Ada gumpalan ragu yang menyesaki
dadanya pagi itu. Mendung yang mengapung sepagian itu seolah mendukung suasana
hatinya untuk murung. Namun, mendung tak selalu menurunkan hujan. Tanggal baru
memasuki Oktober, belum tentu sudah masuk musim penghujan. Maka, boleh jadi si
mendung hanya menumpang mengapung di langit Kota Belimbing, lantas mencurahkan
airnya di belahan bumi yang lain.
“Kamu tidak boleh berpikiran seperti
itu dulu. Kamu harus percaya diri, Mbak,” ujarku. Masih lekat di ingatanku
tentang kisah tak menyenangkannya beberapa bulan yang lalu. Aku sepenuhnya
paham, ia bukanlah perempuan yang konsistensinya mudah goyah akan godaan
bernama pacaran. Ia menjaga diri sepenuhnya, sebagaimana hijab yang selalu ia
panjangkan menutup dada. Namun, jatuh yang berujung patah itu ia rasakan juga.
Lelaki itu mencintai perempuan lain. Ah, ingin ia ikhlaskan segala temu dan
episode-episode yang lalu. Baginya, masa depannya tentu saja ada dalam
genggaman Yang Maha Kuasa. Ia percaya, takdir Allah pasti indah, pasti baik.
Ya, ia seorang yang kini tengah berusaha menata hati.
“Namun, tiba-tiba aku takut. Takut
akan jumpa pertama yang tidak berlanjut pada bahagia. Aku kini ragu tentangnya.
Apakah mungkin ini bisikan setan? Semenjak berminggu-minggu yang lalu, hanya
ada satu pertanyaan yang memukul-mukul ruang benakku: apakah nanti ia mau
menerimaku apa adanya, dengan sejuta kekurangan yang aku punya?”
Ia menghela nafas perlahan. Udara
berubah mendingin. Kurapatkan sweater-ku. Bagaimana jadinya jika aku
melakoni perannya? Ini sungguh untuk pertama kalinya, ia bersungguh hati
memulai langkah besar: menuju penggenapan separuh agama. Siapa lelaki itu,
Mbak? Aku urung bertanya. Tentu saja semuanya rahasia, meski hanya inisial
nama. “Sungguh, aku tidak mengenalnya sebelumnya, dan ia juga tidak mengenalku.
Kami benar-benar asing satu sama lain,” matanya melempar pandang ke danau luas
membentang di depan kami.
Aku mendesah resah. Bagaimana
jadinya jika aku yang melakoni perannya? Menikah dengan seseorang yang
terbilang masih asing dalam kehidupannya, kagok beradaptasi di awal-awal
kehidupan berumah tangga.
“Bukankah taaruf yang
sebenarnya adalah ketika telah menikah, Annisa? Proses yang sebelumnya hanyalah
sebuah langkah demi memulai sesuatu yang agung,” lanjutnya. Aku tertunduk diam.
Bisakah aku hidup bersama orang yang belum pernah aku jatuh cintai sebelumnya?
Haruskah menikah bermodalkan cinta?
“Mbak, kamu yakin bisa mencintainya,
jika proses ini berlanjut nantinya?” tanyaku kemudian.
“Jika aku dan dia sama-sama
mencintai Allah—tuhan yang menciptakan kami, yang mengatur takdir dan berkuasa
atas pertemuan kami, tentu akan sangat mudah bagi-Nya menciptakan cinta di
antara hati kami berdua. Annisa, jika kamu sudah menikah, adalah kewajibanmu
mencintai siapapun itu yang menjadi qawwam-mu, orang yang telah bersedia
mengucap perjanjian berat demi menanggung hidupmu setelah kewajiban ayahmu
purna.”
“Ketika seseorang itu menghubungiku
sebulan yang lalu, aku merasa, Allah menjawab doa yang dilantunkan ibuku di
Raudhah melalui dia. Ketika aku memulai mengenalnya fakta demi fakta, aku
merasa doa-doa yang kutitipkan berkaitan satu sama lain. Ia, lelaki asing itu,
adalah jawaban doaku yang satu dan doaku yang lain. Namun entah, aku
benar-benar tidak tahu mengapa perasaan ragu dan ketidaksiapan untuk bertemu
ini tiba-tiba datang bak hantu. Aku belum melihatnya secara langsung, ia belum
melihatku secara langsung. Tidak adil rasanya mengenal hanya mengandalkan
foto-foto di dunia maya.”
Aku turut dilema mendengar pengakuannya.
Tidak adil pula rasanya memutuskan sesuatu berdasarkan istikharah yang
baru sekali ia dirikan terbata-bata.
“Serahkan kepada Gusti Allah, Mbak.
Biar Allah yang tunjukkan jalan terbaik. Kamu harus siap dengan segala kemungkinan
yang akan terjadi, termasuk untuk sebuah penolakan...”
“Aku paham, Annisa. Kutanamkan itu
jauh-jauh hari di lubuk hati. Segala kemungkinan di masa depan bisa terjadi.
Bisa berlanjut, bisa juga kandas di tengah jalan. Namun, sulit bagiku untuk
tidak menanam harapan, Annisa. Terlepas bahwa sepenuhnya aku sadar bahwa harapan
hanya boleh dimuarakan kepada Sang Maha Penggenggam Kehidupan.”
Ah, perempuan. Hatinya serapuh
mahkota mawar yang mudah luruh hanya karena sentuhan, semenjaga apapun ia
dengan duri-duri yang menajam. Susah baginya pula untuk tidak merenda harap, meski
setitik.
“Jika bukan dia, percayalah, Allah
akan memperjumpakanmu dengan orang yang jauh lebih baik dan lebih pantas
untukmu, Mbak. Namun, bukankah tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah yang
Maha Membolak-balikkan Hati?” Ia lantas mengangguk perlahan.
Sungguh, ia tak ingin sayapnya patah
begitu saja karena cinta yang selama ini ia eja tak pernah sampai kepada
tuannya. Apabila ada cinta di hati yang satu, pastilah ada cinta di hati
yang lain. Sebab tangan yang satu tak akan bisa bertepuk tanpa tangan yang
lain. Begitulah Rumi bersyair.
Jika takdir-Nya serupa jaring
laba-laba, ada beribu juta kemungkinan, ada selaksa macam pilihan. Maka, doa
juga sebuah pilihan. Bukankah doa yang membumbung ke angkasa selalu didengar
oleh Ar-Rahmaan—di mana doa itu bermuara.
Apabila ada cinta di hati yang satu,
pastilah ada cinta di hati yang lain. Ia
percaya itu. Sepanjang ia belum menemukan cintanya, bukankah pintu-Nya selalu
terbuka dan cinta-Nya selalu ada untuknya saban hari, setiap detik ia menghela
nafas.
Pagi itu, mendung yang menggantung bisu
perlahan menjelma gerimis. Menciptakan riak-riak kecil di danau yang membentang
luas di depan kami. Aroma petrichor meruap. Di sela rinai hujan yang
semakin ramai, seolah ada yang bersenandung diam-diam:
Kubiarkan hujan mengawal rinduku
padamu yang entah di mana...
-Depok, 10 Oktober 2015-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar