Ramadan di tahun 2013 tak ubahnya mata
koin dengan dua sisi yang bertolak belakang. Ada rasa bahagia membuncah, sebab
sidang skripsi yang selama berbulan-bulan menjadi bayang-bayang kelam di benak
saya telah usai, tinggal menunggu memakai toga dan menerima ijazah, alhamdulillah,
maka itulah puncak predikat bahagia seorang mahasiswa. Di sisi lain, ada rasa
sedih yang menggelayuti hati saya tersebab perpisahan yang hampir di depan mata
akan mencegat saya dengan kata sayounara, bukan lagi jya mata,
atau mata ashita. Sayounara, tak lain adalah ungkapan untuk
perpisahan dalam kurun waktu yang lama, dan bisa jadi tidak bertemu lagi.
Ramadan itu, Ramadan terakhir saya di kota bernama Yogyakarta, itu pun tidak
sepenuhnya. Setelah selesai wara-wiri dengan urusan berkas wisuda dan
yudisium, sudah bisa dipastikan, saat itulah saya harus dijemput pulang:
pertengahan Juli 2013.
Rasanya biasa saja ketika berkemas,
meninggalkan ruang yang sudah tiga tahun saya huni. Namun, ketika bus yang saya
tumpangi mulai melaju meninggalkan kota itu, susah payah saya sembunyikan air
mata yang mulai turun dari perempuan terkasih yang duduk di samping saya—yang
sejak selesai sahur sudah berangkat dari rumah untuk menjemput saya pulang ke
haribaan kampung halaman. Muncul tanya yang melesak dalam dada: mengapa
secepat ini saya harus pergi? Empat tahun terasa begitu singkat untuk saya
lalui. Entah, ada semacam duka yang susah untuk didefinisi. Meninggalkan
Jogja yang telah menjadi tempat bernaung saya selama empat tahun merupakan
keputusan berat yang harus dijalani.
Darinya saya belajar banyak hal tentang
kehidupan. Ia mengajarkan saya betapa bahagia bukan sesuatu yang melulu diukur
dengan materi. Bahagia bagi Jogja adalah perkara sederhana. Sesederhana tawa
renyah yang ada hingga jauh malam di angkringan-angkringan tepi jalan.
Sesederhana suara ketipak kaki kuda penarik delman di sepanjang Malioboro.
Tempat itu pula yang memperjumpakan saya dengan sahabat-sahabat hebat,
orang-orang luar biasa yang menginspirasi. Hijrah ke kota
itu beberapa tahun silam bagi saya bukan hanya dimaknai secara lahiriah, namun
juga ruhiyah. Tempat itu pulalah yang memperjumpakan saya dengan
sahabat-sahabat dalam kebaikan. Dari mereka saya belajar lebih dalam tentang
makna metamorfosis—berubah menjadi lebih baik, laiknya kupu-kupu cantik. Dari
kesederhanaan mereka saya belajar bahwa kecantikan rupa tidak bisa mengalahkan
kecantikan hati. Dari kebersamaan-kebersamaan sederhana bersama mereka, ada
sejuta bahagia yang mengendap, kemudian bertransformasi menjadi semangat: “Kita
semua sama-sama berjuang meraih cinta-Nya!” Maka, masjid-masjid sekitar kampus
itu menjadi saksi hijrah tak kenal lelah dari para perindu jannah.
Saya
mengamini kalimat salah seorang ustaz: Jogja adalah kota yang saleh. Ya, secara
harfiah, ada banyak sekali ustaz, kajian, masjid-masjid yang seolah menjadi
pusat peradaban tersebar di seanteronya, menebarkan cahaya kearifan. Di sisi
lain, saleh, sebab ia kota besar yang tak metropolis dan angkuh seperti
ibukota. Meski sekarang telah banyak gedung dan pusat perbelanjaan yang
bertumbuh seiring geliat ekonomi masa kini, sisi sederhana itu tentu tetap ada,
tak lekang oleh usia, tak pudar ditelan zaman.
Meski
berat, ketika itu saya bertekad untuk pergi. Merantau ke bagian bumi-Nya yang
lain. Bukan pilihan saya untuk menetap di Jogja setelah studi S1 saya usai.
Saya ingin mencicipi bersekolah di perguruan tinggi papan atas lain di negeri
ini. Jogja terlalu nyaman untuk ditinggali, saya tidak akan pernah bisa move on dan
terperangkap pada zona nyaman jika tidak bergerak dan memutuskan benar-benar
pergi. Maka, saya beranikan diri menantang badai. Jakarta: kota yang
menjanjikan mimpi-mimpi. Dan begitulah, saya hijrah membawa segumpal mimpi yang
semenjak kanak telah saya simpan. Nasib baik, saya diterima sebagai mahasiswi
pascasarjana universitas yang juga melahirkan banyak orang besar di negeri ini.
Ada
jurang beda yang menganga, yang saya rasakan setelah menetap di tempat baru.
Segalanya berbeda, tentu saja. Tertatih beradaptasi membuat beberapa bulan saya
sakit-sakitan dan berat badan jadi turun drastis. Serta masih ada cobaan-cobaan
lain di kampus, di jalan, di mana-mana. Itu berarti, keputusan hijrah kemari
saya dari zona nyaman bernama Jogja adalah tepat sebab ini memang bukan zona
yang nyaman dalam berbagai segi. Ah, namun saya kehilangan banyak hal.
Teman-teman kampus yang tidak sebanyak dulu, kemudahan mendapatkan makanan dan
kebutuhan yang murah—sedangkan di ibukota makanan sungguh berharga, lingkungan
hangat nan kekeluargaan—sedangkan kini, orang-orang sekitar begitu
individualis. Sederhana. Kata itu tiba-tiba menguap hilang dari peredaran. Di
mata saya, rata-rata semuanya gemerlap, materi, uang, orang-orang kaya.
Gedung-gedung apartemen dan universitas yang menjulang tinggi itu seolah tak
ubahnya simbol-simbol keangkuhan yang amat nyata, terpampang nyalang di depan
mata saya. Itu semua kontras, berbenturan dengan pemandangan banyak penjaja
tisu, pengamen dan pengemis yang menadahkan tangan di pinggir-pinggir jalan,
atau bahkan penipu ulung yang mengaku tersesat namun meminta uang dengan cara
berbohong. Kesenjangan sosial yang sangat terasa.
Well,
kemudian, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak merindukan kota itu:
Yogyakarta. Kerinduan yang melesak lantas membuat saya jadi menumpahkannya di
mana-mana, berkali-kali, tidak terhitung lagi berapa kali saya menulis “rindu
Jogja”. Ada yang menuduh saya menyesal, ada yang mempersalahkan keputusan saya
pergi dari kota itu, ada yang berkata bahwa saya tidak bisa benar-benar hijrah.
Selanjutnya, segalanya ditanggapi dengan senyuman saja. Ya, saya memang tidak
bisa sepenuhnya hijrah. Badan saya memang hijrah, namun hati saya tidak.
Seperti ada kepingan-kepingan yang masih tertinggal dan belum saya pungut.
Namun, saya tidak menyesal. Tidak ada yang perlu disesali, sebab tidak ada
segala sesuatu yang dihadirkan Allah bagi seseorang dengan kesia-siaan. Sama
halnya seperti Jogja, saya pun belajar banyak hal dari kota nan keras berjudul
ibukota. Allah berkehendak menempa saya menjadi perempuan yang kuat, yang tidak
mudah rapuh dan patah. Bahwa hidup kita memiliki masanya untuk dilalui oleh
masa-masa sulit, oleh kerasnya halang-rintang. Kota nan keras itu juga
mengajari saya betapa hidup ini tidak linier, bukan garis lurus, namun random, ibarat
benang ruwet, tidak bisa diprediksi alurnya maupun ending-nya. Hanya
saja, sebagai seorang Muslim, berpegang teguh pada tali-Nya merupakan sebuah
keharusan yang niscaya.
Dari
semua keluhan rindu yang pernah saya lemparkan, di sisi lain saya bersyukur
mampu pergi melanjutkan hidup ke lain tempat. Saya lebih beruntung daripada
mereka yang tidak pergi dan menetap di sana sekian lama. Mereka tidak akan
merasakan pahitnya merindukan kota yang damai dan bersahaja bernama Jogja. Pun
mereka tidak akan merasakan betapa manisnya ‘pertemuan’ ketika kembali lagi ke
sana. Ya, rindu adalah candu untuk bertemu.
Ia
bukan tanah kelahiran saya. Ia juga bukan tempat saya tumbuh hingga remaja.
Namun, ia seolah menjadi kampung halaman setiap orang. Setiap kembali ke sana
sama dengan pulang. Gadjah Mada Chamber Orchestra yang menyenandungkan Yogyakarta dua
tahun lalu masih jelas terngiang di telinga hingga kini. Liriknya seakan merayu
untuk singgah ke sana lagi. Meninggalkan Jogja bukan berarti melepaskan semua
perca kenangan dan peristiwa yang telah dilalui. Ada yang harus tetap tinggal
dalam memori. Ada yang harus dilepaskan, dihapus, ditinggalkan dan dilupakan
seiring jeda jarak yang membentang. Memang, perlu ada ikhlas yang harus disemaikan
di lahan hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar