Rabu, 03 Desember 2014

Deraan


Kurasakan lagi nyeri dan perih sejak beberapa hari yang lalu. Aih, sudah terlalu biasa sebenarnya. Namun, tetap saja sakit. Dan sakit yang menggejala itu berpuncak malam ini. Jadilah bermacam agenda sore tadi kubatalkan karena tak tahan sakitnya. Aku tak tahan untuk tak menarik selimut. Dingin. Keringat dingin perlahan mengalir. Mual dan ingin muntah. Perutku seakan diinjak-injak. Antara lapar dan nyeri. Namun aku sudah tak berselera makan lagi. Mual itu penyebabnya. Ah, Rabbi... ini belumlah apa-apa. Aku yakin nanti aku akan merasakan kesakitan yang lebih hebat lagi. Sendiri bertemankan laptop yang menyala sejak asar tadi--yang sebelumnya kuniatkan untuk membuat project desain grafis. Berusaha menghibur diri dengan menyetel film yang sudah berulang kali kutonton. Entahlah, mungkin aku memang tak pernah bosan menontonnya, hingga suatu saat aku akan hafal dialognya.
Jika di rumah, pasti ibu sudah membuatkanku teh hangat, memaksa mulutku untuk makan sesuap-dua suap nasi. Dan aku selalu mengelak. Mual. Jika aku tetap begitu, maka bisa jadi aku pucat pasi karena banyak darah yang keluar. Lantas aku akan didoktrin anemia dan dipaksa menelan pil penambah darah. Atau, ibu akan membuatkanku segelas kunyit-asam yang rasanya tak enak itu. Aku sempat merasa tak adil ketika mendapati kenyataan bahwa banyak teman-temanku tak pernah mengalami sakit yang kurasakan. Sakit menurun, sebab dulu ibuku juga memiliki sakit yang sama. Kalau sudah begini, jangan ditanya. Aku akan berbaring sepanjang hari di tempat tidur dan mengabaikan yang lain. Sekolah, tugas-tugas, hand phone, buku-buku. Mengabaikan adikku yang nakal, maupun adikku yang ingin bermanja denganku. Aku hanya ingin memeluk guling, berselimut kain tebal, lantas tertidur dan bermimpi, lupa akan kesakitan ini.

Ah, biarkan rasa sakit ini. Biarkan. Sebenarnya, aku hanya ingin satu. Menuntaskan rinduku kepada ibu. Padahal baru sepekan yang lalu beliau mengantarku berkereta menuju Jogja, hanya karena keadaanku yang belum pulih--namun kupaksa kembali ke sini, sebab kuliah dan tugas-tugas menanti dan tak mengijinkanku pulang terlalu lama. Rela menginap berdua denganku di kamar sempit ini, meninggalkan adikku sendirian di rumah. Rela tidur di bawah hanya beralaskan selimut dan aku di atas. Rela berhujan-hujan basah-basahan demi mengantarku beli sepeda. Membangunkanku ketika azan subuh berkumandang, sementara aku masih menggeliat malas-malasan. Menyeduhkanku segelas kopi hangat sebelum aku berangkat kuliah pagi itu. Dan ia kemudian harus pulang sendirian tanpa aku, dalam keadaan tak berhape. Hingga aku hanya bisa berdoa untuk keselamatannya, sebab aku tak bisa menghubunginya.
Duh, Rabbi.. aku hanya ingin Engkau selalu melimpahkan rahmat untuknya, memudahkan rezekinya, memberkahi usia ke-48-nya tahun ini.

Ketika kutulis catatan ini, ponselku bergetar. Pukul sembilan malam lebih. Seperti biasa, ia meneleponku sepulang dari kantor, malam-malam begini. Dengan nyeri yang masih tersisa, kukatakan bahwa aku sedang didera sakit seperti biasa. "Segera tidur aja, Nduk. Ya.." aku hanya mengiyakan seraya menjawab salamnya di seberang.

Rindu ini benar-benar melesak. Liburan menjelang UAS sudah di depan mata. Namun, amanah di sana-sini membuatku mungkin tak bisa pulang untuk menuntaskan rinduku. Semoga ada waktu. Hanya 2 jam berkereta dan sampailah aku. Aku ingin pulang. Hanya untuk orang yang selama ini mencintaiku.





27 Mei 2011
di Yogyakarta (seperti biasa)


Membuka catatan lama tiga tahun yang lalu. Keadaan yang nyaris serupa dalam dimensi waktu yang tak sama. Kota ini seakan memenjaraku dengan segudang  dinamikanya. Belum bisa kusebut ia rumah selayaknya aku menyebut Yogyakarta. I'm sick. Really wanna back home, Mom. Now.

Tidak ada komentar: