Senin, 03 Agustus 2015

Rizuka




Nama lengkapnya Rizka Purnamasari. Secara harfiah, saya tidak tahu apa makna yang tersembunyi di balik nama itu. Namun, kulit putih dan mata sipitnya membuatnya sepintas seperti perempuan keturunan Jepang. Maka, saya suka memanggilnya Rizuka リズカ」—namanya kalau di-Jepang-kan.

Perjumpaan kami dimulai ketika pagi itu—bertahun-tahun silam, ia datang menjadi anggota baru ke kelompok halaqah kami yang baru berumur beberapa pekan. Ketika itu, kami semua tidak satu jurusan, namun bernaung di atap fakultas yang sama. Saya satu-satunya mahasiswi Sastra Inggris di forum itu. Begitu pun Rizka, ia jurusan Arkeologi. Di mata saya saat itu, ia dan Salsabilla sungguh teman dekat yang kemana-mana selalu bersama. Selain karena mereka satu jurusan di Arkeologi, potongan mereka pun nyaris sama: baju setelan dan kerudung gelap, sandal gunung, serta ransel di punggung. Berbeda dengan saya yang didominasi warna pink dan warna-warna cerah lainnya. Namun, siapa sangka, jika di kemudian hari, saya yang berbeda malah lebih nyaman sering menggeje bertiga dengan mereka.

Ah, sebenarnya, berada satu lingkaran tiap pekan itu bukanlah faktor utama kedekatan kami selanjutnya. Meski tidak tinggal satu atap, rumah kos kami lumayan berdekatan. Tidak terlalu jauh. Jadilah kami sering janjian makan bareng atau belanja bareng ke swalayan terdekat. Terkadang, saya main ke kamarnya, atau ia yang main ke kamar saya. Entah kenapa, kamar kos saya yang begitu sempit selalu terasa lapang justru ketika ada teman yang berkunjung. Ada kehangatan yang tercipta di sela-sela obrolan ngalor-ngidul dan canda-tawa penghapus penat karena kuliah. Aih, jadi kangen kos saya di Jogjaaaa >_<.

Hingga kemudian kami sama-sama berada di jajaran pengurus organisasi yang sama di fakultas. Ia sekretaris umum, dan saya ketua bidang keputrian. Tahun selanjutnya masih di organisasi yang sama, sama-sama sebagai Dewan Pertimbangan. Seringnya rapat bersama menambah kadar kedekatan itu. Saya yang cenderung manja dan “tukang nyampah” ini tidak lantas membuatnya jengah. Sepanjang ini, ia bisa menjadi sahabat saya “kapan saja”, yang bersedia menampung banyak gulana, meski tentu saja tidak semua curhatan-tak-penting saya bermuara kepadanya. Pun ketika jarak memberi jeda antara kami ketika itu, seolah ada benang maya yang menautkan hati-hati kami untuk tetap saling merengkuh dalam pesan-pesan via socmed dan doa-doa. Pun kini, ketika setahun lebih sekian bulan perjumpaan itu tiada lagi, berterimakasihlah kepada jasa teknologi canggih masa kini, kami masih bertemu di antara teks-teks dunia maya, dan terkadang saya masih suka “nyampah”, sementara ia masih selalu sabar menjadi pendengar dengan sekian kalimat penghiburan.

“Oh iya-ya, besok kamu udah pakai toga ya, Li,” ucapnya di SMS sehari sebelum saya wisuda. Ada rasa senang campur sedih yang tiba-tiba menyergap, susah didefinisi. Esok hari bahagia saya, tentu saja, menerima ijazah dari universitas terbaik di negeri ini, namun itu pula yang membuat saya berpisah dengan Yogyakarta dan segala isinya—Kota Cinta, Kota Cita kami selama kurang-lebih empat tahun. “Nanti kalau aku wisuda, masih ada yang datang nggak ya?” Ia pesimis. Satu-persatu dari kami memang telah lulus dan meninggalkan kampus, bahkan meninggalkan Yogyakarta, kota rantauan kami tercinta—seperti halnya saya. “Insya Allah masih ada-lah. Asal kamu segera menyelesaikan skripsi, sidang, kemudian wisuda November esok,” hibur saya. Namun, November itu saya tidak jadi menghadiahinya bunga ucapan selamat wisuda. Ia masih berproses, mungkin kadang tersengal. Saya tidak berhak menghakimi mengapa ia tidak seperti kami yang bisa wisuda tepat waktu dalam kurun waktu empat tahun masa studi. Everyone has their own problems. Hingga keterpisahan kami November itu ditandai dengan sepucuk surat dari saya untuknya. Surat itu sebenarnya surat balasan dari suratnya yang ‘ala kadarnya’ untuk saya ketika itu—sesaat sebelum saya pulang usai wisuda bulan Agustus. Surat dengan tulisan tangannya yang ‘agak berantakan’ :p, namun ditulis dengan ketulusan. Lantas, saya malah membalasnya dengan empat halaman ketikan dengan dalih tulisan tangan saya lumayan ‘nyentrik’, jadi mungkin susah dibaca orang lain. Hahaha. Itu surat kedua dari saya untuknya, setelah dulu saya pernah menyuratinya sebelum saya berangkat KKN ke luar Jawa—sementara ia masih stay di kampus, mengurus agenda besar fakultas: penyambutan mahasiswa baru.

November 2013 yang mendung, saat terakhir kami bertemu di acara wisuda beberapa kawan, ketika saya sudah menyandang status sarjana dua bulan sebelumnya, sementara ia sendiri masih berproses dengan skripsinya.

Memutar ulang memori tiga tahun sebelumnya, tentu saja meruapkan rindu untuk kembali ke masa itu. Atap kosan tempat jemuran baju bagi kami adalah tempat yang istimewa. Usai menuntaskan makan malam di spot tertentu (kadang di warung burjo, kadang di warung bakmi, kadang di rumah makan Padang, dan sebagainya), duduk di sana malam-malam ketika langit sedang bersih adalah momen yang tepat untuk memperbincangkan apa saja. Memperbincangkan kehidupan, masa depan, serta hal-hal remeh-temeh yang kami buat sekadar untuk lucu-lucuan.

Sekali lagi, bukankah bahagia itu perkara sederhana? Kami menyulam canda-tawa melalui kebersamaan-kebersamaan sederhana, dari obrolan-obrolan biasa yang sesungguhnya tak pernah ‘berat’. Bahagia memang tak pernah jauh, ia dekat, ia muncul dari perkara dan hal-hal sederhana. Bahkan, bahagia dan sedih jaraknya setipis benang saja. Seperti ketika sore berhujan itu, langkah kami menuju Masjid Kampus dengan harapan janji yang telah dibuat terpenuhi, pupus seiring seseorang itu yang tak kunjung datang hingga bumi menggelap. Hujan deras dan berangin kencang. Saya terduduk lesu di atas lantai marmer masjid yang dingin. Pulang, itu kata-kata yang terucap selanjutnya. Menanti hujan reda yang entah kapan serasa membuang waktu sia-sia. Maka, kami beranikan menerjang sisa hujan yang masih mendera. Berjalan kaki dengan payung yang tak mampu melindungi kami sepenuhnya dari air hujan, tersebab angin yang masih berhembus. Kuyup sudah, dari kerudung hingga rok. Namun, semangkuk sup di tempat makan pinggir kampus itu menawarkan kehangatan, membuang kekesalan yang sebelumnya menggumpal di hati, aromanya yang meruap menerbitkan selera makan. Ya, kebahagiaan kami sore itu memang sederhana: menikmati sup hangat usai basah kuyup kedinginan karena hujan. Kesederhanaan yang menenteramkan.

Bagi saya, dia juga adalah sosok yang sederhana dan apa adanya. Bukankah sebuah jalinan persahabatan seharusnya juga atas dasar alasan yang sederhana: saudara seiman?

Dia yang saya kenal memang sederhana, sesederhana tiap canda yang dulu kami punya. Dulu, yang saya ingat, ia sering ke kampus memakai sepeda, dengan tas kain yang ia selempangkan di bahunya.


"Hidup ini lucu, kadang manusia tak tahu apa yang sebenarnya ia cari."
-Rizka Purnamasari, Kisah dalam Seribu Rupiah (antologi cerpen Angkasa Rindu, 2014)-




Tidak ada komentar: