Prambanan, Klaten. Februari 2013 |
"So hasten towards all that is good" (Quran, 2:148)
Gadis
berkerudung cokelat gelap itu tersenyum seraya melambaikan tangannya kepadaku—si
kerudung merah muda, raut wajahnya sepertinya gembira sekali, hanya karena aku
baru saja bilang, “Ingin ke Jepang.” Ya, sama sepertinya. Dia tadi juga bilang,
“Ingin ke Jepang.” Dia mahasiswi Sastra Jepang? Entahlah. Yang jelas, ada
setitik cemburu, ada dendam yang menggumpal, ada kecewa yang belum meluruh dari
gumpalan emosi dalam diriku, usai mbak-mbak berkerudung lebar sekali—yang
aku lupa namanya—itu memutarkan video berjudul Jejak-Jejak Mimpi, kisah si
bapak dari Indonesia yang berjuang kuliah di Jepang.
“Sastra Jepang?”
tanyaku kemudian kepadanya. Ia menggeleng. “Sastra Arab.” Aku ber-oh pendek.
“Kamu jurusan apa?” dia balik bertanya. “Inggris,” jawabku pendek. “Tapi aku sebenarnya
lebih ingin di Sastra Jepang,” lanjutku. “Sama,” katanya. Sialan video tadi,
membuat keinginanku ke Jepang semakin memuncak ketika kenyataannya... Ah,
sudahlah, lupakan perkara itu. Kami duduk bersebelahan di ruang kelas itu,
C201. Ngobrol ngalor-ngidul. Dua kali aku bertanya namanya hanya
gara-gara aku selalu susah mengingat nama orang di awal mula perkenalan.
Ruangan itu tidak penuh, namun semua perempuannya berkerudung lebar. Aku
bertemu lagi dengan mbak-mbak berkerudung lebar sekali itu, yang tempo
hari menemukan tersasar di Koperasi Mahasiswa. Maklum, mahasiswi baru masih
ingusan yang belum terlalu hafal kampusnya sendiri. Sudah bisa ditebak
selanjutnya, kami berada di forum apa. Kerohanian Islam fakultas.
Dari obrolanku
dengannya sesiangan itu, setidaknya ada empat fakta yang mendekatkan kami:
merasa salah jurusan, ingin ke Jepang, ingin bergabung di rohis fakultas, kota
kelahirannya bersebelahan dengan kota kelahiranku, dan sama-sama suka menulis.
Di ujung jalan Sosio-Humaniora kami berpisah setelah saling bertukar nomor handphone,
berjanji akan saling menghubungi esok hari, kemudian bertemu lagi di tempat
kami berpisah hari ini. Esoknya, di tengah riuh suasana pasar minggu pagi alias
Sunday Morning ia menghampiriku lagi. Sambil menelusuri sepanjang area sunmor,
selalu ada cerita tentang apa saja. Ah, ini masihlah awal mula. Kenal juga baru
kemarin. Ia orang baru bagiku. Namun entah, rasanya bagai de javu,
seperti kami sudah saling mengenal sejak lama.
Di kamar kosnya
yang sempit dan sederhana kami kembali bertukar cerita mengenai apa saja. Ia
sekamar berdua dengan temannya, namun tak terlalu akrab. Ia seolah kesepian.
Lagi-lagi sama, aku pun kesepian di rumah kosku. Lalu, ia menunjukkan buku
lusuh berisi tulisan-tulisan tangannya. Ia mengarang cerita di situ. “Kenapa
nggak pakai laptop saja?” aku tergugu. Ia tak punya benda canggih itu. Kali ini
berbeda denganku, aku telah dibekali laptop sejak kelas dua SMA,
tulisan-tulisan rapiku telah banyak yang menumpuk di sana. Lantas, bagaimana
cara ia mengerjakan tugas? Sementara ini, ia masih mengandalkan pinjaman dari
teman-temannya. Jika aku, si sulung yang manja ini bertukar nasib dengannya,
tentu aku tak tahan untuk tak merajuk kepada orang tua dengan berbagai alasan
supaya dibelikan.
Di bus
antarkota yang kami tumpangi dari Yogyakarta menuju kampung halaman, barulah
aku tahu bahwa ibu tercintanya telah pulang ke haribaan Yang Maha Kuasa.
Ayahnya menikah lagi dengan janda yang memiliki putri seusia dengannya,
sementara kakak lelakinya semata wayang telah berkeluarga. Aku tidak berani
menanyakan sebab ibundanya berpulang, tak ingin ada air mata yang bisa jadi
tiba-tiba turun karena tanyaku yang frontal. Sudah pasti aku tidak akan mampu jika
harus bertukar nasib dengannya. Ada sejuta syukur yang ketika itu harus
kugumamkan dalam hati.
Hari-hari
selanjutnya, sungguh, ia menjadi teman yang cocok bagiku, meski dipisahkan oleh
tempat tinggal dan jurusan yang berbeda. Ialah yang kemudian mengenalkanku pada
“lingkaran cinta” dan murabbi kami yang pertama. Bersama mereka ada
segenggam ruapan aroma surga setelah penat dan dahaga melanda hari-hari kuliah.
Ah, tentu aku selalu rindu tempat syahdu itu, lantai marmernya yang dingin,
gemericik air mancur di halamannya, serta raut wajah bahagia para perindu
surga... Bersama mereka aku—si naif ini, mulai bermetamorfosa.
Ketika itu kami
memiliki cita-cita yang sama: bergabung di organisasi kepenulisan. Namun, aku
gagal pada akhirnya, dan dia lulus. Tak penting membahas rasa kecewa, sebab aku
berjanji dalam hati untuk tetap menulis, bagaimanapun caranya. Toh bergabung di
organisasi semacam itu tak akan menjamin aku akan jadi penulis betulan. Ah,
lupakan. Yang pasti, kami tetap masih sering hang out bersama, makan
bersama, pinjam-pinjaman buku bacaan, bahkan ia rela berjalan kaki lumayan jauh
dari kosnya ke kosku waktu itu demi menemaniku dua malam. Ya, jalan kaki. Alasannya
sederhana, karena tak memiliki kendaraan pribadi, kami kemudian terlatih
menjadi “pejalan tangguh”. Bahkan, di akhir-akhir masanya di Jogja, ia masihlah
seorang muslimah tangguh. Mengayuh sepeda jauh sekali ke tempat yang menjadi
amanahnya usai lulus.
2011. Kami
masih sama-sama menjadi pengurus harian di lembaga dakwah fakultas. “Lia ikut
ya...” Meski tak ada emoticon di teks yang dia kirim padaku saat itu,
aku bisa menebak ekspresinya yang menghiba. Aku bimbang. Antara kasihan dan
tidak berani menghadapi risiko. Rasanya ada tangis yang ingin luruh. Terharu
akan keberanian dua sahabatku seperjuangan itu, sekaligus sedih akan diriku
yang lembek, tidak bernyali besar seperti mereka. “Mereka mengancam... kita
disuruh bawa teman,” lanjutnya. Ya Rabbi, Ramadan itu mereka rela pulang dari
kampus menjelang sahur, tak peduli ada air mata yang jatuh satu-persatu
setelahnya. Jika dakwah itu cinta, maka sudah selayaknya cinta menuntut
pengorbanan dari masing-masing kita. Ah, sungguh, aku masih belum mampu
mencinta seperti mereka. Kubalas pesannya dengan sejuta keraguan, “Maaf, aku
nggak bisa...” Namun, alhamdulillah, perjuangan itu pada akhirnya membuahkan
hasil yang menggembirakan.
Di masa-masa
akhir kuliah, kami sudah tidak serekat awal masa di kampus dulu. Memiliki
kesibukan masing-masing yang tak lagi di organisasi yang sama. Menyibukkan diri
dengan skripsi, mengejar target wisuda. Agustus 2013, aku wisuda terlebih
dahulu, sementara ia masih berproses dengan skripsinya. Setangkai mawar putih
dihadiahkannya untukku. Bahkan hingga masa perpisahan aku sama sekali belum
memberi sesuatu yang berarti baginya. Ia telah memberiku gantungan berinisial L
yang malangnya hilang begitu saja ketika aku Kuliah Kerja Nyata di luar Jawa.
Satu yang masih tidak berubah darinya: sederhana dan apa adanya. Tak ada
polesan make-up, aksesoris, baju modis, apalagi kesan glamour. She’s so
simple and humble. Juga bukan idola dan populer di dunia nyata maupun maya.
Aku masih selalu
ingat catatannya yang jujur untukku di lingkaran cinta kami episode sekian:
“Lia, kan udah gede, porsi manjanya dikurangi ya...” Ahai, aku juga masih belum
berubah: si sulung yang manja. Menurutnya aku pengingat baginya, dia juga
pengingat bagiku. Kami adalah cermin satu sama lain. Seperti pesan yang
kuterima di hari jadiku: ukhuwah adalah cermin untuk saling mematut diri
dalam rangka memperbaiki diri untuk meraih rida Ilahi.
Belakangan baru
kuketahui ia penyuka hijau meski barang-barangnya tak selalu identik dengan
hijau, berbeda denganku yang hampir segala barangku berwarna merah muda. Ia
hijau yang sederhana, namun tidak dengan pengetahuan dan cara berpikirnya. Ia
sederhana, seperti Jogja yang sederhana pula. Namun nyaman bersahaja dan
dirindukan semua yang mengenalnya. Akhir 2014 kuterima kabar "mengejutkan" bahwa ia baru saja memenangi sebuah kompetisi menulis novel inspiratif. Jauh-jauh hari sebelum deadline lomba, aku sudah seenaknya saja memesan soft copy-nya, namun ia tak keberatan dengan pintaku dan dengan entengnya mengirimkannya melalui surel. Di ujung pembicaraan, aku menjanjikan editan jika di novelnya masih banyak yang salah atau typo. Namun, atas nama kesibukan dengan kuliah aku menyalahi janjiku sendiri. Atas nama kesibukan dengan kuliah pula aku menolak anjurannya untuk juga mengikuti lomba menulis itu. Maka, inilah aku, yang telah kalah sebelum bertanding. Sementara ia, tetap berjuang semampunya, tak menyerah hanya karena malas yang mendera. Kurasa, itu hadiah dari Tuhan untuknya, untuk setiap peluhnya dalam menulis--menyampaikan kebaikan. Tidak, ia tidak menulis cerita cinta-roman-yang berkutat dengan masalah perasaan nan menye-menye seperti yang biasa aku lakukan. Ia menulis tema yang sama sekali berbeda, sesungguhnya sederhana, namun tidak banyak orang yang mengangkatnya untuk dijadikan novel. Itulah mungkin, mengapa sang juri memilihnya menjadi juara.
7 Maret 2015. Hari itu kami bertemu kembali di Istora Senayan, Jakarta. Ia berbicara di depan sebagai pemateri acara bincang-bincang kepenulisan, sekaligus peluncuran buku perdananya. Sungguh, aku iri. Aku hanya memajang mimpiku rapi di lemari buku. Sesekali kubuka jika keinginanku bangkit lagi, dan kututup jika aku sedang merasa itu tak perlu, kemudian sibuk dengan dunia yang lain.
"Jadilah cahaya di manapun kamu berada." Sebenarnya kalimat yang ia tulis di bukunya untukku (sekaligus dibubuhi tanda tangan) itu bukan untukku seorang, untuk yang lain juga. Namun, sepulangnya aku dari berjumpa dengannya, kalimat itu utuh membekas. Menjadi cahaya? Sejak beberapa tahun silam--semenjak hijrah, aku seolah hidup di lingkungan yang membuatku terlihat berbeda, hingga kini. Banyak dari mereka yang enggan melaksanakan perintah Tuhan, meski hanya sembahyang lima menit saja, dan lebih memilih sibuk dengan dunia sepanjang waktu. Di titik ini, jika ajakan sudah tak mempan, aku hanya bisa diam dan menggumamkan doa saja. Di titik ini, aku hanya punya satu pilihan: bertahan. Bertahan untuk tetap menjadi hamba-Nya yang patuh. Meski sendirian. Meski arus kehidupan tak selamanya tenang, namun menghanyutkan. Meski hanya menjadi seberkas lilin--yang tak lebih terang dibandingkan lampu neon, ia akan tetap menyala selama batangnya belum habis meleleh. Begitu pun seharusnya kita yang menginginkan berlomba dalam kebaikan. "Fastabiqul khairat, Li. Berlomba-lomba dalam kebaikan." Aku ingat dulu ia sering berkata seperti itu, sekarang pun masih. Bukankah itu juga perintah Sang Maha Pemilik Cahaya? Maka, begitu pun seharusnya aku, kamu, kita semua.
Menjadi cahaya di manapun kita berada.
7 Maret 2015. Hari itu kami bertemu kembali di Istora Senayan, Jakarta. Ia berbicara di depan sebagai pemateri acara bincang-bincang kepenulisan, sekaligus peluncuran buku perdananya. Sungguh, aku iri. Aku hanya memajang mimpiku rapi di lemari buku. Sesekali kubuka jika keinginanku bangkit lagi, dan kututup jika aku sedang merasa itu tak perlu, kemudian sibuk dengan dunia yang lain.
"Jadilah cahaya di manapun kamu berada." Sebenarnya kalimat yang ia tulis di bukunya untukku (sekaligus dibubuhi tanda tangan) itu bukan untukku seorang, untuk yang lain juga. Namun, sepulangnya aku dari berjumpa dengannya, kalimat itu utuh membekas. Menjadi cahaya? Sejak beberapa tahun silam--semenjak hijrah, aku seolah hidup di lingkungan yang membuatku terlihat berbeda, hingga kini. Banyak dari mereka yang enggan melaksanakan perintah Tuhan, meski hanya sembahyang lima menit saja, dan lebih memilih sibuk dengan dunia sepanjang waktu. Di titik ini, jika ajakan sudah tak mempan, aku hanya bisa diam dan menggumamkan doa saja. Di titik ini, aku hanya punya satu pilihan: bertahan. Bertahan untuk tetap menjadi hamba-Nya yang patuh. Meski sendirian. Meski arus kehidupan tak selamanya tenang, namun menghanyutkan. Meski hanya menjadi seberkas lilin--yang tak lebih terang dibandingkan lampu neon, ia akan tetap menyala selama batangnya belum habis meleleh. Begitu pun seharusnya kita yang menginginkan berlomba dalam kebaikan. "Fastabiqul khairat, Li. Berlomba-lomba dalam kebaikan." Aku ingat dulu ia sering berkata seperti itu, sekarang pun masih. Bukankah itu juga perintah Sang Maha Pemilik Cahaya? Maka, begitu pun seharusnya aku, kamu, kita semua.
Menjadi cahaya di manapun kita berada.
To: Henny Alifah
Aku memang harus belajar banyak
darimu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar