Ketika
pertama kali menyelami karakter Qais yang majnun
(gila) dalam karya Nizami, sempat terlintas gagasan “nakal” di benak saya,
“Jangan-jangan yang menciptakan karakter Qais sama gilanya dengan yang
diciptakannya.” Wallahua’lam.
Lagipula, mana mungkin seorang yang tak genap akalnya bisa mencipta karya sastra
yang melegenda sekaliber Layla o Majnun.
Paulo Coelho yang populer dengan The
Alchemist-nya juga pernah dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya.
Menjadi
penulis memang berpotensi stres, mengingat banyaknya tantangan dan ujian yang
harus dihadapinya. Mulai dari pembajakan karya (belum menjadi penulis betulan
saja saya sudah pernah mengalami ini. Alhasil, sempat mutung nulis di laman virtual, takut dibajak lagi), penipuan oleh
penerbit (katanya mau diterbitin, mana?!), royalti terlambat, honor gak jelas,
gagal tembus media (baru ditolak dua kali saja saya sudah males “meneror” media online
itu lagi. Padahal saya rasa, banyak cerpen yang lebih abal-abal daripada cerpen
menye-menye saya dan itu dimuat. What the…. >_< *songong sekali.
Padahal naskah Harry Potter pun
pernah dicampakkan ke tong sampah oleh penerbit yang menolaknya), bolak-balik
suruh revisi (mau jadi penulis tapi masih gagap EyD bahasa sendiri? Oh, nggak
papa sih, itu ngasih pekerjaan ke editor namanya. Haha *pletak), belum
lagi pada proses menulisnya yang sering menghadapi gangguan mulai dari agenda
setting (saya terobsesi menciptakan setting Jepang, padahal belum pernah ke
sana. Nah-nah!), mood (mood itu diciptakan ya sodara, bukan ditunggu jatuh dari
langit, jadi kalo ada yang bilang dirinya moody-an,
terus jadi males ngapa-ngapain itu mah
lame excuse), dan juga kerusakan komputer. Wow! Betapa supernya para
penulis ini. Jauh lebih super daripada para pejuang skripsi. Asumsi saya bahwa
menulis novel jauh lebih susah daripada menulis skripsi itu mungkin memang ada
benarnya. Stres karena sesuatu itu sangat mungkin terjadi, namun tidak selalu
berujung pada gangguan jiwa.
Well, saya a lil’ bit tertegun dengan artikel yang
dimuat Kompasiana tentang gangguan
jiwa yang dialami para penulis dunia berikut ini:
Profesi penulis memiliki risiko
lebih tinggi mengalami kecemasan dan gangguan bipolar, skizofrenia, depresi
unipolar, dan penyalahgunaan zat, ungkap para peneliti di Institut Karolinska,
Swedia. Mereka hampir dua kali lebih mungkin dibandingkan masyarakat umum untuk
bunuh diri, demikian menurut sebuah studi terhadap lebih dari satu juta orang.
Gangguan bipolar adalah jenis
penyakit psikologi, ditandai dengan perubahan mood (alam perasaan) yang sangat
ekstrim, yaitu berupa depresi dan mania. Pengambilan istilah bipolar disorder
mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba
antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan
kesedihan (depresi) yang ekstrim.
Skizofrenia adalah gangguan
kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi
fungsi normal kognitif, emosional dan tingkah laku. Gangguan jiwa psikotik
paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan
menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan
delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang
pancaindra).
Gangguan Unipolar adalah gangguan
dalam suasana hati yang ditandai oleh beragam tingkatan kesedihan, kekecewaan,
kesepian, keraguan akan diri sendiri, dan rasa bersalah. Perasaan-perasaan ini
dapat menjadi sangat kuat dan bertahan dalam jangka panjang. Kegiatan
sehari-hari menjadi lebih sulit, namun si penderita mungkin masih bisa
mengatasinya.
Kepala penelitian Dr Simon Kyaga
mengatakan, sifat-sifat tertentu mungkin menguntungkan. Sebagai contoh,
gangguan bipolar mungkin memberikan fokus yang diperlukan dan semangat
kreativitas. Demikian pula, pikiran teratur berhubungan dengan skizofrenia
mungkin memicu unsur orisinalitas yang sangat penting dalam sebuah karya.
Contoh penulis yang pernah didiagnosis
mengalami gangguan mental, yakni:
Novelis Virginia Woolf, yang
menulis A Room of One’s Own dan To the Lighthouse, mengalami
depresi dan menenggelamkan dirinya hingga ajal merenggut.
Penulis dongeng Hans Christian
Andersen, yang menulis The Ugly Duckling dan The Little Mermaid,
mengalami depresi.
Penulis dan wartawan Ernest
Hemingway, yang menulis For Whom the Bell Tolls, mengalami depresi dan
bunuh diri dengan senapan.
Penulis dan dramawan Graham
Greene, yang menulis novel Brighton Rock, memiliki gangguan bipolar.
Wahai
penulis, tidakkah Anda gentar dengan penelitian ini?
(Benny Rhamdani)
(http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2013/07/11/penulis-beresiko-tinggi-alami-gangguan-kejiwaan-572648.html)
Saya
ingin menjawab: tidak sama sekali, Pak Benny! Hehe. Terkadang, menjadi penulis
memang butuh “gila”. Dee “Supernova” pernah berbagi rahasia menulisnya di akun twitter-nya. Dee mengungkapkan bahwa
ketika ingin menyelami karakter yang ia ciptakan, maka butuh nyemplung menjadi seperti karakter
tersebut. Lantas, apa yang Mbak Dee lakukan ketika menggarap karakter Elektra
dalam Supernova: Petir? Dee menjajal
disetrum listrik biar kayak Elektra (bagi yang sudah pernah baca Petir pasti kenal Elektra lah ya).
Ketika menyelami karya-karya Afifah Afra, kita pasti tahu bahwa beliau
spesialis fiksi sejarah. Setting yang beliau garap umumnya tidak jauh-jauh dari
masa kolonial Belanda (tengok saja trilogi Bulan
Mati di Javasche Oranje dan tetralogi De
Winst yang ketika membacanya kita serasa habis naik mesin waktu dan
terlempar ke masa lalu). Sebagai sarjana sains, jelas beliau tidak pernah
belajar sejarah secara formal di bangku kuliah. Apatah lagi bergumul dengan
teori-teori sastra dan menganalisa segambreng
karya sastra—meskipun absurd. Then, how? Tentu saja, explore! Harus banyak-banyak riset, baca
buku-buku sejarah, kalau belum pernah tahu bahasa Belanda ya harus mempelajarinya
demi penguatan karakter pada tokoh-tokoh yang dibikin. Gila, kan? Atau jika
anda juga penikmat karya-karya Seno Gumira Ajidarma, sang “maestro senja” itu,
tentu tahu jika beliau gemar memadukan cerita realis dengan spirit dongeng. Atau,
pernahkah bertanya-tanya bagaimana proses kreatif J.K. Rowling dalam menggarap Harry Potter-nya? Ya. Imagination. Semakin ke sini, saya
justru berpikir bahwa menjadi penulis
memang harus “gila”! Tergantung bagaimana kita memaknai “gila” itu sendiri.
Apakah yang berambut gondrong, kumal, khas penampilan seniman pada umumnya?
Sayang sekali, eksentrik tidak bisa lantas disamadengankan dengan gila atau
dikatakan indikasi terkena gangguan jiwa. “Ya” untuk gila membaca, gila
mengetik, gila meluaskan pengetahuan demi kualitas tulisan, gila berkarya demi
menunjukkan keseriusan kita. “Tidak” untuk gila yang berujung pada commit suicide atau menjadi tahanan
rumah sakit jiwa.
Penelitian-penelitian
di atas jelas berbanding terbalik dengan konsep yang saya yakini selama ini,
bahwa menulis justru merupakan terapi tersendiri untuk menghindari tekanan
mental atau gangguan jiwa. Ada kalanya kita butuh berdialog dengan diri
sendiri, dan menulis adalah media yang tepat untuk katarsis. Ini tidak terbatas
pada menulis diary saja, namun tak jarang fiksi merupakan sarana eskapisme bagi
para penulisnya, namun tidak untuk benar-benar lari dari realita. Dementor,
makhluk penghisap kebahagiaan yang diciptakan Rowling tak lain adalah
interpretasi masa-masa sulit yang pernah dilaluinya dalam hidup. Sefiksi apapun
itu, unsur ekstrinsiknya tak bisa diabaikan. Bahwa fiksi adalah cerminan
realita, pengarang adalah pemeran penting dalam cerita.
Jadi? Alangkah
pentingnya meluruskan niat. Menulis untuk apa dan untuk siapa. Jika ada
anggapan bahwa menciptakan fiksi adalah sesuatu yang tidak baik (karena rekaan
atau bohongan), tidak miriskah kita hidup di tengah kepungan karya-karya fiksi
rendah etika yang mengusung birahi? Sayang sekali jika karunia berupa limpahan
kemampuan sel abu-abu yang luar biasa
itu tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Negara Yahudi Raya yang bernama Israel barangkali tidak akan pernah ada seandainya seorang Benyamin Se’eb alias Theodore Herzl tidak menulis sebuah buku tipis bertajuk Der Judenstaat (The Jewish State). Bersama karya fiksinya yang berjudul Altneuland (Old New Land), buku ini menginspirasi jutaan orang Yahudi untuk bergerak mendirikan negara Israel dengan merampas hak-hak orang Palestina. Hari ini, ketika hampir seluruh hajat hidup kita dikuasai oleh Yahudi, masihkah engkau sibuk bergenit-genit menulis untuk mendapatkan tepuk tangan? Sudah saatnya menulis untuk perubahan. (kutipan tulisan Mohammad Fauzil Adhim dalam Inspiring Words for Writer)
Maka,
ketika para pengarang Barat jatuh dalam keterpurukan usai menamatkan
karya-karyanya, para pengarang yang rindu menyampaikan kebaikan terus mengasah
ketajaman penanya karena kehausannya pada ilmu.
Sebab,
setiap tetes tinta seorang penulis adalah darah bagi perubahan peradaban.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar