Jumat, 24 Juli 2015

ジョグジャカルタ






Ramadan di tahun 2013 tak ubahnya mata koin dengan dua sisi yang bertolak belakang. Ada rasa bahagia membuncah, sebab sidang skripsi yang selama berbulan-bulan menjadi bayang-bayang kelam di benak saya telah usai, tinggal menunggu memakai toga dan menerima ijazah, alhamdulillah, maka itulah puncak predikat bahagia seorang mahasiswa. Di sisi lain, ada rasa sedih yang menggelayuti hati saya tersebab perpisahan yang hampir di depan mata akan mencegat saya dengan kata sayounara, bukan lagi jya mata, atau mata ashita. Sayounara, tak lain adalah ungkapan untuk perpisahan dalam kurun waktu yang lama, dan bisa jadi tidak bertemu lagi. Ramadan itu, Ramadan terakhir saya di kota bernama Yogyakarta, itu pun tidak sepenuhnya. Setelah selesai wara-wiri dengan urusan berkas wisuda dan yudisium, sudah bisa dipastikan, saat itulah saya harus dijemput pulang: pertengahan Juli 2013.


Rasanya biasa saja ketika berkemas, meninggalkan ruang yang sudah tiga tahun saya huni. Namun, ketika bus yang saya tumpangi mulai melaju meninggalkan kota itu, susah payah saya sembunyikan air mata yang mulai turun dari perempuan terkasih yang duduk di samping saya—yang sejak selesai sahur sudah berangkat dari rumah untuk menjemput saya pulang ke haribaan kampung halaman. Muncul tanya yang melesak dalam dada: mengapa secepat ini saya harus pergi? Empat tahun terasa begitu singkat untuk saya lalui. Entah, ada semacam duka  yang susah untuk didefinisi. Meninggalkan Jogja yang telah menjadi tempat bernaung saya selama empat tahun merupakan keputusan berat yang harus dijalani. 


Darinya saya belajar banyak hal tentang kehidupan. Ia mengajarkan saya betapa bahagia bukan sesuatu yang melulu diukur dengan materi. Bahagia bagi Jogja adalah perkara sederhana. Sesederhana tawa renyah yang ada hingga jauh malam di angkringan-angkringan tepi jalan. Sesederhana suara ketipak kaki kuda penarik delman di sepanjang Malioboro. Tempat itu pula yang memperjumpakan saya dengan sahabat-sahabat hebat, orang-orang luar biasa yang menginspirasi. Hijrah ke kota itu beberapa tahun silam bagi saya bukan hanya dimaknai secara lahiriah, namun juga ruhiyah. Tempat itu pulalah yang memperjumpakan saya dengan sahabat-sahabat dalam kebaikan. Dari mereka saya belajar lebih dalam tentang makna metamorfosis—berubah menjadi lebih baik, laiknya kupu-kupu cantik. Dari kesederhanaan mereka saya belajar bahwa kecantikan rupa tidak bisa mengalahkan kecantikan hati. Dari kebersamaan-kebersamaan sederhana bersama mereka, ada sejuta bahagia yang mengendap, kemudian bertransformasi menjadi semangat: “Kita semua sama-sama berjuang meraih cinta-Nya!” Maka, masjid-masjid sekitar kampus itu menjadi saksi hijrah tak kenal lelah dari para perindu jannah


Saya mengamini kalimat salah seorang ustaz: Jogja adalah kota yang saleh. Ya, secara harfiah, ada banyak sekali ustaz, kajian, masjid-masjid yang seolah menjadi pusat peradaban tersebar di seanteronya, menebarkan cahaya kearifan. Di sisi lain, saleh, sebab ia kota besar yang tak metropolis dan angkuh seperti ibukota. Meski sekarang telah banyak gedung dan pusat perbelanjaan yang bertumbuh seiring geliat ekonomi masa kini, sisi sederhana itu tentu tetap ada, tak lekang oleh usia, tak pudar ditelan zaman. 


Meski berat, ketika itu saya bertekad untuk pergi. Merantau ke bagian bumi-Nya yang lain. Bukan pilihan saya untuk menetap di Jogja setelah studi S1 saya usai. Saya ingin mencicipi bersekolah di perguruan tinggi papan atas lain di negeri ini. Jogja terlalu nyaman untuk ditinggali, saya tidak akan pernah bisa move on dan terperangkap pada zona nyaman jika tidak bergerak dan memutuskan benar-benar pergi. Maka, saya beranikan diri menantang badai. Jakarta: kota yang menjanjikan mimpi-mimpi. Dan begitulah, saya hijrah membawa segumpal mimpi yang semenjak kanak telah saya simpan. Nasib baik, saya diterima sebagai mahasiswi pascasarjana universitas yang juga melahirkan banyak orang besar di negeri ini.


Ada jurang beda yang menganga, yang saya rasakan setelah menetap di tempat baru. Segalanya berbeda, tentu saja. Tertatih beradaptasi membuat beberapa bulan saya sakit-sakitan dan berat badan jadi turun drastis. Serta masih ada cobaan-cobaan lain di kampus, di jalan, di mana-mana. Itu berarti, keputusan hijrah kemari saya dari zona nyaman bernama Jogja adalah tepat sebab ini memang bukan zona yang nyaman dalam berbagai segi. Ah, namun saya kehilangan banyak hal. Teman-teman kampus yang tidak sebanyak dulu, kemudahan mendapatkan makanan dan kebutuhan yang murah—sedangkan di ibukota makanan sungguh berharga, lingkungan hangat nan kekeluargaan—sedangkan kini, orang-orang sekitar begitu individualis. Sederhana. Kata itu tiba-tiba menguap hilang dari peredaran. Di mata saya, rata-rata semuanya gemerlap, materi, uang, orang-orang kaya. Gedung-gedung apartemen dan universitas yang menjulang tinggi itu seolah tak ubahnya simbol-simbol keangkuhan yang amat nyata, terpampang nyalang di depan mata saya. Itu semua kontras, berbenturan dengan pemandangan banyak penjaja tisu, pengamen dan pengemis yang menadahkan tangan di pinggir-pinggir jalan, atau bahkan penipu ulung yang mengaku tersesat namun meminta uang dengan cara berbohong. Kesenjangan sosial yang sangat terasa.


Well, kemudian, tidak ada alasan bagi saya untuk tidak merindukan kota itu: Yogyakarta. Kerinduan yang melesak lantas membuat saya jadi menumpahkannya di mana-mana, berkali-kali, tidak terhitung lagi berapa kali saya menulis “rindu Jogja”. Ada yang menuduh saya menyesal, ada yang mempersalahkan keputusan saya pergi dari kota itu, ada yang berkata bahwa saya tidak bisa benar-benar hijrah. Selanjutnya, segalanya ditanggapi dengan senyuman saja. Ya, saya memang tidak bisa sepenuhnya hijrah. Badan saya memang hijrah, namun hati saya tidak. Seperti ada kepingan-kepingan yang masih tertinggal dan belum saya pungut. Namun, saya tidak menyesal. Tidak ada yang perlu disesali, sebab tidak ada segala sesuatu yang dihadirkan Allah bagi seseorang dengan kesia-siaan. Sama halnya seperti Jogja, saya pun belajar banyak hal dari kota nan keras berjudul ibukota. Allah berkehendak menempa saya menjadi perempuan yang kuat, yang tidak mudah rapuh dan patah. Bahwa hidup kita memiliki masanya untuk dilalui oleh masa-masa sulit, oleh kerasnya halang-rintang. Kota nan keras itu juga mengajari saya betapa hidup ini tidak linier, bukan garis lurus, namun random, ibarat benang ruwet, tidak bisa diprediksi alurnya maupun ending-nya. Hanya saja, sebagai seorang Muslim, berpegang teguh pada tali-Nya merupakan sebuah keharusan yang niscaya. 


Dari semua keluhan rindu yang pernah saya lemparkan, di sisi lain saya bersyukur mampu pergi melanjutkan hidup ke lain tempat. Saya lebih beruntung daripada mereka yang tidak pergi dan menetap di sana sekian lama. Mereka tidak akan merasakan pahitnya merindukan kota yang damai dan bersahaja bernama Jogja. Pun mereka tidak akan merasakan betapa manisnya ‘pertemuan’ ketika kembali lagi ke sana. Ya, rindu adalah candu untuk bertemu.


Ia bukan tanah kelahiran saya. Ia juga bukan tempat saya tumbuh hingga remaja. Namun, ia seolah menjadi kampung halaman setiap orang. Setiap kembali ke sana sama dengan pulang. Gadjah Mada Chamber Orchestra yang menyenandungkan Yogyakarta dua tahun lalu masih jelas terngiang di telinga hingga kini. Liriknya seakan merayu untuk singgah ke sana lagi. Meninggalkan Jogja bukan berarti melepaskan semua perca kenangan dan peristiwa yang telah dilalui. Ada yang harus tetap tinggal dalam memori. Ada yang harus dilepaskan, dihapus, ditinggalkan dan dilupakan seiring jeda jarak yang membentang. Memang, perlu ada ikhlas yang harus disemaikan di lahan hati.


Namun, lantaran kata sastrawan Joko Pinurbo Jogja terbuat dari rindu, pulang dan angkringan, izinkanlah aku untuk selalu pulang lagi… 

Tidak ada komentar: