Jumat, 26 Februari 2016

Annisa



Ada berjuta-juta, bahkan mungkin miliaran orang bernama Annisa di muka bumi ini. Nama yang sangat jamak, pasaran, namun indah. Karena itulah banyak orang memakainya. Nama yang diambil dari bahasa Arab, perempuan. Ia juga abadi menjadi salah satu nama surah istimewa dalam Alquran. Ya, perempuan. Nama yang sangat Islami.
 
Ada banyak Annisa yang saya kenal sepanjang saya bersekolah dan kuliah. Kesatuan nama mereka umumnya senada: bahasa Arab atau bernada Islami semua. Namun, hanya satu Annisa yang saya kenal dengan perpaduan nama yang berbeda. Nama belakangnya Sigma Exacta. Mendengar kosakata ini, tentu saja saya (dan mungkin kalian semua) akan langsung membayangkan istilah-istilah dalam ilmu fisika atau matematika. Namun, ujaran apalah artinya sebuah nama (yang sebenarnya mampu disangkal, karena setiap nama sesungguhnya memiliki maksud) itu terlintas juga. Apakah seseorang tidak boleh menjadi presiden hanya karena namanya terdengar ndeso—Soeharto, Soekarno atau Jokowi? Apakah seseorang tidak bisa menjadi selebriti atau model papan atas lantaran namanya yang cuma Soimah atau Jono? Begitulah adanya, Annisa yang saya kenal dengan nama belakang Exacta bukanlah sarjana sains, teknik atau matematika. Ia sarjana humaniora. Alih-alih menyukai hitungan, sejak SMA ia sudah berada di kelas Bahasa, kuliah pun mengambil jurusan Sastra.

Jika dulu takdir menghendaki saya lolos seleksi masuk Sastra Jepang Universitas Indonesia, mungkin hari ini genap sudah sekitar enam tahun saya berkawan dengannya. Begitu pula sebaliknya, jika dulu takdir menghendaki ia lolos seleksi masuk Sastra Inggris Universitas Gadjah Mada, mungkin hari ini juga genap sudah sekitar enam tahun dia berkawan dengan saya. Namun, takdir kami berbeda. Ia menerima nasibnya sebagai mahasiswi Sastra Jepang UI, sedangkan saya, qanaah dengan ketentuan-Nya yang menggariskan saya sebagai mahasiswi Sastra Inggris UGM. Siapa sangka, Februari 2014 kami dipertemukan di satu ruang kelas sebagai teman satu angkatan, satu jurusan Pascasarjana Japanese Area Studies UI. Siapa sangka, saya yang “menyeberang”, dia yang “bertahan”. Jika kami sama-sama menyeberang atau sama-sama bertahan, mungkin pertemuan itu tidak akan pernah terjadi. Saya yang sejak semester awal kuliah S-1 merasa “salah jalur” dan tidak passion sudah merencanakan “alih jalur” sejak semester enam. Saya tulis di buku harian: setelah ini saya S-2 di sini, jurusan ini. Qadarullah, hal itu mewujud nyata. Meskipun tidak linier. Tapi, namanya juga ilmu. Belajar tentang Jepang sudah menjadi cita-cita saya semenjak SMP.

Namun tidak dengan Annisa, ia lebih memilih manut orang tua yang mengharapkan ia jadi dosen, padahal sebelumnya ingin “alih jalur” juga. Ketika beberapa orang memandang keputusan saya nyeleneh, saya rasa tidak dengan bagaimana ia memandang saya. Ahai, saya memang ‘si ungu’ yang cenderung memandang dunia dengan caranya sendiri dan terkadang sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Tidak pernah terbayang pula sebelumnya, kami akan dekat. Awal semester saya lalui dengan sakit-sakitan, masih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sering absen dan seringkali jadi mahasiswi kupu-kupu. Tugas kelompoklah yang mengakrabkan kami di semester berikutnya. Hampir selalu satu kelompok, akrab perlahan, cerita-cerita pun mengalir dan bertukar satu sama lain. Ditambah lagi, sama-sama orang Jawa yang cenderung memiliki kesamaan dialek bahasa. Laksana menemukan oase, bisa bercakap-cakap menggunakan mother tongue kami di lingkungan heterogen seperti Depok dan Jakarta merupakan satu hal sederhana yang kami syukuri.

Begitulah, kami diakrabkan oleh waktu. Ada banyak cerita yang saya tumpahkan kepadanya dengan “semena-mena”, sementara ia dengan senang hati menyimak cerita saya dengan sabar dan seksama. Jika saya memang seratus persen plegmatis, seharusnya saya yang menjadi “tempat sampah”, bukan “tukang cerita”. Namun nyatanya, saya yang memang senang bercerita—baik melalui tulisan maupun lisan tak pernah tahan jika menyimpan segala sesuatunya sendirian. Sebagai seorang yang dianugerahi Allah kepribadian sanguinis—yang ibaratnya nggak ada lo nggak rame, Annisa tak banyak melimpahkan curhatan-curhatan panjang seperti saya. Hidupnya adalah ceria, bahagia dan penuh tawa, sepahit apapun duka yang dialami sebenarnya. Sehingga, tak heranlah ketika kisah-kisah saya yang menye-menye kadang ditimpalinya dengan candaan yang berakhir dengan tawa. Ah, saya tidak jadi menangis kalau sudah demikian. Seolah-olah saya begitu gloomy, sendu dan mudah sekali menitikkan air mata, sedangkan ia seolah matahari yang bersinar ceria mengusir mendung, sehingga hujan pun batal turun. Itulah gunanya sebuah beda.

Semester terakhir, saya memutuskan untuk pindah kos. Ujung-ujungnya, saya satu kos dengannya. Tak usah ditanya, sudah pastilah hampir tiap hari haha-hehe bersama. Makan bareng, ngampus bareng, nonton bareng, ke perpustakaan dan mengerjakan tesis bareng. Segala rupa peristiwa dan suka-duka semester terakhir kami lalui bersama. Saya, masih saja kerapkali melimpahkan curhatan-curhatan kepadanya. Seiring usia yang beranjak, seiring waktu yang menobatkan kami lulus magister, seiring hari-hari di depan yang menuntut banyak tanggung jawab, obrolan itu lantas tak pernah jauh-jauh dari bab masa depan. Masa depan yang masih misterius, abu-abu, random, susah diterka, namun tetap wajib diperjuangkan dengan kesungguhan.

Ibarat cerita di novel, ada suspense yang tejadi di chapter akhir masa saya di jenjang S-2. Ada ganjalan di salah satu dosen penguji yang tidak menyetujui tesis saya untuk diluluskan ketika itu. Terancam tidak lulus semester itu membuat saya lumayan terpukul. Berkat bantuan Allah Yang Maha Kuasa melalui dosen pembimbing tercinta, saya diperbolehkan merevisi tesis secara signifikan dalam waktu empat hari saja. Ah, ini sungguh masih mending daripada saya harus menambah semester. Namun tetap saja kalut, cemas, stres, hingga tidak doyan makan, berpadu menjadi satu. Berkat dukungan, motivasi dan doa dari semuanya (terutama doa ibunda), halang-rintang itu terlalui juga. Sebagai yang sudah berhasil lulus duluan, Annisa merasa segan menghubungi saya yang masih dirundung stres. Ia hanya menitipkan sebatang cokelat dengan disertai secarik pesan di atas kertas: percayalah bahwa semua ini akan berakhir esok hari. Ada perasaan haru sekaligus bersalah yang tiba-tiba menelusup, mereka semua tentu berharap kami bisa wisuda bersama-sama, dan kasus yang saya alami membuat mereka sedikit-banyak khawatir juga.

Akhirnya, 6 Februari 2016, kami resmi diwisuda. Ada bahagia yang meruap, tentu saja. Ada sejuta syukur yang mengendap. Namun, ada kesedihan yang ikut hadir, mengapa semua ini harus berlalu sedemikian cepatnya. Ada momen bernama “pisah” yang niscaya terjadi cepat atau lambat. Bagi orang-orang masa depan maupun masa kini, akan ada rindu yang “tak biasa”. Rindu kepada masa lalu. Pun kami nanti, akan rindu kebersamaan-kebersamaan sederhana yang sejatinya penuh makna. Rindu pulang berkereta sembari memperbincangkan hidup dan kehidupan, rindu makan bareng di warung pinggir jalan yang murah meriah, rindu mengerjakan tugas kuliah bersama, merindukan apa saja asalkan itu momen bersama.

“Mbak, beasiswa AAS lagi bukaan nih. Aku pengen nyoba. Kamu mau juga nggak?” tanyanya suatu hari. “Aku masih ingin mengejar mimpiku sekolah di negara yang berbahasa Inggris,” lanjutnya. “Aku salah tujuan. Hahaha.” Masih saja bisa bercanda. Saya menghela nafas, saya masih merasa bodoh, memang. Jika dituruti terus, ilmu tidak akan ada habisnya. Namun, impian saya tetaplah sekolah di Jepang, bukan Aussie. Masih saja, kami seolah memiliki ingin yang berbeda, dan itu ditukar pula dengan takdir yang tidak sama. Namun, tidak ada tujuan yang salah, sepanjang kita percaya bahwa Allah pasti memberikan segala sesuatu sesuai ikhtiar kita. Takdir-Nya pun kita tak bisa menerka.

 “Yang penting yakin, Sist,” itu yang akhir-akhir ini selalu dia katakan. Seolah memahami bahwa orang yang mudah ragu macam saya rawan terjatuh dalam kepesimisan. Ya, yakin. Bukankah sebagai seorang Muslim kita harus berprasangka baik kepada Sang Pencipta? Yakin bahwa Ia selalu mendengar doa-doa baik. Sementara keraguan yang seringkali saya pelihara bukankah dekat dengan prasangka buruk kepada-Nya? Astaghfirullah. Terima kasih telah mengingatkan saya. Ada banyak kepingan hikmah yang bisa kami ambil dari cerita-cerita yang saling kami lontarkan, dari perkara remeh-temeh hingga kegalauan yang memuncak.

Allah, terima kasih telah menghadiahi orang-orang baik dan luar biasa di sekitar saya.


“Wherever we’ll go after this, doesn’t matter how different the path that we’ll choose after this and whatsover, let’s be friend forever.”





Tidak ada komentar: