Minggu, 03 Agustus 2014

KANATA


 -Lia Wibyaninggar-


“Kamu mau nikah, Fa? Kapan?” Iza yang sepengetahuanku tadi masih pergi berbelanja ke pasar dan tiba-tiba suaranya ada di belakang punggungku, tentu saja membuatku kaget. Deg! Pertanyaan itu lagi. Aku tertangkap basah sedang menulis cerita pernikahan di laptop bututku. Bukan true story, cuma fiksi men! Niatnya juga buat dikirim ke majalah, lumayan kan honornya, bisa ditabung buat biaya meni… eh?
“Iya dong. Siapa yang nggak mau?” Jawabku dengan songongnya.
“Nah, sudah ada jodohnya, belum?”
“Oh, tentu saja sudah.”
“Eh, serius, Fa? Siapa? Orang mana?”
Akh Fulan. Orang mana saja boleh. Tapi, semoga saja aku dapat Kanata.”
“Huuuu…! Dasar Difa. Kirain beneran. Kan kabar gembira buat teman sekontrakan.” Ia menggerutu seraya berlalu ke dapur.
“Ya benar kan, setiap orang itu sudah punya jodohnya sendiri-sendiri. Sudah ditulis di lauhul mahfuz sama Allah. Cuma, yaaa… belum tahu siapa.”
“Bercandamu nggak lucu!” Iza mencibir.
“Biarin, yang penting tadi kau tertipu.” Dia lantas mencak-mencak ingin menjitak kepalaku. Sudah biasa, berantem itu tanda rasa sayang kami satu sama lain. Aku dan Iza bagaikan saudara kembar tak identik, walaupun baru dipertemukan Allah di usia delapan belas tahun. Satu fakultas, beda jurusan, namun satu rumah kontrakan. Begitulah.
“Terus, gimana kabar Kanata-mu itu? Masih mengharapkannya?” Dia menggodaku lagi.
“Oh, baik-baik saja, insya Allah. Doakan saja aku segera ke Jepang, bertemu dengannya, kukenalkan Islam kepadanya, dia jadi pria mualaf dan kami menikah, then we live happily ever after. Lalala… Anda puas, Nona?” Seperti biasa, Iza hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku seperti ini. Hal ini juga yang kadang memicu pertengkaran kecil di antara kami. Baginya, aku tak lain dan tak bukan hanyalah muslimah freak yang serba absurd. Adalah hal yang super-duper janggal baginya jika ada cewek berjilbab lebar namun doyan baca manga, kecanduan nonton dorama, dan… tergila-gila dengan salah satu aktor Jepang lantas bermimpi suatu hari akan menjadi istrinya. Bah, itu sebuah khayalan utopis yang tak masuk akal. Aneh!
“Target menikahmu umur berapa?” Mbak Kiki—guru mengajiku adalah orang kesekian yang menanyaiku tentang itu. Aku bosan menjawab. Bosan pula mendapat reaksi yang menentang setelah mereka tahu jawabanku. Aku nggak mau nikah, kecuali setelah aku berhasil ke Jepang dan bertemu pemeran Izumi yang cakep itu.
“Belum tahu, Mbak. Saya ingin kuliah di luar negeri dulu, baru menikah.”
“Difa kan sekarang sudah 23 tahun. Nggak baik lho Dik menunda-nunda. Kalau Difa sudah siap dan bersedia, Mbak bisa membantu mencarikan segera, insya Allah. Nikah dulu aja, baru melanjutkan kuliah ke luar negeri. Bagaimana?”
“Eh.. uhm.. nanti Difa pikirkan lagi, Mbak.” Aku manyun. Menikah. Tiba-tiba perutku geli mendengar kata itu. A big NO-NO! Pantang menikah sebelum aku selesai kuliah. Memangnya kenapa jika aku sudah dua-tiga? Itu belumlah usia yang terlalu tua. Bulan depan aku wisuda sarjana. Rencananya, aku akan segera melanjutkan S-2 sambil mencari-cari beasiswa exchange ke Jepang. Aku sudah terlalu rindu dengan negeri itu, dan tentu saja kepada… Kanata. Uhuk!
“Nadifa.. Nadifa.. teman-temanmu udah banyak yang punya gandengan, bahkan banyak yang sebentar lagi punya momongan. Kok ya kamu masih betah melajang. Apa enaknya sih kuliah mulu? Bikin pusing. Nikah aja, enak. Terus punya anak. Hehe.” Rifda mencomot sepotong brownies yang kami cuekin semenjak sepuluh menit yang lalu.
Aku geram dalam diam. Maklum lah, akhwat di depanku ini pengantin baru, hobinya mengompori melulu. Apalagi sekarang menikah muda seolah menjadi tren. Namun, bukan Difa namanya kalau terprovokasi begitu saja.
“Punya anak kok enak? Nggak ah, repot! Aku tuh tipe yang masih suka haha-hihi kesana-kemari bersama teman-teman belajar bersama dengan ceria. Lagipula, cowok saleh mana yang cocok sama aku, Rif? Bisa-bisa nanti pas udah nikah dia nggak betah kucuekin karena aku lebih suka baca manga dan nonton dorama daripada pacaran dengannya,” sahutku asal.
“Ada tuh, si Ghossan! Marbot masjid kompleks seberang. Hahaha.”
“Ngaco! Di mana cocoknya? Ibarat yang satu sandal selop, yang satu sandal gunung, nggak bisa dipakai bareng.”
“Oh ya? Memangnya, kamu merasa cocok dengan si Kanata? Deu, ketemu aja belum pernah. Kamu ini salah satu sahabatku yang paling lucu, Fa.” Ia tergelak.
Kurasa, kosakata “lucu” yang dia gunakan barusan cuma sebagai pengganti kata “aneh” yang sebenarnya itu lebih cocok menjadi elemen dalam kalimatnya. Lagipula, aku sudah biasa dibilang “aneh”. Tak masalah. Aku tak akan berlari ke dapur dan kembali dengan menghunus pisau di depan orang yang bersangkutan. Aku tak akan mengancamnya dengan kata-kata “tarik ucapanmu atau pisau ini akan menghabisimu” kepadanya. Cukup belikan aku sepuluh manga di toko buku dan aku akan diam seribu bahasa. Hah, apa-apaan ini? Sudahlah, lupakan-lupakan.
“Ini misalnya lho ya. Jangan ngamuk dulu, Fa. Jika kamu memang tidak ditakdirkan untuk bertemu Kanata sebelum usia 30 bagaimana? Kamu mau nikah umur berapa? Jangan sampai kena julukan perawan tua, Fa.”
“Jangan remehkan mimpiku, Rif. Lihat saja, cepat atau lambat aku pasti ke Jepang. Kalau setelah masa tinggalku di Jepang nanti selesai dan aku belum bertemu Kanata, ya balik ke Indonesia saja sambil berusaha berlapang dada.
“Beneran? Halah, paling-paling nanti kamu ngunci diri di kamar, nangis tersedu-sedu sambil dengerin lagunya Laruku yang super rock ‘n roll itu. Haha. Nyentrik apa norak, Non?”
Sialan! Rifda masih saja ingat episode patah hatiku ketika aku mendapat nilai C di mata kuliah favoritku. Dia memergoki aku menangis bombay di kamar kontrakan kami sambil memutar lagu Laruku kencang-kencang. Niatnya biar tak terdengar suara tangisku, tapi aku yang teledor lupa mengunci pintu. Ketika dia pulang dan memutar gagang pintu, tralala... di pojokan ada aku dengan wajah sembab yang konyol dan.. sumpah, memalukan.
“Iya. Aamiin yaa Rabb. Kudoakan kamu bisa segera kuliah di sana,” ucapnya kemudian.
Dibandingkan dengan Iza, Rifda yang kalem ini masih lebih toleran dengan keanehanku dan ‘kelainan’ Japan addiction disorder yang kuderita. Iza sangat anti berdiskusi soal ‘ikhwan idaman’ denganku, sebab aku pasti akan menyangkut-pautkannya dengan Kanata lagi dan Kanata lagi. Ujung-ujungnya kami adu mulut (sebenarnya aku bisa adu ketangkasan dengan jurus karate, namun takut kalau dia kalah telak, babak belur dan aku jadi tersangka). Namun tetap saja, seheboh apa pun kami cek-cok, beberapa detik kemudian sudah rukun kembali. Hehe.
***
Pagi itu Mbak Kiki tiba-tiba saja menyodorkan selembar amplop cokelat ukuran kwarto kepadaku. Sebelum aku bersuara, ia sudah menjawab tanyaku. Mungkin ia agak khawatir melihat ekspresi wajahku yang dipenuhi tanda tanya.
Proposal Daisakusen. Eh, salah. Itu mah judul dorama. Haha. Amplop cokelat itu isinya… biodata laki-laki yang kata Mbak Kiki ingin taaruf denganku. Taaruf untuk menikah, bukan cuma kenalan dan korespondensi. Apaaaahhh? Aku bengong sekian menit lamanya. Aku bingung. Nggak percaya. Mbak Kiki salah ngasih, kali. Ikhwan seperti apa yang mau-mau saja bertaaruf denga akhwat geje sepertiku? Aku pening tiba-tiba. Sudah kubilang kemarin kan, aku nggak mau menikah dulu sebelum aku melanjutkan S-2 dan studi ke Jepang. Kenapa nggak dikasih ke akhwat lain saja, toh banyak yang sudah ngebet.
“Dibaca dulu saja Dik. Kesempatan nggak datang dua kali lho. Mbak tunggu jawabannya paling lambat dua minggu lagi ya.”
Minggu depan giliranku memakai toga. Aku sudah ancang-ancang daftar kuliah magister. Ada tawaran beasiswa yang sayang jika kulewatkan. Setelah itu harus segera menyusun penelitian-penelitian demi mengisi lowongan pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Kesempatan ini juga nggak datang dua kali. Dua minggu lagi? Yang benar saja, itu terlalu cepat. Aku belum ingin menikah. No offense! Titik.
Hari-hari berlalu dengan belajar demi meningkatkan skor TOEFL dan uji kemampuan bahasa Jepang-ku. Sesekali aku nyambi menulis untuk koran lokal mingguan dan mencari-cari kerja sambilan. Aku lupa tentang amplop cokelat yang diberikan Mbak Kiki seminggu sebelum aku wisuda. Setelah kulemparkan di tumpukan koran-koran, aku tak tahu benda itu masih ada atau sudah terbuang ke tukang daur ulang.
Beberapa pekan setelah kepindahanku ke ibukota, kutemukan amplop itu nyempil di antara tumpukan buku-buku kuliahku. Tiba-tiba ada rasa bersalah yang menggelayut. Aku mengabaikannya gara-gara fokus untuk tes S-2. Meskipun tak berminat, aku penasaran juga dengan isinya yang belum pernah kubuka. Bismillah...
Nama panggilannya Fatih. Ternyata masih satu kampus denganku. Heran, dari mana orang ini tahu tentang diriku? Ah iya, di era digital yang serba terbuka seperti ini bukan mustahil jika dia salah satu kepo-ers di akun dunia mayaku. Eh, suuzon! Hehe. Dan... ada fotonya segala. Aku hampir-hampir pingsan karena tak percaya. Bagaimana bisa? Aku terkesiap. Ya Rabb! Laki-laki berkacamata ini hampir tak ada bedanya dengan Izumi di Yankee-kun to Megane-chan. Mirip sekali... Kanata? Ah, jangan-jangan hanya tipuan kamera? Sejak kapan ada duplikat Kanata di Indonesia, sekampus denganku pula! Tidak-tidak. Sigap kucari ponsel untuk menghubungi Mbak Kiki.
“Difa ke mana saja? Sudah dua bulan yang lalu sejak Mbak memberikan biodatanya kepadamu. Karena Difa tidak segera memberikan jawaban, akhirnya dia memilih menikah yang lain, karena lusa dia akan berangkat ke Jepang untuk bekerja di sana.”
Aku lemas. Kanata...
***


[#CerpenNgocol ^__^]

Tidak ada komentar: