Sabtu, 10 Oktober 2015

Meniti Jaring Laba-Laba






Ada gumpalan ragu yang menyesaki dadanya pagi itu. Mendung yang mengapung sepagian itu seolah mendukung suasana hatinya untuk murung. Namun, mendung tak selalu menurunkan hujan. Tanggal baru memasuki Oktober, belum tentu sudah masuk musim penghujan. Maka, boleh jadi si mendung hanya menumpang mengapung di langit Kota Belimbing, lantas mencurahkan airnya di belahan bumi yang lain.

“Kamu tidak boleh berpikiran seperti itu dulu. Kamu harus percaya diri, Mbak,” ujarku. Masih lekat di ingatanku tentang kisah tak menyenangkannya beberapa bulan yang lalu. Aku sepenuhnya paham, ia bukanlah perempuan yang konsistensinya mudah goyah akan godaan bernama pacaran. Ia menjaga diri sepenuhnya, sebagaimana hijab yang selalu ia panjangkan menutup dada. Namun, jatuh yang berujung patah itu ia rasakan juga. Lelaki itu mencintai perempuan lain. Ah, ingin ia ikhlaskan segala temu dan episode-episode yang lalu. Baginya, masa depannya tentu saja ada dalam genggaman Yang Maha Kuasa. Ia percaya, takdir Allah pasti indah, pasti baik. Ya, ia seorang yang kini tengah berusaha menata hati. 

“Namun, tiba-tiba aku takut. Takut akan jumpa pertama yang tidak berlanjut pada bahagia. Aku kini ragu tentangnya. Apakah mungkin ini bisikan setan? Semenjak berminggu-minggu yang lalu, hanya ada satu pertanyaan yang memukul-mukul ruang benakku: apakah nanti ia mau menerimaku apa adanya, dengan sejuta kekurangan yang aku punya?”

Ia menghela nafas perlahan. Udara berubah mendingin. Kurapatkan sweater-ku. Bagaimana jadinya jika aku melakoni perannya? Ini sungguh untuk pertama kalinya, ia bersungguh hati memulai langkah besar: menuju penggenapan separuh agama. Siapa lelaki itu, Mbak? Aku urung bertanya. Tentu saja semuanya rahasia, meski hanya inisial nama. “Sungguh, aku tidak mengenalnya sebelumnya, dan ia juga tidak mengenalku. Kami benar-benar asing satu sama lain,” matanya melempar pandang ke danau luas membentang di depan kami.

Aku mendesah resah. Bagaimana jadinya jika aku yang melakoni perannya? Menikah dengan seseorang yang terbilang masih asing dalam kehidupannya, kagok beradaptasi di awal-awal kehidupan berumah tangga.

“Bukankah taaruf yang sebenarnya adalah ketika telah menikah, Annisa? Proses yang sebelumnya hanyalah sebuah langkah demi memulai sesuatu yang agung,” lanjutnya. Aku tertunduk diam. Bisakah aku hidup bersama orang yang belum pernah aku jatuh cintai sebelumnya? Haruskah menikah bermodalkan cinta?

“Mbak, kamu yakin bisa mencintainya, jika proses ini berlanjut nantinya?” tanyaku kemudian.

“Jika aku dan dia sama-sama mencintai Allah—tuhan yang menciptakan kami, yang mengatur takdir dan berkuasa atas pertemuan kami, tentu akan sangat mudah bagi-Nya menciptakan cinta di antara hati kami berdua. Annisa, jika kamu sudah menikah, adalah kewajibanmu mencintai siapapun itu yang menjadi qawwam-mu, orang yang telah bersedia mengucap perjanjian berat demi menanggung hidupmu setelah kewajiban ayahmu purna.”

“Ketika seseorang itu menghubungiku sebulan yang lalu, aku merasa, Allah menjawab doa yang dilantunkan ibuku di Raudhah melalui dia. Ketika aku memulai mengenalnya fakta demi fakta, aku merasa doa-doa yang kutitipkan berkaitan satu sama lain. Ia, lelaki asing itu, adalah jawaban doaku yang satu dan doaku yang lain. Namun entah, aku benar-benar tidak tahu mengapa perasaan ragu dan ketidaksiapan untuk bertemu ini tiba-tiba datang bak hantu. Aku belum melihatnya secara langsung, ia belum melihatku secara langsung. Tidak adil rasanya mengenal hanya mengandalkan foto-foto di dunia maya.”

Aku turut dilema mendengar pengakuannya. Tidak adil pula rasanya memutuskan sesuatu berdasarkan istikharah yang baru sekali ia dirikan terbata-bata.

“Serahkan kepada Gusti Allah, Mbak. Biar Allah yang tunjukkan jalan terbaik. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan yang akan terjadi, termasuk untuk sebuah penolakan...”

“Aku paham, Annisa. Kutanamkan itu jauh-jauh hari di lubuk hati. Segala kemungkinan di masa depan bisa terjadi. Bisa berlanjut, bisa juga kandas di tengah jalan. Namun, sulit bagiku untuk tidak menanam harapan, Annisa. Terlepas bahwa sepenuhnya aku sadar bahwa harapan hanya boleh dimuarakan kepada Sang Maha Penggenggam Kehidupan.”

Ah, perempuan. Hatinya serapuh mahkota mawar yang mudah luruh hanya karena sentuhan, semenjaga apapun ia dengan duri-duri yang menajam. Susah baginya pula untuk tidak merenda harap, meski setitik. 

“Jika bukan dia, percayalah, Allah akan memperjumpakanmu dengan orang yang jauh lebih baik dan lebih pantas untukmu, Mbak. Namun, bukankah tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah yang Maha Membolak-balikkan Hati?” Ia lantas mengangguk perlahan.

Sungguh, ia tak ingin sayapnya patah begitu saja karena cinta yang selama ini ia eja tak pernah sampai kepada tuannya. Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain. Sebab tangan yang satu tak akan bisa bertepuk tanpa tangan yang lain. Begitulah Rumi bersyair.

Jika takdir-Nya serupa jaring laba-laba, ada beribu juta kemungkinan, ada selaksa macam pilihan. Maka, doa juga sebuah pilihan. Bukankah doa yang membumbung ke angkasa selalu didengar oleh Ar-Rahmaan—di mana doa itu bermuara.

Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati yang lain. Ia percaya itu. Sepanjang ia belum menemukan cintanya, bukankah pintu-Nya selalu terbuka dan cinta-Nya selalu ada untuknya saban hari, setiap detik ia menghela nafas.

Pagi itu, mendung yang menggantung bisu perlahan menjelma gerimis. Menciptakan riak-riak kecil di danau yang membentang luas di depan kami. Aroma petrichor meruap. Di sela rinai hujan yang semakin ramai, seolah ada yang bersenandung diam-diam:

Kubiarkan hujan mengawal rinduku padamu yang entah di mana...



-Depok, 10 Oktober 2015- 

Tidak ada komentar: