Akhir-akhir ini, saya dan dia sama,
kami jadi malas sekali membuka timeline media sosial berjudul f***b**k
atau p**h. Sebenarnya bukan kali ini, sebelum-sebelumnya kami juga sudah agak
malas. Faktornya beragam: banyak notifikasi yang mengganggu, ingin fokus
mengerjakan tugas akhir, jengah melihat kelakuan orang-orang aneh[1]
di sana, juga karena... ingin menyelamatkan diri dari perasaan “gagal menjadi
manusia” (?) tersebab betapa rusuhnya timeline media sosial itu dengan
orang-orang hebat yang memamerkan—tentu saja—kehebatannya serta kebahagiaannya
kepada sejagad maya, sementara diri ini mungkin hanya bagaikan remah-remah Chiki
yang tertiup angin sepoi paling juga langsung raib. Apakah pamer itu salah?
Memangnya kamu nggak pernah pamer, apa? Tentu saja pernah. Bukankah media
sosial memang didesain supaya penggunanya bisa memamerkan sesuatu, menarik
perhatian dari khalayak ramai? Adalah mitos jika kita pengguna media sosial
tapi nggak pernah pamer sesuatu meski cuma sekali.
Apakah salah jika ingin berbagi
kebahagiaan? Tidak. Namun, pamer itu berujung petaka ketika ada hati-hati yang
iri. Misalnya: yaah, mentang-mentang udah nikah di usia yang masih terbilang
muda, euforia pasca-nikahnya keterlaluan. Tak henti-hentinya update
kemesraan bersama pasangan di sana-sini. Sampai-sampai, terkadang tidak bisa
membedakan mana yang pantas dikonsumsi publik, mana yang cukup disimpan
sendiri. Menikah bukan perlombaan yang siapa yang lebih cepat, dia yang juara.
Ia perkara takdir penuh misteri yang tak semua manusia bisa mewujudkannnya
dengan gampangnya. Apa perasaan para bujang yang masih berjuang mempertahankan
istikamahnya dalam kesendirian? Memamerkan kelulusan, apa perasaan mereka yang
masih berjuang dengan tugas akhirnya yang tak kunjung kelar? Memamerkan studi
di luar negeri, apa perasaan mereka yang sudah berulang kali mencoba dan selalu
gagal? Memamerkan kecantikan, apa perasaan mereka yang mukanya dibilang tidak
menarik atau pas-pasan? Ah, daripada lelah dengan rasa iri yang tak
berkesudahan, lebih baik pergi saja sementara dari media sosial—mencari
alternatif yang lebih aman, yang kadar pamernya tidak berlebihan, namun tetap
bisa update beragam info menarik dan berguna.
“Mendongak ke atas terus-menerus
membuat urat leher pegal. Capek, Bro!” Itulah kita, manusia naif nan
biasa. Mendongak, memandang kepada orang-orang yang hidupnya (kita pikir) jauh
lebih hebat dan beruntung daripada hidup kita. Rumput tetangga selalu terlihat
lebih hijau, bukan? Inilah bahayanya. Hidup yang kurang bahagia ada pada
hati yang kurang bersyukur. Kita berandai-andai menjadi mereka yang (kita
pikir) jauh lebih beruntung hidupnya, tanpa kita sadari jika banyak orang-orang
yang menginginkan posisi kita dalam kehidupannya.
“Ada temanku yang ingin sekali
melanjutkan kuliah S-2, namun ia terhalang biaya. Memang, ia berasal dari
keluarga yang kurang berada. Bapaknya cuma tukang becak, ibunya penjual sayur
di pasar. Hanya untuk beli formulir pendaftaran saja ia harus kerja keras dan
pinjam uang kesana kemari. Dulu, ia kuliah S-1 nggak punya laptop. Terkadang,
makan cuma pakai kecap karena saking nggak punya duit,” kisahnya.
Ya Allah, betapa beruntungnya kita!
Uang tinggal minta ke orang tua, bisa kuliah S-2 di kampus bergengsi, kebutuhan
sehari-hari selalu terpenuhi, tanpa kerja banting tulang, tanpa ngurus anak,
tinggal kuliah dan mengerjakan tugas dengan baik dan benar. Seharusnya tidak
ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur dan menerima apa yang ada.
“Di luar sana banyak perempuan yang
menunggu-nunggu pinangan, sampai berumur, saking putus asanya bahkan rela
menjadi istri kedua. Lantas, apa yang membuatmu justru ingin menolaknya?” Saya
menahan nafas. Segumpal keraguan melesak menyesaki relung dada. Mencari-cari
ucapan yang tepat untuk keputusan yang masih entah. “Kakakmu belum menikah, di
usia yang telah melewati kepala tiga. Teman-temanmu yang lain juga. Bahkan banyak
yang harus mengalami jatuh-bangun, sakit hati tersebab takdir cintanya yang tak
jua sampai. Kau cantik, berhati baik, salehah, berpendidikan tinggi. Tidakkah
kau pernah berpikir membuat banyak lelaki ciut nyali? Sedangkan semakin tua
usia perempuan, justru semakin rendah kualitasnya di mata lelaki. Ketika ia
bersedia dan mau menerimamu, bukankah itu sebuah tekad yang luar biasa?”
Ah, kami memang hamba biasa nan hina
yang selalu lupa cara mengeja syukur. Kami selalu merutuki hidup dan merasa tak
pernah puas. Syukur—kata yang jauh lebih dalam maknanya daripada terima
kasih. Sebentuk diksi agung yang tak jarang luput dari kesadaran dan nurani
kita sebagai manusia. Detik itu, barulah kami tahu, ketidakbersyukuran membuat
hati perih.
Bahkan air dan udara di sekitar kita
tak lain adalah karunia-Nya yang tiada terhingga. Meski kemarau membuat air
sulit dan sumur-sumur menjadi kerontang, ditingkahi panas deru campur debu dan
bisingnya jalanan Jakarta, tidakkah kita yang terperangkap di belantara ibukota
jauh lebih beruntung daripada mereka yang sampai hari ini masih terpapar kabut
asap di Kalimantan dan Sumatra?
Allah, beri hati ini, hatinya dan
hati siapapun jua, kelapangan untuk selalu bersyukur atas nikmat-Mu, meski
setitik. Terima kasih untuk setiap nafas yang kami hela hingga hari ini.
Depok, 26 Oktober 2015
[1] Definisi
aneh ini salah satunya mengacu kepada penduduk medsos yang hobinya
ribut, memancing perdebatan dan bicaranya seringkali kontroversial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar