Sabtu, 20 September 2014

Saya dan ODOJ

“If the hearts are pure, they will never have enough from reciting Allah’s words (The Quran)” –Utsman ibn Affan (r.a.)

Telah beberapa bulan (semenjak saya mulai memiliki fasilitas WhatsApp di smart phone) saya memiliki rutinitas baru setiap harinya: ngODOJ. Berawal dari ajakan salah seorang sahabat (seperti halnya kemalasan, kebaikan sungguh sangat bisa menular layaknya virus). Saya iri, betapa asyiknya dia baca Quran sehari berkali-kali--nggak kayak saya yang malas-malasan ini, paling cuma beberapa lembar sehabis salat magrib, atau setelah salat subuh, astaghfirullah. Betapa asyiknya dia bisa baca surat cinta-Nya di mana saja, pun ketika kami sedang dalam perjalanan di atas commuter line. Tersindir telak, saya ini pembaca buku yang bisa dibilang rajin. Lihatlah, betapa banyak jumlah read, apalagi wishlist saya di Goodreads (socmed buat para pencandu buku), ratusan. Kalau niat, saya bisa habiskan satu novel yang jumlah halamannya seratusan dalam sehari. Kalau sudah terlanjur suka dengan novel tersebut, saya bisa baca berulangkali hingga hafal alur ceritanya, tokoh-tokohnya, kata-kata "mutiara"-nya. Sedangkan, baca tuntunan hidup? Olala. Ada suatu titik di mana saya merasa menjadi muslimah yang sangat naif, nggak balance antara cover dan hati. Sekeras apa hati saya sampai baca Quran saja ogah-ogahan? Maka mulailah saya menata niat, Allah Yang Maha Tahu Perkara Hati, hamba-Mu ingin lebih baik dari hari ke hari. Aku tidak ingin hidup terasing bergelimang ilmu dunia, gelar berderet, namun jauh dari orang-orang saleh-salehah. 
Beberapa hari setelah mendaftar via online, saya dapat kelompok baru. 1496. Ada 31 perempuan di dalamnya (tentu saja nggak boleh dicampur sama laki-laki. haha). 1 admin dan 30 anggota grup. Jumlah 30 orang ini disesuaikan dengan jumlah juz dalam Alquran, supaya pembagiannya gampang. Tiap orang dapat jatah satu juz per hari, dan harus menyelesaikan tilawah dalam kurun waktu yang disepakati. Setiap grup ODOJ memiliki waktu yang berbeda-beda, namun tetap 24 jam. Kami menyepakati waktu tilawah mulai pukul 20.00-20.00 setiap harinya, kecuali bulan Ramadan kemarin, karena adanya kesibukan menjelang berbuka serta ibadah di malam harinya, maka waktu tilawah diganti menjadi 15.00-15.00. Karena kami makhluk istimewa yang setiap bulan kedatangan tamu istimewa, bagi yang tidak tilawah ketika berhalangan maka jatah juznya akan dilelang kepada siapa saja yang nggak junub dan bersedia baca lebih dari satu juz. Sebagai gantinya, yang sedang berhalangan boleh tasmi', mendengarkan murattal, atau membaca terjemahan/tafsir Quran. Yang jelas, sehari pun kami tidak boleh lepas dari interaksi dengan Quran.
Seminggu, dua minggu, tiga minggu, satu bulan berjalan. Alangkah ajaibnya ukhuwah di grup itu. Kami semua belum pernah bertatap muka sama sekali. Kami hanya saling tahu nama dan domisili. Namun, sehari pun tak pernah terlewat tanpa chat motivasi, semangat, tausyiah, dari teman-teman satu grup. Kadang, tawa dan canda menjadi penyelingnya. Rabbi, perkenankan kami menjadi sekelumit dari sekian bidadari bumi yang dirindu surga-Mu nan abadi. Sungguh, kami masih tertatih mencintai kalam cinta-Mu yang kami telusuri baris-barisnya saban hari.
Namun, adakah yang jauh lebih susah, daripada memikul sepenggal istikamah?
Jika tiga hari tidak ada kabar, maka otomatis akan dikeluarkan dari grup (kecuali ada alasan yang syar’i). Peraturan ini menguji sejauh mana kami semua mampu bertahan. Saya optimis, saya mampu sampai akhir—entah kapan. Namun, satu demi satu mulai di-remove, diganti dengan anggota baru, hal ini bukan sekali-dua kali. Berkali-kali. Hingga saya bingung menyesuaikan dengan teman-teman baru lagi karena anggota grup yang silih berganti. Status kami memang bermacam-macam, mayoritas masih single, namun banyak juga yang sudah berkeluarga dan memiliki anak kecil. Para single pun bukan pengangguran semata, kami mahasiswi, pelajar, juga pekerja yang sibuk. Saya mulai gamang, mulai paranoid. Bolehlah sekarang aktivitas saya hanya kuliah, itu pun hanya tiga hari (namun terkadang saya minta tambahan waktu menyelesaikan tilawah atau kholas jika ada kuliah malam), tapi bagaimana jika nanti semua kedamaian ini bubrah ketika negara api menyerang (baca: pekerjaan)? Terkadang, kuliah saja sudah menyita waktu dan pikiran (juga perasaan). Pernah suatu kali saya harus wara-wiri dari Depok ke Jakarta karena suatu hal, lupa membawa mushaf  kesayangan, perjalanan yang tidak sebentar mengikis alokasi waktu tilawah saya, pulang-pulang sudah pukul delapan malam. Bagaimanalah nanti kalau sudah kerja? Bangun pagi-pagi, kejar-kejaran dengan waktu, berdesak-desakan dengan ratusan pekerja lain di commuter line. Ya kalau tidak bertemu rush hours, mungkin saya masih bisa tilawah di commuter line, kalau rush hours, impossible! Membayangkan berdesakan di kereta saja sudah trauma, nggak mau lagi! Paranoia! Saya tidak mau hal mengerikan itu terjadi, menomorsatukan pekerjaan karena takut pada atasan, dan menomorsekiankan Allah dan Alquran.
“Aku biasanya cuma kuat baca beberapa ‘ain, Li,” lontarnya ketika saya mengajaknya bergabung dengan ODOJ. Sahabat seperjuangan saya di Jogja itu memang sudah kerja, di tempat yang bisa dibilang ‘tak biasa’ pula. Kuharap pekerjaan bukan alasan utamamu, Dear. Satu juz itu sebenarnya tak banyak. Jika lidah kita sudah terbiasa, ia hanya butuh sekitar 45 menit saja. Saya tercengang ketika satu-dua teman-teman ODOJ saya semangat tilawahnya luar biasa. Di Ramadan penuh cinta, bukan lagi sehari satu juz, bahkan ada yang tilawah hingga lima sampai sepuluh juz sehari. Masya Allah. Saya hanya khatam sekali di Ramadan itu. Sehari paling tidak dua juz. Saya patut iri kepada mereka. Sebaliknya, di belahan bumi yang sama, tempat saya berpijak, masih ada insan-insan yang jauh (atau menjauhkan diri?) dari-Nya. Bersujud saja enggan apalagi mengeja kalam tuhan dengan hati yang lapang. Mereka pengejar dunia yang lupa berterima kasih kepada yang memberi nikmat kepadanya saban harinya, setiap detiknya. Saya patut heran kepada mereka. Semoga Allah segera karuniakan cahaya di hati-hati yang masih tertutup. Juga kepada hati-hati yang telah berikrar mendekap cahaya, semoga ia tak akan bosan-bosannya, berteguh hati hingga nanti, di suatu masa yang sudah pasti.
Grup ODOJ hanyalah sarana. Mungkin itu hanya salah satu dari sekian banyak sarana untuk mendekat kepada-Nya. Mungkin banyak yang sudah ODOJ-ers tanpa harus bergabung dengan ODOJ. Namun, bagi saya, yang notabene cenderung mudah tertiup angin jika sendiri tanpa teman-teman yang menopang, mereka lebih dari sekadar sarana. Wallahua’lam.  

Allahummarhamna bil Quran...


NGAOS (Ngaji On the Street) ODOJers Jakarta - Depok at Taman Monas

Tidak ada komentar: