Senin, 29 Juni 2015

Kerudung Pyramid





“Gue sebel tau, sama orang-orang yang berkerudung pyramid!” Eh? Saya mengernyitkan kening. Baru kali ini telinga saya mendengar istilah itu. Dalam perjalanan kami beli cemilan di minimarket terdekat dengan kampus, senpai[1] saya di kampus itu bercerita berapi-api dan tanpa tedeng aling-aling. Awal mula saya melihatnya di kampus, ia belum berkerudung seperti sekarang. Rambut ikal panjangnya diurai begitu saja, terkadang ia pakai rok pendek juga. Namun, saya yakin sekarang ia masih dalam proses menjadi baik meski kerudungnya masih ala kadarnya. Meski saya pun tak tahu-menahu, apakah ia masih buka-tutup kerudung atau sudah belajar istikamah. Setidaknya, keputusannya memakai kerudung adalah jauh lebih mending daripada segambreng perempuan lain di dunia ini yang mengaku menganut agama Rasulullah saw pula, namun masih terperangkap pada pemikiran yang memandang kewajiban berhijab sebagai sesuatu yang tidak perlu ia laksanakan.

Kemudian mengalirlah ceritanya mengenai pengalamannya semasa S-1 ketika ia pernah ikut program pertukaran mahasiswa di Kansai, Jepang. Di sana ia bertemu dengan teman-teman Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) setempat. Anggota PPI Kansai yang notabene berisikan banyak ikhwah—dengan ciri khas perempuannya berkerudung lebar membuat senpai saya yang ketika itu masih belum berkerudung merasa minder. Namun rasa keakraban dan kekeluargaan yang diharapkannya dari saudara sebangsa itu tidak mewujud dalam kenyataan. Di tengah-tengah orang Indonesia, ia justru merasa terasing dan dianggap tidak ada. Kontras sekali dengan hijaber-hijaber yang pakaiannya setipe itu, jika saling bertemu akrabnya bukan main. Salaman, berpelukan dan cipika-cipiki. Hingga rasa jengah membuat senpai saya enggan bergaul dengan mereka lagi. Ah, sebenarnya bukan hanya ketika di Jepang ia mendapat perlakuan seperti itu. Kampusnya di Indonesia, merupakan salah satu kampus yang didominasi salah satu gerakan Islam terkemuka. Ia yang—lagi-lagi—notabene belum berkerudung dipandang seolah sebagai makhluk super pendosa.

“Gue sama temen-temen di kampus dulu nyebutnya kerudung pyramid, yang bentuknya lebar-panjang-segitiga.” Saya ternganga, spontan menunduk memerhatikan kerudung saya sendiri. Apa dia tidak menyadari, saya juga sering berkerudung dengan model seperti itu.

“Kenapa dianalogikan dengan pyramid?” tanya saya.

Pyramid kan megaaaah…” ucapnya setengah bercanda. Entahlah, itu justru saya tafsirkan sebagai sebuah sindiran halus. Pyramid yang megah, besar, bukan lagi dianggap sebagai tanda tingginya suatu peradaban—pakaian orang yang telah meninggalkan masa kejahiliahannya, namun tak lebih dari simbol sebuah keangkuhan dengan embel-embel agama yang amat nyata.

Cerita senpai saya tadi bukan satu-satunya cerita yang saya dapat. Sebelumnya, ada orang lain yang juga pernah bercerita hal serupa. Salahkah aku berpakaian seperti ini? Kaum eksklusif itu—mereka yang berkerudung lebar, memandangku sebelah mata, seolah aku penuh dosa dan tak pantas diakrabi. Ya, ia hanya menutup tubuh sekadarnya. Bercelana ketat dan kerudung terawang yang dilipat ke pundak, tidak diulurkan menutup dada sesuai standar hijab yang seharusnya.

Astaghfirullahaladziim… adakah diri yang penuh khilaf ini juga pernah bertindak seperti demikian? Jika ya, semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa yang saya sadari maupun tidak saya sadari, meski setitik, sezarrah, nan tak kasat mata. Bahwa hamba-Nya yang mengaku telah berhijab sesuai syariat ini juga belum baik, bahwa hamba-Nya yang masih tertatih belajar ini juga bukanlah malaikat yang tanpa cela, bukan bidadari bumi yang tercipta dengan kebeningan dan kelapangan hati seluas samudra.

Alangkah tidak terpujinya akhlak seorang muslimah yang lantaran kerudung lebarnya—diberi stigma ‘salehah’ oleh lingkungan sekitarnya, menjadi aktivis dakwah di kampusnya, namun pada kenyataannya tidak mampu menjalin hubungan baik dengan sesamanya karena segumpal ujub. Pada akhirnya, ia yang seharusnya menjadi dai dan berdakwah dengan kelembutan, keburu ditinggalkan obyek dakwah yang selayaknya bisa menjadi ladang pahala. Bukankah ironis? Bagaimana mampu menyampaikan kebenaran, jika dengan cara yang salah? Bagaimana jika bukan stigma “alim” yang melekat, namun malah cap “teroris” dan “aliran sesat” yang melekat kemudian, tersebab sikap ujub dan perilaku yang tidak ramah?

Duhai, bukankah semuanya membutuhkan proses? Seandainya diri ini dulu telah akrab dengan hijab sejak kanak-kanak, tentu saya tidak akan memiliki pengalaman bagaimana berproses. Kendati sejak TK saya disekolahkan di sekolah Islam, kesadaran tentang perintah berhijab itu justru saya ketahui setelah saya sudah lepas dari madrasah, di SMP swasta biasa, di mana hanya ada satu teman saya yang berjilbab. Sisanya, termasuk saya, meskipun Muslim semua tidak ada yang berjilbab. Persepsi saya bahwa jilbab itu norak dan kuno runtuh begitu saja ketika guru agama saya ketika itu menunjukkan ayat Alquran yang memerintahkan perempuan Muslim untuk berhijab. Keinginan untuk menutup aurat perlahan mulai saya tanamkan, meskipun baru bisa terlaksana ketika saya masuk SMA. Awal berhijab, masih buka-tutup—kadang berjilbab kadang juga tidak, dengan kerudung yang ala kadarnya, masih hobi bercelana, ikut beladiri campur sama laki-laki, belum bisa menjaga batasan-batasan dengan non-mahram, dan sebagainya. Itu pun tak lepas dari ujian yang datang dari orang-orang terdekat. Memang, belum dikatakan beriman jika kita belum diuji. Alhamdulillah, Ia mempertemukan saya dengan orang-orang baik nan salehah, yang membantu menjaga cahaya kecil dalam hati saya untuk tetap menyala. Bersama mereka, perlahan namun pasti, saya melalui fase itu: metamorfosa. Ya, semuanya membutuhkan proses, tidak ada jalan menuju surga yang serba mudah dan instan. Bukankah seekor ulat tidak serta-merta bertransformasi menjadi kupu-kupu cantik tanpa ia bertapa menjadi kepompong terlebih dahulu? Sedangkan proses merupakan perjuangan yang tidak gampang pula. Kita tidak tahu-menahu apa yang ada di hati orang lain. Kita tidak mengerti apa yang terjadi dengan kehidupan mereka. Bisa jadi mereka memang sedang tertatih belajar, bisa jadi mereka memang telah berniat menyempurnakan hijabnya namun belum kesampaian. Wallahua’lam. Jangan sampai kita yang merasa sudah baik dan “berkerudung syar’i” ini malah menjadi penghalang nilai-nilai kebaikan bagi sahabat-sahabat yang masih berproses.

Saya lantas teringat dengan kutipan dalam buku Bagaimana Menyentuh Hati (At-Thariq Ilal Quluub) yang ditulis oleh Abbas As-Siisy: “Kesucian suatu tujuan menuntut kesucian dalam merealisasikannya.” Beliau juga berkisah tentang orang Badui yang buang air kecil di masjid.

Pada suatu hari ada seorang Badui yang buang air kecil di masjid. Melihat kejadian itu para sahabat menjadi berang, lalu memarahinya. Melihat hal itu Rasulullah bersabda, “Biarkanlah… dan siramlah bekas air seninya dengan satu ember atau satu gayung air. Kalian disuruh untuk mempermudah dan bukan mempersulit.” (HR. Bukhari)
Dalam peristiwa ini ada pelajaran sangat berharga yang harus dipahami oleh para dai. Ada orang yang buang air kecil di masjid. Memang ini merupakan pemandangan yang membuat darah mendidih, tetapi kita bisa melihat bagaimana Rasulullah menyikapi kejadian ini. Rasulullah membiarkannya dan menyuruh para sahabat agar menyiram bekas air seni itu, karena Rasulullah mengetahui bahwa perbuatan semacam itu tidak akan dilakukan, kecuali oleh orang yang baru masuk Islam, dan orang semacam itu butuh belajar, bukan malah dimarahi dan dimaki.
“Kalian diutus untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit.” Seakan-akan Rasulullah bersabda kepada setiap Muslim, “Sesungguhnya kamu mempunyai tugas untuk berdakwah dengan bijaksana dan dengan nasihat yang baik.” Orang-orang yang seperti orang Badui itu adalah sasaran dakwah kita. Lalu bagaimana kita akan bisa mendakwahi jika sebelumnya kita sudah memarahi dan menyakitinya?
Ada pemuda masuk masjid lalu salat, sedangkan di lehernya melingkar seuntai kalung emas. Baru saja ia menolehkan wajahnya ke samping kiri sebagai tanda telah menyelesaikan salatnya, tiba-tiba beberapa orang yang ada di masjid itu mendekatinya dan dengan nada marah mereka menjelaskan bahwa memakai emas itu haram hukumnya bagi laki-laki. Bahkan ada di antara mereka yang hampir mengusirnya dari masjid.
Seandainya para dai muda itu telah memahami ajaran agama mereka, pasti mereka akan mengetahui bahwa pemuda itu berasal dari lingkungan yang tidak islami dan kedatangannya ke masjid itu dalam rangka kembali ke jalan Allah swt. Sebetulnya sikap yang harus diambil adalah merasa gembira dan menyambutnya dengan baik karena ia adalah aset bagi kita, andai saja mereka memahami.[2]
Suatu kali, saya mendengar ada salah seorang akhwat yang curhat tentang temannya di kampus yang mengejeknya dan teman-teman berkerudung lebar dengan sebutan “jilbab taplak”. Bahkan sebutan itu pernah pula dilontarkan oleh seseorang kepada saya. Sebelas-dua belas-lah dengan sebutan jilbab atau kerudung pyramid. Terlepas bahwa sebutan itu merupakan ejekan atau sekadar gurauan belaka, jangan-jangan itu bukan dosa si penyemat julukan sepenuhnya. Semoga selalu terlantun istighfar dari hati-hati kita yang merindu keridaan-Nya. Allahumaj’alni maratush shalihah. Terakhir, saya pinjam istilahnya Mbak Asma Nadia: jangan jadi muslimah nyebelin! ^_^

“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata, ‘sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’? Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang di antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang setia.” (QS. Fushilat: 33-34)


Baiti Jannati, 12 Ramadan 1436 H



[1] Senior
[2] As-Siisy, Abbas. 2009. Bagaimana Menyentuh Hati: Kiat-Kiat Memikat Objek Dakwah. Terj. Muhil Dhafir. Surakarta: Era Intermedia. Hal 105-108

Tidak ada komentar: