“Harapan adalah langit luas bertabur gemintang. Kau
pernah menulis begitu dulu, Kenanga.”
“Aku mengutip dari buku lain yang entah—aku lupa
judulnya.”
“Jadi, harapan selalu bersemayam di tempat yang
tinggi? Setinggi angkasa? Bintang-bintang itu yang ingin kau petik? Mana
sayapmu? Tak ada.” Seruni menertawakan candaannya sendiri yang sama sekali tak
lucu.
“Iya, harapan selalu bersemayam di tempat yang
tinggi, sangat tinggi, paling tinggi. Tak ada harapan yang bersemayam di tempat
rendah, apalagi hanya setinggi atap rumah. Kau menemukan apa di sana? Sarang
laba-laba?” Kenanga mengejek.
“Harapan adalah ruh yang nyalanya membuat kita
bertahan untuk tetap hidup. Tak ada harapan lagi, kau mati. Harapan itulah yang
membuat kita mampu berdiri, berlari, atau bahkan terbang tinggi—meskipun kau
tak punya sayap. Bintang-bintang itu adalah keinginanmu, mereka semua indah,
berkilau. Alangkah bahagia jika bisa memilikinya satu saja dalam hidup.”
“Tidakkah menakutkan berharap terlampau tinggi,
Kenanga? Bagaimana jika apa yang kau ingini tidak bisa terpenuhi, sedangkan kau
sudah terlanjur melambungkan segepok harap sebelumnya. Tidakkah kau takut jatuh
berdebam ke tanah, terluka, dan sakit?”
“Maksudmu?” Kenanga menatap Seruni. Mereka sudah
sama-sama dewasa untuk memahami urusan-urusan perasaan.
“Aku tak bisa mengingkari bahwa dia baik. Satu
inginku, semoga kelak ia menggenapi diriku yang ganjil.”
“Lantas?”
“Ia begitu sulit, begitu melangit. Ketakutan
terbesarku adalah.. harapan itu tinggal harapan. Untuk apa melabuhkan harap
kepada sosok yang tak pernah mengharapkan kita? Tak ubahnya mengejar bayanganmu
sendiri. Hasilnya tak ada, hampa, kecuali kau lelah sendiri.”
“Sebab kau menggantungkan harap terlalu rendah.
Ruang bagi harapanmu terlalu sempit.”
“Aku tak mengerti.”
“Coba kau teliti lagi bait-bait tulisan ini.” Seruni
menerima buku itu, Dalam Dekapan Ukhuwah.
Membersamai orang-orang saleh memang perintah Allah, memang keniscayaan bagi ikrar takwa. Tetapi meletakkan harapan atau menggantungkan kebaikan diri padanya, pada sosok itu, adalah kesalahan dan kekecewaan…Seorang sahabat berkata padaku, “Aku ingin menikah dengannya… Hanya dengannya…” Aku bertanya mengapa. “Agar ia menjadi imamku, agar ia membimbingku, agar ia mengajariku arti ikhlas dan cinta, agar ia membangunkanku salat malam, agar ia membersamaiku dalam santap buka yang sederhana.”“Ah, itulah masalahnya,” kataku. Dan dia kini tahu bahwa khawatirku benar, bahwa sosok lelaki penyabar yang dia kenal juga bisa marah, bahkan sering. Bahwa sosok lelaki saleh yang dia damba kadang sulit dibangunkan untuk salat subuh berjamaah. Bahwa lelaki yang menghafal juz-juz Alquran itu tak pernah menyempatkan diri mengajarinya a-ba-ta-tsa.“Ah, itulah masalahnya.” Semakin mengenali manusia, yang makin akrab bagi kita pastilah aib-aibnya, sedang mengenali Allah pasti membuat kita mengakrabi kesempurnaan-Nya. Maka gantungkanlah harapan dan segala niat untuk menjadi baik hanya pada-Nya, hanya pada-Nya. Jadilah ia tali kokoh yang mengantar pada bahagia dan surga.
“Jadi?”
“Kau meletakkan harapan terlalu rendah, kepada
sesama manusia penuh kekurangan yang sama rendahnya dengan diri kita sendiri.
Sedangkan jika kita analogikan gemintang itu sebagai harapan-harapan, jelas
mustahil menyejajarkannya dengan manusia biasa yang sama-sama menjejak bumi
seperti kita. Harapan hanya boleh disemayamkan di tempat yang tinggi, sangat
tinggi, paling tinggi. Arsy-Nya.” Kenanga melayangkan pandang ke kanvas raksasa
yang semakin mengelam di atas sana, ramai benda langit, termasuk bulan yang
pongah di malam purnama.
“Seberapa banyak harapanmu?” tanya Seruni kemudian.
“Sebanyak bintang-bintang itu.”
“Semilyar?”
“Selaksa.”
“Mengapa bukan sejuta, seribu, atau semilyar?
Mengapa harus selaksa?”
“Bintang-bintang tak bisa dikalkulasi oleh
pengetahuan manusia setinggi apapun jenjang pendidikannya, maka kubilang
selaksa.”
Mereka saling melempar senyum. Ah, malam, jangan dulu berlalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar