Kepada
lelaki yang pernah mendiami salah satu relung tersembunyi di hati adindaku,
Rinai.
Elang,
perkenalkan, aku Mentari. Surat ini datang kepadamu atas dorongan dari hatiku
sendiri. Kutulis dengan sejumput doa semoga engkau sudi menelusuri setiap
jengkal kata-kata di beberapa helai kertas lusuh ini, tidak lantas
mencampakkannya ke tempat sampah. Namun jika surat ini telah usai kau baca, itu
terserahmu, kau membuangnya juga aku tak mengapa. Semoga pesanku tetap sampai
ke hatimu.
Kau
tentu terkejut dengan kalimat pembuka yang kutulis. Kau tidak pernah menyangka
sebelumnya, bukan? Bagaimana mungkin? Selama beberapa tahun ini kalian
bersahabat. Sahabat dalam kebaikan, bukan? Sebagai orang yang sama-sama
bertekad untuk teguh dalam beragama, kalian tetap berusaha saling menjaga.
Kalian sepenuhnya menyadari jika apapun statusnya, kalian tetap bukan mahram.
Tidak ada hubungan apapun yang bisa menghalalkan kedekatan kalian lebih dari
sepasang teman—kecuali… pernikahan. Namun frasa ‘sahabat baik’ tetap tidak mampu
hilang atau musnah begitu saja. Kalian tetap bersahabat apa adanya. Ya, mungkin
bagimu itu biasa.
Akan
tetapi Lang, kuberi tahu satu rahasia besar yang harus kau camkan baik-baik.
Bagi Rinai, kau lelaki yang berbeda daripada umumnya—betapapun kalian berbeda
dalam banyak hal. Kau istimewa di matanya. Aku tidak mengerti sejak kapan ia
memiliki kesimpulan seperti ini. Namun, tahukah kau, kebaikan-kebaikan kecil
yang pernah kau berikan kepadanya itu tidak akan hilang selamanya dari ingatan
Rinai. Mungkin kau sudah lupa, mungkin bagimu itu hal sepele nan remeh-temeh.
Bagi perempuan—makhluk dengan sejuta kelembutan yang diciptakan Allah—itu
bagaikan sebuah sentilan halus yang sedang menyapa hatinya. Ada lawan jenis
yang sedang berusaha mengetuk-ngetuk pintu hatinya. Yang kutahu, tidak ada
perempuan yang tidak tertawan dengan perhatian. Tidak ada, Lang. Maka,
begitulah cara rasa bernama ‘suka’ dan ‘cinta’ bekerja. Ia bermula dari setitik
noktah berjudul perhatian, interaksi dan kebersamaan yang mungkin tak kasat
mata. Rinai tidak pernah mengatakan bahwa ia menaruh hati terhadapmu, namun
diam-diam hatinya bersedih ketika kau sakit—tapi kau malah bungkam tentang
sakitmu. Ia gelisah dalam doanya, bertanya-tanya dalam hening, apakah engkau
baik-baik saja.
Mungkin
kau juga tidak pernah menyadari gelagat Rinai yang tak jarang cuek terhadapmu.
Ia bukannya sebal, jutek, atau marah kepadamu. Ia hanya sibuk menyembunyikan rona
parasnya yang bersemu malu-malu, sembari menenangkan degub yang perlahan
berdetak dan desir aneh yang tiba-tiba hadir acapkali kalian bertemu. Ia pun
bingung, bagaimana agar rasa yang mendiami kalbunya mampu cepat-cepat ia usir. Ia
sadar sepenuhnya, kau bak ksatria yang diidamkan banyak hawa. Ia tak ingin
turut serta dalam deretan perempuan yang menyukaimu. Ia hanya perempuan
sederhana yang ingin dicintai dengan sederhana pula. Lantas, ketika rasa yang
selama ini ia hindari datang tanpa diminta, ia ingin mematahkan interaksinya
denganmu, namun tentu saja ia tidak bisa menjauhimu begitu saja tanpa alasan.
Sementara, tahun berlalu dan kalian tetaplah sahabat dalam kebaikan. Maka, hening adalah jalan cinta yang ia
tempuh kemudian.
Usai
jeda jarak membentang yang memisahkan kalian, senyum itu masih setia melengkung
di bibir tipisnya. Doa-doa dan harapan masa depan yang ia gumamkan dalam hati
tersimpan dalam diam yang menjadi bahasanya. Sungguh, aku tak tahu apa-apa
tentang semuanya. Hingga ia bercerita tentang pinangan yang ia tolak. Tidak ada
yang salah. Lelaki itu saleh nan sederhana, pandai dan sudah bekerja. Namun,
usai istikharah, Rinai justru bermimpi bertemu denganmu. Ah, entah itu isyarat
tuhan atau malah bunga tidur yang ditiupkan setan. Meski kau tidak pernah
menjanjikan apapun, ia yakin, akan ada pertemuan berharga lagi di masa depan.
Denganmu, Lang.
Semuanya
baik-baik saja hingga hari itu, hari suratmu yang bersampul merah marun sampai
di depan pintu rumah kami. Aku masih ingat betul isinya, kau bercerita, “Rinai, aku dijodohkan oleh orang tuaku.
Namun, selama ini aku mencintai perempuan lain. Kau tidak mengenalnya, namun ia
anggun dan salehah sepertimu. Ia
bernama…”
Sampai
pada kalimat itu, semua alinea seakan mengapung, lantas kabur, buram. Wajah
adindaku tertekuk. Tak butuh waktu lama setelahnya, tulisan tanganmu telah
kabur oleh luh yang berderai-derai dari manik matanya.
…Laras.”
Cukup
sudah. Nama itu bukan Rinai. Jelas sudah, sejak saat itu, merpati kecilku itu
memendam luka. Cukup sudah untuk semuanya, mungkin namamu memang harus dihapusnya
dari lembaran kisah. Mengambil langkah seribu, menghilang tanpa jejak, dan kau
tak perlu tahu. Jahatkah Rinai, Lang? Kau tentu menantikan balasan darinya atas
suratmu yang sendu. Sungguh, maafkan dia. Bagaimana mungkin ia menasihatimu
untuk mengikhlaskan segalanya dan menyandarkan segala harap kepada Yang Kuasa ketika
ia tidak bisa mengingkari hatinya yang masih jauh dari ikhlas? Kabura maqtan ‘indallahi antaquulu ma laa
taf’aluun. Tentu saja ia tak ingin menyalahi aturan itu.
Kuyakinkan
ia untuk melepaskan semuanya. Cinta, rindu, marah, dendam atau apapun rasa
dalam hatinya yang masih berkaitan denganmu. Kuyakinkan dia tentang rumus
sederhana, bahwa cinta adalah pemberian yang tulus, tanpa mengharapkan balasan
apapun. Di sisi lain, cinta juga adalah sebuah penerimaan. Ikhlas menerima
apapun keadaannya. Maka, tak bisa kusebut itu cinta selama ia masih terikat
oleh perasaan ingin memiliki dan membersamai, ketika takdir kalian justru tak
sama. Tidak mudah baginya menelan segala kalimatku yang mungkin sok bijak. Sama
sulitnya dengan menghapus semua kenangan yang sudah terlanjur menetap di
memorinya. Namun, Rinai belajar. Ya, Rinai belajar untuk melepaskan. Cinta
adalah memberi tanpa mengharap balas. Ia melepaskan semuanya, tanpa dibebani ingin
agar kau membalasnya. Maka, ia lepaskan doa-doa menuju langit setiap ia
bersimpuh di atas sajadah. Sungguh, ada sejumput rasa bersalah yang menyesaki
hatinya usai ia memutuskan pergi menghilangkan jejak tanpa membalas suratmu
ketika itu. Namun, lidahnya sudah terlanjur kelu, apatah lagi untuk berjumpa
denganmu kembali. Sepertinya lebih baik tidak usah saja. Sebagai gantinya,
doa-doa itulah yang ia gumamkan setiap malam. Ia berdoa, semoga engkau
dikaruniai pasangan yang terbaik menurut pandangan-Nya. Siapapun itu. Baik
engkau telah lama mengenalnya maupun belum. Baik engkau telah memiliki rasa
cinta terhadapnya atau belum.
Untuk
doa-doa yang selama ini ia utarakan diam-diam untukmu, sebenarnya aku ingin
meminta satu hal darimu. Aku ingin meminta doa yang tulus darimu untuk Rinai.
Jika orang itu memang benar-benar bukan kamu, doakan ia mendapatkan kekasih
yang terbaik menurut-Nya, yang mampu menggenapinya dengan kasih sayang yang
tulus, selayaknya bening cinta dari Yang Maha Kuasa. Doakan Rinai mampu mencintainya
dengan sepenuh jiwa.
Namun,
sayangnya itu semua tidak akan terjadi.
Dari
mana aku tahu semua ini? Lisan adindaku tidak pernah berkisah secara lengkap,
Lang. Buku hariannyalah yang bercerita. Kupungut buku kumal itu dari almari
kamarnya yang kini tak berpenghuni. Usianya dua puluh empat ketika ia divonis
mengidap meningitis. Rupa-rupanya itu jawaban atas sakit kepala luar biasa yang
beberapa tahun terakhir menderanya. Rinai optimis ia akan sembuh. Cerita-cerita
pendeknya berserakan di banyak surat kabar. Naluri menulisnya tidak pernah
menyusut barang sesenti pun. Secara tidak langsung, inspirasi-inspirasinya
datang darimu, dari pertemuan kalian yang dulu-dulu itu. Secara tidak langsung,
kaulah salah satu alasan yang menguatkan jiwanya untuk tetap menapak menuju
kesembuhan. Ah, terima kasih banyak, Lang. Namun, ternyata tidak butuh waktu
sampai satu tahun untukku menerima kenyataan pahit itu. Kukira ia yang layu
akan bersemi kembali. Tapi tidak, mau tak mau, aku harus selalu memercayai
nasihat sederhana ini: Allah menyayanginya lebih dari apapun, lebih dari
ayah-ibunya, lebih dari sahabat-sahabatnya, lebih dari kita semua yang
mengenalnya.
Tanah
merah pusaranya masih basah ketika nuraniku meminta tangan ini untuk menulis
surat kepadamu, biar segala kisah dan cinta yang pernah ia simpan tidak
selamanya ikut tertimbun dalam liang lahat menjadi rahasia.
Kisah
kalian mungkin hanya sepersekian dari beribu-juta bahkan selaksa kisah yang ada
di muka bumi ini, kisah yang sudah jamak terjadi. Kisah yang menjadi andalan
para pengarang, pujangga dan sastrawan. Kisah yang tidak pernah habis untuk
dikisahkan lagi dan lagi. Namun apalah gunanya kita mencintai mati-matian
segala sesuatu yang fana, yang sejatinya bukan milik kita?
Maafkan
dan ikhlaskan dia. Terima kasih telah memberi warna tersendiri dalam hidupnya
yang tidak lama. Jika suatu saat kau ingin menjenguknya, carilah pusara
adindaku, namanya tertera di epitaf itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar