Jumat, 25 Desember 2015

Memaafkan Masa Lalu







Masing-masing kita memiliki peti rahasia di palung hati yang paling tersembunyi, bahkan hanya kita dan Tuhan saja yang tahu-menahu tentang kunci-kunci rahasianya—hingga tak ada tangan lain yang mampu membuka-mendobraknya begitu saja.

Ada berkas-berkas berisikan beragam episode dan kenangan, serta adukan rasa yang mewarnai tiap rona alur kehidupan kita. Untuk setiap lembar cerita yang terekam dan masih tersimpan, lantas kita putuskan menjadi sebilah rahasia tak berkesudahan itu, mungkinkah akan ikhlas kita buka dengan perjanjian agar saling menerima, suatu hari nanti?

Kita memiliki masa lalu masing-masing, cerita masing-masing, kisah jatuh dan patah masing-masing. Mungkin kita pernah sama-sama menggugat takdir, bertanya-tanya kepada Zat yang Maha Menggenggam Nyawa, atas harapan yang tak pernah menjelma nyata, atas sebarisan nama yang dalam diam lamat-lamat kita eja di ujung doa, namun entah kenapa doa-doa itu seakan lupa pulang kepada tuannya. Kita tersuruk dalam air mata ketika mengetahui bahwa nama yang selalu kita semogakan ternyata merupakan takdir bagi hidup orang lain, bukan kita. Lantas ada bagian dalam diri ini yang tercabik, ada luka yang menganga, kemudian memerlukan waktu yang tidak sebentar demi menyembuhkannya, berharap melupakan segala perca kenangan yang membuat luka itu semakin dalam.

Tetapi, ingatan yang diciptakan Tuhan terlalu sakti untuk diajak belajar melupakan. Ah, namun hati yang diciptakan dengan kelembutan bukankah mampu menuntun kita untuk mengikhlaskan? Ya, ikhlas yang diletakkan perlahan di atas prasangka baik akan segala ketentuan. Sekali lagi, aku ingin berbicara tentang takdir. Ia adalah teka-teki tak berkesudahan yang menuai pembicaraan tak habis-habis pula. Ada masanya, masing-masing kita harus berhenti mempertanyakan dan menggugat apa-apa yang telah Ia gariskan. Kita telah cukup dewasa untuk mampu memahami, bahwa skenario-Nyalah yang terindah, sebab Allah tahu siapa yang kita butuhkan, bukan siapa yang kita inginkan. Perlu kukatakan konsep ini berulang-ulang, meski mungkin tulisanku jadi agak membosankan, biar tertanam kuat di ingatan, biar dilesapkan berulang kali ke dalam kalbu rapuh kita yang rentan akan kegoyahan.

Mungkin, kisah kita memang tidak seindah dan semengharukan kisah-kisah orang lain di luar sana. Yang sebelumnya memiliki pengharapan yang sama dan saling memendam rasa namun kemudian Allah menakdirkan untuk bersama jua, seindah kisah Sayyidah Fathimah dan Sayyidina Ali. Kisah kita dimulai tanpa ada rasa apa-apa, kecuali mengharap rida-Nya. Bahkan cinta adalah sesuatu yang kelak masih harus selalu kita upayakan supaya mampu tumbuh, berkembang, mekar dan ranum. Namun, buat apa kita mengkhawatirkan? Allah yang berkuasa atas segala pertemuan, maha membolak-balikkan hati manusia, bukankah akan mudah saja bagi-Nya membuat rasa tawar kita hari ini berubah menjadi cinta, esok hari, sepanjang cinta itu dibangun megah di atas pondasi yang jauh lebih sakral: cinta-Nya.

Bukankah happy ending atau sad ending itu perkara relatif, dan yang absolut adalah ‘penerimaan’? Seorang pembaca mungkin menganggap akhir cerita yang diciptakan pengarang adalah sad ending, namun dalam pandangan pengarang, itulah akhir cerita terbaik yang menurutnya adil bagi semua tokoh. Seringkali, kacamata manusia kita terlalu dangkal untuk mampu melihat lebih dalam setiap kejadian. Mata kita terlalu minus untuk memandang satu titik perahu yang mengapung jauh di tengah lautan. Tangan kita terlalu rapuh untuk bisa memunguti keping-keping hikmah yang bertebaran di sepanjang jalan. Akal kita terlalu sempit demi bisa mencerna itu semua.

Mau tidak mau, jika kelak ada masanya peti rahasia kita terbuka, aku tahu ceritamu, dan kau tahu ceritaku, perihal nama lain di masa lalu yang bukan aku dan bukan kamu, siapkah hati-hati kita merasakan cemburu? Siapkah benak kita memunculkan curiga? Tidakkah kemudian timbul rasa penasaran dan ingin mencari tahu tentang sosok lain itu, serta bagaimana ia mampu membuat hati kita tertawan, dulu?

Dulu pernah kutulis, “Sungguh tak mudah bagi saya menjaga cinta ini utuh sepanjang jalan sebelum Sang Pemilik Semesta benar-benar mengembalikan saya kepada anda—sebagai bagian yang telah hilang bertahun-tahun lamanya, wahai Sang-Entah-Siapa.” Harap maklum. Betapa sulitnya menjaga sekeping substansi berjudul ‘hati’. Tentu kau pernah juga merasakan. Sebagai perempuan, aku tak ingin hatiku jatuh ritmis tiap kali mengingat seorang lelaki yang belum tentu ditakdirkan Allah untuk membersamaiku. Rasanya, seperti menyelingkuhi suamiku di masa depan. Ah, tentu kau pernah juga merasakan apa yang disebut dengan ujian perasaan.

Namun, sebagai hamba biasa, kita bisa apa? Pada akhirnya, untuk bisa berjalan bersama-sama di jalur yang sama, yang kita perlukan adalah orang yang memiliki kesediaan untuk saling ‘menerima’. Tak peduli lagi betapa perbedaan itu begitu banyak, beda yang umumnya menjadi sengketa. Pada akhirnya, beda, bagi kita justru energi untuk saling menggenapkan keganjilan masing-masing. Pada akhirnya, pertemuan tanpa rasa itu membuat kita bersimpuh di atas sajadah, menyadari satu hal: bahwa ketika cinta itu disandarkan kepada Sang Penguasa Langit, maka tidak ada seorang pun dari kita yang menggugat kepada takdir. Ya, dan kita sedang belajar untuk itu: menyandarkan cinta, memasrahkan segalanya lillahi ta'ala. Meninggalkan masa lalu, menatap bentangan jalan di depan, merencanakan setapak garis edar yang kelak akan kita lalui dalam ritme langkah yang senada.


Suatu hari nanti, kita akan bersama-sama menerawang ke angkasa menatap gemintang dari sudut yang sama, seraya menertawakan masa lalu. Betapa sebenarnya nama-nama “indah” yang pernah singgah menghiasi episode hidup yang sudah-sudah tak lain serupa ujian di sepanjang perjalanan. Sebelum tanpa diduga, Allah menyediakan jalur yang sama untuk kita bersilang jalan dan saling berjumpa, dengan cara-Nya.

Suatu hari nanti, kita akan bersama-sama memandang rintik hujan yang turun menderas dari beranda yang sama, seraya tersenyum saja—sebab kosakata segala rupa telah raib entah ke mana untuk mengungkap syukur yang tiada tara.

Untuk segala perih luka yang pernah menyerta, serta episode yang sudah-sudah yang kini telah menjadi cerita, tugas kita hanyalah menerima dengan lapang dada, berlaku adil terhadap segala ketentuan, saling memaafkan masa lalu masing-masing, memaklumi khilaf yang ditinggalkan jauh di belakang, berhenti membanding-bandingkan hidup kita dengan hidup orang lain.

Untuk segala perih luka yang pernah menyerta, ada satu keyakinan utuh, bahwa tentu, Dia memperjumpakan kita bukanlah tanpa alasan. Tuhan tidak sedang mengocok lotre, lantas menentukan takdir seseorang layaknya bermain undian dalam arisan, bukan?

Tuan, aku ingin mengajakmu paham, bahwa Dia mempertemukan kita, salah satunya, untuk saling menyembuhkan.





Hatiku tenang karena mengetahui bahwa apa yang melewatkanku tidak akan pernah menjadi takdirku, dan apa yang ditakdirkan untukku tidak akan pernah melewatkanku.”

--Umar bin Khattab--


Teruntuk: Sebilah nama di masa depan yang masih dirahasiakan

Tidak ada komentar: