Nama
lengkapnya Rizka Purnamasari. Secara harfiah, saya tidak tahu apa makna yang
tersembunyi di balik nama itu. Namun, kulit putih dan mata sipitnya membuatnya
sepintas seperti perempuan keturunan Jepang. Maka, saya suka memanggilnya
Rizuka 「リズカ」—namanya
kalau di-Jepang-kan.
Perjumpaan
kami dimulai ketika pagi itu—bertahun-tahun silam, ia datang menjadi anggota
baru ke kelompok halaqah kami yang baru berumur beberapa pekan. Ketika
itu, kami semua tidak satu jurusan, namun bernaung di atap fakultas yang sama.
Saya satu-satunya mahasiswi Sastra Inggris di forum itu. Begitu pun Rizka, ia
jurusan Arkeologi. Di mata saya saat itu, ia dan Salsabilla sungguh teman dekat
yang kemana-mana selalu bersama. Selain karena mereka satu jurusan di
Arkeologi, potongan mereka pun nyaris sama: baju setelan dan kerudung gelap,
sandal gunung, serta ransel di punggung. Berbeda dengan saya yang didominasi
warna pink dan warna-warna cerah lainnya. Namun, siapa sangka, jika di kemudian
hari, saya yang berbeda malah lebih nyaman sering menggeje bertiga
dengan mereka.
Ah,
sebenarnya, berada satu lingkaran tiap pekan itu bukanlah faktor utama
kedekatan kami selanjutnya. Meski tidak tinggal satu atap, rumah kos kami
lumayan berdekatan. Tidak terlalu jauh. Jadilah kami sering janjian makan
bareng atau belanja bareng ke swalayan terdekat. Terkadang, saya main ke
kamarnya, atau ia yang main ke kamar saya. Entah kenapa, kamar kos saya yang
begitu sempit selalu terasa lapang justru ketika ada teman yang berkunjung. Ada
kehangatan yang tercipta di sela-sela obrolan ngalor-ngidul dan
canda-tawa penghapus penat karena kuliah. Aih, jadi kangen kos saya di Jogjaaaa
>_<.
Hingga
kemudian kami sama-sama berada di jajaran pengurus organisasi yang sama di
fakultas. Ia sekretaris umum, dan saya ketua bidang keputrian. Tahun selanjutnya masih di
organisasi yang sama, sama-sama sebagai Dewan Pertimbangan. Seringnya
rapat bersama menambah kadar kedekatan itu. Saya yang cenderung manja dan
“tukang nyampah” ini tidak lantas membuatnya jengah. Sepanjang ini, ia bisa
menjadi sahabat saya “kapan saja”, yang bersedia menampung banyak gulana, meski
tentu saja tidak semua curhatan-tak-penting saya bermuara kepadanya. Pun ketika
jarak memberi jeda antara kami ketika itu, seolah ada benang maya yang
menautkan hati-hati kami untuk tetap saling merengkuh dalam pesan-pesan via socmed
dan doa-doa. Pun kini, ketika setahun lebih sekian bulan perjumpaan itu tiada
lagi, berterimakasihlah kepada jasa teknologi canggih masa kini, kami masih
bertemu di antara teks-teks dunia maya, dan terkadang saya masih suka
“nyampah”, sementara ia masih selalu sabar menjadi pendengar dengan sekian
kalimat penghiburan.
“Oh
iya-ya, besok kamu udah pakai toga ya, Li,” ucapnya di SMS sehari sebelum saya
wisuda. Ada rasa senang campur sedih yang tiba-tiba menyergap, susah didefinisi.
Esok hari bahagia saya, tentu saja, menerima ijazah dari universitas terbaik di negeri ini, namun itu pula yang membuat
saya berpisah dengan Yogyakarta dan segala isinya—Kota Cinta, Kota Cita kami
selama kurang-lebih empat tahun. “Nanti kalau aku wisuda, masih ada yang datang
nggak ya?” Ia pesimis. Satu-persatu dari kami memang telah lulus dan
meninggalkan kampus, bahkan meninggalkan Yogyakarta, kota rantauan kami
tercinta—seperti halnya saya. “Insya Allah masih ada-lah. Asal kamu segera
menyelesaikan skripsi, sidang, kemudian wisuda November esok,” hibur saya.
Namun, November itu saya tidak jadi menghadiahinya bunga ucapan selamat wisuda.
Ia masih berproses, mungkin kadang tersengal. Saya tidak berhak menghakimi
mengapa ia tidak seperti kami yang bisa wisuda tepat waktu dalam kurun waktu
empat tahun masa studi. Everyone has their own problems. Hingga
keterpisahan kami November itu ditandai dengan sepucuk surat dari saya
untuknya. Surat itu sebenarnya surat balasan dari suratnya yang ‘ala kadarnya’
untuk saya ketika itu—sesaat sebelum saya pulang usai wisuda bulan Agustus. Surat dengan tulisan
tangannya yang ‘agak berantakan’ :p, namun ditulis dengan ketulusan. Lantas, saya malah
membalasnya dengan empat halaman ketikan dengan dalih tulisan tangan saya
lumayan ‘nyentrik’, jadi mungkin susah dibaca orang lain. Hahaha. Itu surat kedua dari saya untuknya,
setelah dulu saya pernah menyuratinya sebelum saya berangkat KKN ke luar
Jawa—sementara ia masih stay di kampus, mengurus agenda besar fakultas: penyambutan mahasiswa baru.
November
2013 yang mendung, saat terakhir kami bertemu di
acara wisuda beberapa
kawan, ketika saya sudah menyandang status sarjana dua bulan sebelumnya, sementara ia sendiri masih
berproses dengan skripsinya.
Memutar ulang memori tiga tahun
sebelumnya, tentu saja meruapkan rindu untuk kembali ke masa itu. Atap kosan
tempat jemuran baju bagi kami adalah tempat yang istimewa. Usai menuntaskan
makan malam di spot tertentu (kadang
di warung burjo, kadang di warung bakmi, kadang di rumah makan Padang, dan
sebagainya), duduk di sana malam-malam ketika langit sedang bersih adalah momen
yang tepat untuk memperbincangkan apa saja. Memperbincangkan kehidupan, masa
depan, serta hal-hal remeh-temeh yang kami buat sekadar untuk lucu-lucuan.
Sekali lagi, bukankah bahagia itu
perkara sederhana? Kami menyulam canda-tawa melalui kebersamaan-kebersamaan
sederhana, dari obrolan-obrolan biasa yang sesungguhnya tak pernah ‘berat’. Bahagia
memang tak pernah jauh, ia dekat, ia muncul dari perkara dan hal-hal sederhana.
Bahkan, bahagia dan sedih jaraknya setipis benang saja. Seperti ketika sore berhujan
itu, langkah kami menuju Masjid Kampus dengan harapan janji yang telah dibuat
terpenuhi, pupus seiring seseorang itu yang tak kunjung datang hingga bumi
menggelap. Hujan deras dan berangin kencang. Saya terduduk lesu di atas lantai
marmer masjid yang dingin. Pulang, itu kata-kata yang terucap selanjutnya.
Menanti hujan reda yang entah kapan serasa membuang waktu sia-sia. Maka, kami
beranikan menerjang sisa hujan yang masih mendera. Berjalan kaki dengan payung
yang tak mampu melindungi kami sepenuhnya dari air hujan, tersebab angin yang
masih berhembus. Kuyup sudah, dari kerudung hingga rok. Namun, semangkuk sup di
tempat makan pinggir kampus itu menawarkan kehangatan, membuang kekesalan yang
sebelumnya menggumpal di hati, aromanya yang meruap menerbitkan selera makan.
Ya, kebahagiaan kami sore itu memang sederhana: menikmati sup hangat usai basah
kuyup kedinginan karena hujan. Kesederhanaan yang menenteramkan.
Bagi saya, dia juga adalah sosok
yang sederhana dan apa adanya. Bukankah sebuah jalinan persahabatan seharusnya
juga atas dasar alasan yang sederhana: saudara seiman?
Dia yang saya kenal memang
sederhana, sesederhana tiap canda yang dulu kami punya. Dulu, yang saya ingat,
ia sering ke kampus memakai sepeda, dengan tas kain yang ia selempangkan di
bahunya.
"Hidup ini lucu, kadang manusia tak tahu apa yang sebenarnya ia cari."
-Rizka Purnamasari, Kisah dalam Seribu Rupiah (antologi cerpen Angkasa Rindu, 2014)-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar