When you are standing in
front of the mirror
Look at your face, your
hair and your body
Think that you are ugly and
feel like terror
Contemplate that you have
made from an error
Your self reflection makes
you feel giddy
When you are standing in
front of the mirror
(Ugly-Novita T. L.)
Nukilan villanelle
(salah satu jenis puisi Inggris) gubahan salah satu teman saya bertitel Ugly (Jelek) tersebut lantas
mengingatkan saya akan beberapa iklan yang menjamur bak cendawan di negeri ini.
Mulai dari alat peninggi badan, pelangsing tubuh, produk perawatan dan pemutih
kulit yang segambreng-gambreng
banyaknya, hingga perawatan rambut. Berbagai macam salon dan rumah cantik
dengan pelbagai fasilitas yang ditawarkannya juga sudah tak terhitung
jumlahnya, seakan-akan kata “cantik” adalah kebutuhan primer bagi semua kaum
wanita. Kadang, tanpa disadari, citra “cantik” yang dibangun oleh iklan dan
salon di negeri ini tak lepas dari: tinggi, putih, langsing. Sedangkan jelek
adalah: pendek, hitam, gemuk. Setidaknya, begitulah bayangan diri yang muncul
ketika si tokoh dalam puisi tersebut menghadap cermin, hingga ia merasa
terteror oleh bayangannya sendiri, dia berpikir betapa buruk wajahnya, lantas
merasa putus asa.
Merawat diri demi kecantikan tentu bukanlah sesuatu yang
dilarang, sepanjang itu baik bagi perempuan itu sendiri dan tidak berbahaya
bagi dirinya. Penampilan yang bersih dan cantik tentu akan menumbuhkan rasa
percaya diri. Di samping itu, merawat diri merupakan salah satu bentuk syukur
kita terhadap karunia-Nya. Namun, tak sedikit pula kini, anugerah Allah berupa
paras yang rupawan menjadikan banyak perempuan bak reinkarnasi Narcissus masa
kini. Bedanya, Narcissus dalam kisah itu seorang lelaki. Konon, setiap hari ia
berlutut di tepian telaga untuk berkaca, mengagumi bayangannya yang terpantul
di permukaan. Dia memang tampan. Garis dan lekuk parasnya terpahat sempurna.
Maka, di tepi telaga itu Narcissus selalu terpana dan terpesona. Wajah dalam
air itu mengalihkan dunianya. Dia lupa pada segala hajat hidupnya. Kian hari
tubuhnya melemah, hingga suatu hari dia jatuh dan tenggelam.[1]
“Setiap kita memiliki kecenderungan untuk menjadi
Narcissus. Atau telaganya,” ujar Ustaz Salim A. Fillah. “Kita mencintai diri
ini, menjadikannya pusat bagi segala yang kita perbuat dan semua yang ingin
kita dapat. Kita berpayah-payah agar ketika manusia menyebut nama kita yang
mereka rasakan adalah ketakjuban pada manusia paling memesona. Kita mengerahkan
segala daya agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan
manusia paling sempurna.”
Baik perempuan dalam nukilan puisi di atas maupun
Narcissus merupakan contoh manusia yang cenderung mendefinisikan cantik atau
tampan sebagai rupa secara fisik, yang terlihat nyata dan bisa dijamah oleh
indera penglihatan manusia. Maka, begitu pulalah definisi cantik yang
hingar-bingar di masa sekarang. Tak heran, ia pun menjadi obyek komoditas yang
diperjual-belikan, bahkan bermetamorfosis menjadi berhala yang tak kasat mata.
Paras yang menawan. Kita mengerahkan segala daya agar
agar tiap orang yang bertemu kita merasa telah berjumpa dengan manusia paling
sempurna. Manusia jelita bak bidadari yang diutus ke bumi. Bukankah kini tak
perlu bersusah payah menjadi terkenal di televisi demi mendapatkan pujian serta
pengakuan dari penduduk bumi? Sejuta sarana dunia modern tak ubahnya telaga
tempat Narcissus berkaca setiap hari, atau cermin ajaib milik ibu tiri Putri
Salju. Di sanalah letak orang-orang zaman ini memajang wajahnya yang indah
sempurna. Dari balik layar, orang lain yang menjadi pemirsanya menyampaikan
kekaguman mereka melalui tombol berjudul “suka”. Paras menawan perempuan.
Aduhai, siapa lelaki yang tidak tertawan kemudian? Pujian datang bertubi-tubi,
seraya nama-Nya tak lupa disebut; “Masya Allah… cantik sekali ukhti ini.” Batin yang melihat
berseloroh, tak ada yang salah mengagumi ciptaan Allah. Maka, diteruskannya
kekagumannya yang sembarangan dengan memantau foto-foto sang perempuan menawan
dari hari ke hari. Lantas pujian yang mengalir itu, bagai ramuan yang menerbangkan
sang perempuan ke awang-awang. Membuatnya alpa akan satu hal yang luput digerus
bangga pada diri sendiri.
“Tahu nggak Dik, cuma lihat tangan kita aja,
kadang-kadang cowok tuh bisa terpesona,” ucapnya suatu kali, bertahun-tahun
silam. Saya paham, itulah alasannya para muslimah itu memakai manset lengan,
meski agak ribet, supaya pergelangan tangannya tertutup rapi. Satu kebiasaan
kecil yang ketika itu mulai saya terapkan.
“Duh-duh, mbak-mbak cantik nan salehah, istikamah itu
memang nggak gampang ya.” Saya temukan komentar beraroma sindiran itu di foto
yang saya unggah ke media sosial beberapa menit sebelumnya. Foto kami—para
perempuan (yang notabene berkerudung panjang) usai berkegiatan. Beliau memang
agak strict dengan perkara yang saya
anggap sepele itu. Baginya, menampilkan banyak foto diri di dunia maya bukanlah
hobi yang pantas dilakukan oleh seorang muslimah.
“Bagaimana jika banyak ikhwan melihat fotomu, lantas mereka jadi merasa gimanaaa gitu?
Kamu muslimah yang sudah seharusnya paham menjaga diri, bukan hanya sebatas
menutup aurat secara syar’i. Setiap
kali rapat, bukankah kalian sudah belajar menjaga dengan memakai hijab pembatas
demi menjaga pandangan? Mengapa di jagad maya justru tak sungkan kau
perlihatkan paras jelitamu yang bisa bebas mereka pandangi setiap waktu? Kau
tidak takut jika timbul sesuatu?” Hati nurani saya berontak suatu hari. Timbul sesuatu?
“Setahuku, nggak ada cowok normal yang nggak pernah
terkontaminasi hal-hal berbau porno. Paling nggak, nonton yang seperti itu.
Sealim apapun, ikhwan sekalipun.
Menurut pengamatanku sih. Jadi, zaman sekarang ini susah sekali menahan
pandangan. Banyak godaan di sepanjang jalan,” kali ini pengakuan langsung dari
salah satu teman laki-laki. Saya jadi mengerti, betapa tak mudahnya bagi mereka
meredam gejolak, terlebih bagi yang belum menikah. Wallahua’lam. Benar atau tidaknya hanya Allah yang Maha Tahu.
Namun, tak ada salahnya itu menjadi sebuah sentilan bagi kita—kaum perempuan
untuk lebih berhati-hati dan menjaga, tak terkecuali dalam perkara yang
nampaknya remeh-temeh.
Bukan salah mata lelaki yang memandang, sebab
kitalah—perempuan yang menyajikan, kitalah yang memasang umpan. Sementara kita
tidak pernah tahu bagaimana alam pikiran dan imajinasi mereka bekerja. Ah,
tentu saja kita tidak sampai hati membayangkan yang bukan-bukan, terlalu
mengerikan. Selanjutnya, jika sampai terjadi zina mata, hati dan pikiran,
mereka jugakah yang patut dipersalahkan? Oh, jangan-jangan semua dosa mereka
bermuara kepada kita? Kalikan saja jumlah orang yang memandang dengan dosa
mereka, dan itu semua ditimpakan kepada kita—sang penebar umpan. Tak terhitung.
Sementara amalan baik yang kita punya sama sekali belum cukup menjadi penolong
untuk meraih surga-Nya.
Maka, cukuplah keindahan yang kita punya tidak dijadikan
obyek pemuas mata mereka yang bukan siapa-siapa. Apalah artinya penilaian dan
pujian manusia tentang tampilan muka, sementara Baginda Rasulullah saw bersabda
jika wanita dunia lebih utama dari bidadari-bidadari bermata jeli karena salat,
puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Ah, hadis ini mungkin sudah sangat akrab
sekali di telinga kita.
Al-Imam
Ath-Thabrani meriwayatkan sebuah hadis dari Ummu Salamah ra, bahwa beliau
berkata: Aku bertanya, “Ya Rasulullah, manakah yang lebih utama, wanita dunia
ataukan bidadari bermata jeli?”
Beliau menjawab,
“Wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari-bidadari seperti kelebihan
apa yang Nampak dari apa yang tidak terlihat.”
Aku bertanya,
“Mengapa wanita-wanita dunia lebih utama daripada bidadari?”
Beliau menjawab,
“Karena salat mereka, puasa dan ibadah mereka kepada Allah. Allah meletakkan
cahaya di wajah mereka, tubuh mereka adalah kain sutera, kulitnya putih bersih,
pakaiannya berwarna hijau, perhiasannya kekuningan, sanggulnya mutiara, dan
sisirnya terbuat dari emas. Mereka berkata, ‘Kami hidup abadi dan tidak mati.
Kami lemah lembut dan tidak jahat sama sekali. Kami selalu mendampingi dan
tidak beranjak sama sekali. Kami rida dan tidak pernah bersungut-sungut sama
sekali. Berbahagialah orang yang memiliki kami dan kami memilikinya.”
Sekali lagi, jika perempuan diibaratkan sebagai mawar,
maka ia yang terjaga bak mawar di tepi jurang nan curam, bukan mawar di
tengah-tengah taman nan jamak dan pasaran. Ia menjaga dirinya dengan penuh
kehati-hatian hingga ada tangan pemberani yang kelak bersedia menempuh bahaya
demi memetiknya: yang bersamanya nanti ia temukan cinta yang sesungguhnya, yang
dengan memandang kecantikannya menjadi lading pahala, bukan fitnah penuh dosa.
Sekali lagi, jika perempuan diibaratkan layaknya mutiara,
maka ia yang terjaga tersimpan dalam cangkang kerang di dasar lautan, hingga
ada penyelam tangguh yang mengambilnya.
Selanjutnya, adalah pilihan masing-masing kita untuk
menjadi yang mana.
“Di
dalam surga itu terdapat bidadari yang sopan menundukkan pandangannya. Tidak
pernah disentuh oleh manusia sebelum mereka. Tidak pula oleh jin.” (Ar-Rahmaan
56)
“Laksana
mutiara yang tersimpan dengan baik.” (Al-Waqiah 23)
“Seakan-akan
mereka adalah telur (burung unta) yang tersimpan baik.” (Ash-Shaffat 49)
Judul awal tulisan ini adalah “Beautiful, Am I?”, kemudian diubah
setelah ditimbang-timbang lagi. Telah direncanakan untuk ditulis sejak
bertahun-tahun yang lalu, namun gairah menyelesaikannya baru muncul beberapa
pekan yang lalu.
#Catatanuntukdiri
Semoga selalu terlantun istighfar
Referensi:
A.Fillah, Salim. Agar Bidadari Cemburu Padamu. 2010. Yogyakarta: Pro-U Media.
------------------. Dalam Dekapan Ukhuwah. 2010. Yogyakarta: Pro-U Media.
[1] Seperti yang dikisahkan Ustaz Salim A. Fillah dalam bukunya: Dalam Dekapan Ukhuwah (Pro-U Media,
2010)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar