Ro.man.ti.ka a liku-liku atau
seluk-beluk yang mengandung sedih dan gembira.
Skrip.si n karangan ilmiah yang
wajib ditulis oleh mahasiswa sebagai bagian dari persyaratan akhir pendidikan
akademisnya.
--Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, 2003—
Skripsi, agaknya satu kata ini memang ajaib buat
mahasiswa tingkat akhir. Tentu saja, dia menentukan lulus-tidaknya sang
mahasiswa dari perguruan tinggi. Dalam perjalanan bersamanya, tak sedikit yang
menjumpai kesusahan, namun banyak juga yang lancar jaya. Tak sedikit yang
menyebutnya “momok” hingga ada ungkapan “jangan tanya skripsi!”. Malahan,
belakangan ini bermunculan akun-akun di twitter semacam @skripsit, Derita Mahasiswa: aku ingin kuliah seribu
tahun lagi, dll. Lumayan menghibur. Setidaknya, jika kita telah penat
dengan kuliah dan skripsi, kicauan-kicauan di sana cukup bisa mengundang tawa,
asal jangan ikuti kicauan yang melunturkan semangat saja.
Saya bukan tergolong mahasiswi yang menjumpai
banyak kesulitan ketika mengerjakan skripsi, juga bukan golongan yang lancar
tanpa hambatan sama sekali. Lha di
mana? Tengah-tengah. Haha. Alhamdulillah, sekarang sudah lulus dan ikut wisuda sarjana Universitas Gadjah Mada periode IV, 27 Agustus 2013. Saya sungguh
terkagum-kagum dengan teman-teman saya yang berhasil menyelesaikan skripsi
tepat waktu: satu semester selesai! Di sisi lain, saya juga terheran-heran
kepada saudara-saudari yang bertahun-tahun tidak lulus-lulus, meski saya juga
tidak tahu-menahu problem mereka sebenarnya apa (no suudzon!). Kalau saya boleh membandingkan (at least bagi saya sendiri lho ini),
mengerjakan skripsi itu jauh lebih menyenangkan dari pada menghadapi UAN. UAN
menuntut kita bisa semuanya, bisa Matematika, bisa Kimia, bisa bahasa Inggris,
bisa Fisika, blablabla. On the other hand,
kemampuan tiap manusia beda-beda. Setidaknya, skripsi hanya menyuruh kita
menulis karya ilmiah tentang bidang yang sesuai jurusan, minat, dan bakat kita
di perkuliahan. Kau kuliah bahasa, nggak bakal ada ceritanya kau disuruh
menulis tentang dunia peternakan. Lho, saya kan salah jurusan, udah
nggak minat dari dulu (lame excuse). By the way, berapa persentase mahasiswa yang
merasa salah jurusan dengan yang tidak? Banyak teman-teman saya yang mengaku
dulu tidak ingin masuk jurusan kami sekarang, termasuk saya. Sejak masih
memakai seragam putih-biru saya sudah ingin masuk Sastra, tapi Sastra Jepang,
kalau tidak ya Sastra Indonesia.
Sama sekali tidak match dengan
anjuran ortu, karena ibu ingin saya masuk Psikologi, dan bapak menganjurkan ke Sastra
Inggris. Setelah istikharah, saya memutuskan memilih sastra semua. Dari pada
Psikologi yang saya nggak ngeh itu
ilmu macam apa dan bagaimana, mending saya ke bahasa, bidang yang sudah lumayan
akrab bagi saya. Namun,
ternyata takdir berkata lain. Cerita lengkapnya bisa dibaca di sini.
Saya uring-uringan sampai semester tiga, masih saja merasa salah
jurusan. Kuliah ya dijalani
seperti biasa dengan hasil yang juga biasa, sungguh saya bukan mahasiswi
istimewa. Kalau teman-teman saya suka nonton film-film barat, tontonan saya
malah dorama dan anime Jepang. Kalau
koleksi mereka lagu-lagu barat, saya justru kolektor lagu-lagu Jepang. Rasanya,
suatu saat pengen balas dendam atas kegagalan masuk Sastra Jepang dengan ke
Jepang sungguhan, entah bagaimanapun caranya. “Bener-bener
salah jurusan elu, Li. Someone Like You
aja nggak ngerti. Lagu Inggris yang lu tahu itu apa sih?” #sigh. Tak jarang
saya mengalihkan kejenuhan saya ke kegiatan-kegiatan yang lain, bergaul dengan
teman-teman jurusan lain. Bertukar ilmu dengan mereka. Sampai-sampai, saya
dikira Sastra Arab, dikira Sastra Jepang, dikira Sastra Indonesia. Baiklah, saya memang tak
ada potongan Sastra Inggris. #nooffense
Okelah, selalu salahkah salah jurusan? Nggak ada gunanya juga
merutuki nasib sepanjang waktu, kuliah setengah hati, terpaksa karena ortu udah
terlanjur ber-euforia gue bisa ketrima di universitas nomor wahid ini dan
dibiayai, ya apa boleh buat? Dijalani aja deeeehhh… (nih orang hidupnya kasihan
banget sih? Baru salah jurusan kuliah aja putus asanya udah setengah hidup,
gimana nanti kalo ngerasa salah pilih pasangan hidup coba? Salto trus lompat
indah ke jurang kali ye -_-). Jadi, salah siapa salah jurusan? Ya salah kita!
Salah kita karena tidak mau mengambil hikmah dari ini semua. Bisanya cuma mengeluh.
Sang Maha Pemberi Ketentuan telah memberikan sebaik-baik pilihan, sebaik-baik
yang kita butuhkan. Sebab,
kita tak selamanya bisa mendapatkan apa yang kita cintai, namun kita bisa
mencintai apa yang kita dapatkan. Cinta haruslah diupayakan. Mencintai ilmu
karena Allah, dengan begitu ia bisa mengantarkan kita kepada Allah. Tentu saja
berbagai macam ilmu di universitas kehidupan ini (asal bukan ilmu hitam dan
sesat), jadi yang bisa masuk surga bukan cuma Sastra Arab saja (lho?).
Jadi ceritanya saya mulai mencintai English. Mau nggak mau, saya harus mengakui jika bahasa satu ini
memang prospektif dan dibutuhkan masyarakat luas. Apalagi ketika job
menerjemahkan mulai berdatangan meski kadang masih berasaskan pertemanan.
Semester pertama hingga lima pun terlalui. Semester enam adalah masa-masa sibuk
yang menyita segalanya. Mempersiapkan KKN, jumlah mata kuliah yang masih
banyak, tugas-tugas yang masih membludak, ditambah keharusan menyusun proposal
skripsi. Di jurusan saya, semester enam sudah wajib
menulis proposal skripsi. Dosen-dosen senior sudah mewanti-mewanti agar kami
lulus tepat waktu, no excuse! Benak masih sesak dengan berbagai macam
jadwal dan agenda-agenda, proposal skripsi hanya saya tulis seadanya. Masih
gamang dengan judul, padahal sudah harus dikumpul. Eh, esok harinya dosen
meng-acc juga. Entahlah, pikiran saya justru tertumbuk kepada KKN ke luar Jawa.
Novel yang menjadi bahan penelitian saya sudah ada, namun belum saya sentuh
sama sekali. Buku-buku pendukung teorinya juga belum saya cari. Masa bodoh dengan skripsi, yang penting saya mengabdi ke pulau
seberang dulu.
Awal semester tujuh, nama Dosen Pembimbing Skripsi (DPS)
masing-masing mahasiswa sudah tertempel rapi di depan kantor jurusan. Nama
mahasiswa, nama DPS, judul skripsi dipajang semua di sana. Duh, saya malu menatap judul saya
sendiri. Sedangkan DPS yang akan membimbing saya, nama itu belum pernah saya
kenal sebelumnya. Deg-degan, jangan-jangan beliau… (beuh, udah mikir aneh-aneh
duluan >_<). Berminggu-minggu berlalu dan saya masih bersantai-santai
tanpa berinisiatif menghubungi Pak DPS, sok sibuk dengan amanah ini-itu dan
satu matkul yang cuma 3 SKS. Yakale si bapak yang bakal nguber mahasiswanya,
mana ada ceritanya? Gue yang harus move
on lah! Pagi itu, SMS saya yang pertama langsung dibalas oleh beliau dengan
ramahnya (duh, senangnya), lantas janjian ketemuan di kampus. Alhamdulillah,
DPS saya super-baik, gaul, nggak nyeremin, jauh dari yang saya bayangkan
sebelumnya. Pulang-pulang langsung termotivasi. Terngiang kata-kata beliau,
“Skripsi kok satu tahun? Padahal
cuma begitu-begitu saja, enam bulan sudah harus selesai sebenarnya. Kalau ada
kesulitan, bilang saja, nanti saya bantu.”
Kemudian, saya mulai menyepi. Di perpustakaan, di Masjid
Kampus lantai dua, atau tempat yang tenang mana saja, menekuni novel yang saya
jadikan bahan penelitian dan buku-buku pendukung teorinya dengan sepenuh hati.
Saya sungguh menghindari kamar kosan jika ingin mengerjakan skripsi karena
sempitnya ruang membuat saya tak bisa berkonsentrasi.
Akhir semester tujuh, beberapa teman saya sudah
akan ujian pendadaran. Kaget, ya iyalah! Saya? Oh,
Chapter I saja belum beres, bagaimana Chapter II, apalagi Chapter IV. Saya ngapain aja selama ini, ya Rabbi?
“Udah sampai mana skripsimu, Li?” tanya ayah suatu kali. “Bab satu,” jawab saya malas. “Dari kemarin bab satu mulu?” Uh,
rasanya ingin menenggelamkan diri di balik selimut (terus tidur, lalu mimpi
skripsi beres, ujian pendadaran, dan tinggal nunggu pakai toga. hoahm).
Februari 2013. Beberapa teman saya diwisuda. Ikut senang. Kagum, terharu, campur aduk. Mereka layak diberi
apresiasi, karena istiqomah dengan apa yang mereka kerjakan, fokus, tidak
banyak mengeluh apalagi menggalau. Merekalah salah satu motivator saya, selain DPS dan orang tua. Kalau mereka
bisa, mengapa saya tidak? Mereka juga nggak menonjol-menonjol amat di jurusan,
tapi mereka bisa lulus duluan. Nah!
Skripsi mulai saya benahi lagi, saya rapikan
pelan-pelan. Meski godaan untuk malas mengerjakannya jauh lebih banyak dari
pada motivasi untuk segera menyelesaikannya, siapa juga yang mau jadi pecundang
dengan mengeluh dan mengalah? Hey, ini masih skripsi, belum tesis, belum
disertasi. Mencoba meyakinkan diri bahwa ini masih mudah dan tentu saja bisa
dilalui. Namun, godaan syaithan dalam
diri itu memang sungguh menyebalkan. Ketika mencoba membuka file skripsi, saya malah “kejatuhan” segepok
inspirasi untuk menulis cerpen. Hasilnya, satu cerpen
selesai dengan happy ending, skripsi
terkatung-katung. Apalagi
jika koneksi internet sedang lancar-lancarnya, saya malah sibuk bermain di
dunia maya. Ketika mencoba meresapi buku-buku teori yang kesemuanya berbahasa
Inggris itu, apa daya, yang saya sentuh kemudian justru novel teranyar karangan
penulis ternama. What
the.... jadi saya harus perang sama diri saya sendiri?
Terlepas dari banyaknya dorongan dari luar sana, kalau saya tidak bergerak dan cuma misem-misem sambil bilang terima kasih
ke mereka ya sama saja. Kuncinya
ada pada saya sendiri. Apa mereka ngerti skripsi saya kayak gimana? Enggak!
Tidak ada yang akan mengerjakan skripsi kita kecuali kita sendiri, kita yang
tahu, kita yang mampu. So, nggak usah
banyak mikir, kerjain aja. Percumalah saya menganalisis terjemahan novel Negeri 5 Menara jika spirit peribahasa
Arab man jadda wajada yang menjadi ruh cerita itu tak tertular ke dalam diri
saya. Kemudian, saya bertekad bulat, saya harus bisa lulus bulan Mei biar bisa
segera daftar S2. Itu artinya, setidaknya akhir Februari 2013 skripsi saya
sudah harus beres. Saya tempel tulisan dengan huruf merah tebal-tebal di dinding
kamar: “Man jadda wajada, 28 Februari
2013!”
Fokus. Telaten. Sabar. Tawakal. Deretan kata itu
sudah selayaknya bersahabat dengan kata “skripsi”. Fokus.
Ini yang kadang emang susah banget. Apa boleh buat? Paksa! Saya nonaktifkan FB
selama berbulan-bulan, pulang kampung dalam kurun waktu yang lama, tidak
merespon SMS tidak penting (dari orang yang juga tidak penting), menyimpan rapi
novel-novel yang membuat saya tergoda untuk membacanya. Terlepas dari masih ada amanah di luar sana,
maaf-maaf dulu ya, skripsi saya jauh lebih penting. Soalnya,
berkaitan dengan amanah orang tua. Mereka yang sudah bersusah-payah membanting-tulang demi anaknya yang calon
sarjana, tentu mereka menaruh selaksa harap agar kelulusan anaknya tidak
terlambat. Jadi, kalau kau mulai malas, mulai menyepelekan pekerjaan istimewa ini (terkadang kita menyepelekan hal besar, tapi
much ado about something—membesar-besarkan
hal sepele), mulai ogah-ogahan, ingatlah orang tua. Kesuksesanmu hari ini tak
lepas dari pengorbanan mereka, karena doa-doa mereka yang mustajab untuk anak
tercintanya. Tega menghancurkan harapan mereka dengan menjadi mahasiswa abadi? Saya yakin, mahasiswa paling bengal pun tak akan berani untuk
mengatakan “iya”. Seriously,
terkadang egois dalam mengejar cita-cita memang perlu. Tak usah terpengaruh teman-teman yang nyantai, mau-mau saja diajak malam
mingguan ngalor-ngidul. Please, mind your own
beeswax! Nah, skala prioritasnya harus dibenahi
lagi. Harus bisa memilih dan memilah mana yang penting & mendesak, penting
& tidak mendesak, tidak penting & mendesak, dan tidak penting & tidak mendesak. Nah, yang agak susah adalah bagi mahasiswa yang sudah kerja dan juga
yang sudah berkeluarga. Mereka harus membagi perhatiannya ke banyak hal, nggak
cuma skripsi saja. Tapi alangkah kerennya jika mereka bisa mengatur waktu
dengan rapi, sehingga yang namanya skripsi tetap tidak terbengkalai. J So, be nitty gritty—fokus
pada hal yang terpenting.
Procrastinator. Kata ini melekat pada seseorang bukan karena fitrahnya, punya
sifat menunda-nunda sama sekali bukan bakat alamiah manusia, tapi karena
dibiasakan, akhirnya jadi karakter. “Ntar aja deh, ngantuk. Bangun tidur ntar
gue kerjain.” Bangun tidur eh kelaperan, makan sambil nonton TV, kebetulan
tayangannya lagi asyik. Hah! Kelupaan mau ngerjain skripsi. “Kalau begitu,
besok lagi aja deh, pasti gue kerjain!” Ah, padahal waktu tak bisa dibeli, tak
bisa dikembalikan, tak bisa diputar ulang. Perhatikan ucapan Ibnu Qayyim,
“Perbedaan antara impian
dan khayalan adalah bahwa mengkhayal melibatkan kemalasan, di mana seseorang
tidak berusaha atau pun berjuang (untuk yang dia inginkan). Impian, akan
mengharuskan seseorang berjuang, usaha dan tawakal. Yang pertama ibarat
berharap tanah akan membajak dan menanam sendiri untuknya. Sedang
yang kedua benar-benar membajak, menanam, dan berharap tanaman tumbuh.” (Madaarij As-Salikin)
Just kill the excuses! Alasan adalah ciri orang gagal, karena pencari
alasan tak pernah belajar. Alkisah, ada dua orang mahasiswa yang sama-sama sedang skripsian: Pesimus
dan Optimus. Setelah beberapa kali bertemu dosen, mereka disuruh revisi. Pesimus
menceracau, “Sial! Sial! Sial! Beberapa minggu lalu dosbing bilang bagian yang
ini dihapus aja, eh pas udah gue hapus, sekarang suruh nambahin lagi. Maunya
apa sih tuh dosen? Udah gue bela-belain begadang semalaman. Capek revisi tau
nggak? Gue sebal pangkat lima ratus juta!” Lain halnya dengan Optimus, ia malah
bersyukur. “Alhamdulillah, dengan banyaknya revisi, saya jadi banyak belajar
kembali. Kan with pain there’s gain,
tak ada kesuksesan gratis dan jatuh dari langit begitu saja. Insya Allah nanti
jerih payah saya terbayarkan dengan hasil yang sangat memuaskan, atau cumlaude. Aamiin.”
Life is choice. Mau memilih
menjadi Optimus atau menjadi Pesimus itu terserah kita. Mau menjadi pemenang
atau pecundang itu juga terserah kita. Namun, hidup mengajari kita untuk
bergerak ke arah yang lebih baik, dengan usaha yang terbaik. Aku melihat air menjadi rusak karena diam
tertahan // Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, kan keruh menggenang
begitu nasihat Imam Syafi’i.
Impian saya untuk wisuda bulan Mei menguap seiring
berlalunya waktu, sementara pada bulan April Chapter III saya masih
terkatung-katung. Padahal menurut jadwal wisuda Mei, April itu juga
berkas-berkas yudisium dan wisuda sudah harus dikumpulkan, dan saya tak kunjung
ujian pendadaran. Apa boleh buat? Target diundur lagi: no excuse, saya harus wisuda Agustus. Begitulah, kita pandai membuat rencana-rencana, namun seringkali kita lebih pandai
menunda-nundanya.
Baiklah, setidaknya ada beberapa faktor yang
mempengaruhi lulus cepat atau tidaknya sang mahasiswa.
- Jurusan. Sebenarnya ini juga relatif, sih. Pendapat sebagian orang, mahasiswa ilmu sosio-humaniora tergolong lebih cepat lulusnya daripada mahasiswa dari disiplin ilmu-ilmu eksak. Ketika mahasiswa eksak disibukkan dengan praktikum (bahkan di akhir pekan), kami kadang malam mingguan nonton pagelaran di kampus. Ketika anak eksak harus kuliah lapangan dulu kalau mau skripsian, kami nonton film, baca novel, baca komik, atau menganalisis lirik lagu saja sudah bisa jadi skripsi (bahkan Doraemon saja bisa jadi skripsi og piye? à anak Sasjep ^_^). Jurusan saya pun hanya mensyaratkan skripsi minimal 40 halaman, sangat tipis jika dibandingkan dengan jurusan lain yang minimal 70 halaman. Tapi faktor 1 ini tetaplah relatif, sangat bisa dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain.
- Dosen. Kelakar orang pinter kalah dengan orang bejo itu tentu saja ada benarnya. Sebagai mahasiswa yang baik, tentu kita patuh pada jurusan yang telah berbaik hati memilihkan DPS untuk kita. Ke depannya, DPS ini tak cuma sekadar “pembimbing skripsi” saja, namun beliau haruslah menjadi sahabat, orang tua, motivator penyuluh (dan bukan bukan ‘peruntuh’) semangat bagi mahasiswa yang dibimbing. Sayangnya, DPS bukan dewa bumi yang bisa kita butuhkan kapan saja. DPS juga punya segudang problema yang harus diurus selain skripsi mahasiswa. Mungkin kita sudah selesai, tapi DPS lamban mengoreksi, atau malah sibuk melanglang buana ke mana-mana. Beruntunglah yang mendapat jatah DPS “enak”. Selain mudah ditemui, juga cepat dalam mengoreksi. Sehingga, bukan fenomena langka lagi jika ada mahasiswa IPK dua koma blablabla lulus lebih cepat daripada yang empat koma blablabla. :P
- Topik penelitian. Ini ada kaitannya juga dengan dosen. Ada kalanya kita sudah sreg, dosen meminta untuk mengubah judulnya (dengan berbagai pertimbangan). Atau mungkin kita yang sangat tertarik dengan topik tersebut, namun susah dijalani, complicated. Buku teorinya susah didapat lah, objek penelitiannya susah lah, etc.
- Faktor internal. Sudah jelaslah, ini sangat penting sekali. Tanpa ada kesungguhan niat dari pelaku utama (baca: mahasiswa), mustahil skripsi bisa selesai dengan lancar jaya. Semudah-mudahnya faktor 1-3, akhirnya kembali ke diri sendiri, bagaimana kita menyikapi rintangan-rintangan yang ada.
Finally, setelah mengalami berkali-kali revisi
(entah berapa kali, saking banyaknya -_-), hari yang mendebarkan itu datang
juga. Akhir Juni saya ujian pendadaran. Bismillahirrahmanirrahiim.
Tiga tahun lebih sembilan bulan untuk menyelesaikan studi, tidak molor sama
sekali. Alhamdulillah. Man jadda wajada.
He who gives his all will surely succeed.
Masih selalu teringat pertanyaan menggelikan dari Pak chairperson alias ketua penguji saya ketika itu, “How you read this? I cannot read this.”
Oalah, yang ditanyakan malah motto saya di halaman awal skripsi, 100% huruf
hijaiah man jadda wajada. -___-
(untungnya beliau tidak sampai mengira saya mahasiswi Sastra Arab yang salah
masuk ruang sidang).
Bibliography:
Nataliani, Ratna. 2011. Supermuslimah.
Bandung: GAMAIS
Press.
Y. Siauw, Felix. 2013. How to
Master Your Habits. Jakarta:
AlFatih Press.
(Catatan ini saya tulis pasca menyelesaikan sidang skripsi di bulan Juni 2013. Waktu berjalan cepat rupanya. Sekarang, Oktober 2015, saya sedang tahap mengerjakan tesis sebagai syarat kelulusan studi magister. Setidaknya, catatan yang saya tulis dua tahun lalu ini menjadi setitik penyuluh semangat untuk diri sendiri, juga siapapun yang tengah memperjuangkan kelulusan studinya.)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar