Matanya tengah merindukan hujan.
Padahal jendela besar berkaca itu masih menyisakan titik-titik air di
permukaannya. Daun-daun pepohonan di luar sana juga masih terlihat basah. Angin
semilir yang menggoyangkan pucuk-pucuk dedaunan membuat sisa-sisa air yang
menempel di sana berjatuhan, bak guguran kristal. Mereka jatuh ke tanah, jatuh
ke danau, jatuh ke genangan air, menciptakan riak-riak bergelombang. Andai
telinga manusia mampu menangkap bunyi paling mikro di dunia ini, mungkin
episode butir air yang jatuh itu akan menciptakan nada, meski hanya sebentar
saja. Bunyi yang mungkin kelak akan membuatnya berpikir, bahwa sekecil apapun
kejadian sesungguhnya memiliki makna. Ia tidaklah jatuh hanya untuk sia-sia.
Matanya tengah merindukan hujan.
Padahal hujan belum lama usai, ini tidak sedang kemarau. Hujan telah membuat
ujung rok panjangnya basah di sepanjang perjalanan. Hujan pula yang membuatnya
harus kerepotan mengembangkan payung di tengah lalu-lalang orang. Ah, namun
suara deras hujanlah yang akhir-akhir ini mampu memupusnya dari perasaan
kesepian nan membosankan. Baginya, hujan tak lain adalah bahasa alam paling
merdu dan indah yang dihadiahkan tuhan. Rasanya, ia tak memerlukan lagi
alasan-alasan, mengapa hujan yang kadang tak disukai sebagian orang itu justru
selalu ia nantikan.
Sama seperti rinai hujan yang jatuh
ke bumi, ia pernah jatuh berkali-kali. Entah hatinya, entah perasaannya, entah
harapan, entah menjatuhkan pilihan, dan tentu saja... sepasang keping matanya
yang bening itu pernah berkali-kali menjatuhkan rinai pula. Meskipun terkadang,
ingin sekali ia menghindari jatuh. Ya, untuk apa terjatuh, jika kelak akan
patah? Lalu, yang patah dan terencah itu harus ia tata ulang dengan susah
payah. Sebagai hawa, sulit sekali rasanya menghindari jatuh. Perempuan tak bisa
disandingkan begitu saja dengan logika, ia adalah konstelasi perasaan, lantas
harapan-harapan dan keinginan. Perempuan tak bisa diibaratkan begitu saja
dengan kerasnya karang di tepi samudra. Bahwa setegar apapun jiwanya, ia
tetaplah daun kering yang luruh terkena tempias hujan. Rapuh. Tapi, bukankah tak
jarang pula, cintanya tersembunyi. Rahasia. Dalam diam dan menunggunya, hening
dalam doa adalah jalan cintanya. Hanya karena ia terlalu malu untuk
mengutarakan sebelum rasa itu menjadi halal baginya.
Perempuan itu melangitkan doa-doa
tiap usai menghadap Sang Pencipta meski dalam sehening-heningnya suara, tanpa
seseorang nun jauh di sana itu pernah tahu, apalagi mendengarnya. Semoga Ar-Rahmaan
meneguhkan langkahnya, menguatkan ikhtiarnya, menambah iman dan rasa cintanya
kepada tuhan, meluruskan niatnya, memudahkan urusannya, melembutkan hati
orang-orang terdekat kalian untuk senantiasa membukakan jalan, juga menjaga
hati-hati kalian agar tetap berada di jalan tuhan selama perjalanan itu belum
sampai ke titik pertemuan, dan semoga Ia segera turun tangan. Bersama sebilah
keyakinan dan harap-harap cemas, ia tepis keraguan demi keraguan. Bukankah
keraguan itu muasalnya dari setan? Ahai, banyak sekali ‘semoga’ yang ia
panjatkan. Namun, ia tak peduli. Ia percaya, Allah selalu senang mendengar
permohonan hamba-Nya. Apakah nama yang ia doakan kali ini juga mendoakannya? Ia
tak tahu, juga tak peduli. Yang ia dambakan, doa yang ia langitkan segera turun
menjelma jawaban dari Sang Penguasa Alam.
Apakah kali ini ia telah jatuh
kembali? Tidak-tidak. Seorang sahabat mengajarinya bahwa sebagai kata kerja,
cinta haruslah diperjuangkan semampunya, diupayakan sebisanya. Tanpa
perjuangan, seorang hamba tak akan pernah bisa menghargai cinta. Bukan
membiarkannya jatuh dengan semena-mena, untuk kemudian patah berderaian begitu
saja. Bangun cinta, bukan jatuh cinta. Cinta: bukan untuk dijatuhkan, namun
ditumbuhkan di tempat yang layak, yang semestinya. Namun, bukankah tak
selamanya jatuh itu bermuara pada pecah atau patah? Jatuh di ruang yang aman,
seperti bola kristal yang jatuh di permukaan busa yang empuk, seperti ranting
kayu yang jatuh di permukaan air yang tenang. Apabila saat ini hatinya tengah jatuh,
apakah benar-benar telah menemukan tempat berlabuh?
Lantas, di saat yang tak lama
berselang, apakah kali ini ia telah patah kembali? Patah untuk ke sekian kali? Apakah
ia telah salah menjatuhkan pilihan? Lalu, apa sebenarnya makna ‘yakin’ yang
selama ini perlahan ia lekatkan di dasar hatinya yang paling dalam? Apakah ia
harus mengulang pertanyaan ini lagi: ke mana gerangan perginya doa-doanya yang
rahasia? Mengapa harapan yang perlahan bertunas itu harus terinjak dan mati
kembali? Kecewa di ujung harap, dalam bahagia yang nyaris mendekap. Bahwa
menyandarkan harap seutuhnya kepada tuhan bukanlah semudah-mudahnya perkara.
Ya, sama beratnya dengan belajar bersabar dalam setiap proses dan ujian.
Kemudian, doanya pun berubah: jika itu takdirnya semoga Allah membukakan jalan,
dan jika bukan mohon dijauhkan sejauh-jauhnya. Sejauh-jauhnya, hingga
benar-benar lenyap dari pandangan. Sejauh-jauhnya, hingga tak bisa saling
menyapa atau berkirim salam. Atau, jika jauh itu merupakan sebentuk ujian, maka
hanya dia yang terpilihlah yang akan mampu memupus sekat-sekat jarak dalam
memperjuangkan tujuan. Jika sekat itu berupa waktu yang tak menentu, maka hanya
dia yang terbaiklah yang mampu bersabar dengan sebaik-baik kesabaran dalam
mencapai tujuan. Jika hari ini ia berupaya menjaga apa yang seharusnya dijaga,
maka ia juga akan dipertemukan dengan yang mampu menjaga pula. Jika hari ini ia
berupaya menjadi seistimewa kembang di tepi jurang nan curam, maka hanya
pejuang yang mau berjuang dengan setangguh-tangguh upaya yang kelak mampu
memetik tangkainya. Sebab, memang tak ada sesuatu yang berharga bisa didapatkan
dengan mudahnya. Sedangkan manifestasi cinta kepada Rabb Semesta Alam pun
adalah perjuangan, tiada kata ‘gampang’, tiada kata mulus dan instan di jalan menuju
surga-Nya. Pun jalan memenuhi cinta itu dengan penyelamatan setengah agama.
Matanya masih selalu merindukan
hujan. Baginya, hujan tak lain adalah bahasa alam paling merdu dan indah yang
dihadiahkan tuhan. Ada ayat kauniah yang berseru di tiap rinainya: akulah
ciptaan-Nya yang paling berani, aku tak pernah takut jatuh meski berkali-kali.
Ya, air curahan langit itu bertasbih di tiap jatuhnya. Sebab hujan jatuh di
bumi yang lapang, dan tanah yang bersedia menampung setiap tetesnya sebagai
sebentuk karunia. Ia percaya, suatu saat nanti ia akan jatuh tanpa patah jua
untuk seterusnya.... di hati seseorang yang paling lapang daripada hati-hati
sebelumnya, yang mampu menerimanya dengan sebaik-baik penerimaan, sekaligus
mampu memberi dengan setulus-tulusnya pemberian. Ia pun belajar melalui
semesta, bahwa pelangi tak bisa hadir tanpa hujan yang mendera. Sesederhana itu.
Matanya masih selalu merindukan
hujan. Tentu saja karena hujan adalah salah satu waktu yang sangat mustajabah
bagi keterkabulan sebuah doa. Kusyuk, ia akan biarkan hujan mengawal doa-doa
yang terlantun hingga ke angkasa.
Matanya masih merindukan hujan.
Kelak, biar deras guyurannya menghapus jerejak kenangan tak menyenangkan di
hari-hari yang telah lalu, lenyap mengabu, tak bersisa.
Depok, di Februari yang membasah 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar