Rabu, 29 Oktober 2014

Renjana #2







“Aku takut jatuh cinta. Sungguh. Bahkan di bilangan usiaku yang kini tak lagi remaja. Ia perasaan yang berbahaya,” ujarnya. Aku mendengarkan dengan seksama. Cukuplah selama ini aku menjadi pendengarnya yang baik, tanpa nasihat, apalagi menghujat. Aku hanya si pendengar bisu yang mencoba mengarifi setiap kata-kata monolognya dengan diam, lalu merenungkannya dalam-dalam.

“Aku takut jatuh cinta. Sungguh. Terkadang ia akan membentangkan luka perih menganga dan mencipta sedih tak sudah. Ia mencabik harapan yang timbul tenggelam hingga terkoyak dan luluh lantak. Namun, adakah hati perempuan yang sekeras baja? Seumpama kuntum mawar, meski ia melindungi dirinya dengan duri, mahkotanya yang lembut tetap rapuh adanya. Begitulah hati, ia tak pernah bisa diprediksi. Pertemuan pertama akan membiaskan kerinduan, begitu pula dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Kita jualah yang akan menjadi hakim yang adil bagi hati kita sendiri. Apakah akan kita biarkan rindu setitik itu bertunas, kemudian bercabang atau mengakar. Atau kita pangkas habis sebelum ia tumbuh semakin meraja dan terlanjur membebatmu pada perasaan serta harapan-harapan tak tentu.

Sejauh ini, kubentengi setitik cinta kepada makhluk-Nya yang mulai ada biar ia tak tumbuh kian mengakar dengan ayat-ayat cinta-Nya yang kueja terbata-bata, biar kadar cintaku kepada-Nya menepis si ‘rasa tak semestinya’. Menjaganya untuk yang memang benar-benar berhak menerima rasaku, ketika aku tak lagi takut untuk menjatuhkan cinta. Ketika ia bukan lagi sepotong rasa yang berbahaya.”

Ah, menjaganya. Ia paham sepenuhnya jika ‘menjaga’ bukanlah pekerjaan biasa. Begitu pula, aku tak bisa menjagamu dengan sebaik-baiknya. Tuhan kitalah yang menjagamu selama ini dengan sebaik-baik penjagaan. Apalagi urusan menjaga sekeping substansi berjudul hati. Entah dari apa hati perempuan diciptakan. Sejauh yang aku tahu, dari monolognya, hati perempuan akan mudah luruh hanya karena setitik perhatian. Ya, sungguh rapuh laiknya mahkota mawar yang mendapat sedikit sentuhan tangan, rontok berguguran. Entah. Apakah bisa dipukul rata semua hati perempuan selembut mahkota mawar. Namun, aku percaya. Itulah mengapa Yang Maha Kuasa menciptakan lelaki setegar karang, yang kuat meski dihempas gelombang pasang. Supaya mereka bisa hidup menggenap bersama. Karang tegar itu, pelindung bagi si mawar.

“Sekali lagi, ada kata ‘yakin’ terselip di lubuk hatiku, hari ini,” ucapnya lagi. Berbahaya! Berbahaya! Namun tentu saja ia tak pernah mendengar teriakku. Sudahkah kau pikirkan ulang rasa yakinmu, wahai perempuan yang serapuh tangkai mawar? Kau siap menelan rasa kecewa sekali lagi, berulang kali, hanya karena sebilah keyakinan yang bisa jadi muasalnya dari setan yang membisiki nuranimu? Tentu jawabannya ‘tidak’, bukan? Kau juga pasti tidak akan sampai hati menyelingkuhi kekasihmu di masa depan—Sang Entah Siapa, jika memang bukan dia orang yang kau maksud hari ini yang kelak tertakdir untukmu.

“Itulah. Alangkah sulitnya menjaga sekeping substansi bernama hati.” Ia tersenyum. Senyumnya masih senyum yang dulu, menyiratkan ketulusan. Sejauh ini, ia nikmati sendirinya dengan sepenuh kesabaran dan doa-doa yang hening dalam senyap malam. Jika memang benar, biarlah mereka saling mencinta dalam diam. Tuhan tahu waktu yang tepat, kapan rasa yang sama itu harus dipertemukan dalam satu bingkai, di mana ia akan bertumbuh dan mengakar, bertunas, lantas menebar harumnya pada semesta.

Ia yakin itu.







-Penghujung Oktober 2014-

Tidak ada komentar: