Senin, 26 Oktober 2015

Romantika Skripsi



Ro.man.ti.ka a liku-liku atau seluk-beluk yang mengandung sedih dan gembira.
Skrip.si n karangan ilmiah yang wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan akademisnya.
--Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2003—


Skripsi, agaknya satu kata ini memang ajaib buat mahasiswa tingkat akhir. Tentu saja, dia menentukan lulus-tidaknya sang mahasiswa dari perguruan tinggi. Dalam perjalanan bersamanya, tak sedikit yang menjumpai kesusahan, namun banyak juga yang lancar jaya. Tak sedikit yang menyebutnya “momok” hingga ada ungkapan “jangan tanya skripsi!”. Malahan, belakangan ini bermunculan akun-akun di twitter semacam @skripsit, Derita Mahasiswa: aku ingin kuliah seribu tahun lagi, dll. Lumayan menghibur. Setidaknya, jika kita telah penat dengan kuliah dan skripsi, kicauan-kicauan di sana cukup bisa mengundang tawa, asal jangan ikuti kicauan yang melunturkan semangat saja.

Saya bukan tergolong mahasiswi yang menjumpai banyak kesulitan ketika mengerjakan skripsi, juga bukan golongan yang lancar tanpa hambatan sama sekali. Lha di mana? Tengah-tengah. Haha. Alhamdulillah, sekarang sudah lulus dan ikut wisuda sarjana Universitas Gadjah Mada periode IV, 27 Agustus 2013. Saya sungguh terkagum-kagum dengan teman-teman saya yang berhasil menyelesaikan skripsi tepat waktu: satu semester selesai! Di sisi lain, saya juga terheran-heran kepada saudara-saudari yang bertahun-tahun tidak lulus-lulus, meski saya juga tidak tahu-menahu problem mereka sebenarnya apa (no suudzon!). Kalau saya boleh membandingkan (at least bagi saya sendiri lho ini), mengerjakan skripsi itu jauh lebih menyenangkan dari pada menghadapi UAN. UAN menuntut kita bisa semuanya, bisa Matematika, bisa Kimia, bisa bahasa Inggris, bisa Fisika, blablabla. On the other hand, kemampuan tiap manusia beda-beda. Setidaknya, skripsi hanya menyuruh kita menulis karya ilmiah tentang bidang yang sesuai jurusan, minat, dan bakat kita di perkuliahan. Kau kuliah bahasa, nggak bakal ada ceritanya kau disuruh menulis tentang dunia peternakan. Lho, saya kan salah jurusan, udah nggak minat dari dulu (lame excuse). By the way, berapa persentase mahasiswa yang merasa salah jurusan dengan yang tidak? Banyak teman-teman saya yang mengaku dulu tidak ingin masuk jurusan kami sekarang, termasuk saya. Sejak masih memakai seragam putih-biru saya sudah ingin masuk Sastra, tapi Sastra Jepang, kalau tidak ya Sastra Indonesia. Sama sekali tidak match dengan anjuran ortu, karena ibu ingin saya masuk Psikologi, dan bapak menganjurkan ke Sastra Inggris. Setelah istikharah, saya memutuskan memilih sastra semua. Dari pada Psikologi yang saya nggak ngeh itu ilmu macam apa dan bagaimana, mending saya ke bahasa, bidang yang sudah lumayan akrab bagi saya. Namun, ternyata takdir berkata lain. Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini.

Saya uring-uringan sampai semester tiga, masih saja merasa salah jurusan. Kuliah ya dijalani seperti biasa dengan hasil yang juga biasa, sungguh saya bukan mahasiswi istimewa. Kalau teman-teman saya suka nonton film-film barat, tontonan saya malah dorama dan anime Jepang. Kalau koleksi mereka lagu-lagu barat, saya justru kolektor lagu-lagu Jepang. Rasanya, suatu saat pengen balas dendam atas kegagalan masuk Sastra Jepang dengan ke Jepang sungguhan, entah bagaimanapun caranya. “Bener-bener salah jurusan elu, Li. Someone Like You aja nggak ngerti. Lagu Inggris yang lu tahu itu apa sih?” #sigh. Tak jarang saya mengalihkan kejenuhan saya ke kegiatan-kegiatan yang lain, bergaul dengan teman-teman jurusan lain. Bertukar ilmu dengan mereka. Sampai-sampai, saya dikira Sastra Arab, dikira Sastra Jepang, dikira Sastra Indonesia. Baiklah, saya memang tak ada potongan Sastra Inggris. #nooffense

Okelah, selalu salahkah salah jurusan? Nggak ada gunanya juga merutuki nasib sepanjang waktu, kuliah setengah hati, terpaksa karena ortu udah terlanjur ber-euforia gue bisa ketrima di universitas nomor wahid ini dan dibiayai, ya apa boleh buat? Dijalani aja deeeehhh… (nih orang hidupnya kasihan banget sih? Baru salah jurusan kuliah aja putus asanya udah setengah hidup, gimana nanti kalo ngerasa salah pilih pasangan hidup coba? Salto trus lompat indah ke jurang kali ye -_-). Jadi, salah siapa salah jurusan? Ya salah kita! Salah kita karena tidak mau mengambil hikmah dari ini semua. Bisanya cuma mengeluh. Sang Maha Pemberi Ketentuan telah memberikan sebaik-baik pilihan, sebaik-baik yang kita butuhkan. Sebab, kita tak selamanya bisa mendapatkan apa yang kita cintai, namun kita bisa mencintai apa yang kita dapatkan. Cinta haruslah diupayakan. Mencintai ilmu karena Allah, dengan begitu ia bisa mengantarkan kita kepada Allah. Tentu saja berbagai macam ilmu di universitas kehidupan ini (asal bukan ilmu hitam dan sesat), jadi yang bisa masuk surga bukan cuma Sastra Arab saja (lho?).

Jadi ceritanya saya mulai mencintai English. Mau nggak mau, saya harus mengakui jika bahasa satu ini memang prospektif dan dibutuhkan masyarakat luas. Apalagi ketika job menerjemahkan mulai berdatangan meski kadang masih berasaskan pertemanan. Semester pertama hingga lima pun terlalui. Semester enam adalah masa-masa sibuk yang menyita segalanya. Mempersiapkan KKN, jumlah mata kuliah yang masih banyak, tugas-tugas yang masih membludak, ditambah keharusan menyusun proposal skripsi. Di jurusan saya, semester enam sudah wajib menulis proposal skripsi. Dosen-dosen senior sudah mewanti-mewanti agar kami lulus tepat waktu, no excuse! Benak masih sesak dengan berbagai macam jadwal dan agenda-agenda, proposal skripsi hanya saya tulis seadanya. Masih gamang dengan judul, padahal sudah harus dikumpul. Eh, esok harinya dosen meng-acc juga. Entahlah, pikiran saya justru tertumbuk kepada KKN ke luar Jawa. Novel yang menjadi bahan penelitian saya sudah ada, namun belum saya sentuh sama sekali. Buku-buku pendukung teorinya juga belum saya cari. Masa bodoh dengan skripsi, yang penting saya mengabdi ke pulau seberang dulu.

Awal semester tujuh, nama Dosen Pembimbing Skripsi (DPS) masing-masing mahasiswa sudah tertempel rapi di depan kantor jurusan. Nama mahasiswa, nama DPS, judul skripsi dipajang semua di sana. Duh, saya malu menatap judul saya sendiri. Sedangkan DPS yang akan membimbing saya, nama itu belum pernah saya kenal sebelumnya. Deg-degan, jangan-jangan beliau… (beuh, udah mikir aneh-aneh duluan >_<). Berminggu-minggu berlalu dan saya masih bersantai-santai tanpa berinisiatif menghubungi Pak DPS, sok sibuk dengan amanah ini-itu dan satu matkul yang cuma 3 SKS. Yakale si bapak yang bakal nguber mahasiswanya, mana ada ceritanya? Gue yang harus move on lah! Pagi itu, SMS saya yang pertama langsung dibalas oleh beliau dengan ramahnya (duh, senangnya), lantas janjian ketemuan di kampus. Alhamdulillah, DPS saya super-baik, gaul, nggak nyeremin, jauh dari yang saya bayangkan sebelumnya. Pulang-pulang langsung termotivasi. Terngiang kata-kata beliau, “Skripsi kok satu tahun? Padahal cuma begitu-begitu saja, enam bulan sudah harus selesai sebenarnya. Kalau ada kesulitan, bilang saja, nanti saya bantu.”

Kemudian, saya mulai menyepi. Di perpustakaan, di Masjid Kampus lantai dua, atau tempat yang tenang mana saja, menekuni novel yang saya jadikan bahan penelitian dan buku-buku pendukung teorinya dengan sepenuh hati. Saya sungguh menghindari kamar kosan jika ingin mengerjakan skripsi karena sempitnya ruang membuat saya tak bisa berkonsentrasi.

Akhir semester tujuh, beberapa teman saya sudah akan ujian pendadaran. Kaget, ya iyalah! Saya? Oh, Chapter I saja belum beres, bagaimana Chapter II, apalagi Chapter IV. Saya ngapain aja selama ini, ya Rabbi? “Udah sampai mana skripsimu, Li?” tanya ayah suatu kali. “Bab satu,” jawab saya malas. “Dari kemarin bab satu mulu?” Uh, rasanya ingin menenggelamkan diri di balik selimut (terus tidur, lalu mimpi skripsi beres, ujian pendadaran, dan tinggal nunggu pakai toga. hoahm).

Februari 2013. Beberapa teman saya diwisuda. Ikut senang. Kagum, terharu, campur aduk. Mereka layak diberi apresiasi, karena istiqomah dengan apa yang mereka kerjakan, fokus, tidak banyak mengeluh apalagi menggalau. Merekalah salah satu motivator saya, selain DPS dan orang tua. Kalau mereka bisa, mengapa saya tidak? Mereka juga nggak menonjol-menonjol amat di jurusan, tapi mereka bisa lulus duluan. Nah!

Skripsi mulai saya benahi lagi, saya rapikan pelan-pelan. Meski godaan untuk malas mengerjakannya jauh lebih banyak dari pada motivasi untuk segera menyelesaikannya, siapa juga yang mau jadi pecundang dengan mengeluh dan mengalah? Hey, ini masih skripsi, belum tesis, belum disertasi. Mencoba meyakinkan diri bahwa ini masih mudah dan tentu saja bisa dilalui. Namun, godaan syaithan dalam diri itu memang sungguh menyebalkan. Ketika mencoba membuka file skripsi, saya malah “kejatuhan” segepok inspirasi untuk menulis cerpen. Hasilnya, satu cerpen selesai dengan happy ending, skripsi terkatung-katung. Apalagi jika koneksi internet sedang lancar-lancarnya, saya malah sibuk bermain di dunia maya. Ketika mencoba meresapi buku-buku teori yang kesemuanya berbahasa Inggris itu, apa daya, yang saya sentuh kemudian justru novel teranyar karangan penulis ternama. What the.... jadi saya harus perang sama diri saya sendiri? Terlepas dari banyaknya dorongan dari luar sana, kalau saya tidak bergerak dan cuma misem-misem sambil bilang terima kasih ke mereka ya sama saja. Kuncinya ada pada saya sendiri. Apa mereka ngerti skripsi saya kayak gimana? Enggak! Tidak ada yang akan mengerjakan skripsi kita kecuali kita sendiri, kita yang tahu, kita yang mampu. So, nggak usah banyak mikir, kerjain aja. Percumalah saya menganalisis terjemahan novel Negeri 5 Menara jika spirit peribahasa Arab man jadda wajada yang menjadi ruh cerita itu tak tertular ke dalam diri saya. Kemudian, saya bertekad bulat, saya harus bisa lulus bulan Mei biar bisa segera daftar S2. Itu artinya, setidaknya akhir Februari 2013 skripsi saya sudah harus beres. Saya tempel tulisan dengan huruf merah tebal-tebal di dinding kamar: “Man jadda wajada, 28 Februari 2013!”

Fokus. Telaten. Sabar. Tawakal. Deretan kata itu sudah selayaknya bersahabat dengan kata “skripsi”. Fokus. Ini yang kadang emang susah banget. Apa boleh buat? Paksa! Saya nonaktifkan FB selama berbulan-bulan, pulang kampung dalam kurun waktu yang lama, tidak merespon SMS tidak penting (dari orang yang juga tidak penting), menyimpan rapi novel-novel yang membuat saya tergoda untuk membacanya. Terlepas dari masih ada amanah di luar sana, maaf-maaf dulu ya, skripsi saya jauh lebih penting. Soalnya, berkaitan dengan amanah orang tua. Mereka yang sudah bersusah-payah membanting-tulang demi anaknya yang calon sarjana, tentu mereka menaruh selaksa harap agar kelulusan anaknya tidak terlambat. Jadi, kalau kau mulai malas, mulai menyepelekan pekerjaan istimewa ini (terkadang kita menyepelekan hal besar, tapi much ado about something—membesar-besarkan hal sepele), mulai ogah-ogahan, ingatlah orang tua. Kesuksesanmu hari ini tak lepas dari pengorbanan mereka, karena doa-doa mereka yang mustajab untuk anak tercintanya. Tega menghancurkan harapan mereka dengan menjadi mahasiswa abadi? Saya yakin, mahasiswa paling bengal pun tak akan berani untuk mengatakan “iya”. Seriously, terkadang egois dalam mengejar cita-cita memang perlu. Tak usah terpengaruh teman-teman yang nyantai, mau-mau saja diajak malam mingguan ngalor-ngidul. Please, mind your own beeswax! Nah, skala prioritasnya harus dibenahi lagi. Harus bisa memilih dan memilah mana yang penting & mendesak, penting & tidak mendesak, tidak penting & mendesak, dan tidak penting & tidak mendesak. Nah, yang agak susah adalah bagi mahasiswa yang sudah kerja dan juga yang sudah berkeluarga. Mereka harus membagi perhatiannya ke banyak hal, nggak cuma skripsi saja. Tapi alangkah kerennya jika mereka bisa mengatur waktu dengan rapi, sehingga yang namanya skripsi tetap tidak terbengkalai. J So, be nitty gritty—fokus pada hal yang terpenting.

Procrastinator. Kata ini melekat pada seseorang bukan karena fitrahnya, punya sifat menunda-nunda sama sekali bukan bakat alamiah manusia, tapi karena dibiasakan, akhirnya jadi karakter. “Ntar aja deh, ngantuk. Bangun tidur ntar gue kerjain.” Bangun tidur eh kelaperan, makan sambil nonton TV, kebetulan tayangannya lagi asyik. Hah! Kelupaan mau ngerjain skripsi. “Kalau begitu, besok lagi aja deh, pasti gue kerjain!” Ah, padahal waktu tak bisa dibeli, tak bisa dikembalikan, tak bisa diputar ulang. Perhatikan ucapan Ibnu Qayyim,
“Perbedaan antara impian dan khayalan adalah bahwa mengkhayal melibatkan kemalasan, di mana seseorang tidak berusaha atau pun berjuang (untuk yang dia inginkan). Impian, akan mengharuskan seseorang berjuang, usaha dan tawakal. Yang pertama ibarat berharap tanah akan membajak dan menanam sendiri untuknya. Sedang yang kedua benar-benar membajak, menanam, dan berharap tanaman tumbuh.” (Madaarij As-Salikin)

Just kill the excuses! Alasan adalah ciri orang gagal, karena pencari alasan tak pernah belajar. Alkisah, ada dua orang mahasiswa yang sama-sama sedang skripsian: Pesimus dan Optimus. Setelah beberapa kali bertemu dosen, mereka disuruh revisi. Pesimus menceracau, “Sial! Sial! Sial! Beberapa minggu lalu dosbing bilang bagian yang ini dihapus aja, eh pas udah gue hapus, sekarang suruh nambahin lagi. Maunya apa sih tuh dosen? Udah gue bela-belain begadang semalaman. Capek revisi tau nggak? Gue sebal pangkat lima ratus juta!” Lain halnya dengan Optimus, ia malah bersyukur. “Alhamdulillah, dengan banyaknya revisi, saya jadi banyak belajar kembali. Kan with pain there’s gain, tak ada kesuksesan gratis dan jatuh dari langit begitu saja. Insya Allah nanti jerih payah saya terbayarkan dengan hasil yang sangat memuaskan, atau cumlaude. Aamiin.”

Life is choice. Mau memilih menjadi Optimus atau menjadi Pesimus itu terserah kita. Mau menjadi pemenang atau pecundang itu juga terserah kita. Namun, hidup mengajari kita untuk bergerak ke arah yang lebih baik, dengan usaha yang terbaik. Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan // Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang begitu nasihat Imam Syafi’i.

Impian saya untuk wisuda bulan Mei menguap seiring berlalunya waktu, sementara pada bulan April Chapter III saya masih terkatung-katung. Padahal menurut jadwal wisuda Mei, April itu juga berkas-berkas yudisium dan wisuda sudah harus dikumpulkan, dan saya tak kunjung ujian pendadaran. Apa boleh buat? Target diundur lagi: no excuse, saya harus wisuda Agustus. Begitulah, kita pandai membuat rencana-rencana, namun seringkali kita lebih pandai menunda-nundanya.

Baiklah, setidaknya ada beberapa faktor yang mempengaruhi lulus cepat atau tidaknya sang mahasiswa.
  1. Jurusan. Sebenarnya ini juga relatif, sih. Pendapat sebagian orang, mahasiswa ilmu sosio-humaniora tergolong lebih cepat lulusnya daripada mahasiswa dari disiplin ilmu-ilmu eksak. Ketika mahasiswa eksak disibukkan dengan praktikum (bahkan di akhir pekan), kami kadang malam mingguan nonton pagelaran di kampus. Ketika anak eksak harus kuliah lapangan dulu kalau mau skripsian, kami nonton film, baca novel, baca komik, atau menganalisis lirik lagu saja sudah bisa jadi skripsi (bahkan Doraemon saja bisa jadi skripsi og piye? à anak Sasjep ^_^). Jurusan saya pun hanya mensyaratkan skripsi minimal 40 halaman, sangat tipis jika dibandingkan dengan jurusan lain yang minimal 70 halaman. Tapi faktor 1 ini tetaplah relatif, sangat bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.
  2. Dosen. Kelakar orang pinter kalah dengan orang bejo itu tentu saja ada benarnya. Sebagai mahasiswa yang baik, tentu kita patuh pada jurusan yang telah berbaik hati memilihkan DPS untuk kita. Ke depannya, DPS ini tak cuma sekadar “pembimbing skripsi” saja, namun beliau haruslah menjadi sahabat, orang tua, motivator penyuluh (dan bukan bukan ‘peruntuh’) semangat bagi mahasiswa yang dibimbing. Sayangnya, DPS bukan dewa bumi yang bisa kita butuhkan kapan saja. DPS juga punya segudang problema yang harus diurus selain skripsi mahasiswa. Mungkin kita sudah selesai, tapi DPS lamban mengoreksi, atau malah sibuk melanglang buana ke mana-mana. Beruntunglah yang mendapat jatah DPS “enak”. Selain mudah ditemui, juga cepat dalam mengoreksi. Sehingga, bukan fenomena langka lagi jika ada mahasiswa IPK dua koma blablabla lulus lebih cepat daripada yang empat koma blablabla. :P
  3. Topik penelitian. Ini ada kaitannya juga dengan dosen. Ada kalanya kita sudah sreg, dosen meminta untuk mengubah judulnya (dengan berbagai pertimbangan). Atau mungkin kita yang sangat tertarik dengan topik tersebut, namun susah dijalani, complicated. Buku teorinya susah didapat lah, objek penelitiannya susah lah, etc.
  4. Faktor internal. Sudah jelaslah, ini sangat penting sekali. Tanpa ada kesungguhan niat dari pelaku utama (baca: mahasiswa), mustahil skripsi bisa selesai dengan lancar jaya. Semudah-mudahnya faktor 1-3, akhirnya kembali ke diri sendiri, bagaimana kita menyikapi rintangan-rintangan yang ada.

Finally, setelah mengalami berkali-kali revisi (entah berapa kali, saking banyaknya -_-), hari yang mendebarkan itu datang juga. Akhir Juni saya ujian pendadaran. Bismillahirrahmanirrahiim. Tiga tahun lebih sembilan bulan untuk menyelesaikan studi, tidak molor sama sekali. Alhamdulillah. Man jadda wajada. He who gives his all will surely succeed. Masih selalu teringat pertanyaan menggelikan dari Pak chairperson alias ketua penguji saya ketika itu, “How you read this? I cannot read this.” Oalah, yang ditanyakan malah motto saya di halaman awal skripsi, 100% huruf hijaiah man jadda wajada. -___- (untungnya beliau tidak sampai mengira saya mahasiswi Sastra Arab yang salah masuk ruang sidang).





Bibliography:
Nataliani, Ratna. 2011. Supermuslimah. Bandung: GAMAIS Press.
Y. Siauw, Felix. 2013. How to Master Your Habits. Jakarta: AlFatih Press.


(Catatan ini saya tulis pasca menyelesaikan sidang skripsi di bulan Juni 2013. Waktu berjalan cepat rupanya. Sekarang, Oktober 2015, saya sedang tahap mengerjakan tesis sebagai syarat kelulusan studi magister. Setidaknya, catatan yang saya tulis dua tahun lalu ini menjadi setitik penyuluh semangat untuk diri sendiri, juga siapapun yang tengah memperjuangkan kelulusan studinya.)

Tidak ada komentar: