Ada berjuta-juta, bahkan mungkin
miliaran orang bernama Annisa di muka bumi ini. Nama yang sangat jamak,
pasaran, namun indah. Karena itulah banyak orang memakainya. Nama yang diambil
dari bahasa Arab, perempuan. Ia juga abadi menjadi salah satu nama surah
istimewa dalam Alquran. Ya, perempuan. Nama yang sangat Islami.
Ada banyak Annisa yang saya kenal
sepanjang saya bersekolah dan kuliah. Kesatuan nama mereka umumnya senada:
bahasa Arab atau bernada Islami semua. Namun, hanya satu Annisa yang saya kenal
dengan perpaduan nama yang berbeda. Nama belakangnya Sigma Exacta. Mendengar
kosakata ini, tentu saja saya (dan mungkin kalian semua) akan langsung
membayangkan istilah-istilah dalam ilmu fisika atau matematika. Namun, ujaran apalah
artinya sebuah nama (yang sebenarnya mampu disangkal, karena setiap nama
sesungguhnya memiliki maksud) itu terlintas juga. Apakah seseorang tidak boleh
menjadi presiden hanya karena namanya terdengar ndeso—Soeharto, Soekarno
atau Jokowi? Apakah seseorang tidak bisa menjadi selebriti atau model papan
atas lantaran namanya yang cuma Soimah atau Jono? Begitulah adanya, Annisa yang
saya kenal dengan nama belakang Exacta bukanlah sarjana sains, teknik atau
matematika. Ia sarjana humaniora. Alih-alih menyukai hitungan, sejak SMA ia
sudah berada di kelas Bahasa, kuliah pun mengambil jurusan Sastra.
Jika dulu takdir menghendaki saya
lolos seleksi masuk Sastra Jepang Universitas Indonesia, mungkin hari ini genap
sudah sekitar enam tahun saya berkawan dengannya. Begitu pula sebaliknya, jika
dulu takdir menghendaki ia lolos seleksi masuk Sastra Inggris Universitas
Gadjah Mada, mungkin hari ini juga genap sudah sekitar enam tahun dia berkawan
dengan saya. Namun, takdir kami berbeda. Ia menerima nasibnya sebagai mahasiswi
Sastra Jepang UI, sedangkan saya, qanaah dengan ketentuan-Nya yang
menggariskan saya sebagai mahasiswi Sastra Inggris UGM. Siapa sangka, Februari
2014 kami dipertemukan di satu ruang kelas sebagai teman satu angkatan, satu jurusan
Pascasarjana Japanese Area Studies UI. Siapa sangka, saya yang
“menyeberang”, dia yang “bertahan”. Jika kami sama-sama menyeberang atau
sama-sama bertahan, mungkin pertemuan itu tidak akan pernah terjadi. Saya yang
sejak semester awal kuliah S-1 merasa “salah jalur” dan tidak passion
sudah merencanakan “alih jalur” sejak semester enam. Saya tulis di buku harian:
setelah ini saya S-2 di sini, jurusan ini. Qadarullah, hal itu mewujud
nyata. Meskipun tidak linier. Tapi, namanya juga ilmu. Belajar tentang Jepang
sudah menjadi cita-cita saya semenjak SMP.
Namun tidak dengan Annisa, ia lebih
memilih manut orang tua yang mengharapkan ia jadi dosen, padahal
sebelumnya ingin “alih jalur” juga. Ketika beberapa orang memandang keputusan
saya nyeleneh, saya rasa tidak dengan bagaimana ia memandang saya. Ahai,
saya memang ‘si ungu’ yang cenderung memandang dunia dengan caranya sendiri dan
terkadang sulit dipahami oleh kebanyakan orang. Tidak pernah terbayang pula
sebelumnya, kami akan dekat. Awal semester saya lalui dengan sakit-sakitan,
masih berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan baru, sering absen dan
seringkali jadi mahasiswi kupu-kupu. Tugas kelompoklah yang
mengakrabkan kami di semester berikutnya. Hampir selalu satu kelompok, akrab
perlahan, cerita-cerita pun mengalir dan bertukar satu sama lain. Ditambah
lagi, sama-sama orang Jawa yang cenderung memiliki kesamaan dialek bahasa.
Laksana menemukan oase, bisa bercakap-cakap menggunakan mother tongue
kami di lingkungan heterogen seperti Depok dan Jakarta merupakan satu hal sederhana
yang kami syukuri.
Begitulah, kami diakrabkan oleh
waktu. Ada banyak cerita yang saya tumpahkan kepadanya dengan “semena-mena”,
sementara ia dengan senang hati menyimak cerita saya dengan sabar dan seksama.
Jika saya memang seratus persen plegmatis, seharusnya saya yang menjadi “tempat
sampah”, bukan “tukang cerita”. Namun nyatanya, saya yang memang senang
bercerita—baik melalui tulisan maupun lisan tak pernah tahan jika menyimpan
segala sesuatunya sendirian. Sebagai seorang yang dianugerahi Allah kepribadian
sanguinis—yang ibaratnya nggak ada lo nggak rame, Annisa tak banyak
melimpahkan curhatan-curhatan panjang seperti saya. Hidupnya adalah ceria,
bahagia dan penuh tawa, sepahit apapun duka yang dialami sebenarnya. Sehingga,
tak heranlah ketika kisah-kisah saya yang menye-menye kadang
ditimpalinya dengan candaan yang berakhir dengan tawa. Ah, saya tidak jadi
menangis kalau sudah demikian. Seolah-olah saya begitu gloomy, sendu dan
mudah sekali menitikkan air mata, sedangkan ia seolah matahari yang bersinar
ceria mengusir mendung, sehingga hujan pun batal turun. Itulah gunanya sebuah
beda.
Semester terakhir, saya memutuskan
untuk pindah kos. Ujung-ujungnya, saya satu kos dengannya. Tak usah ditanya,
sudah pastilah hampir tiap hari haha-hehe bersama. Makan bareng, ngampus
bareng, nonton bareng, ke perpustakaan dan mengerjakan tesis bareng. Segala rupa
peristiwa dan suka-duka semester terakhir kami lalui bersama. Saya, masih saja
kerapkali melimpahkan curhatan-curhatan kepadanya. Seiring usia yang beranjak,
seiring waktu yang menobatkan kami lulus magister, seiring hari-hari di depan
yang menuntut banyak tanggung jawab, obrolan itu lantas tak pernah jauh-jauh
dari bab masa depan. Masa depan yang masih misterius, abu-abu, random,
susah diterka, namun tetap wajib diperjuangkan dengan kesungguhan.
Ibarat cerita di novel, ada suspense
yang tejadi di chapter akhir masa saya di jenjang S-2. Ada ganjalan di
salah satu dosen penguji yang tidak menyetujui tesis saya untuk diluluskan
ketika itu. Terancam tidak lulus semester itu membuat saya lumayan terpukul. Berkat bantuan
Allah Yang Maha Kuasa melalui dosen pembimbing tercinta, saya diperbolehkan
merevisi tesis secara signifikan dalam waktu empat hari saja. Ah, ini sungguh
masih mending daripada saya harus menambah semester. Namun tetap saja kalut,
cemas, stres, hingga tidak doyan makan, berpadu menjadi satu. Berkat dukungan,
motivasi dan doa dari semuanya (terutama doa ibunda), halang-rintang itu
terlalui juga. Sebagai yang sudah berhasil lulus duluan, Annisa merasa segan
menghubungi saya yang masih dirundung stres. Ia hanya menitipkan sebatang
cokelat dengan disertai secarik pesan di atas kertas: percayalah bahwa semua
ini akan berakhir esok hari. Ada perasaan haru sekaligus bersalah yang tiba-tiba
menelusup, mereka semua tentu berharap kami bisa wisuda bersama-sama, dan kasus
yang saya alami membuat mereka sedikit-banyak khawatir juga.
Akhirnya, 6 Februari 2016, kami
resmi diwisuda. Ada bahagia yang meruap, tentu saja. Ada sejuta syukur yang
mengendap. Namun, ada kesedihan yang ikut hadir, mengapa semua ini harus
berlalu sedemikian cepatnya. Ada momen bernama “pisah” yang niscaya terjadi
cepat atau lambat. Bagi orang-orang masa depan maupun masa kini, akan ada rindu
yang “tak biasa”. Rindu kepada masa lalu. Pun kami nanti, akan rindu
kebersamaan-kebersamaan sederhana yang sejatinya penuh makna. Rindu pulang
berkereta sembari memperbincangkan hidup dan kehidupan, rindu makan bareng di
warung pinggir jalan yang murah meriah, rindu mengerjakan tugas kuliah bersama,
merindukan apa saja asalkan itu momen bersama.
“Mbak, beasiswa AAS lagi bukaan nih.
Aku pengen nyoba. Kamu mau juga nggak?” tanyanya suatu hari. “Aku masih ingin
mengejar mimpiku sekolah di negara yang berbahasa Inggris,” lanjutnya. “Aku
salah tujuan. Hahaha.” Masih saja bisa bercanda. Saya menghela nafas, saya
masih merasa bodoh, memang. Jika dituruti terus, ilmu tidak akan ada habisnya. Namun,
impian saya tetaplah sekolah di Jepang, bukan Aussie. Masih saja, kami seolah
memiliki ingin yang berbeda, dan itu ditukar pula dengan takdir yang tidak
sama. Namun, tidak ada tujuan yang salah, sepanjang kita percaya bahwa Allah
pasti memberikan segala sesuatu sesuai ikhtiar kita. Takdir-Nya pun kita tak
bisa menerka.
“Yang penting yakin, Sist,” itu yang
akhir-akhir ini selalu dia katakan. Seolah memahami bahwa orang yang mudah ragu
macam saya rawan terjatuh dalam kepesimisan. Ya, yakin. Bukankah sebagai
seorang Muslim kita harus berprasangka baik kepada Sang Pencipta? Yakin bahwa
Ia selalu mendengar doa-doa baik. Sementara keraguan yang seringkali saya
pelihara bukankah dekat dengan prasangka buruk kepada-Nya? Astaghfirullah.
Terima kasih telah mengingatkan saya. Ada banyak kepingan hikmah yang bisa kami
ambil dari cerita-cerita yang saling kami lontarkan, dari perkara remeh-temeh
hingga kegalauan yang memuncak.
Allah, terima kasih telah
menghadiahi orang-orang baik dan luar biasa di sekitar saya.
“Wherever we’ll go after this, doesn’t matter how different the
path that we’ll choose after this and whatsover, let’s be friend forever.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar