islam.
Ah, Mbak, berapa juta pahala yang kau terima? Kau mengajakku pada kebaikan.
Inilah Karina yang
bermetamorfosa! Setelah beberapa lama nyemplung di rohis, aku mencicipi ladang
dakwah baru di ‘ilmy dan siyasiy. Turut serta dalam pergerakan
mahasiswa dan politik kampus. Kuda-kuda,
kuliah-dakwah-kuliah-dakwah. Aku menikmati setiap tetes peluh yang ada atas
hasil ikhtiar yang kulakukan. Aku mengagumi setiap kebersamaan yang kualami
dengan para pendamba surga itu. Aku kini pantang berdekat-dekatan dengan
hal-hal yang bisa melunturkan kecintaanku terhadap-Nya.
Tahun ketigaku kuliah.
Beberapa pekan lalu Mbakku itu diwisuda. Ia memelukku untuk yang terakhir
kalinya, bersiap pergi merantau ke ibukota. Pekerjaan dengan gaji sekian juta rupiah
sebagai penerjemah sungguh menjanjikan. “Istiqamah ya,
Dik,” bisiknya seraya melepas rengkuhannya. Aku tak kuasa menyembunyikan air
mata.
Perjumpaan terakhir. Kata-kata
terakhir. Setelah itu ia jarang menghubungiku. Tidakkah
ia merasa rindu? Aku pun tak tahu.
***
Angin musim kemarau meniup ujung jilbab merah marunku.
Rumah kontrakan berpagar hijau itu lengang.
Mataku nyalang mendaratkan pandang pada setumpuk buku-buku tebal di sudut
kamarnya. Telah setahun berselang. Aku masih menyimpan kagum terhadapnya. Ia
tipikal perempuan aktivis yang cerdas. Kuliah pascasarjana dilakoninya sembari
berkarir mengais rupiah. Aku yakin itu tidaklah mudah.
Buku-buku sosiolinguistik, teori
terjemahan, filsafat ilmu, juga antropologi agama berserakan di lantai.
“Mbak sudah jarang ikut kajian rutin
lagi?”
Ia menghentikan aktivitas mengetiknya
sejenak. “Sibuk, Dik.”
“Tapi, Mbak berubah...” ucapku tanpa tedeng
aling-aling.
“Manusia itu dinamis, Karin. Tidak ada
manusia yang statis, kecuali dia sudah KO, mati. Well, hidup itu
pilihan. Setiap manusia berhak menentukan pilihannya masing-masing.”
Ah ya, bukankah dulu kau juga yang
mengajariku untuk berhati-hati menentukan pilihan? Mau masuk neraka atau masuk
surga itu juga pilihan kan?
“Hidup ini tidak melulu surga-neraka.
Kita harus menghadapi realita dengan logika. Cakrawala pengetahuan itu bukan
cuma agama, sesekali kita butuh menengok ke yang lain.”
Ke mana pedoman hidup yang dulu
ayat-ayatnya selalu kau hafal? Apakah sedemikian cepat menguap bersama waktu?
Kau sekarang lebih senang menyantap buku-buku berideologi sekulerisme dan
liberalisme daripada kitab-kitab sarat ilmu agama dari para ulama.
Ah, Mbak... Kurasa kau sekarang lebih
cocok jadi artis ibukota, jilbabmu modis dan wajahmu penuh polesan make-up.
Tak ada lagi jilbab syar’i yang rapi. Sekali menjajal tarik suara, kau
mungkin sudah bisa menyaingi diva pop ternama.
Bumi selalu berputar sesuai porosnya,
menghadirkan terang dan gelap bergantian. Dinamis. Namun, aku, kau, dan semua
manusia ciptaan-Nya bukanlah Bumi yang bergonta-ganti siang-malam. Hari ini
gelap, esok menjadi cahaya, lusa menjadi gelap lagi dan seterusnya.
“Hidayah itu bukan ditunggu, tapi
dicari. Setelah dapat, dipertahankan.” Itu katamu dulu.
Tentu, aku akan mempertahankannya
selama Dia masih memberiku usia. Aku telah susah payah mencarinya, akan
kugenggam meski sukar adanya. Sukar, layaknya mengikat cahaya.
Ya Rabbi Yang Maha Membolak-balikkan
Hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu...
Dan Mbak Jannah-ku, semoga rasa rindu
akan mahabbah kepada-Nya segera menghampirimu kembali. Kalaupun aku tak
bisa menggenggam erat dirimu, kuharap Ia senantiasa memelukmu. Semoga engkau tetap menjadi wardatul
jannah, setangkai mawar surga, di
mana kelak kita reuni di sana.
Matahari senja menebar cahayanya,
mengiringi langkahku meninggalkan ibukota.
Allah bukalah hatiku, bimbing di jalan terang-Mu
selamatkanlah jiwa yang gelap dalam cahaya rahmat-Mu
Allah Kau Maha Cahaya, beri petunjuk sang jiwa
ampuni diri yang lelah, kadang sesat kumelangkah
Yogyakarta, 3 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar