Minggu, 22 Desember 2013

Jadi Penulis (Fiksi) Rawan Terkena Gangguan Jiwa? [Boleh Tidak Dipercaya]




Ketika pertama kali menyelami karakter Qais yang majnun (gila) dalam karya Nizami, sempat terlintas gagasan “nakal” di benak saya, “Jangan-jangan yang menciptakan karakter Qais sama gilanya dengan yang diciptakannya.” Wallahua’lam. Lagipula, mana mungkin seorang yang tak genap akalnya bisa mencipta karya sastra yang melegenda sekaliber Layla o Majnun. Paulo Coelho yang populer dengan The Alchemist-nya juga pernah dianggap gila oleh orang-orang di sekitarnya.

Menjadi penulis memang berpotensi stres, mengingat banyaknya tantangan dan ujian yang harus dihadapinya. Mulai dari pembajakan karya (belum menjadi penulis betulan saja saya sudah pernah mengalami ini. Alhasil, sempat mutung nulis di laman virtual, takut dibajak lagi), penipuan oleh penerbit (katanya mau diterbitin, mana?!), royalti terlambat, honor gak jelas, gagal tembus media (baru ditolak dua kali saja saya sudah males “meneror” media online itu lagi. Padahal saya rasa, banyak cerpen yang lebih abal-abal daripada cerpen menye-menye saya dan itu dimuat. What the…. >_< *songong sekali. Padahal naskah Harry Potter pun pernah dicampakkan ke tong sampah oleh penerbit yang menolaknya), bolak-balik suruh revisi (mau jadi penulis tapi masih gagap EyD bahasa sendiri? Oh, nggak papa sih, itu ngasih pekerjaan ke editor namanya. Haha *pletak), belum lagi pada proses menulisnya yang sering menghadapi gangguan mulai dari agenda setting (saya terobsesi menciptakan setting Jepang, padahal belum pernah ke sana. Nah-nah!), mood (mood itu diciptakan ya sodara, bukan ditunggu jatuh dari langit, jadi kalo ada yang bilang dirinya moody-an, terus jadi males ngapa-ngapain itu mah lame excuse), dan juga kerusakan komputer. Wow! Betapa supernya para penulis ini. Jauh lebih super daripada para pejuang skripsi. Asumsi saya bahwa menulis novel jauh lebih susah daripada menulis skripsi itu mungkin memang ada benarnya. Stres karena sesuatu itu sangat mungkin terjadi, namun tidak selalu berujung pada gangguan jiwa.

Well, saya a lil’ bit tertegun dengan artikel yang dimuat Kompasiana tentang gangguan jiwa yang dialami para penulis dunia berikut ini:
Profesi penulis memiliki risiko lebih tinggi mengalami kecemasan dan gangguan bipolar, skizofrenia, depresi unipolar, dan penyalahgunaan zat, ungkap para peneliti di Institut Karolinska, Swedia. Mereka hampir dua kali lebih mungkin dibandingkan masyarakat umum untuk bunuh diri, demikian menurut sebuah studi terhadap lebih dari satu juta orang.
Gangguan bipolar adalah jenis penyakit psikologi, ditandai dengan perubahan mood (alam perasaan) yang sangat ekstrim, yaitu berupa depresi dan mania. Pengambilan istilah bipolar disorder mengacu pada suasana hati penderitanya yang dapat berganti secara tiba-tiba antara dua kutub (bipolar) yang berlawanan yaitu kebahagiaan (mania) dan kesedihan (depresi) yang ekstrim.
Skizofrenia adalah gangguan kejiwaan dan kondisi medis yang mempengaruhi fungsi otak manusia, mempengaruhi fungsi normal kognitif, emosional dan tingkah laku. Gangguan jiwa psikotik paling lazim dengan ciri hilangnya perasaan afektif atau respons emosional dan menarik diri dari hubungan antarpribadi normal. Sering kali diikuti dengan delusi (keyakinan yang salah) dan halusinasi (persepsi tanpa ada rangsang pancaindra).

Gangguan Unipolar adalah gangguan dalam suasana hati yang ditandai oleh beragam tingkatan kesedihan, kekecewaan, kesepian, keraguan akan diri sendiri, dan rasa bersalah. Perasaan-perasaan ini dapat menjadi sangat kuat dan bertahan dalam jangka panjang. Kegiatan sehari-hari menjadi lebih sulit, namun si penderita mungkin masih bisa mengatasinya.

Kepala penelitian Dr Simon Kyaga mengatakan, sifat-sifat tertentu mungkin menguntungkan. Sebagai contoh, gangguan bipolar mungkin memberikan fokus yang diperlukan dan semangat kreativitas. Demikian pula, pikiran teratur berhubungan dengan skizofrenia mungkin memicu unsur orisinalitas yang sangat penting dalam sebuah karya.

Contoh penulis yang pernah didiagnosis mengalami gangguan mental, yakni:
Novelis Virginia Woolf, yang menulis A Room of One’s Own dan To the Lighthouse, mengalami depresi dan menenggelamkan dirinya hingga ajal merenggut.
Penulis dongeng Hans Christian Andersen, yang menulis The Ugly Duckling dan The Little Mermaid, mengalami depresi.

Penulis dan wartawan Ernest Hemingway, yang menulis For Whom the Bell Tolls, mengalami depresi dan bunuh diri dengan senapan.

Penulis dan dramawan Graham Greene, yang menulis novel Brighton Rock, memiliki gangguan bipolar.

Wahai penulis, tidakkah Anda gentar dengan penelitian ini?
(Benny Rhamdani)
(http://kesehatan.kompasiana.com/kejiwaan/2013/07/11/penulis-beresiko-tinggi-alami-gangguan-kejiwaan-572648.html)

Saya ingin menjawab: tidak sama sekali, Pak Benny! Hehe. Terkadang, menjadi penulis memang butuh “gila”. Dee “Supernova” pernah berbagi rahasia menulisnya di akun twitter-nya. Dee mengungkapkan bahwa ketika ingin menyelami karakter yang ia ciptakan, maka butuh nyemplung menjadi seperti karakter tersebut. Lantas, apa yang Mbak Dee lakukan ketika menggarap karakter Elektra dalam Supernova: Petir? Dee menjajal disetrum listrik biar kayak Elektra (bagi yang sudah pernah baca Petir pasti kenal Elektra lah ya). Ketika menyelami karya-karya Afifah Afra, kita pasti tahu bahwa beliau spesialis fiksi sejarah. Setting yang beliau garap umumnya tidak jauh-jauh dari masa kolonial Belanda (tengok saja trilogi Bulan Mati di Javasche Oranje dan tetralogi De Winst yang ketika membacanya kita serasa habis naik mesin waktu dan terlempar ke masa lalu). Sebagai sarjana sains, jelas beliau tidak pernah belajar sejarah secara formal di bangku kuliah. Apatah lagi bergumul dengan teori-teori sastra dan menganalisa segambreng karya sastra—meskipun absurd. Then, how? Tentu saja, explore! Harus banyak-banyak riset, baca buku-buku sejarah, kalau belum pernah tahu bahasa Belanda ya harus mempelajarinya demi penguatan karakter pada tokoh-tokoh yang dibikin. Gila, kan? Atau jika anda juga penikmat karya-karya Seno Gumira Ajidarma, sang “maestro senja” itu, tentu tahu jika beliau gemar memadukan cerita realis dengan spirit dongeng. Atau, pernahkah bertanya-tanya bagaimana proses kreatif J.K. Rowling dalam menggarap Harry Potter-nya? Ya. Imagination. Semakin ke sini, saya justru berpikir bahwa menjadi penulis memang harus “gila”! Tergantung bagaimana kita memaknai “gila” itu sendiri. Apakah yang berambut gondrong, kumal, khas penampilan seniman pada umumnya? Sayang sekali, eksentrik tidak bisa lantas disamadengankan dengan gila atau dikatakan indikasi terkena gangguan jiwa. “Ya” untuk gila membaca, gila mengetik, gila meluaskan pengetahuan demi kualitas tulisan, gila berkarya demi menunjukkan keseriusan kita. “Tidak” untuk gila yang berujung pada commit suicide atau menjadi tahanan rumah sakit jiwa.

Penelitian-penelitian di atas jelas berbanding terbalik dengan konsep yang saya yakini selama ini, bahwa menulis justru merupakan terapi tersendiri untuk menghindari tekanan mental atau gangguan jiwa. Ada kalanya kita butuh berdialog dengan diri sendiri, dan menulis adalah media yang tepat untuk katarsis. Ini tidak terbatas pada menulis diary saja, namun tak jarang fiksi merupakan sarana eskapisme bagi para penulisnya, namun tidak untuk benar-benar lari dari realita. Dementor, makhluk penghisap kebahagiaan yang diciptakan Rowling tak lain adalah interpretasi masa-masa sulit yang pernah dilaluinya dalam hidup. Sefiksi apapun itu, unsur ekstrinsiknya tak bisa diabaikan. Bahwa fiksi adalah cerminan realita, pengarang adalah pemeran penting dalam cerita.

Jadi? Alangkah pentingnya meluruskan niat. Menulis untuk apa dan untuk siapa. Jika ada anggapan bahwa menciptakan fiksi adalah sesuatu yang tidak baik (karena rekaan atau bohongan), tidak miriskah kita hidup di tengah kepungan karya-karya fiksi rendah etika yang mengusung birahi? Sayang sekali jika karunia berupa limpahan kemampuan sel abu-abu yang luar biasa itu tidak dipergunakan dengan sebaik-baiknya.

Negara Yahudi Raya yang bernama Israel barangkali tidak akan pernah ada seandainya seorang Benyamin Se’eb alias Theodore Herzl tidak menulis sebuah buku tipis bertajuk Der Judenstaat (The Jewish State). Bersama karya fiksinya yang berjudul Altneuland (Old New Land), buku ini menginspirasi jutaan orang Yahudi untuk bergerak mendirikan negara Israel dengan merampas hak-hak orang Palestina. Hari ini, ketika hampir seluruh hajat hidup kita dikuasai oleh Yahudi, masihkah engkau sibuk bergenit-genit menulis untuk mendapatkan tepuk tangan? Sudah saatnya menulis untuk perubahan. (kutipan tulisan Mohammad Fauzil Adhim dalam Inspiring Words for Writer)

Maka, ketika para pengarang Barat jatuh dalam keterpurukan usai menamatkan karya-karyanya, para pengarang yang rindu menyampaikan kebaikan terus mengasah ketajaman penanya karena kehausannya pada ilmu.

Sebab, setiap tetes tinta seorang penulis adalah darah bagi perubahan peradaban.

Tidak ada komentar: