“Gue
sebel tau, sama orang-orang yang berkerudung pyramid!” Eh? Saya
mengernyitkan kening. Baru kali ini telinga saya mendengar istilah itu. Dalam
perjalanan kami beli cemilan di minimarket
terdekat dengan kampus,
senpai[1]
saya di kampus itu bercerita berapi-api dan tanpa tedeng aling-aling.
Awal mula saya melihatnya di kampus, ia belum berkerudung seperti sekarang.
Rambut ikal panjangnya diurai begitu saja, terkadang ia pakai rok pendek juga.
Namun, saya yakin sekarang ia masih dalam proses menjadi baik meski kerudungnya
masih ala kadarnya. Meski saya pun tak tahu-menahu, apakah ia masih buka-tutup
kerudung atau sudah belajar istikamah. Setidaknya, keputusannya memakai
kerudung adalah jauh lebih mending daripada segambreng perempuan lain di dunia
ini yang mengaku menganut agama Rasulullah saw pula, namun masih terperangkap
pada pemikiran yang memandang kewajiban berhijab sebagai sesuatu yang tidak
perlu ia laksanakan.
Kemudian mengalirlah ceritanya
mengenai pengalamannya semasa S-1 ketika ia pernah ikut program pertukaran
mahasiswa di Kansai, Jepang. Di sana ia bertemu dengan teman-teman Persatuan
Pelajar Indonesia (PPI) setempat. Anggota PPI Kansai yang notabene berisikan
banyak ikhwah—dengan ciri khas
perempuannya berkerudung lebar membuat senpai
saya yang ketika itu masih belum berkerudung merasa minder. Namun rasa
keakraban dan kekeluargaan yang diharapkannya dari saudara sebangsa itu tidak
mewujud dalam kenyataan. Di tengah-tengah orang Indonesia, ia justru merasa
terasing dan dianggap tidak ada. Kontras sekali dengan hijaber-hijaber yang pakaiannya setipe itu, jika saling bertemu
akrabnya bukan main. Salaman, berpelukan dan cipika-cipiki. Hingga rasa jengah membuat senpai saya enggan bergaul dengan mereka lagi. Ah, sebenarnya bukan
hanya ketika di Jepang ia mendapat perlakuan seperti itu. Kampusnya di
Indonesia, merupakan salah satu kampus yang didominasi salah satu gerakan Islam
terkemuka. Ia yang—lagi-lagi—notabene belum berkerudung dipandang seolah
sebagai makhluk super pendosa.
“Gue sama temen-temen di kampus dulu
nyebutnya kerudung pyramid, yang
bentuknya lebar-panjang-segitiga.” Saya ternganga, spontan menunduk
memerhatikan kerudung saya sendiri. Apa dia tidak menyadari, saya juga sering
berkerudung dengan model seperti itu.
“Kenapa dianalogikan dengan pyramid?” tanya saya.
“Pyramid
kan megaaaah…” ucapnya setengah bercanda. Entahlah, itu justru saya tafsirkan
sebagai sebuah sindiran halus. Pyramid yang
megah, besar, bukan lagi dianggap sebagai tanda tingginya suatu peradaban—pakaian
orang yang telah meninggalkan masa kejahiliahannya, namun tak lebih dari simbol
sebuah keangkuhan dengan embel-embel agama yang amat nyata.
Cerita senpai saya tadi bukan satu-satunya cerita yang saya dapat.
Sebelumnya, ada orang lain yang juga pernah bercerita hal serupa. Salahkah aku berpakaian seperti ini? Kaum
eksklusif itu—mereka yang berkerudung lebar, memandangku sebelah mata, seolah
aku penuh dosa dan tak pantas diakrabi. Ya, ia hanya menutup tubuh
sekadarnya. Bercelana ketat dan kerudung terawang yang dilipat ke pundak, tidak
diulurkan menutup dada sesuai standar hijab yang seharusnya.
Astaghfirullahaladziim… adakah diri yang penuh khilaf ini juga pernah bertindak seperti demikian?
Jika ya, semoga Allah senantiasa mengampuni dosa-dosa yang saya sadari maupun
tidak saya sadari, meski setitik, sezarrah, nan tak kasat mata. Bahwa hamba-Nya
yang mengaku telah berhijab sesuai syariat ini juga belum baik, bahwa hamba-Nya
yang masih tertatih belajar ini juga bukanlah malaikat yang tanpa cela, bukan
bidadari bumi yang tercipta dengan kebeningan dan kelapangan hati seluas
samudra.
Alangkah tidak terpujinya akhlak
seorang muslimah yang lantaran kerudung lebarnya—diberi stigma ‘salehah’ oleh
lingkungan sekitarnya, menjadi aktivis dakwah di kampusnya, namun pada
kenyataannya tidak mampu menjalin hubungan baik dengan sesamanya karena
segumpal ujub. Pada akhirnya, ia yang
seharusnya menjadi dai dan berdakwah dengan kelembutan, keburu ditinggalkan
obyek dakwah yang selayaknya bisa menjadi ladang pahala. Bukankah ironis?
Bagaimana mampu menyampaikan kebenaran, jika dengan cara yang salah? Bagaimana
jika bukan stigma “alim” yang melekat, namun malah cap “teroris” dan “aliran
sesat” yang melekat kemudian, tersebab sikap ujub dan perilaku yang tidak ramah?
Duhai, bukankah semuanya membutuhkan
proses? Seandainya diri ini dulu telah akrab dengan hijab sejak kanak-kanak,
tentu saya tidak akan memiliki pengalaman bagaimana berproses. Kendati sejak TK
saya disekolahkan di sekolah Islam, kesadaran tentang perintah berhijab itu
justru saya ketahui setelah saya sudah lepas dari madrasah, di SMP swasta
biasa, di mana hanya ada satu teman saya yang berjilbab. Sisanya, termasuk
saya, meskipun Muslim semua tidak ada yang berjilbab. Persepsi saya bahwa
jilbab itu norak dan kuno runtuh begitu saja ketika guru agama saya ketika itu
menunjukkan ayat Alquran yang memerintahkan perempuan Muslim untuk berhijab.
Keinginan untuk menutup aurat perlahan mulai saya tanamkan, meskipun baru bisa
terlaksana ketika saya masuk SMA. Awal berhijab, masih buka-tutup—kadang
berjilbab kadang juga tidak, dengan kerudung yang ala kadarnya, masih hobi
bercelana, ikut beladiri campur sama laki-laki, belum bisa menjaga
batasan-batasan dengan non-mahram, dan sebagainya. Itu pun tak lepas dari ujian
yang datang dari orang-orang terdekat. Memang, belum dikatakan beriman jika kita belum diuji. Alhamdulillah, Ia
mempertemukan saya dengan orang-orang baik nan salehah, yang membantu menjaga
cahaya kecil dalam hati saya untuk tetap menyala. Bersama mereka, perlahan
namun pasti, saya melalui fase itu: metamorfosa. Ya, semuanya membutuhkan
proses, tidak ada jalan menuju surga yang serba mudah dan instan. Bukankah
seekor ulat tidak serta-merta bertransformasi menjadi kupu-kupu cantik tanpa ia
bertapa menjadi kepompong terlebih dahulu? Sedangkan proses merupakan
perjuangan yang tidak gampang pula. Kita tidak tahu-menahu apa yang ada di hati
orang lain. Kita tidak mengerti apa yang terjadi dengan kehidupan mereka. Bisa
jadi mereka memang sedang tertatih belajar, bisa jadi mereka memang telah
berniat menyempurnakan hijabnya namun belum kesampaian. Wallahua’lam. Jangan sampai kita yang merasa sudah baik dan
“berkerudung syar’i” ini malah
menjadi penghalang nilai-nilai kebaikan bagi sahabat-sahabat yang masih
berproses.
Saya lantas teringat dengan kutipan
dalam buku Bagaimana Menyentuh Hati (At-Thariq Ilal Quluub) yang ditulis oleh
Abbas As-Siisy: “Kesucian suatu tujuan menuntut kesucian dalam
merealisasikannya.” Beliau juga berkisah tentang orang Badui yang buang air
kecil di masjid.
Pada suatu hari ada seorang Badui yang buang air kecil di masjid. Melihat kejadian itu para sahabat menjadi berang, lalu memarahinya. Melihat hal itu Rasulullah bersabda, “Biarkanlah… dan siramlah bekas air seninya dengan satu ember atau satu gayung air. Kalian disuruh untuk mempermudah dan bukan mempersulit.” (HR. Bukhari)
Dalam peristiwa ini ada pelajaran sangat berharga yang harus dipahami oleh para dai. Ada orang yang buang air kecil di masjid. Memang ini merupakan pemandangan yang membuat darah mendidih, tetapi kita bisa melihat bagaimana Rasulullah menyikapi kejadian ini. Rasulullah membiarkannya dan menyuruh para sahabat agar menyiram bekas air seni itu, karena Rasulullah mengetahui bahwa perbuatan semacam itu tidak akan dilakukan, kecuali oleh orang yang baru masuk Islam, dan orang semacam itu butuh belajar, bukan malah dimarahi dan dimaki.
“Kalian diutus untuk mempermudah dan bukan untuk mempersulit.” Seakan-akan Rasulullah bersabda kepada setiap Muslim, “Sesungguhnya kamu mempunyai tugas untuk berdakwah dengan bijaksana dan dengan nasihat yang baik.” Orang-orang yang seperti orang Badui itu adalah sasaran dakwah kita. Lalu bagaimana kita akan bisa mendakwahi jika sebelumnya kita sudah memarahi dan menyakitinya?
Ada pemuda masuk masjid lalu salat, sedangkan di lehernya melingkar seuntai kalung emas. Baru saja ia menolehkan wajahnya ke samping kiri sebagai tanda telah menyelesaikan salatnya, tiba-tiba beberapa orang yang ada di masjid itu mendekatinya dan dengan nada marah mereka menjelaskan bahwa memakai emas itu haram hukumnya bagi laki-laki. Bahkan ada di antara mereka yang hampir mengusirnya dari masjid.
Seandainya para dai muda itu telah memahami ajaran agama mereka, pasti mereka akan mengetahui bahwa pemuda itu berasal dari lingkungan yang tidak islami dan kedatangannya ke masjid itu dalam rangka kembali ke jalan Allah swt. Sebetulnya sikap yang harus diambil adalah merasa gembira dan menyambutnya dengan baik karena ia adalah aset bagi kita, andai saja mereka memahami.[2]
Suatu kali, saya mendengar ada salah seorang akhwat yang curhat tentang temannya di kampus yang mengejeknya
dan teman-teman berkerudung lebar dengan sebutan “jilbab taplak”. Bahkan
sebutan itu pernah pula dilontarkan oleh seseorang kepada saya. Sebelas-dua
belas-lah dengan sebutan jilbab atau kerudung pyramid. Terlepas bahwa sebutan itu merupakan ejekan atau sekadar
gurauan belaka, jangan-jangan itu bukan dosa si penyemat julukan sepenuhnya.
Semoga selalu terlantun istighfar
dari hati-hati kita yang merindu keridaan-Nya. Allahumaj’alni maratush shalihah. Terakhir, saya pinjam istilahnya
Mbak Asma Nadia: jangan jadi muslimah nyebelin! ^_^
“Dan siapakah yang lebih baik perkataannya
daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal shalih dan berkata,
‘sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri’? Tidaklah sama
kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih
baik, sehingga orang yang di antaramu dan dia ada permusuhan seolah-olah telah
menjadi teman yang setia.” (QS. Fushilat: 33-34)
Baiti
Jannati, 12 Ramadan
1436 H
[1] Senior
[2] As-Siisy, Abbas. 2009. Bagaimana
Menyentuh Hati: Kiat-Kiat Memikat Objek Dakwah. Terj. Muhil Dhafir. Surakarta:
Era Intermedia. Hal 105-108
Tidak ada komentar:
Posting Komentar