Senin, 26 Oktober 2015

Yang Seringkali Luput dari Kesadaran






Akhir-akhir ini, saya dan dia sama, kami jadi malas sekali membuka timeline media sosial berjudul f***b**k atau p**h. Sebenarnya bukan kali ini, sebelum-sebelumnya kami juga sudah agak malas. Faktornya beragam: banyak notifikasi yang mengganggu, ingin fokus mengerjakan tugas akhir, jengah melihat kelakuan orang-orang aneh[1] di sana, juga karena... ingin menyelamatkan diri dari perasaan “gagal menjadi manusia” (?) tersebab betapa rusuhnya timeline media sosial itu dengan orang-orang hebat yang memamerkan—tentu saja—kehebatannya serta kebahagiaannya kepada sejagad maya, sementara diri ini mungkin hanya bagaikan remah-remah Chiki yang tertiup angin sepoi paling juga langsung raib. Apakah pamer itu salah? Memangnya kamu nggak pernah pamer, apa? Tentu saja pernah. Bukankah media sosial memang didesain supaya penggunanya bisa memamerkan sesuatu, menarik perhatian dari khalayak ramai? Adalah mitos jika kita pengguna media sosial tapi nggak pernah pamer sesuatu meski cuma sekali.

Apakah salah jika ingin berbagi kebahagiaan? Tidak. Namun, pamer itu berujung petaka ketika ada hati-hati yang iri. Misalnya: yaah, mentang-mentang udah nikah di usia yang masih terbilang muda, euforia pasca-nikahnya keterlaluan. Tak henti-hentinya update kemesraan bersama pasangan di sana-sini. Sampai-sampai, terkadang tidak bisa membedakan mana yang pantas dikonsumsi publik, mana yang cukup disimpan sendiri. Menikah bukan perlombaan yang siapa yang lebih cepat, dia yang juara. Ia perkara takdir penuh misteri yang tak semua manusia bisa mewujudkannnya dengan gampangnya. Apa perasaan para bujang yang masih berjuang mempertahankan istikamahnya dalam kesendirian? Memamerkan kelulusan, apa perasaan mereka yang masih berjuang dengan tugas akhirnya yang tak kunjung kelar? Memamerkan studi di luar negeri, apa perasaan mereka yang sudah berulang kali mencoba dan selalu gagal? Memamerkan kecantikan, apa perasaan mereka yang mukanya dibilang tidak menarik atau pas-pasan? Ah, daripada lelah dengan rasa iri yang tak berkesudahan, lebih baik pergi saja sementara dari media sosial—mencari alternatif yang lebih aman, yang kadar pamernya tidak berlebihan, namun tetap bisa update beragam info menarik dan berguna.

“Mendongak ke atas terus-menerus membuat urat leher pegal. Capek, Bro!” Itulah kita, manusia naif nan biasa. Mendongak, memandang kepada orang-orang yang hidupnya (kita pikir) jauh lebih hebat dan beruntung daripada hidup kita. Rumput tetangga selalu terlihat lebih hijau, bukan? Inilah bahayanya. Hidup yang kurang bahagia ada pada hati yang kurang bersyukur. Kita berandai-andai menjadi mereka yang (kita pikir) jauh lebih beruntung hidupnya, tanpa kita sadari jika banyak orang-orang yang menginginkan posisi kita dalam kehidupannya.

“Ada temanku yang ingin sekali melanjutkan kuliah S-2, namun ia terhalang biaya. Memang, ia berasal dari keluarga yang kurang berada. Bapaknya cuma tukang becak, ibunya penjual sayur di pasar. Hanya untuk beli formulir pendaftaran saja ia harus kerja keras dan pinjam uang kesana kemari. Dulu, ia kuliah S-1 nggak punya laptop. Terkadang, makan cuma pakai kecap karena saking nggak punya duit,” kisahnya.

Ya Allah, betapa beruntungnya kita! Uang tinggal minta ke orang tua, bisa kuliah S-2 di kampus bergengsi, kebutuhan sehari-hari selalu terpenuhi, tanpa kerja banting tulang, tanpa ngurus anak, tinggal kuliah dan mengerjakan tugas dengan baik dan benar. Seharusnya tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur dan menerima apa yang ada.

“Di luar sana banyak perempuan yang menunggu-nunggu pinangan, sampai berumur, saking putus asanya bahkan rela menjadi istri kedua. Lantas, apa yang membuatmu justru ingin menolaknya?” Saya menahan nafas. Segumpal keraguan melesak menyesaki relung dada. Mencari-cari ucapan yang tepat untuk keputusan yang masih entah. “Kakakmu belum menikah, di usia yang telah melewati kepala tiga. Teman-temanmu yang lain juga. Bahkan banyak yang harus mengalami jatuh-bangun, sakit hati tersebab takdir cintanya yang tak jua sampai. Kau cantik, berhati baik, salehah, berpendidikan tinggi. Tidakkah kau pernah berpikir membuat banyak lelaki ciut nyali? Sedangkan semakin tua usia perempuan, justru semakin rendah kualitasnya di mata lelaki. Ketika ia bersedia dan mau menerimamu, bukankah itu sebuah tekad yang luar biasa?”

Ah, kami memang hamba biasa nan hina yang selalu lupa cara mengeja syukur. Kami selalu merutuki hidup dan merasa tak pernah puas. Syukur—kata yang jauh lebih dalam maknanya daripada terima kasih. Sebentuk diksi agung yang tak jarang luput dari kesadaran dan nurani kita sebagai manusia. Detik itu, barulah kami tahu, ketidakbersyukuran membuat hati perih.

Bahkan air dan udara di sekitar kita tak lain adalah karunia-Nya yang tiada terhingga. Meski kemarau membuat air sulit dan sumur-sumur menjadi kerontang, ditingkahi panas deru campur debu dan bisingnya jalanan Jakarta, tidakkah kita yang terperangkap di belantara ibukota jauh lebih beruntung daripada mereka yang sampai hari ini masih terpapar kabut asap di Kalimantan dan Sumatra?

Allah, beri hati ini, hatinya dan hati siapapun jua, kelapangan untuk selalu bersyukur atas nikmat-Mu, meski setitik. Terima kasih untuk setiap nafas yang kami hela hingga hari ini.






Depok, 26 Oktober 2015


[1] Definisi aneh ini salah satunya mengacu kepada penduduk medsos yang hobinya ribut, memancing perdebatan dan bicaranya seringkali kontroversial.

Tidak ada komentar: