-Lia Wibyaninggar-
“Kamu mau nikah, Fa? Kapan?” Iza yang
sepengetahuanku tadi masih pergi berbelanja ke pasar dan tiba-tiba suaranya ada
di belakang punggungku, tentu saja membuatku kaget. Deg! Pertanyaan itu lagi. Aku tertangkap basah sedang menulis
cerita pernikahan di laptop bututku. Bukan true
story, cuma fiksi men! Niatnya juga buat dikirim ke majalah, lumayan kan
honornya, bisa ditabung buat biaya meni… eh?
“Iya dong. Siapa yang nggak mau?” Jawabku dengan
songongnya.
“Nah, sudah ada jodohnya, belum?”
“Oh, tentu saja sudah.”
“Eh, serius, Fa? Siapa? Orang mana?”
“Akh Fulan.
Orang mana saja boleh. Tapi, semoga saja aku dapat Kanata.”
“Huuuu…! Dasar Difa. Kirain beneran. Kan kabar
gembira buat teman sekontrakan.” Ia menggerutu seraya berlalu ke dapur.
“Ya benar kan, setiap orang itu sudah punya jodohnya
sendiri-sendiri. Sudah ditulis di lauhul
mahfuz sama Allah. Cuma, yaaa… belum tahu siapa.”
“Bercandamu nggak lucu!” Iza mencibir.
“Biarin, yang penting tadi kau tertipu.” Dia lantas
mencak-mencak ingin menjitak kepalaku. Sudah biasa, berantem itu tanda rasa
sayang kami satu sama lain. Aku dan Iza bagaikan saudara kembar tak identik,
walaupun baru dipertemukan Allah di usia delapan belas tahun. Satu fakultas,
beda jurusan, namun satu rumah kontrakan. Begitulah.
“Terus, gimana kabar Kanata-mu itu? Masih
mengharapkannya?” Dia menggodaku lagi.
“Oh, baik-baik saja, insya Allah. Doakan saja aku
segera ke Jepang, bertemu dengannya, kukenalkan Islam kepadanya, dia jadi pria
mualaf dan kami menikah, then we live
happily ever after. Lalala… Anda puas, Nona?” Seperti biasa, Iza hanya
menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkahku seperti ini. Hal ini juga yang
kadang memicu pertengkaran kecil di antara kami. Baginya, aku tak lain dan tak
bukan hanyalah muslimah
freak yang serba absurd. Adalah
hal yang super-duper janggal baginya jika ada cewek berjilbab lebar namun doyan
baca manga, kecanduan nonton dorama, dan… tergila-gila dengan salah
satu aktor Jepang lantas bermimpi suatu hari akan menjadi istrinya. Bah, itu sebuah khayalan utopis yang tak
masuk akal. Aneh!
“Target menikahmu umur berapa?” Mbak Kiki—guru
mengajiku adalah orang kesekian yang menanyaiku tentang itu. Aku bosan
menjawab. Bosan pula mendapat reaksi yang menentang setelah mereka tahu jawabanku.
Aku nggak mau nikah, kecuali setelah aku berhasil ke Jepang dan bertemu pemeran
Izumi yang cakep itu.
“Belum tahu, Mbak. Saya ingin kuliah di luar negeri
dulu, baru menikah.”
“Difa kan sekarang sudah 23 tahun. Nggak baik lho
Dik menunda-nunda. Kalau Difa sudah siap dan bersedia, Mbak bisa membantu
mencarikan segera, insya Allah. Nikah dulu aja, baru melanjutkan kuliah ke luar
negeri. Bagaimana?”
“Eh.. uhm.. nanti Difa pikirkan lagi, Mbak.” Aku
manyun. Menikah. Tiba-tiba perutku geli mendengar kata itu. A big NO-NO! Pantang menikah sebelum aku
selesai kuliah. Memangnya kenapa jika aku sudah dua-tiga? Itu belumlah usia
yang terlalu tua. Bulan depan aku wisuda sarjana. Rencananya, aku akan segera
melanjutkan S-2 sambil mencari-cari beasiswa exchange ke Jepang. Aku sudah terlalu rindu dengan negeri itu, dan
tentu saja kepada… Kanata. Uhuk!
“Nadifa.. Nadifa.. teman-temanmu udah banyak yang
punya gandengan, bahkan banyak yang sebentar lagi punya momongan. Kok ya kamu
masih betah melajang. Apa enaknya sih kuliah mulu? Bikin pusing. Nikah aja,
enak. Terus punya anak. Hehe.” Rifda mencomot sepotong brownies yang kami cuekin semenjak sepuluh menit yang lalu.
Aku geram dalam diam. Maklum lah, akhwat di depanku
ini pengantin baru, hobinya mengompori melulu. Apalagi sekarang menikah muda
seolah menjadi tren. Namun, bukan Difa namanya kalau terprovokasi begitu saja.
“Punya anak kok enak? Nggak ah, repot! Aku tuh tipe
yang masih suka haha-hihi kesana-kemari bersama teman-teman belajar bersama
dengan ceria. Lagipula, cowok saleh mana yang cocok sama aku, Rif? Bisa-bisa
nanti pas udah nikah dia nggak betah kucuekin karena aku lebih suka baca manga dan nonton dorama daripada pacaran dengannya,” sahutku asal.
“Ada tuh, si Ghossan! Marbot masjid kompleks
seberang. Hahaha.”
“Ngaco! Di mana cocoknya? Ibarat yang satu sandal
selop, yang satu sandal gunung, nggak bisa dipakai bareng.”
“Oh ya? Memangnya, kamu merasa cocok dengan si
Kanata? Deu, ketemu aja belum pernah.
Kamu ini salah satu sahabatku yang paling lucu, Fa.” Ia tergelak.
Kurasa, kosakata “lucu” yang dia gunakan barusan
cuma sebagai pengganti kata “aneh” yang sebenarnya itu lebih cocok menjadi
elemen dalam kalimatnya. Lagipula, aku sudah biasa dibilang “aneh”. Tak
masalah. Aku tak akan berlari ke dapur dan kembali dengan menghunus pisau di
depan orang yang bersangkutan. Aku tak akan mengancamnya dengan kata-kata
“tarik ucapanmu atau pisau ini akan menghabisimu” kepadanya. Cukup belikan aku
sepuluh manga di toko buku dan aku
akan diam seribu bahasa. Hah, apa-apaan ini? Sudahlah, lupakan-lupakan.
“Ini misalnya lho ya. Jangan ngamuk dulu, Fa. Jika kamu
memang tidak ditakdirkan untuk bertemu Kanata sebelum usia 30 bagaimana? Kamu
mau nikah umur berapa? Jangan sampai kena julukan perawan tua, Fa.”
“Jangan remehkan mimpiku, Rif. Lihat saja, cepat atau lambat
aku pasti ke Jepang. Kalau setelah masa
tinggalku di Jepang nanti selesai dan aku belum bertemu Kanata, ya balik ke
Indonesia saja sambil berusaha berlapang dada.”
“Beneran? Halah, paling-paling nanti kamu ngunci diri di
kamar, nangis tersedu-sedu sambil dengerin lagunya Laruku yang super rock ‘n
roll itu. Haha. Nyentrik apa norak, Non?”
Sialan! Rifda masih saja ingat episode patah hatiku
ketika aku mendapat nilai C di mata kuliah favoritku. Dia memergoki aku
menangis bombay di kamar kontrakan kami sambil memutar lagu Laruku
kencang-kencang. Niatnya biar tak terdengar suara tangisku, tapi aku yang
teledor lupa mengunci pintu. Ketika dia pulang dan memutar gagang pintu,
tralala... di pojokan ada aku dengan wajah sembab yang konyol dan.. sumpah,
memalukan.
“Iya. Aamiin yaa Rabb. Kudoakan kamu bisa segera kuliah
di sana,” ucapnya kemudian.
Dibandingkan dengan Iza, Rifda yang kalem ini masih lebih
toleran dengan keanehanku dan ‘kelainan’ Japan
addiction disorder yang kuderita. Iza sangat
anti berdiskusi soal ‘ikhwan idaman’ denganku, sebab aku pasti akan
menyangkut-pautkannya dengan Kanata lagi dan Kanata lagi. Ujung-ujungnya kami
adu mulut (sebenarnya aku bisa adu ketangkasan dengan jurus karate, namun takut
kalau dia kalah telak, babak belur dan aku jadi tersangka). Namun tetap saja,
seheboh apa pun kami cek-cok, beberapa detik kemudian sudah rukun kembali.
Hehe.
***
Pagi itu Mbak Kiki tiba-tiba saja menyodorkan
selembar amplop cokelat ukuran kwarto kepadaku. Sebelum aku bersuara, ia sudah
menjawab tanyaku. Mungkin ia agak khawatir melihat ekspresi wajahku yang
dipenuhi tanda tanya.
Proposal
Daisakusen. Eh, salah. Itu mah judul dorama. Haha.
Amplop cokelat itu isinya… biodata laki-laki yang kata Mbak Kiki ingin taaruf
denganku. Taaruf untuk menikah, bukan cuma kenalan dan korespondensi.
Apaaaahhh? Aku bengong sekian menit lamanya. Aku bingung. Nggak percaya. Mbak
Kiki salah ngasih, kali. Ikhwan seperti apa yang mau-mau saja bertaaruf denga
akhwat geje sepertiku? Aku pening
tiba-tiba. Sudah kubilang kemarin kan, aku nggak mau menikah dulu
sebelum aku melanjutkan S-2 dan studi ke Jepang. Kenapa nggak dikasih ke akhwat
lain saja, toh banyak yang sudah ngebet.
“Dibaca dulu saja Dik. Kesempatan nggak datang dua kali
lho. Mbak tunggu jawabannya paling lambat dua minggu lagi ya.”
Minggu depan giliranku memakai toga. Aku sudah
ancang-ancang daftar kuliah magister. Ada tawaran beasiswa yang sayang jika
kulewatkan. Setelah itu harus segera menyusun penelitian-penelitian demi
mengisi lowongan pertukaran mahasiswa ke luar negeri. Kesempatan ini juga nggak
datang dua kali. Dua minggu lagi? Yang benar saja, itu terlalu cepat. Aku belum
ingin menikah. No offense! Titik.
Hari-hari berlalu dengan belajar demi meningkatkan skor
TOEFL dan uji kemampuan bahasa Jepang-ku. Sesekali aku nyambi menulis untuk
koran lokal mingguan dan mencari-cari kerja sambilan. Aku lupa tentang amplop
cokelat yang diberikan Mbak Kiki seminggu sebelum aku wisuda. Setelah
kulemparkan di tumpukan koran-koran, aku tak tahu benda itu masih ada atau
sudah terbuang ke tukang daur ulang.
Beberapa pekan setelah kepindahanku ke ibukota, kutemukan
amplop itu nyempil di antara tumpukan buku-buku kuliahku. Tiba-tiba ada rasa
bersalah yang menggelayut. Aku mengabaikannya gara-gara fokus untuk tes S-2.
Meskipun tak berminat, aku penasaran juga dengan isinya yang belum pernah
kubuka. Bismillah...
Nama panggilannya Fatih. Ternyata masih satu kampus
denganku. Heran, dari mana orang ini tahu tentang diriku? Ah iya, di era
digital yang serba terbuka seperti ini bukan mustahil jika dia salah satu kepo-ers
di akun dunia mayaku. Eh, suuzon! Hehe. Dan... ada fotonya segala. Aku
hampir-hampir pingsan karena tak percaya. Bagaimana bisa? Aku terkesiap. Ya
Rabb! Laki-laki berkacamata ini hampir tak ada bedanya dengan Izumi di
Yankee-kun to Megane-chan. Mirip sekali... Kanata? Ah, jangan-jangan hanya
tipuan kamera? Sejak kapan ada duplikat Kanata di Indonesia, sekampus denganku
pula! Tidak-tidak. Sigap
kucari ponsel untuk menghubungi Mbak Kiki.
“Difa ke mana saja? Sudah dua bulan yang lalu sejak Mbak
memberikan biodatanya kepadamu. Karena Difa tidak segera memberikan jawaban,
akhirnya dia memilih menikah yang lain, karena lusa dia
akan berangkat ke Jepang untuk bekerja di sana.”
Aku lemas. Kanata...
[#CerpenNgocol ^__^]
***
[#CerpenNgocol ^__^]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar