Jumat, 12 Februari 2016

Kepada Hujan yang Jatuh Ritmis





Matanya tengah merindukan hujan. Padahal jendela besar berkaca itu masih menyisakan titik-titik air di permukaannya. Daun-daun pepohonan di luar sana juga masih terlihat basah. Angin semilir yang menggoyangkan pucuk-pucuk dedaunan membuat sisa-sisa air yang menempel di sana berjatuhan, bak guguran kristal. Mereka jatuh ke tanah, jatuh ke danau, jatuh ke genangan air, menciptakan riak-riak bergelombang. Andai telinga manusia mampu menangkap bunyi paling mikro di dunia ini, mungkin episode butir air yang jatuh itu akan menciptakan nada, meski hanya sebentar saja. Bunyi yang mungkin kelak akan membuatnya berpikir, bahwa sekecil apapun kejadian sesungguhnya memiliki makna. Ia tidaklah jatuh hanya untuk sia-sia.

Matanya tengah merindukan hujan. Padahal hujan belum lama usai, ini tidak sedang kemarau. Hujan telah membuat ujung rok panjangnya basah di sepanjang perjalanan. Hujan pula yang membuatnya harus kerepotan mengembangkan payung di tengah lalu-lalang orang. Ah, namun suara deras hujanlah yang akhir-akhir ini mampu memupusnya dari perasaan kesepian nan membosankan. Baginya, hujan tak lain adalah bahasa alam paling merdu dan indah yang dihadiahkan tuhan. Rasanya, ia tak memerlukan lagi alasan-alasan, mengapa hujan yang kadang tak disukai sebagian orang itu justru selalu ia nantikan.

Sama seperti rinai hujan yang jatuh ke bumi, ia pernah jatuh berkali-kali. Entah hatinya, entah perasaannya, entah harapan, entah menjatuhkan pilihan, dan tentu saja... sepasang keping matanya yang bening itu pernah berkali-kali menjatuhkan rinai pula. Meskipun terkadang, ingin sekali ia menghindari jatuh. Ya, untuk apa terjatuh, jika kelak akan patah? Lalu, yang patah dan terencah itu harus ia tata ulang dengan susah payah. Sebagai hawa, sulit sekali rasanya menghindari jatuh. Perempuan tak bisa disandingkan begitu saja dengan logika, ia adalah konstelasi perasaan, lantas harapan-harapan dan keinginan. Perempuan tak bisa diibaratkan begitu saja dengan kerasnya karang di tepi samudra. Bahwa setegar apapun jiwanya, ia tetaplah daun kering yang luruh terkena tempias hujan. Rapuh. Tapi, bukankah tak jarang pula, cintanya tersembunyi. Rahasia. Dalam diam dan menunggunya, hening dalam doa adalah jalan cintanya. Hanya karena ia terlalu malu untuk mengutarakan sebelum rasa itu menjadi halal baginya.

Perempuan itu melangitkan doa-doa tiap usai menghadap Sang Pencipta meski dalam sehening-heningnya suara, tanpa seseorang nun jauh di sana itu pernah tahu, apalagi mendengarnya. Semoga Ar-Rahmaan meneguhkan langkahnya, menguatkan ikhtiarnya, menambah iman dan rasa cintanya kepada tuhan, meluruskan niatnya, memudahkan urusannya, melembutkan hati orang-orang terdekat kalian untuk senantiasa membukakan jalan, juga menjaga hati-hati kalian agar tetap berada di jalan tuhan selama perjalanan itu belum sampai ke titik pertemuan, dan semoga Ia segera turun tangan. Bersama sebilah keyakinan dan harap-harap cemas, ia tepis keraguan demi keraguan. Bukankah keraguan itu muasalnya dari setan? Ahai, banyak sekali ‘semoga’ yang ia panjatkan. Namun, ia tak peduli. Ia percaya, Allah selalu senang mendengar permohonan hamba-Nya. Apakah nama yang ia doakan kali ini juga mendoakannya? Ia tak tahu, juga tak peduli. Yang ia dambakan, doa yang ia langitkan segera turun menjelma jawaban dari Sang Penguasa Alam.

Apakah kali ini ia telah jatuh kembali? Tidak-tidak. Seorang sahabat mengajarinya bahwa sebagai kata kerja, cinta haruslah diperjuangkan semampunya, diupayakan sebisanya. Tanpa perjuangan, seorang hamba tak akan pernah bisa menghargai cinta. Bukan membiarkannya jatuh dengan semena-mena, untuk kemudian patah berderaian begitu saja. Bangun cinta, bukan jatuh cinta. Cinta: bukan untuk dijatuhkan, namun ditumbuhkan di tempat yang layak, yang semestinya. Namun, bukankah tak selamanya jatuh itu bermuara pada pecah atau patah? Jatuh di ruang yang aman, seperti bola kristal yang jatuh di permukaan busa yang empuk, seperti ranting kayu yang jatuh di permukaan air yang tenang. Apabila saat ini hatinya tengah jatuh, apakah benar-benar telah menemukan tempat berlabuh?

Lantas, di saat yang tak lama berselang, apakah kali ini ia telah patah kembali? Patah untuk ke sekian kali? Apakah ia telah salah menjatuhkan pilihan? Lalu, apa sebenarnya makna ‘yakin’ yang selama ini perlahan ia lekatkan di dasar hatinya yang paling dalam? Apakah ia harus mengulang pertanyaan ini lagi: ke mana gerangan perginya doa-doanya yang rahasia? Mengapa harapan yang perlahan bertunas itu harus terinjak dan mati kembali? Kecewa di ujung harap, dalam bahagia yang nyaris mendekap. Bahwa menyandarkan harap seutuhnya kepada tuhan bukanlah semudah-mudahnya perkara. Ya, sama beratnya dengan belajar bersabar dalam setiap proses dan ujian. Kemudian, doanya pun berubah: jika itu takdirnya semoga Allah membukakan jalan, dan jika bukan mohon dijauhkan sejauh-jauhnya. Sejauh-jauhnya, hingga benar-benar lenyap dari pandangan. Sejauh-jauhnya, hingga tak bisa saling menyapa atau berkirim salam. Atau, jika jauh itu merupakan sebentuk ujian, maka hanya dia yang terpilihlah yang akan mampu memupus sekat-sekat jarak dalam memperjuangkan tujuan. Jika sekat itu berupa waktu yang tak menentu, maka hanya dia yang terbaiklah yang mampu bersabar dengan sebaik-baik kesabaran dalam mencapai tujuan. Jika hari ini ia berupaya menjaga apa yang seharusnya dijaga, maka ia juga akan dipertemukan dengan yang mampu menjaga pula. Jika hari ini ia berupaya menjadi seistimewa kembang di tepi jurang nan curam, maka hanya pejuang yang mau berjuang dengan setangguh-tangguh upaya yang kelak mampu memetik tangkainya. Sebab, memang tak ada sesuatu yang berharga bisa didapatkan dengan mudahnya. Sedangkan manifestasi cinta kepada Rabb Semesta Alam pun adalah perjuangan, tiada kata ‘gampang’, tiada kata mulus dan instan di jalan menuju surga-Nya. Pun jalan memenuhi cinta itu dengan penyelamatan setengah agama.

Matanya masih selalu merindukan hujan. Baginya, hujan tak lain adalah bahasa alam paling merdu dan indah yang dihadiahkan tuhan. Ada ayat kauniah yang berseru di tiap rinainya: akulah ciptaan-Nya yang paling berani, aku tak pernah takut jatuh meski berkali-kali. Ya, air curahan langit itu bertasbih di tiap jatuhnya. Sebab hujan jatuh di bumi yang lapang, dan tanah yang bersedia menampung setiap tetesnya sebagai sebentuk karunia. Ia percaya, suatu saat nanti ia akan jatuh tanpa patah jua untuk seterusnya.... di hati seseorang yang paling lapang daripada hati-hati sebelumnya, yang mampu menerimanya dengan sebaik-baik penerimaan, sekaligus mampu memberi dengan setulus-tulusnya pemberian. Ia pun belajar melalui semesta, bahwa pelangi tak bisa hadir tanpa hujan yang mendera. Sesederhana itu.

Matanya masih selalu merindukan hujan. Tentu saja karena hujan adalah salah satu waktu yang sangat mustajabah bagi keterkabulan sebuah doa. Kusyuk, ia akan biarkan hujan mengawal doa-doa yang terlantun hingga ke angkasa.

Matanya masih merindukan hujan. Kelak, biar deras guyurannya menghapus jerejak kenangan tak menyenangkan di hari-hari yang telah lalu, lenyap mengabu, tak bersisa.


Depok, di Februari yang membasah 2016

Tidak ada komentar: