“Aku takut jatuh cinta. Sungguh.
Bahkan di bilangan usiaku yang kini tak lagi remaja. Ia perasaan yang
berbahaya,” ujarnya. Aku mendengarkan dengan seksama. Cukuplah selama ini aku
menjadi pendengarnya yang baik, tanpa nasihat, apalagi menghujat. Aku hanya si
pendengar bisu yang mencoba mengarifi setiap kata-kata monolognya dengan diam,
lalu merenungkannya dalam-dalam.
“Aku takut jatuh cinta. Sungguh. Terkadang ia
akan membentangkan luka perih menganga dan mencipta sedih tak sudah. Ia mencabik
harapan yang timbul tenggelam hingga terkoyak dan luluh lantak. Namun, adakah
hati perempuan yang sekeras baja? Seumpama kuntum mawar, meski ia melindungi
dirinya dengan duri, mahkotanya yang lembut tetap rapuh adanya. Begitulah hati,
ia tak pernah bisa diprediksi. Pertemuan pertama akan membiaskan kerinduan,
begitu pula dengan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Kita jualah yang akan
menjadi hakim yang adil bagi hati kita sendiri. Apakah akan kita biarkan rindu
setitik itu bertunas, kemudian bercabang atau mengakar. Atau kita pangkas habis
sebelum ia tumbuh semakin meraja dan terlanjur membebatmu pada perasaan serta
harapan-harapan tak tentu.
Sejauh ini, kubentengi setitik cinta
kepada makhluk-Nya yang mulai ada biar ia tak tumbuh kian mengakar dengan
ayat-ayat cinta-Nya yang kueja terbata-bata, biar kadar cintaku kepada-Nya
menepis si ‘rasa tak semestinya’. Menjaganya untuk yang memang benar-benar
berhak menerima rasaku, ketika aku tak lagi takut untuk menjatuhkan cinta. Ketika
ia bukan lagi sepotong rasa yang berbahaya.”
Ah, menjaganya. Ia paham
sepenuhnya jika ‘menjaga’ bukanlah pekerjaan biasa. Begitu pula, aku tak bisa
menjagamu dengan sebaik-baiknya. Tuhan kitalah yang menjagamu selama ini dengan
sebaik-baik penjagaan. Apalagi urusan menjaga sekeping substansi berjudul hati.
Entah dari apa hati perempuan diciptakan. Sejauh yang aku tahu, dari
monolognya, hati perempuan akan mudah luruh hanya karena setitik perhatian. Ya,
sungguh rapuh laiknya mahkota mawar yang mendapat sedikit sentuhan tangan,
rontok berguguran. Entah. Apakah bisa dipukul rata semua hati perempuan
selembut mahkota mawar. Namun, aku percaya. Itulah mengapa Yang Maha Kuasa
menciptakan lelaki setegar karang, yang kuat meski dihempas gelombang pasang. Supaya
mereka bisa hidup menggenap bersama. Karang tegar itu, pelindung bagi si mawar.
“Sekali lagi, ada kata ‘yakin’
terselip di lubuk hatiku, hari ini,” ucapnya lagi. Berbahaya! Berbahaya!
Namun tentu saja ia tak pernah mendengar teriakku. Sudahkah kau pikirkan ulang
rasa yakinmu, wahai perempuan yang serapuh tangkai mawar? Kau siap menelan rasa
kecewa sekali lagi, berulang kali, hanya karena sebilah keyakinan yang bisa
jadi muasalnya dari setan yang membisiki nuranimu? Tentu jawabannya ‘tidak’,
bukan? Kau juga pasti tidak akan sampai hati menyelingkuhi kekasihmu di masa
depan—Sang Entah Siapa, jika memang bukan dia orang yang kau maksud hari ini
yang kelak tertakdir untukmu.
“Itulah. Alangkah sulitnya menjaga
sekeping substansi bernama hati.” Ia tersenyum. Senyumnya masih senyum yang
dulu, menyiratkan ketulusan. Sejauh ini, ia nikmati sendirinya dengan sepenuh kesabaran dan doa-doa
yang hening dalam senyap malam. Jika memang benar, biarlah mereka saling
mencinta dalam diam. Tuhan tahu waktu yang tepat, kapan rasa yang sama itu
harus dipertemukan dalam satu bingkai, di mana ia akan bertumbuh dan mengakar,
bertunas, lantas menebar harumnya pada semesta.
Ia yakin itu.
-Penghujung Oktober 2014-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar