A woman is like a tea bag, you never know how strong she is until she gets into hot water
-Eleanor Roosevelt-
Bu
Tami, perempuan berusia lima puluhan tahun--istri dari komedian Pepeng itu,
sungguh ia adalah perempuan tangguh yang luar biasa. Sembilan tahun terkungkung
dalam suramnya "goa Pepeng" yang memenjaranya untuk harus selalu
mendampingi suaminya yang sudah tak berdaya itu selama 24 jam. Dalam kepiluan
ia bercerita, bagaimana mirisnya ketika tangannya harus mencongkel luka
suaminya. Namun, Allah menganugerahinya jiwa yang lapang untuk menerima apapun
kondisinya, seberat apapun itu, ia selalu ingat akan kebesaran Sang Maha Kuasa.
Aku
juga memiliki perempuan tangguh sepertinya, ia telah hadir jauh sebelum aku
mampu menyapa dunia. Matanyalah yang pertama kali kutatap ketika pertama kali
aku membuka mata. Tangannyalah yang pertama kali merengkuhku ketika aku masih
tak berdaya. Ia telah mengajariku cinta semenjak aku masih benih dalam
garbanya. Semuanya tahu, malaikat pun
tahu, ia adalah jelmaan bidadari yang turun ke bumi. Tiap tetes peluhnya
menguarkan wewangi cinta, kuntum-kuntum mawar yang mengiringiku tumbuh dewasa.
Namanya adalah melodi paling harmoni bagi tiap buah hati.
Rasanya,
tak cukup satu-dua, bahkan tiga-lima tulisan, bahkan beratus tulisan untuknya.
Tidak mungkin kutuliskan semua cintanya untukku di sini. Terlalu banyak.
Terlalu sempit ruang bercerita. Hanya jika aku boleh berhiperbola, cintanya tak
cukup memenuhi angkasa. Ah, tentulah cinta-Nya melebihi segalanya. Namun, jika
harus kuhitung cintanya semenjak aku masih benih dahulu kala hingga aku dewasa,
tidak bisa kubilang seribu, sejuta, semilyar, atau selaksa. Tak terkata. Sedari
dulu kurepotkan, namun ia hanya mampu membalasnya dengan gelimang kasih sayang.
“Tidak ada orang tua yang menuntut balasan dari anaknya,” ujarnya suatu hari di
telepon, meredakan gelisahku yang membadai. Ya, memang tidak akan pernah ada,
sebab tidak akan pernah ada yang mampu. Aku tergugu. Di bilangan usia yang
beranjak dewasa, dua puluh empat tahun berselang semenjak dia melahirkanku, aku
belum bisa membalas apa-apa, kecuali doa tiap usai salat yang kugumamkan
tergesa-gesa. Namun, aku yakin, dia tetap akan rela kurepotkan sampai kapan pun,
hingga aku menikah nanti dan memiliki anak, mungkin. Dia akan sepenuh hati
menyayangi anak-anakku kelak, sebagaimana nenekku mencintai aku semenjak aku
masih kanak. Cinta seorang ibu tiada berbatas.
22 Desember
ditahbiskan menjadi Hari Ibu. Mengapa harus ada hari ibu di tanggal tertentu?
Bagiku, setiap hari yang kutapaki adalah hari ibu, baik ketika aku ada di
dekatnya, maupun jauh dari pandangannya. Ia selalu mendahului membuka
percakapan denganku, menanyakan hal-hal sepele bagiku yang baginya justru hal
penting yang menyulut kekhawatiran.
Adalah
susah mendefinisikan cintanya. Terlalu sulit.
Maka,
tugas untuk memberikannya hadiah terindah kelak juga teramat sulit. Hadiah yang
lebih indah dibandingkan dunia dan seisinya: mahkota cahaya.
There
is no one in this world that can take your place. Mom, could I ask a
small piece of heaven beneath your feet?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar