Yusuf:
Namamu adalah malam. Layla. Namamu pernah ditulis oleh pujangga kelas dunia sebagai seorang gadis jelita yang dimabuk cinta kepada kekasihnya; Qais. Namun sayang, aku bukan Qais yang mampu melihat pesona Layla yang memikat dunia dengan sekali kerlingannya. Aku tak peduli, entah namamu berarti malam atau siang yang benderang, kau tetaplah malam yang kelam bagiku.
Kau mungkin melati di musim semi, sedangkan aku padang rumput di musim
gugur. Kita berbeda. Kau mungkin jelita, dan
aku buruk rupa. Entahlah. Bagaimana aku dapat membayangkan wajahmu, sedangkan
mengetahui bagaimana rupaku saja aku tak mampu.
Bukan kebetulan, Layla. Ar-Rahmaan
memperjumpakan kita dengan jalan yang tak disangka-sangka. Kau yang meminta
guru ngajiku untuk dikenalkan denganku. Bagaimanalah aku tak merasa haru? Kau
yang lulusan universitas terbaik di negeri ini meminta bersanding dengan aku
yang hanya tamatan Madrasah Aliyah. Dan itu hebatmu, Layla. Tak memiliki akses
untuk melihat dunia bukan berarti menghalangimu untuk melihat cakrawala
keilmuan yang membentang luas.
Dan di hari itu, di hari pernikahan
kita, kuucap janji sakral yang menggetarkan gunung-gunung dan semesta. Maafkan
jika aku harus mengulanginya beberapa kali dengan suara yang gemetar. Bukan
main-main, perjanjian dengan Tuhan. Jika kelak aku tak bisa menjadi qawwam yang
baik bagimu, berdosalah aku.
Dengan gugup dan agak ragu, kuraba
kepalamu, lantas kuselipkan bunga yang aku tak tahu warnanya itu ke lipatan
kerudungmu. Aku hanya tahu ia harum semerbak. Semoga membuatmu semakin cantik.
Namamu adalah malam. Namun, kelak kita
akan bersama-sama menyalakan pelita. Percayalah!
Layla:
Cinta itu buta! Ya benar, cinta itu buta! Namun apakah dengan cara ini aku harus mencinta?
Bukankah Tuhan menciptakan segalanya
berpasangan? Lelaki-perempuan, jantan-betina, surga-neraka, siang-malam,
gelap-terang, baik-buruk, jelek-rupawan, dan seterusnya. Lantas, mengapa aku
harus dipasangkan denganmu? Setidaknya jika aku tidak bisa melihat, suamiku
adalah penglihatan yang mampu menuntunku ke mana-mana, melayaniku mengambilkan
macam-macam yang aku butuhkan.
Namun kami ternyata sama-sama dalam
kegelapan. Buta. Meraba-raba. Tak paham warna-warna di dunia.
Apakah kau setampan dan secerdas Yusuf
‘alayhissalam? Sedangkan aku bukanlah Zulaikha yang cantik dan kaya-raya.
Bagaimana aku dapat membayangkan wajahmu, sedangkan mengetahui bagaimana
parasku saja aku tak mampu.
Masalah jodoh dan berjodoh tentu
bukanlah perkara yang sederhana. Ini adalah ketentuan Yang Maha Kuasa. Allah
tidak sedang mengocok lotre lantas menentukan jodoh seseorang layaknya bermain
undian dalam arisan, bukan?
Senja itu, hujan menahan langkahku untuk
beranjak pergi dari Masjid At-Taqwa. Guntur menggelegar di langit Yogyakarta.
Pengajian sore sudah usai semenjak bermenit-menit yang lalu, namun aku belum
berani pulang. Kudekap tongkatku dan kugumamkan doa-doa penenteram kegelisahan
yang tiba-tiba meraja.
Ada yang sedang mendaras Quran di tengah
suara berisik hujan begini, suara merdu orang itu bersaing dengan deras hujan
yang jatuh ke atap masjid. Lama. Kukira ia membaca berjuz-juz, tak kunjung
selesai.
“Assalamu’alaykum.” Menurut
pendengaranku, jelas itu suara lelaki.
“Wa’alaykumussalam.”
“Masih menunggu apa di sini?”
“Masih hujan. Saya tidak bawa payung,
belum berani pulang.”
“Tahu sekarang jam berapa? Sepertinya
sudah hampir magrib. Atau mau sekalian salat di sini, Mbak?”
“Maaf, saya tidak bisa melihat. Saya
tidak tahu ini jam berapa.”
“Oh, maafkan saya. Bagaimana jika saya minta
tolong teman untuk mengantar anda pulang? Sepertinya hujannya bakal awet.”
Aku mengiyakan. Seorang perempuan paruh
baya bersuara lembut yang kemudian mengantarku pulang dengan motornya bercerita
bahwa ia adalah istri guru ngaji pria tadi. Ummi Yashinta, begitu ia menyuruhku
untuk memanggilnya.
Aku telah jatuh hati kepadamu ketika aku
sama sekali belum mengenalmu. Bahkan perihal namamu saja aku tak tahu. Aku—si
buta ini—hanya tahu bahwa kau sudah sedemikian baiknya menolongku. Mencarikan
seorang perempuan untuk mengantarku, sebab tentu kau ingin menjaga izzah
sebagai lelaki, kita bukan mahram. Terlebih, suaramu mendaras Quran yang
mirip-mirip Syekh Saad Said Al Ghamidi. Merdu sekali.
Tuhan, perempuan mana yang tidak
mendambakan imam yang baik bagi dirinya? Dan perempuan mana yang tidak tertawan
karena setitik perhatian dan akhlak santun yang lelaki tunjukkan?
Demikianlah kemudian lubuk hatiku
memintaku untuk mengenalmu. Usiaku dua puluh enam. Jika aku tak lekas berusaha
dan bersegera, lelaki baik mana yang akan bersedia menerima perempuan tunanetra
ini apa adanya? Bisa-bisa aku tertakdir bersama lelaki tak baik yang bisa saja
mencurangiku, toh jika ia menggandeng perempuan lain di depanku, aku tak akan
tahu. Naudzubillah…
Melalui Ummi Yash—wanita paruh baya yang
kau minta tolong mengantarku pulang ketika itu, kini ia kuminta tolong untuk
menjadi perantaraku denganmu, untuk bertaaruf.
Sekarang, adilkah Allah? Setelah kutahu
bahwa kau sama tuna-nya denganku, seolah Ia tidak mengizinkan aku untuk
bersanding dengan laki-laki normal sebagai pelengkap hidupku yang tak
sempurna—seakan runtuh semua pengharapanku, tertikam dalam sesal yang menyesak.
Kau menyambutku dengan suka-cita. Berlapangdada atas ketunaanku, ketunaan kami.
Apalagi setelah kutahu bahwa kau hafiz
semenjak setahun lalu, apa alasanku untuk menolakmu? Mungkin kau malah jauh
lebih hebat daripada orang-orang normal bergelar doktor maupun profesor namun
buta ayat-ayat Allah.
Yusuf:
Ini mungkin tak seberapa, namun sangat berharga. Penghasilanku sebagai guru honorer di madrasah memang tak seberapa (mungkin memang sulit dipercaya bahwa aku mampu mengajar di tengah keterbatasan), tapi lebih dari cukup untuk sekadar menghadiahimu Alquran braille sebagai mahar. Lewat itu kita bisa murajaah hafalan bergantian setiap hari. Tanpa tongkat, mungkin kita masih bisa berjalan meraba-raba. Namun, tanpa Alquran, sempurnalah kita menjadi insan buta yang tersesat di hutan belantara. Namun dengan Alquran di dada kita, kita memiliki pelita yang menyala abadi di dalam hati.
Tak perlu jeda waktu yang lama bagi Sang Maha Penggenggam Kehidupan untuk
memberi kita rezeki. Betapa harunya aku ketika jundi kecil pertama kita lahir
dengan tak kurang suatu apa. Sehat wal afiat, dan ia mampu menatap dunia!
Kuberi nama Ainun—cahaya mata untuk kedua orang tuanya.
Bukankah Allah Maha Adil, Layla? Ketika kita dianugerahi mata yang tak
bisa melihat, Dia karuniakan keturunan yang normal. Hari berbilang, bulan
berganti. Kau mengajarinya mengeja kata-kata, aku mengajarinya mengaji. Setiap
malam kita kisahkan kepadanya cerita nabi-nabi yang penuh hikmah dan patut
diteladani.
Ah, fabiayyi alaa-i rabbikuma tukadziban?
Layla:
Cangkok kornea? Meski kau berlagak menyembunyikannya dariku, namun aku yang tak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan ustaz nasional itu diam-diam mengetahui rencana indah kalian. Apakah itu membahagiakan untukmu, suamiku? Aku sungguh menghargai kebaikan ustaz yang telah mengorbankan waktunya demi mencarikan pendonor kornea untuk kita berdua. Lagipula, siapakah yang tidak ingin melihat dunia setelah sekian puluh tahun hidup dalam gulita? Hitam. Kelam. Kita tidak mengenal hijau, merah, kuning, pink, biru, ungu, abu, atau apapun itu. Hanya hitam selamanya! Aku tahu kau ingin terbebas dari semua itu, hingga kita bisa saling melihat. Kita bisa melihat rupa putri kecil kita yang selama ini hanya kita raba wajahnya, lantas kita cium ia dengan penuh cinta.
Namun apakah itu semua akan mendatangkan sejuta
kebaikan untuk kita? Apakah dengan mampu melihat dunia sudah tentu lebih baik
ketimbang menjadi tunanetra? Bukankah kau pernah berujar kepadaku tentang
bahaya mata, suamiku. Tidak menutup kemungkinan pandangan liar itu akan kita
lakukan, dan jelas kita tak ingin terlibat dalam zina mata, bukan? Maka, lebih
baik urungkan sajalah niatmu menerima tawaran itu.
Aku tak peduli lagi tentang tampan atau tak
tampan, rupawan atau tak rupawan. Sebab kita telah sama-sama saling melihat
dengan mata hati, bahwa kau tampan dengan kesalehanmu.
Aku mencintaimu meski dalam gulita, namun bukankah kita bersama-sama
menyalakan pelita? Al-Furqan tercinta yang tiap hari kita lantunkan
ayat-ayatnya. Pelita yang menerangi tiap-tiap hati. Dan harapan itu selalu
bersanding setiap kita menghafalkannya, harapan bahwa ia akan terterjemah dalam
perilaku kita, semoga.
Yusuf:
Maafkan aku, Layla. Sungguh, maafkan aku. Ketergesaanku telah mengaburkan nuraniku untuk tak gegabah menerima tawaran itu.
Aku juga tak peduli lagi tentang cantik
atau tidak cantik, jelita atau tak jelita. Sebab kita telah sama-sama saling
melihat dengan mata hati, bahwa kau jelita dengan salehahmu.
Sejenak kemudian, aku tersadar. Mengapa harus mengingkari nikmat
terindah yang pernah diberikan-Nya? Sedangkan tak semua manusia memiliki hal
ini, nikmat untuk berada dalam gulita. Sebab di sanalah kita akan semakin
mencintai cahaya, penerang, pelita yang menuntun langkah-langkah kita, menuju
jannah-Nya.
[PS: Cerpen ini ada dalam buku kompilasi kisah inspiratif sebuah persembahan cinta Mahar Cinta untuk Adinda. Berhubung bukunya tidak dipublikasikan secara luas, cerpen ini saya tulis ulang di blog ini. Dilarang meng-copy paste, mengklaim tulisan ini, atau membagikannya tanpa sumber yang asli atau tanpa seizin penulis. Terima kasih.]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar