Selasa, 06 Januari 2015

Memilah Kenangan


Telah kutinggalkan ia bermil-mil jauhnya, sejauh lintasan tahun seperti bumi yang mengelilingi matahari lewat garis edarnya. Aku, dengan garis edarku. Ya, telah kutinggalkan ia. Aneh, tak ada gurat sedih yang menyerta di parasku ketika itu. Selamat tinggal, aku hanya berlalu dengan seutas senyum akan sejuta kerinduan tentang masa depan dan seonggok harapan. Dan kini, aku tak ingin berpayah mencari-cari berkas rindu kepada masa itu--karena mungkin rindu itu memang tak pernah ada.

"Kenangan pahitkah?" tanya sebuah suara.
"Mungkin," jawabku sepat.

Aku masih sering melintas di depannya, membangkitkan beribujuta kenangan yang tersisa di memoarku yang kusam. Melintas di depannya, dua-tiga bulan sekali. Tiap aku pulang dari kota, menuntut ilmu. Ia masih berdiri gagah dan sombong di antara petak-petak sawah. Di depannya ada jalan raya yang selalu kulintasi. Jalanan rusak penuh lobang dan kepulan debu. Bising suara kendaraan raksasa yang menyeret tubuhnya di sepanjang jalanan 'hancur' itu. Sungguh sebuah kekonyolan meletakkan bangunan megah itu terkucil di sana. Gersang. Sepi. Dan bangunan itu layaknya pusat peradaban. Dua tahun aku pernah menetap di sana. Sebagai murid berseragam putih abu-abu.

Sebelas. Aku tak pernah menyukai sepakbola dan segala tetek-bengeknya. Namun, hari itu aku harus menyadari satu hal: penduduk kelas berhawa dingin itu layaknya tim sepakbola. Sebelas. Aku membenci kesalahan tulisan 'Jenis Kelamin' yang tertera di buku absen. Alangkah naifnya jika makhluk manis berjilbab sepertiku dilabeli 'L' sehingga aku harus memplesetkannya menjadi 'Ladies'. Sungguh motonon menemui kenyataan nama wali kelas yang tak terganti semenjak aku masih bocah ingusan di sekolah itu. Aku malas bercerita secara detail tentangnya. Ia wanita tua yang sungguh perfeksionis. Refleksi dari Hitler yang menindas. Buah pendidikan konvensional yang menerapkan kekonvensionalan pendidikan pula. Malangnya, ia membawahi mata pelajaran favoritku di masa putih biru: English. Bahasa itu pula yang menjadi andalan sekolah itu, hingga ditambahi embel-embel 'bertaraf internasional', padahal kurasa lebih cocok menggunakan kata 'bertarif', bukan 'bertaraf'. Alangkah lucunya negeri ini, sebuah sekolah go abroad, kepala sekolahnya sungguh terbata-bata berkata-kata dalam bahasa internasional. Menjadi bahan tertawaan seisi lapangan ketika upacara hari Senin.

Tak kutemui lagi kelas dengan nama-nama ilmuwan dan saintis tersohor seperti halnya kelas 8 dan 9 dulu. Napoleon, Darwin, Newton, Marcopolo. Aku takjub dengan nama-nama itu. Nama yang dijadikan ruang kelas kami, berharap kelak mengikuti jejak sang pemilik nama. Nama-nama keren itu tak lagi kujumpai. Hanya angka romawi biasa dan huruf biasa. XII A2, XII S1, dan lain-lain. Menjemukan.

IPS. Kadang ada suara-suara resek yang berbaur dengan gurat kesombongan, namun tanpa diimbangi sebuah kesadaran akan potensi dirinya sendiri. Adalah sebuah kekonyolan (lagi) demi entah apa, berpuluh siswa yang terstempel IPS di rapornya menjelang kenaikan kelas XI merajuk--migrasi besar-besaran ke IPA, layaknya antelop dehidrasi di padang Afrika. Dengan mudahnya. Tanpa tetek-bengek dan birokrasi yang menyulitkan. Aku enggan. Aku benci angka dan rumus-rumus susah. Benci Fisika, Kimia, apalagi Matematika--meski aku kagum kepada para saintis. Bagiku, mereka semua hanya teori pemeras otak remajaku. Tanpa aplikasi, tanpa implikasi, tanpa bukti yang bisa diapresiasi. Ya, ketika itu aku harus belajar imajinasi, yang sayangnya bukan imaji tentang sebuah drama melankolis, namun zat-zat aneh yang wujudnya entahlah. Aku enggan. Aku tetap menetap di sini. Walau sebelas ekor. Dengan wali kelas abadi, reinkarnasi Hitler versi nenek-nenek.

Awal mula tak saling sapa. Sebagian kenal, sebagian baru. Sebelas ekor itu jumlah sangat sedikit. Menghafal nama adalah perkara anak TK. Kelas eksklusif di pojok lantai atas, dekat dengan kantin dan lab komputer. Layaknya les pivat, tinggallah 8 orang ketika pelajaran agama Islam. Sunyi. Senyap. Bahkan aneh, bagiku. Aku tak peduli dengan ucapan-ucapan miring tentang murid IPS. Lebih liar dari anak IPA atau apalah, anak IPA kadang lebih picik--ngapain masuk IPA kalau ujung-ujungnya kuliah di jurusan IPS? Di kelas berpenghuni sedikit itu aku kenal dengan beberapa yang mengajariku keburukan, juga yang mengajari kebaikan. Bersama-sama melarikan diri dari kelas Akuntansi dan bersembunyi di ruang UKS--pura-pura pusing. (memang iya, pusing menghitung debet-kredit. Jelas, saya bukan tipe orang mata duitan). Aku mulai menghargai kebersamaan yang aneh itu. Perlahan tapi pasti. Conversation. Pelajaran satu ini sama sekali tak mencipta rasa bosan, namun menegangkan. Pengajarnya adalah bapak-bapak bercelana cingkrang yang enggan salaman. Mulutnya selalu berceloteh tentang Amerika yang ia banggakan. Indonesia? Non-sense. Ia memiliki inovasi pembelajaran yang jauh dari konvensional. Ada apresiasi bagi muridnya. Sweet Seventeen-ku, dirayakan di kelas sempit itu, atas inisiatif sang bapak guru. Setiap dari mereka mengucap selamat kepadaku. Tak bisa kusembunyikan haru yang merambat hangat dalam degup di dadaku. Beliau menyuruhku menyanyi. Lagu Barat. Namun, lirik yang terucap dari bibirku justru.. lagu Jepang. "Ashita sae mieta nara..." Sebuah doa indah dari sahabat terucap lirih, "Semoga nanti kau benar-benar ke Jepang," Meski tak ada kue, lilin dengan angka 17, apalagi kado dari someone special. Karena itulah aku merengek kado kepada Bapak; kamus Bahasa Jepang.

Civics. Tak ada yang lebih membuat pegal urat leher dan jari tangan selain mengisi LKS. Buku yang kurasa lebih pantas jadi kertas pembungkus kacang rebus itu harus diisi penuh jika ingin tambahan nilai. Dari sini, harus belajar satu hal lagi; menjadi warga negara yang baik tidak mungkin melalui kertas pembungkus kacang rebus. Sebuah tragedi terjadi, justru ketika pelajaran ini berlangsung dengan amat kusyuk. Bunyi berdebam itu membuatku jantungan. Atap kelas roboh. Menciptakan sebuah lobang besar di langit-langit layaknya ozon yang terlobangi. Sekolah ini baru, bukan begitu? 44 milyar? Atap roboh, pintu rusak, meja patah, langit-langit bocor... Kelak, 44 milyar itu akan bersaksi di hadapan-Nya... Tentang tikus-tikus berdasi pengerat duit rakyat. Kelas sempitku berpindah ke ruang khusus yang namanya 'Akselerasi', terletak nun jauh dari kantin dan lab komputer, berdekatan dengan toilet yang terkenal berhantu di seantero sekolah. Di sini, aku bebas memandang jalan raya rusak itu beserta lalu lalang kendaraan raksasa yang melintas-lintas.. Tak ada AC layaknya di kelas-kelas lain. Hanya ada kipas angin yang menengok kiri-kanan, tak mempan mengusir kegerahan. Sebelas ekor itu bertambah satu. Pindahan dari kelas IPA. Entahlah, di saat yang lain mendambakan IPA, ia justru mengungsi ke IPS. Kuhargai itu sebagai suatu apresiasi dan kesadaran akan potensi diri sendiri. Meski begitu, kelas tak bertambah ramai. Tetap makhluk-makhluk pendiam yang menghuni kesunyian. Kecuali ketika jam kosong, maka dalam sekejap mereka akan berubah tabiat, kelas ramai bagai pasar.

Sebuah kesalahan. Ya, bukan manusia jika tak pernah bersalah. Sering bolos, menyeretku ke ruang BP, ruang yang lebih angker daripada toilet berhantu di samping kelasku. Lebih angker karena di sana duduk seorang wanita berkarakter mirip wali kelasku. Orang yang membuat pencitraan BP horor dan suram macam ruang eksekusi. Hm, kurasa ia harus kuliah sekali lagi.. Belajar tekun tentang konseling masa kini yang jauh dari metode angker-nya itu. Sang wali kelas terhormat berkoar-berkoar lewat TOA, memanggil namaku dengan nada tak suka, namun aku tetap bengal. Tak kuindahkan itu, buru-buru hengkang dari sekolah, mencegat bis dan pulang.

"Kamu mau nggak naik kelas?" tatapannya tajam, menyeringai, saat itu aku yakin ia bukan lagi reinkarnasi Hitler, tapi Dementor yang lepas dari Azkaban. Aku tak mampu berkata-kata karena kebahagiaanku sudah habis dihisapnya. Lemas tak bergerak di atas bangku kelas. Meski dalam hati, aku menangis diam-diam. Sungguh, aku tak menginginkan ini terjadi. Seakan seluruh dunia berbalik memusuhiku. Hari-hariku diisi dengan kelesuan dan putus asa. Hingga perjuanganku berhasil, lepas dari ancaman kata-katanya yang membuatku tertekan. Melakoni hari-hariku seperti sedia kala. Ngekos dari Senin hingga Jumat. Masuk sekolah dari pagi hingga sore. Mengerjakan tugas-tugas di laptop baruku waktu itu. Menulis berbagai macam tulisan. Membikin weekly--tugas spesial dari sang wali kelas abadi. Jika bukan karena aku senang menulis, mungkin aku tak jarang kena damprat seperti yang lain, telat menumpuk buku bersampul Winnie The Pooh bernama Weekly-cerita pekanan. Tidak lagi merutuki bahwa kelas ini adalah kelas terbuang dan diasingkan. Namun tetap tak sehangat dan seakrab kelasku sebelumnya. Kadang ada umpatan kotor yang keluar dari beberapa bibir. Tak jarang ada emosi-emosi yang meruap, tertahan, dan tumpah ruah. Canda justru menorehkan luka. Aku semakin menyadari sebuah ketidakadilan, semakin mengerti urgensi sebuah pemberontakan. Offensive. Bukannya defensive sepertiku. Mangkuk dipecahkan, tas dihilangkan, jajan dicuri, disisihkan tempat duduknya, memanggil dengan panggilan yang tak kusuka, ancaman-ancaman (aku tak ingin datang pesta sekolah di suatu malam, karena aku sakit dan benci kegiatan malam, apalagi pesta hura-hura. Ancamannya: buat yang tak datang, BAYAR DENDA 75 RIBU, DICUEKIN, DAN GAK DIPERCAYA OMONGANNYA!) membuatku nampak semakin remeh-temeh di mata mereka. Ah, itu hal biasa sebenarnya, namun ini... "Jangan jadi Muslim yang menyebalkan, huh!" kalimat itu meluncur otomatis dari bibir gadis berkerudung di depanku. Astaghfirullah, aku hanya bertanya tentang PR Bahasa Mandarin. Aku telah mengusik kenyamanannya mendengarkan musik. Ah, lagipula, tanggapannya seperti tadi lebih menunjukkan siapa sebenarnya yang tidak baik. Aku jadi ingin juga pindah ke IPA, lebih memiliki keluarga di sana.. daripada di sini..
 *

Kuusap linang yang luruh sejak tadi, aku masih belum beranjak dari sajadah, masih terbalut mukena. Entah mengapa ingatan itu berputar dalam benak begitu saja, menuntunku berbalik ke memoar tak sedap di masa lalu. Ah, aku tak pernah membayangkan akan kembali bersua. Jika diingat akan sakit. Maka, kuputuskan untuk memendamnya dalam-dalam. Tertimbun dalam jejak-jejak langkahku di hari depan. Tergilas oleh berbagai mimpi dan harapan yang kurenda dengan tanganku sendiri.

"Lantas, untuk apa luh yang tak kuasa tertahan itu?" tanya sebuah suara lagi.
"Hanya tetesan rasa syukur atas indahnya berjumpa dengan teman seperjuangan, teman-teman bak keluarga yang harmonis dan manis, persahabatan yang hangat dan nikmat. Di sini. Di kota penuh cinta."

Aku tak bisa mendapatkan semua yang aku cintai. Namun, aku bisa mencintai apa yang aku dapatkan...




(untuk sahabat-sahabatku. Lagi-lagi, aku hanya ingin berbagi)


-Yogyakarta, Januari 2011-

Jikalau potongan kenangan bisa diiris, lantas dibuang, rasanya ingin mengiris sejumlah kenangan pahit di masa lalu, biar tak berjejalan di pikiran, biar yang tersisa hanya kenangan indah saja.
Namun, aku tersadar, kenangan tak akan pernah bisa diiris kemudian dibuang sebagian untuk menyisakan sebagian lainnya begitu saja. Kenangan tetap utuh merekam segala rupa-rupa ingatan dari beragam jerejak peristiwa yang kita tinggalkan--entah sedih, senang, tawa, tangis, duka, suka, dan semacamnya. Betapapun kita tak suka dengan sejumlah kenangan pahit, karena menyakitkan dan membuat kita tersuruk dalam air mata, sebenarnya ia sama pentingnya dengan kenangan manis. Bagaimana kita mampu mengenali manis jika tak merasakan pahit? Begitupun sebaliknya. Sebab, suka dan duka yang berlawanan sesungguhnya berada di neraca yang sama, pahit-manis berjalan bersisian dalam bentangan rasa kehidupan. Rumus sederhana yang sering dilupa.

Maka sebaiknya segala rupa kenangan-tak peduli yg membangkitkan tawa atau yg menggulirkan air mata-disimpan rapi di laci yang sama. Kau pasti paham, ada sejumlah hikmah berjejalan di sana, untuk kau ambil pelajarannya untuk hidupmu kini dan juga nanti.




-Januari 2015- 

Tidak ada komentar: