“If the hearts
are pure, they will never have enough from reciting Allah’s words (The Quran)”
–Utsman ibn Affan (r.a.)
Telah beberapa bulan (semenjak saya mulai memiliki fasilitas
WhatsApp di smart phone) saya memiliki rutinitas baru setiap harinya:
ngODOJ. Berawal dari ajakan salah seorang sahabat (seperti halnya kemalasan,
kebaikan sungguh sangat bisa menular layaknya virus). Saya iri, betapa asyiknya
dia baca Quran sehari berkali-kali--nggak kayak saya yang malas-malasan ini,
paling cuma beberapa lembar sehabis salat magrib, atau setelah salat subuh, astaghfirullah.
Betapa asyiknya dia bisa baca surat cinta-Nya di mana saja, pun ketika kami
sedang dalam perjalanan di atas commuter line. Tersindir telak, saya ini
pembaca buku yang bisa dibilang rajin. Lihatlah, betapa banyak jumlah read,
apalagi wishlist saya di Goodreads (socmed buat para pencandu
buku), ratusan. Kalau niat, saya bisa habiskan satu novel yang jumlah
halamannya seratusan dalam sehari. Kalau sudah terlanjur suka dengan novel
tersebut, saya bisa baca berulangkali hingga hafal alur ceritanya,
tokoh-tokohnya, kata-kata "mutiara"-nya. Sedangkan, baca tuntunan
hidup? Olala. Ada suatu titik di mana saya merasa menjadi muslimah yang sangat
naif, nggak balance antara cover dan hati. Sekeras apa hati saya
sampai baca Quran saja ogah-ogahan? Maka mulailah saya menata niat, Allah Yang
Maha Tahu Perkara Hati, hamba-Mu ingin lebih baik dari hari ke hari. Aku tidak
ingin hidup terasing bergelimang ilmu dunia, gelar berderet, namun jauh dari
orang-orang saleh-salehah.
Beberapa hari setelah mendaftar via online, saya dapat
kelompok baru. 1496. Ada 31 perempuan di dalamnya (tentu saja nggak boleh
dicampur sama laki-laki. haha). 1 admin dan 30 anggota grup. Jumlah 30 orang
ini disesuaikan dengan jumlah juz dalam Alquran, supaya pembagiannya gampang.
Tiap orang dapat jatah satu juz per hari, dan harus menyelesaikan tilawah dalam
kurun waktu yang disepakati. Setiap grup ODOJ memiliki waktu yang berbeda-beda,
namun tetap 24 jam. Kami menyepakati waktu tilawah mulai pukul 20.00-20.00
setiap harinya, kecuali bulan Ramadan kemarin, karena adanya kesibukan
menjelang berbuka serta ibadah di malam harinya, maka waktu tilawah diganti
menjadi 15.00-15.00. Karena kami makhluk istimewa yang setiap bulan kedatangan
tamu istimewa, bagi yang tidak tilawah ketika berhalangan maka jatah juznya
akan dilelang kepada siapa saja yang nggak junub dan bersedia baca lebih dari
satu juz. Sebagai gantinya, yang sedang berhalangan boleh tasmi',
mendengarkan murattal, atau membaca terjemahan/tafsir Quran. Yang jelas, sehari
pun kami tidak boleh lepas dari interaksi dengan Quran.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu, satu bulan berjalan. Alangkah
ajaibnya ukhuwah di grup itu. Kami semua belum pernah bertatap muka sama sekali.
Kami hanya saling tahu nama dan domisili. Namun, sehari pun tak pernah terlewat
tanpa chat motivasi, semangat, tausyiah, dari teman-teman satu grup.
Kadang, tawa dan canda menjadi penyelingnya. Rabbi, perkenankan kami menjadi
sekelumit dari sekian bidadari bumi yang dirindu surga-Mu nan abadi. Sungguh,
kami masih tertatih mencintai kalam cinta-Mu yang kami telusuri baris-barisnya
saban hari.
Namun, adakah yang jauh lebih susah, daripada memikul sepenggal istikamah?
Jika tiga hari tidak ada kabar, maka otomatis akan
dikeluarkan dari grup (kecuali ada alasan yang syar’i). Peraturan ini menguji
sejauh mana kami semua mampu bertahan. Saya optimis, saya mampu sampai akhir—entah
kapan. Namun, satu demi satu mulai di-remove, diganti dengan anggota
baru, hal ini bukan sekali-dua kali. Berkali-kali. Hingga saya bingung
menyesuaikan dengan teman-teman baru lagi karena anggota grup yang silih
berganti. Status kami memang bermacam-macam, mayoritas masih single,
namun banyak juga yang sudah berkeluarga dan memiliki anak kecil. Para single
pun bukan pengangguran semata, kami mahasiswi, pelajar, juga pekerja yang
sibuk. Saya mulai gamang, mulai paranoid. Bolehlah sekarang aktivitas saya
hanya kuliah, itu pun hanya tiga hari (namun terkadang saya minta tambahan
waktu menyelesaikan tilawah atau kholas jika ada kuliah malam), tapi
bagaimana jika nanti semua kedamaian ini bubrah ketika negara api
menyerang (baca: pekerjaan)? Terkadang, kuliah saja sudah menyita waktu dan
pikiran (juga perasaan). Pernah suatu kali saya harus wara-wiri dari Depok ke
Jakarta karena suatu hal, lupa membawa mushaf kesayangan, perjalanan yang tidak sebentar
mengikis alokasi waktu tilawah saya, pulang-pulang sudah pukul delapan malam.
Bagaimanalah nanti kalau sudah kerja? Bangun pagi-pagi, kejar-kejaran dengan
waktu, berdesak-desakan dengan ratusan pekerja lain di commuter line. Ya
kalau tidak bertemu rush hours, mungkin saya masih bisa tilawah di commuter
line, kalau rush hours, impossible! Membayangkan berdesakan di
kereta saja sudah trauma, nggak mau lagi! Paranoia! Saya tidak mau hal
mengerikan itu terjadi, menomorsatukan pekerjaan karena takut pada atasan, dan
menomorsekiankan Allah dan Alquran.
“Aku biasanya cuma kuat baca beberapa ‘ain, Li,”
lontarnya ketika saya mengajaknya bergabung dengan ODOJ. Sahabat seperjuangan
saya di Jogja itu memang sudah kerja, di tempat yang bisa dibilang ‘tak biasa’
pula. Kuharap pekerjaan bukan alasan utamamu, Dear. Satu juz itu
sebenarnya tak banyak. Jika lidah kita sudah terbiasa, ia hanya butuh sekitar
45 menit saja. Saya tercengang ketika satu-dua teman-teman ODOJ saya semangat
tilawahnya luar biasa. Di Ramadan penuh cinta, bukan lagi sehari satu juz,
bahkan ada yang tilawah hingga lima sampai sepuluh juz sehari. Masya Allah.
Saya hanya khatam sekali di Ramadan itu. Sehari paling tidak dua juz.
Saya patut iri kepada mereka. Sebaliknya, di belahan bumi yang sama, tempat
saya berpijak, masih ada insan-insan yang jauh (atau menjauhkan diri?) dari-Nya.
Bersujud saja enggan apalagi mengeja kalam tuhan dengan hati yang lapang. Mereka
pengejar dunia yang lupa berterima kasih kepada yang memberi nikmat kepadanya
saban harinya, setiap detiknya. Saya patut heran kepada mereka. Semoga Allah segera
karuniakan cahaya di hati-hati yang masih tertutup. Juga kepada hati-hati yang
telah berikrar mendekap cahaya, semoga ia tak akan bosan-bosannya, berteguh
hati hingga nanti, di suatu masa yang sudah pasti.
Grup ODOJ hanyalah sarana. Mungkin itu hanya salah satu dari
sekian banyak sarana untuk mendekat kepada-Nya. Mungkin banyak yang sudah
ODOJ-ers tanpa harus bergabung dengan ODOJ. Namun, bagi saya, yang notabene
cenderung mudah tertiup angin jika sendiri tanpa teman-teman yang menopang,
mereka lebih dari sekadar sarana. Wallahua’lam.
Allahummarhamna bil Quran...
NGAOS (Ngaji On the Street) ODOJers Jakarta - Depok at Taman Monas |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar