Rabu, 22 Juli 2015

Epitaf






Kepada lelaki yang pernah mendiami salah satu relung tersembunyi di hati adindaku, Rinai.

Elang, perkenalkan, aku Mentari. Surat ini datang kepadamu atas dorongan dari hatiku sendiri. Kutulis dengan sejumput doa semoga engkau sudi menelusuri setiap jengkal kata-kata di beberapa helai kertas lusuh ini, tidak lantas mencampakkannya ke tempat sampah. Namun jika surat ini telah usai kau baca, itu terserahmu, kau membuangnya juga aku tak mengapa. Semoga pesanku tetap sampai ke hatimu.

Kau tentu terkejut dengan kalimat pembuka yang kutulis. Kau tidak pernah menyangka sebelumnya, bukan? Bagaimana mungkin? Selama beberapa tahun ini kalian bersahabat. Sahabat dalam kebaikan, bukan? Sebagai orang yang sama-sama bertekad untuk teguh dalam beragama, kalian tetap berusaha saling menjaga. Kalian sepenuhnya menyadari jika apapun statusnya, kalian tetap bukan mahram. Tidak ada hubungan apapun yang bisa menghalalkan kedekatan kalian lebih dari sepasang teman—kecuali… pernikahan. Namun frasa ‘sahabat baik’ tetap tidak mampu hilang atau musnah begitu saja. Kalian tetap bersahabat apa adanya. Ya, mungkin bagimu itu biasa.

Akan tetapi Lang, kuberi tahu satu rahasia besar yang harus kau camkan baik-baik. Bagi Rinai, kau lelaki yang berbeda daripada umumnya—betapapun kalian berbeda dalam banyak hal. Kau istimewa di matanya. Aku tidak mengerti sejak kapan ia memiliki kesimpulan seperti ini. Namun, tahukah kau, kebaikan-kebaikan kecil yang pernah kau berikan kepadanya itu tidak akan hilang selamanya dari ingatan Rinai. Mungkin kau sudah lupa, mungkin bagimu itu hal sepele nan remeh-temeh. Bagi perempuan—makhluk dengan sejuta kelembutan yang diciptakan Allah—itu bagaikan sebuah sentilan halus yang sedang menyapa hatinya. Ada lawan jenis yang sedang berusaha mengetuk-ngetuk pintu hatinya. Yang kutahu, tidak ada perempuan yang tidak tertawan dengan perhatian. Tidak ada, Lang. Maka, begitulah cara rasa bernama ‘suka’ dan ‘cinta’ bekerja. Ia bermula dari setitik noktah berjudul perhatian, interaksi dan kebersamaan yang mungkin tak kasat mata. Rinai tidak pernah mengatakan bahwa ia menaruh hati terhadapmu, namun diam-diam hatinya bersedih ketika kau sakit—tapi kau malah bungkam tentang sakitmu. Ia gelisah dalam doanya, bertanya-tanya dalam hening, apakah engkau baik-baik saja.

Mungkin kau juga tidak pernah menyadari gelagat Rinai yang tak jarang cuek terhadapmu. Ia bukannya sebal, jutek, atau marah kepadamu. Ia hanya sibuk menyembunyikan rona parasnya yang bersemu malu-malu, sembari menenangkan degub yang perlahan berdetak dan desir aneh yang tiba-tiba hadir acapkali kalian bertemu. Ia pun bingung, bagaimana agar rasa yang mendiami kalbunya mampu cepat-cepat ia usir. Ia sadar sepenuhnya, kau bak ksatria yang diidamkan banyak hawa. Ia tak ingin turut serta dalam deretan perempuan yang menyukaimu. Ia hanya perempuan sederhana yang ingin dicintai dengan sederhana pula. Lantas, ketika rasa yang selama ini ia hindari datang tanpa diminta, ia ingin mematahkan interaksinya denganmu, namun tentu saja ia tidak bisa menjauhimu begitu saja tanpa alasan. Sementara, tahun berlalu dan kalian tetaplah sahabat dalam kebaikan. Maka, hening adalah jalan cinta yang ia tempuh kemudian.

Usai jeda jarak membentang yang memisahkan kalian, senyum itu masih setia melengkung di bibir tipisnya. Doa-doa dan harapan masa depan yang ia gumamkan dalam hati tersimpan dalam diam yang menjadi bahasanya. Sungguh, aku tak tahu apa-apa tentang semuanya. Hingga ia bercerita tentang pinangan yang ia tolak. Tidak ada yang salah. Lelaki itu saleh nan sederhana, pandai dan sudah bekerja. Namun, usai istikharah, Rinai justru bermimpi bertemu denganmu. Ah, entah itu isyarat tuhan atau malah bunga tidur yang ditiupkan setan. Meski kau tidak pernah menjanjikan apapun, ia yakin, akan ada pertemuan berharga lagi di masa depan. Denganmu, Lang.

Semuanya baik-baik saja hingga hari itu, hari suratmu yang bersampul merah marun sampai di depan pintu rumah kami. Aku masih ingat betul isinya, kau bercerita, “Rinai, aku dijodohkan oleh orang tuaku. Namun, selama ini aku mencintai perempuan lain. Kau tidak mengenalnya, namun ia anggun dan  salehah sepertimu. Ia bernama…”

Sampai pada kalimat itu, semua alinea seakan mengapung, lantas kabur, buram. Wajah adindaku tertekuk. Tak butuh waktu lama setelahnya, tulisan tanganmu telah kabur oleh luh yang berderai-derai dari manik matanya.

…Laras.”

Cukup sudah. Nama itu bukan Rinai. Jelas sudah, sejak saat itu, merpati kecilku itu memendam luka. Cukup sudah untuk semuanya, mungkin namamu memang harus dihapusnya dari lembaran kisah. Mengambil langkah seribu, menghilang tanpa jejak, dan kau tak perlu tahu. Jahatkah Rinai, Lang? Kau tentu menantikan balasan darinya atas suratmu yang sendu. Sungguh, maafkan dia. Bagaimana mungkin ia menasihatimu untuk mengikhlaskan segalanya dan menyandarkan segala harap kepada Yang Kuasa ketika ia tidak bisa mengingkari hatinya yang masih jauh dari ikhlas? Kabura maqtan ‘indallahi antaquulu ma laa taf’aluun. Tentu saja ia tak ingin menyalahi aturan itu.

Kuyakinkan ia untuk melepaskan semuanya. Cinta, rindu, marah, dendam atau apapun rasa dalam hatinya yang masih berkaitan denganmu. Kuyakinkan dia tentang rumus sederhana, bahwa cinta adalah pemberian yang tulus, tanpa mengharapkan balasan apapun. Di sisi lain, cinta juga adalah sebuah penerimaan. Ikhlas menerima apapun keadaannya. Maka, tak bisa kusebut itu cinta selama ia masih terikat oleh perasaan ingin memiliki dan membersamai, ketika takdir kalian justru tak sama. Tidak mudah baginya menelan segala kalimatku yang mungkin sok bijak. Sama sulitnya dengan menghapus semua kenangan yang sudah terlanjur menetap di memorinya. Namun, Rinai belajar. Ya, Rinai belajar untuk melepaskan. Cinta adalah memberi tanpa mengharap balas. Ia melepaskan semuanya, tanpa dibebani ingin agar kau membalasnya. Maka, ia lepaskan doa-doa menuju langit setiap ia bersimpuh di atas sajadah. Sungguh, ada sejumput rasa bersalah yang menyesaki hatinya usai ia memutuskan pergi menghilangkan jejak tanpa membalas suratmu ketika itu. Namun, lidahnya sudah terlanjur kelu, apatah lagi untuk berjumpa denganmu kembali. Sepertinya lebih baik tidak usah saja. Sebagai gantinya, doa-doa itulah yang ia gumamkan setiap malam. Ia berdoa, semoga engkau dikaruniai pasangan yang terbaik menurut pandangan-Nya. Siapapun itu. Baik engkau telah lama mengenalnya maupun belum. Baik engkau telah memiliki rasa cinta terhadapnya atau belum.   

Untuk doa-doa yang selama ini ia utarakan diam-diam untukmu, sebenarnya aku ingin meminta satu hal darimu. Aku ingin meminta doa yang tulus darimu untuk Rinai. Jika orang itu memang benar-benar bukan kamu, doakan ia mendapatkan kekasih yang terbaik menurut-Nya, yang mampu menggenapinya dengan kasih sayang yang tulus, selayaknya bening cinta dari Yang Maha Kuasa. Doakan Rinai mampu mencintainya dengan sepenuh jiwa.

Namun, sayangnya itu semua tidak akan terjadi.

Dari mana aku tahu semua ini? Lisan adindaku tidak pernah berkisah secara lengkap, Lang. Buku hariannyalah yang bercerita. Kupungut buku kumal itu dari almari kamarnya yang kini tak berpenghuni. Usianya dua puluh empat ketika ia divonis mengidap meningitis. Rupa-rupanya itu jawaban atas sakit kepala luar biasa yang beberapa tahun terakhir menderanya. Rinai optimis ia akan sembuh. Cerita-cerita pendeknya berserakan di banyak surat kabar. Naluri menulisnya tidak pernah menyusut barang sesenti pun. Secara tidak langsung, inspirasi-inspirasinya datang darimu, dari pertemuan kalian yang dulu-dulu itu. Secara tidak langsung, kaulah salah satu alasan yang menguatkan jiwanya untuk tetap menapak menuju kesembuhan. Ah, terima kasih banyak, Lang. Namun, ternyata tidak butuh waktu sampai satu tahun untukku menerima kenyataan pahit itu. Kukira ia yang layu akan bersemi kembali. Tapi tidak, mau tak mau, aku harus selalu memercayai nasihat sederhana ini: Allah menyayanginya lebih dari apapun, lebih dari ayah-ibunya, lebih dari sahabat-sahabatnya, lebih dari kita semua yang mengenalnya.

Tanah merah pusaranya masih basah ketika nuraniku meminta tangan ini untuk menulis surat kepadamu, biar segala kisah dan cinta yang pernah ia simpan tidak selamanya ikut tertimbun dalam liang lahat menjadi rahasia.

Kisah kalian mungkin hanya sepersekian dari beribu-juta bahkan selaksa kisah yang ada di muka bumi ini, kisah yang sudah jamak terjadi. Kisah yang menjadi andalan para pengarang, pujangga dan sastrawan. Kisah yang tidak pernah habis untuk dikisahkan lagi dan lagi. Namun apalah gunanya kita mencintai mati-matian segala sesuatu yang fana, yang sejatinya bukan milik kita?

Maafkan dan ikhlaskan dia. Terima kasih telah memberi warna tersendiri dalam hidupnya yang tidak lama. Jika suatu saat kau ingin menjenguknya, carilah pusara adindaku, namanya tertera di epitaf itu.



Tidak ada komentar: